25 Oktober, 2007

Internet, Remaja, dan Tayangan Mesum


Siang itu, awal September, sekitar pukul 14.00 Wib, di sebuah sudut warung internet (warnet), di Jalan Sangnawaluh, Pematangsiantar, tampak dua orang berseragam SMP sedang asyik memelototi komputer di depan mereka. Sesekali mereka memperhatikan orang yang lewat di depan mereka. Sepertinya ada perasaan takut saat ada yang memperhatikan aktifitas mereka.
Saat mencoba mengintip apa yang ada di layar komputer mereka, pantas kalau mereka merasa takut diperhatikan orang lain. Ternyata, kedua anak SMP tersebut sedang asyik membuka situs-situs porno.
Apa yang dilakukan kedua ABG ini sebenarnya bukan hal baru lagi. Dalam beberapa tahun terakhir ini anak-anak sekolah di Indonesia dengan gampang bisa mengakses situs-situs porno. Perkembangan pesat dunia teknologi informasi dan komunikasi membuat beragam informasi dengan cepat dapat diakses siapa saja. Tak hanya melalui internet di komputer, teknologi telepon seluler pun membuat berbagai gambar dan video dengan cepat dapat dinikmati siapa saja, tanpa memandang usia. Lihat saja, kini melalui handphone, siapapun dapat melihat gambar atau tayangan apapun mulai dari pesta ulang tahun anak, acara tujuh-belasan, pesta perkawinan, dan banyak lagi aktifitas lainnya yang difoto atau direkam. Namun, yang lebih parah kebanyakan foto atau tayangan video yang disimpan dalam HP lebih banyak adalah foto atau tayangan porno.
Pesatnya kemajuan teknologi terutama dalam 10 tahun terakhir ini membuat banyak hal berubah. Tayangan-tayangan mesum kini dengan gampang bisa diakses siapa saja baik melalui internet, HP, atau melalui VCD atau DVD. Gilanya lagi, tayangan-tayangan tersebut tak hanya berasal dari luar Indonesia namun produk-produk lokal Indonesia menjamur dimana-mana. Dan yang lebih mencengangkan pemain dalam tayangan-tayangan mesum Indonesia itu banyak dari anak-anak sekolah dan mahasiswa. 10 tahun lalu mungkin tak pernah terbayangkan hal seperti ini. Judul-judulnya pun membuat mata terbelalak seperti “Bandung Bergelora”, “Pekanbaru Bernafsu”, “Medan Merintih’, dan masih banyak lagi.
Mengutip sebuah harian di Jakarta, Peri Umar Farouk, Koordinator Wilayah Jakarta Perhimpunan Jangan Bugil Depan Kamera (JBDK), mengatakan pihaknya mencatat ada 500 lebih video hubungan badan yang dilakukan remaja Indonesia yang beredar di internet. Sedangkan untuk foto bugil, jumlahnya mencapai 2.000-an.
Menurut Farouk, sekitar 90 persen pelaku video dan foto porno tersebut adalah kalangan siswa-siswi SMA dan mahasiswa-mahasiswi. Yang membuat miris, belakangan ini pemeran atau model pada video dan foto porno tersebut adalah remaja-remaja yang masih duduk di bangku SMP. "Yang lebih gawat, hasil penelitian kami terhadap sejumlah remaja menunjukkan bahwa mereka justru sangat senang jika video dan foto syurnya beredar di internet. Bahkan kegiatan amoral ini justru dijadikan sumber penghasilan," kata Farouk.
Farouk mengatakan fenomena tersebut muncul karena para remaja cenderung kagum terhadap pengabadian alat vital. Ada juga faktor ketidaktahuan teknologi sehingga terjadi remaja yang awalnya iseng-iseng membuat foto diri dalam kondisi bugil, belakangan fotonya tersebar secara luas. Kasus terbaru, seorang siswi sebuah SMK swasta di Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor, DN (17), didemo oleh puluhan temannya sendiri di halaman sekolah lantaran foto bugilnya menyebar di Internet, sehingga ia terpaksa diberhentikan dari sekolah. Menurut temannya, foto-foto dibuat sendiri oleh DN untuk koleksi pribadi, dan ternyata foto-foto itu menyebar ke telepon seluler milik orang lain, dan bahkan diunggah ke Internet.
Mengapa internet menjadi alat yang paling efektif dalam menyebarkan pornografi?
Donny BU, Koordinator ICT Watch dan jurnalis TI independent, mengatakan internet memiliki karakteristik tersendiri yang membedakannya dengan media komunikasi lain, seperti media cetak, penyiaran, film atau telekomunikasi. Internet mempunyai kemampuan dalam mengkonvergensikan keempat media di atas dalam sebuah media yang disebut global network. Keistimewaanya dalam mengkonvergensikan berbagai media di atas, telah menjadikan internet sebagai media komunikasi yang paling sempurna saat ini. Karena keunggulannya itu, tak mengerankan bila internet menjadi alat yang paling efektif dalam menyebarkan berbagai informasi; termasuk informasi tentang pornografi. Bahkan, berbagai data terakhir menunjukkan bahwa transaksi terbesar perdagangan melalui internet diperoleh dari bisnis pornografi ini.
Bagaimana menyikapi maraknya pornografi melalui internet? Menurut Donny, hal ini sangat tergantung pada kebijakan yang diambil oleh setiap pemerintahan. Negara yang tingkat demokrasinya rendah akan mengambil kebijakan yang cenderung otoriter; yaitu memberikan peran negara untuk melakukan sensor (pembatasan informasi) di Internet. Praktek ini dapat kita lihat di Arab Saudi dan di RCC. Hal ini dilakukan dengan membuat server negara atau pembatasan informasi melalui Internet Service Provider.
Di negara-negara yang menganut sistem demokrasi, "sensor" di Internet juga diberlakukan. Namun, satu hal yang menarik "sensor" di Internet bukan dimulai dari pemerintah, melainkan partisipasi masyarakat dalam membuat Internet sebagai media yang sehat. Tindakan dilakukan dengan meluncurkan beberapa software yang mampu memfilter informasi yang berkaitan dengan pornografi. Bahkan di Amerika Serikat, pengaturan tentang pornografi anak di Internet lahir akibat desakan masyarakat terhadap pornografi anak yang merajarela di Internet.
Menurut Donny, sebenarnya sensor tidaklah begitu efektif. Apa sebabnya? Pertama, setiap hari akan selalu bermunculan ratusan alamat situs porno baru. Kita tidak akan mampu untuk tiap hari memperbaharui database yang berisi alamat-alamat situs yang harus diblokir pada software khusus yang kita pasang di personal komputer ataupun server warnet.
Kalaupun sensor tersebut dilakukan di Internet Service Provider (ISP) tempat kita berlangganan, maka ISP tersebut akan membutuhkan sebuah server khusus dengan kapasitas yang besar dan sumber daya manusia yang bertugas full-time melakukan update database. Ini tentu akan dihindari oleh ISP, karena selain membutuhkan biaya yang tidak murah, aktifitas sensor tersebut dikuatirkan akan berdampak pada melambatnya akses Internet pelanggan.
Kemudian alasan kedua adalah sensor internet akan mengakibatkan terhalangnya informasi-informasi yang justru kita butuhkan. Jika kita melakukan sensor tanpa meneliti satu-per-satu, maka selain situs porno akan terblokir, situs yang berisi informasi tentang kehamilan, penyakit menular via aktifitas seksual dan program keluarga berencana juga akan ikut terblokir.
Faktor lain adalah, jika kita memang konsisten ingin melakukan sensor pornografi atas situs-situs di internet, maka mau-tidak-mau kita harus memblokir pula situs YahooGroups.com. Sebab, di dalam situs YahooGroups tersebut terdapat banyak diskusi pornografi dalam bentuk mailing-list dengan bertukar gambar-gambar porno. Masalahnya, jika kita memblokir situs YahooGroups.com tersebut, maka turut terblokir pula aneka informasi yang justru bermanfaat didalamnya, semisal diskusi agama, diskusi pendidikan, diskusi teknis internet, dan sebagainya. Oleh karena itu, maka melakukan sensor atas situs-situs di internet tidak akan membuahkan hasil yang optimal dan cenderung kontra-produktif.
Rapin Mudiardjo, seorang pengacara sekaligus Legal Director ICT Watch, mengatakan, beberapa situs penyedia software mungkin akan membatasi dan mampu meredam seseorang untuk mengakses situs porno. Namun, masalahnya tidak berhenti sampai di situ. Sensor hanyalah sebuah mekanisme untuk mengontrol pornografi dan bukan menghilangkan pornografi itu sendiri.
Mudiardjo mengatakan mungkin yang bisa dilakukan oleh masyarakat adalah mencari satu persepsi yang sama bagaimana menyikapi pornografi internet itu sendiri. Berbagai jenis software mungkin bisa dikembangkan untuk meredam pornografi. Toh, bisa dipastikan norma yang dianut akan kembali pada masyarakat. Masyarakatlah yang pada akhirnya akan menentukan bagaimana persoalan pornografi ini diatur.
Masyarakat di sini lebih difokuskan pada pengguna internet selaku pihak yang langsung berhadapan dengan objek tersebut. Secanggih apapun sensor internet dilakukan, tetap akan dikembalikan pada nilai yang dianut oleh masyarakat itu sendiri. Dalam konteks ini, internet menjadi bebas nilai dan tidak adil jika dipersalahkan sebagai sarang dari pornografi. Karena itu, masyarakat dan pemerintah harus lebih bijak dalam memandang internet itu sendiri.

24 Oktober, 2007

3 Tahun Pemerintahan SBY – JK, Apa Kabar Korupsi di Sumut?

20 Oktober 2007, genap tiga tahun duet Susilo Bambang Yudhoyono – Yusuf Kalla menjalankan roda pemerintahan negara ini sebagai presiden dan wapres. Beragam penilaian ditujukan pada pasangan ini atas hasil kinerja mereka selama tiga tahun. Dalam bidang pemberantasan korupsi, banyak pihak memberi penilaian bahwa ada peningkatan. Di sisi lain, tak sedikit yang mengatakan bahwa korupsi semakin merajalela, terutama di daerah. Meski dari sisi kuantitas pengungkapan kasus korupsi meningkat, namun diduga hal itu lebih disebabkan karena secara kuantitas praktek korupsi juga semakin meningkat.
Menurut peneliti The Habibie Center, Andrinof A. Chaniago, Undang-undang tentang pemerintahan daerah diduga menjadi salah satu pemicu semakin banyak korupsi di daerah. Kekuasaan legislatif maupun eksekutif di daerah sekain besar. Hal itu dimungkinkan karena dalam UU No.22/1999 tentang pemerintah daerah yang direvisi kemudian dalam UU No. 32/2004, dewan memiliki hak besar untuk mengatur anggaran. Tapi, undang-undang tersebut tidak mengatur mekanisme pertanggungjawaban yang transparan kepada publik. Tidak heran jika wewenang yang besar itu justru melahirkan penyimpangan, yaitu mengalirkan dana negara ke kantong pribadi. Dan lebih parahnya, upaya memperkaya diri itu dilakukan secara massal. "Jadi, berat di hak, lemah di kewajiban," ujar Andrinof.
Andrinof menambahkan ada ketidakjelasan akuntabilitas kepala daerah terhadap masyarakat setempat, yang membuat bentuk-bentuk tanggung jawab kepala daerah ke publik pun menjadi belum jelas. Karena posisi masyarakat dalam proses penegakan prinsip akuntabilitas dan transparansi pemerintah daerah, belum jelas, publik tidak pernah tahu bagaimana kinerja birokrasi di daerah.
Akibatnya, korupsi di daerah kini seperti menjadi tontonan sirkus. Hampir setiap hari koran-koran daerah memberitakan kasus-kasus korupsi di daerahnya masing-masing. LSM, mahasiswa, dan masyarakat biasa berdemo. Kejaksaan, polisi, KPK, atau BPK, seperti kebanjiran order. Anehnya, praktek korupsi tak juga surut. Bahkan terkesan lebih terang-terangan.
Bagaimana dengan kasus korupsi di Sumatra Utara? Setali tiga uang dengan daerah lain.
Data dari kejaksaan tinggi Sumatera Utara menyebutkan kasus-kasus korupsi yang mereka tangani tahun 2006 meningkat dibanding tahun sebelumnya, yakni dari 25 kasus menjadi 56 kasus. Dari sebanyak itu, 15 di antarannya telah diputus pengadilan. 15 kasus yang sudah diputuskan tersebut antara lain kasus korupsi Pemkab Deli Serdang, Pemkab Tapanuli Selatan, Pemkab Asahan, Pemkab Tobasa, Pemko Pematang Siantar, Pemko Tebing Tinggi, Pemkab Simalungun, Pemkab Nias, dan DPRD Sibolga.
Mengutip Sindo, Kepala Seksi Upaya Hukum Eksekusi dan Eseminasi pada Asisten Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Sumatra Utara Binsar Sinambela mengatakan, jumlah kasus yang sudah dilimpahkan Kejati Sumut ke pengadilan dan sudah diputuskan pengadilan sudah melampaui batas yang ditetapkan ke Kejaksaan Agung sebanyak lima kasus dalam satu tahun.
Menurut Binsar, butuh waktu yang cukup lama kasus korupsi baru diputuskan pengadilan. ”Persidangan kasus korupsi memakan waktu yang lama, terutama pemeriksaan saksi-saksi,” katanya. Dia menjelaskan, bisa-bisa sampai satu tahun. Selain itu berkas kasus korupsi baru bisa dilimpahkan ke pengadilan jika saksi sudah di atas 20 orang. Selain itu, lanjut Binsar, hambatan lainnya adalah berkas yang sudah masuk ke pengadilan terkadang butuh lama untuk naik di persidangan. Pihak pengadilan terkadang mendahulukan kasus-kasus kecil.
Sebenarnya, tak hanya karena proses pengungkapan sebuah kasus korupsi di pengadilan yang berjalan lama, namun niat untuk mengungkapkannya menjadi sebuah pertanyaan besar.
Kini, semakin banyak elemen masyarakat yang memberi pengaduan mengenai kasus-kasus korupsi. Bisa jadi sebagian pengaduan tersebut didasarkan pada tujuan poltik tertentu. Namun, melihat data awal yang mereka berikan, sebenarnya pihak kejaksaan sudah pantas untuk menindaklanjutinya. Tetapi yang terjadi, akhirnya beberapa pengaduan tak jelas tindak-lanjutnya. Masyarakat pun akhirnya semakin apriori.
Beberapa contoh dapat disebut antara lain dugaan korupsi di Pemerintahan Kabupaten Tapanuli Tengah (Tapteng). Mengutip Waspada, sampai saat ini tak jelas penanganan kasus ini oleh Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara meski laporan masyarakat tentang indikasi tindakan korupsi tersebut telah disertai bukti-bukti lengkap.
Pemberitaan di media massa menyebutkan, beberapa laporan pengaduan yang sudah disampaikan ke Kejatisu antara lain, dugaan korupsi Rp. 2 miliar di Pemkab Tapteng dilaporkan LSM Aurel Citra Independent (ACI) Tapteng beserta data autentiknya. Begitu juga dengan LSM Pijar Keadilan Sibolga yang melaporkan dugaan korupsi pada APBD 2006 sebesar Rp.56 miliar yang dikelola Dinas Jalan dan Jembatan Pemkab Tapteng.
Selain itu, laporan dari Forum Anti Korupsi Sumut menyebutkan, beberapa indikasi korupsi APBD Kabupaten Tapteng tahun 2005 antara lain, penerimaan retribusi pelayanan kesehatan pada rumah sakit umum daerah Padan tidak disetorkan ke kas daerah sebesar Rp.709 juta, penerbitan surat perintah membayar di luar belanja administrasi umum Rp.21,5 miliar lebih yang dilakukan sebelum pengesahan APBD 2005.
Di Pematangsiantar, kasus manipulasi pengangkatan CPNS yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam seleksi penerimaan CPNS atau yang dikenal dengan istilah CPNS gate, Walikota Pematangsiantar Ir RE Siahaan telah diadukan ke Polda Sumatera Utara.
Proyek tender bangsal RSUD Dr. Djasamen Saragih diduga melibatkan walikota. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) bahkan secara jelas telah mengungkapkan kecurangan dalam proyek tender tersebut.
Community Base For Democracy (Komunitas Basis Untuk Demokrasi-CyberDem) bahkan telah memberikan bukti-bukti akurat ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dugaan korupsi yang dilakukan oleh Ir. RE. Siahaan sewaktu menjabat Kadis Pertanian, Tanaman Pangan, dan Holtikultura Kabupaten Simalungun. Data-data dugaan korupsi Ir. RE. Siahaan yang telah dilaporkan ke KPK sebesar Rp. 4.149.481.760.
Kasus yang melibatkan Pemkab Tapteng dan Siantar ini hanya sebagian kecil dari ratusan kasus korupsi yang ada di Sumut. Anggota Komisi III DPR-RI asal Sumut, Yasonna H. Laoly, bahkan mensinyalir ada modus baru dalam korupsi di Sumut yakni menyiasati sistim merit point sebagaimana diatur dalam Kepres No 80 Tahun 2003.
Menurut laoly, akibat manipulasi dan akal-akalan merit point di Sumut, diperkirakan berpotensi mengakibatkan kerugian puluhan miliar rupiah. Jika dihitung untuk seluruh proyek di Sumatera Utara, baik proyek provinsi, Kabupaten/Kota dan BRR, kerugian negara bisa di atas 100 miliar.
Ditambahkan, akibat akal-akalan merit point ini, panitia dapat mengarahkan pemenang tender. Bahkan panitia sengaja mengatur pemenang dengan membuat skor calon pemenang lebih tinggi dari yang lain walaupun kualitas barang dan harga yang ditetapkan mutunya tidak sebaik calon pemenang dari penawar terendah.
Tender pengadaan barang, kata politisi putra Nias ini, sangat rentan dengan manipulasi. Ia mengakui menemukan satu tender alat-alat kesehatan di suatu kabupaten yang selisih tawaran penawar tertinggi (yang dimenangkan) dengan cadangan pemenang pertama hampir Rp. 800 juta, dan selisih dengan cadangan pemenang ketiga hampir Rp. 400 juta. ”Inikan gila! Yang dimenangkan justru yang paling tinggi, yaitu dengan mengakali skor,” katanya, mengutip Sindo.
Celakanya, menurut Laoly, nilai skor untuk kualitas barang dan harga dibuat tidak berarti. Manipulasi skor-nya ada pada surat-surat administratif, yang didesain sedemikian rupa oleh panitia dan sistim skoring ini juga tidak transparan.
Apa yang diungkapkan Laoly sebenarnya menjadi permainan sehari-hari di jajaran pemerintahan di Sumut, baik provinsi dan pemkab atau pemko. Kontraktor dan panitia tender pun sudah tahu sama tahu. Masyarakat pun sepertinya sudah terbiasa dengan permainan seperti ini. (dari berbagai sumber)