20 Oktober 2007, genap tiga tahun duet Susilo Bambang Yudhoyono – Yusuf Kalla menjalankan roda pemerintahan negara ini sebagai presiden dan wapres. Beragam penilaian ditujukan pada pasangan ini atas hasil kinerja mereka selama tiga tahun. Dalam bidang pemberantasan korupsi, banyak pihak memberi penilaian bahwa ada peningkatan. Di sisi lain, tak sedikit yang mengatakan bahwa korupsi semakin merajalela, terutama di daerah. Meski dari sisi kuantitas pengungkapan kasus korupsi meningkat, namun diduga hal itu lebih disebabkan karena secara kuantitas praktek korupsi juga semakin meningkat.
Menurut peneliti The Habibie Center, Andrinof A. Chaniago, Undang-undang tentang pemerintahan daerah diduga menjadi salah satu pemicu semakin banyak korupsi di daerah. Kekuasaan legislatif maupun eksekutif di daerah sekain besar. Hal itu dimungkinkan karena dalam UU No.22/1999 tentang pemerintah daerah yang direvisi kemudian dalam UU No. 32/2004, dewan memiliki hak besar untuk mengatur anggaran. Tapi, undang-undang tersebut tidak mengatur mekanisme pertanggungjawaban yang transparan kepada publik. Tidak heran jika wewenang yang besar itu justru melahirkan penyimpangan, yaitu mengalirkan dana negara ke kantong pribadi. Dan lebih parahnya, upaya memperkaya diri itu dilakukan secara massal. "Jadi, berat di hak, lemah di kewajiban," ujar Andrinof.
Andrinof menambahkan ada ketidakjelasan akuntabilitas kepala daerah terhadap masyarakat setempat, yang membuat bentuk-bentuk tanggung jawab kepala daerah ke publik pun menjadi belum jelas. Karena posisi masyarakat dalam proses penegakan prinsip akuntabilitas dan transparansi pemerintah daerah, belum jelas, publik tidak pernah tahu bagaimana kinerja birokrasi di daerah.
Akibatnya, korupsi di daerah kini seperti menjadi tontonan sirkus. Hampir setiap hari koran-koran daerah memberitakan kasus-kasus korupsi di daerahnya masing-masing. LSM, mahasiswa, dan masyarakat biasa berdemo. Kejaksaan, polisi, KPK, atau BPK, seperti kebanjiran order. Anehnya, praktek korupsi tak juga surut. Bahkan terkesan lebih terang-terangan.
Bagaimana dengan kasus korupsi di Sumatra Utara? Setali tiga uang dengan daerah lain.
Data dari kejaksaan tinggi Sumatera Utara menyebutkan kasus-kasus korupsi yang mereka tangani tahun 2006 meningkat dibanding tahun sebelumnya, yakni dari 25 kasus menjadi 56 kasus. Dari sebanyak itu, 15 di antarannya telah diputus pengadilan. 15 kasus yang sudah diputuskan tersebut antara lain kasus korupsi Pemkab Deli Serdang, Pemkab Tapanuli Selatan, Pemkab Asahan, Pemkab Tobasa, Pemko Pematang Siantar, Pemko Tebing Tinggi, Pemkab Simalungun, Pemkab Nias, dan DPRD Sibolga.
Mengutip Sindo, Kepala Seksi Upaya Hukum Eksekusi dan Eseminasi pada Asisten Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Sumatra Utara Binsar Sinambela mengatakan, jumlah kasus yang sudah dilimpahkan Kejati Sumut ke pengadilan dan sudah diputuskan pengadilan sudah melampaui batas yang ditetapkan ke Kejaksaan Agung sebanyak lima kasus dalam satu tahun.
Menurut Binsar, butuh waktu yang cukup lama kasus korupsi baru diputuskan pengadilan. ”Persidangan kasus korupsi memakan waktu yang lama, terutama pemeriksaan saksi-saksi,” katanya. Dia menjelaskan, bisa-bisa sampai satu tahun. Selain itu berkas kasus korupsi baru bisa dilimpahkan ke pengadilan jika saksi sudah di atas 20 orang. Selain itu, lanjut Binsar, hambatan lainnya adalah berkas yang sudah masuk ke pengadilan terkadang butuh lama untuk naik di persidangan. Pihak pengadilan terkadang mendahulukan kasus-kasus kecil.
Sebenarnya, tak hanya karena proses pengungkapan sebuah kasus korupsi di pengadilan yang berjalan lama, namun niat untuk mengungkapkannya menjadi sebuah pertanyaan besar.
Kini, semakin banyak elemen masyarakat yang memberi pengaduan mengenai kasus-kasus korupsi. Bisa jadi sebagian pengaduan tersebut didasarkan pada tujuan poltik tertentu. Namun, melihat data awal yang mereka berikan, sebenarnya pihak kejaksaan sudah pantas untuk menindaklanjutinya. Tetapi yang terjadi, akhirnya beberapa pengaduan tak jelas tindak-lanjutnya. Masyarakat pun akhirnya semakin apriori.
Beberapa contoh dapat disebut antara lain dugaan korupsi di Pemerintahan Kabupaten Tapanuli Tengah (Tapteng). Mengutip Waspada, sampai saat ini tak jelas penanganan kasus ini oleh Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara meski laporan masyarakat tentang indikasi tindakan korupsi tersebut telah disertai bukti-bukti lengkap.
Pemberitaan di media massa menyebutkan, beberapa laporan pengaduan yang sudah disampaikan ke Kejatisu antara lain, dugaan korupsi Rp. 2 miliar di Pemkab Tapteng dilaporkan LSM Aurel Citra Independent (ACI) Tapteng beserta data autentiknya. Begitu juga dengan LSM Pijar Keadilan Sibolga yang melaporkan dugaan korupsi pada APBD 2006 sebesar Rp.56 miliar yang dikelola Dinas Jalan dan Jembatan Pemkab Tapteng.
Selain itu, laporan dari Forum Anti Korupsi Sumut menyebutkan, beberapa indikasi korupsi APBD Kabupaten Tapteng tahun 2005 antara lain, penerimaan retribusi pelayanan kesehatan pada rumah sakit umum daerah Padan tidak disetorkan ke kas daerah sebesar Rp.709 juta, penerbitan surat perintah membayar di luar belanja administrasi umum Rp.21,5 miliar lebih yang dilakukan sebelum pengesahan APBD 2005.
Di Pematangsiantar, kasus manipulasi pengangkatan CPNS yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam seleksi penerimaan CPNS atau yang dikenal dengan istilah CPNS gate, Walikota Pematangsiantar Ir RE Siahaan telah diadukan ke Polda Sumatera Utara.
Proyek tender bangsal RSUD Dr. Djasamen Saragih diduga melibatkan walikota. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) bahkan secara jelas telah mengungkapkan kecurangan dalam proyek tender tersebut.
Community Base For Democracy (Komunitas Basis Untuk Demokrasi-CyberDem) bahkan telah memberikan bukti-bukti akurat ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dugaan korupsi yang dilakukan oleh Ir. RE. Siahaan sewaktu menjabat Kadis Pertanian, Tanaman Pangan, dan Holtikultura Kabupaten Simalungun. Data-data dugaan korupsi Ir. RE. Siahaan yang telah dilaporkan ke KPK sebesar Rp. 4.149.481.760.
Kasus yang melibatkan Pemkab Tapteng dan Siantar ini hanya sebagian kecil dari ratusan kasus korupsi yang ada di Sumut. Anggota Komisi III DPR-RI asal Sumut, Yasonna H. Laoly, bahkan mensinyalir ada modus baru dalam korupsi di Sumut yakni menyiasati sistim merit point sebagaimana diatur dalam Kepres No 80 Tahun 2003.
Menurut laoly, akibat manipulasi dan akal-akalan merit point di Sumut, diperkirakan berpotensi mengakibatkan kerugian puluhan miliar rupiah. Jika dihitung untuk seluruh proyek di Sumatera Utara, baik proyek provinsi, Kabupaten/Kota dan BRR, kerugian negara bisa di atas 100 miliar.
Ditambahkan, akibat akal-akalan merit point ini, panitia dapat mengarahkan pemenang tender. Bahkan panitia sengaja mengatur pemenang dengan membuat skor calon pemenang lebih tinggi dari yang lain walaupun kualitas barang dan harga yang ditetapkan mutunya tidak sebaik calon pemenang dari penawar terendah.
Tender pengadaan barang, kata politisi putra Nias ini, sangat rentan dengan manipulasi. Ia mengakui menemukan satu tender alat-alat kesehatan di suatu kabupaten yang selisih tawaran penawar tertinggi (yang dimenangkan) dengan cadangan pemenang pertama hampir Rp. 800 juta, dan selisih dengan cadangan pemenang ketiga hampir Rp. 400 juta. ”Inikan gila! Yang dimenangkan justru yang paling tinggi, yaitu dengan mengakali skor,” katanya, mengutip Sindo.
Celakanya, menurut Laoly, nilai skor untuk kualitas barang dan harga dibuat tidak berarti. Manipulasi skor-nya ada pada surat-surat administratif, yang didesain sedemikian rupa oleh panitia dan sistim skoring ini juga tidak transparan.
Apa yang diungkapkan Laoly sebenarnya menjadi permainan sehari-hari di jajaran pemerintahan di Sumut, baik provinsi dan pemkab atau pemko. Kontraktor dan panitia tender pun sudah tahu sama tahu. Masyarakat pun sepertinya sudah terbiasa dengan permainan seperti ini. (dari berbagai sumber)
24 Oktober, 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar