Seorang penyair tersohor, Taufik Ismail pernah mengatakan; “Setiap perjuangan selalu melahirkan sejumlah pengkhianat dan para penjilat.” Keduanya merasa hanya dirinya yang paling dipercaya. Di dalam pertemuan resmi biasanya berdiam diri. Tetapi di luar forum, seolah-olah dialah yang paling dapat dipercaya.
Tanpa referensi dari penjilat, jangan harap mendapatkan fasilitas yang menguntungkan. Apabila keberadaan para penjilat tidak dapat dimanajemeni dengan baik, suatu daerah akan dipenuhi oleh oknum penghancur. Demokrasi akhirnya menjadi demokrasi beku yang semakin rapuh.
Jika beberapa waktu lalu, ia begitu pandai menyenangkan, kini tampil sebagai pribadi yang menyebalkan. Kini pribadi yang menyebalkan itu menjadi keresahan banyak orang di Pematangsiantar, terutama di lingkungan Pemko Pematangsiantar.
Simaklah kisah seorang pejabat di Pemko Pematangsiantar berikut ini:
Sore itu, akhir November 2010 lalu, Siantar diguyur hujan deras. Ruangan ber-ac yang dingin di sebuah café di Jalan Sutomo bertambah dingin dengan guyuran hujan di luar. Masih dengan memakai baju dinas, seorang pejabat Pemko Siantar, sebut saja namanya Alimin, masuk ke kafe itu dengan tergopoh-gopoh. Dia lalu mengambil tempat duduk bersama kami sembari melap wajahnya yang berkeringat. Raut wajahnya terlihat sangat panas meski suhu ruangan ketika itu dingin. Pantas jika keringat terus bercucuran di wajahnya.
“Saya benar-benar kesal. Apa wewenang dia sehingga segala sesuatu harus melalui tangannya. Ini birokrasi apa sehingga semuanya harus melalui dia?” ucapnya dengan nada tinggi memulai pembicaraan. Awalnya kami, termasuk Tabloid Siantar Man, tak mengerti arah pembicaraannya. Namun setelah dia melanjutkan omongannya dan menjelaskan semuanya, kami baru mengerti.
Dia yang dimaksudkan oleh pejabat Pemko ini adalah Eliakim Simanjuntak, orang dekat Walikota Pematangsiantar Hulman Sitorus. Pejabat Pemko ini ternyata baru saja datang ke rumah dinas walikota di Jalan MH Sitorus dan tak diperkenankan menemui sang walikota oleh Eliakim dan cukup segala sesuatunya disampaikan ke Eliakim.
Kekesalan Alimin ini sebenarnya bukan cerita baru lagi di lingkungan Pemko Pematangsiantar. Beberapa pejabat dan pegawai Pemko Pematangsiantar yang ditemui Tabloid Siantar Man mengakui hal yang sama. Menurut mereka, sejak Hulman menjabat Walikota Pematangsiantar, segala urusan harus melalui Eliakim. “Dan ini sudah sangat meresahkan karena sebenarnya Eliakim tak punya wewenang untuk melakukan ini,” ujar seorang pegawai Pemko Siantar yang tak mau disebut namanya. Dan kini, dengan posisinya itu Eliakim menjadi pusat pembicaraan di mana-mana di kota ini.
Seorang ketua partai politik di Siantar menguatkan tudingan miring terhadap Eliakim. “Dengan sombongnya dia mengatakan tidak ada seorangpun yang sampai ke Hulman kalau bukan melalui saya,” kata ketua parpol ini yang juga tak mau disebut namanya.
Tudingan miring yang dialamatkan kepada Eliakim pun terus merebak dari beragam kalangan. Sepak terjang Eliakim pun terus dipantau oleh berbagai kalangan. Disebutkan, penentuan jabatan di lingkungan Pemko Pematangsiantar pun harus melalui Eliakim. “Wewenangnya melebihi Baperjakat (badan pertimbangan jabatan dan kepangkatan),” ucap seorang sumber.
Pelantikan 81 pejabat Pemko Pematangsiantar, Jumat (14/1) lalu, juga dituding sebagian besar merupakan penentuan yang dilakukan oleh Eliakim. Disebutkan sebagian besar pejabat yang dilantik tersebut membayar sejumlah uang kepada Eliakim. “Makanya dari 81 orang yang dilantik ini terlihat hampir semuanya merupakan orangnya Hulman. Hampir tidak ada orang Koni (wakil walikota) karena sebagian besar melalui Eliakim,” ucap seorang narasumber yang tak bersedia disebut namanya.
Atau lihatlah bagaimana wewenang seorang Eliakim begitu besar sehingga mampu memberikan rekomendasi memasukkan pegawai di kecamatan, seperti katabelecce pada jaman Orde Baru dulu. Surat tersebut ditujukan kepada Camat Siantar Barat dengan isi diberitahukan kepada saudara Camat Siantar Barat agar menempatkan nama XXXXX, alamat Jalan XXXXX sebagai penjaga kamar mandi di Pasar Horas. Surat ini tertanggal 18/11/2010 tertera ditandatangani atas nama Eliakim dengan Acc walikota.
Ketika perihal terbitnya surat tersebut dikonfirmasi melalui sambungan telepon kepada Eliakim, ia tidak membantah. Menurutnya dengan surat itu ia hanya berusaha menolong orang lain yang meminta pertolongan kepadanya untuk dijadikan sebagai penjaga kamar mandi.
“Saya hanya mencari peluang membantu orang lain yang meminta tolong sama saya. Tidak ada apa-apanya itu. Kecuali kalau kita melakukan kesalahan yang fatal. Lagian, kan tidak terealisasi- nya surat saya itu di lapangan. Mungkin yang mengungkit itu iri sama saya,” jawabnya.
Tak hanya penentuan jabatan, penentuan pemenang proyek pun kabarnya harus melalui pria berkaca mata ini. Beberapa waktu lalu dia dituding terlibat pembagian jatah proyek di Dinas Pendidikan (Disdik) berbiaya Rp 15,4 miliar. Informasinya proyek bidang pendidikan Rp 15,4 miliar ini terdiri dari DAK (Dana Alokasi Khusus) yang dianggarkan di APBD Kota Pematangsiantar tahun 2010 sebesar Rp 14 miliar. Selanjutnya, dana pendampingnya ditampung di P APBD tahun 2010 mencapai Rp 1,4 miliar.
Proyek ini direncanakan untuk pembangunan 21 unit gedung laboratorium SD dan pembangunan 24 ruang kelas SMP. Namun, hingga tahun anggaran 2010 akan berakhir, Disdik belum juga melakukan proses tender. Sehingga ada dugaan jika proyek itu ‘dipaksakan’ untuk dikerjakan
sebelum akhir tahun, dan ini memunculkan adanya tudingan jika Eliakim telah membagikan paket pengerjaan pada sejumlah rekanan (pemborong). Selain itu, kemungkinan pengerjaan tidak akan tercapai sampai karena disebut-sebut Panitia Pembuat Komitmen (PPK) mengundurkan diri. Adanya rencana pembagian paket proyek ini menyebabkan keberatan dari para pejabat di Disdik Pematangsiantar. Pasalnya, proyek itu sempat sudah dibagikan pada sejumlah rekanan saat Wali Kota Pematangsiantar dijabat RE Siahaan.
Menanggapi sepak terjang Eliakim ini, beberapa kalangan meminta agar Hulman sebagai walikota segera menegur Eliakim agar kepercayaan masyarakat kepada Hulman tidak hilang. “Hulman harus segera merespon keresahan masyarakat dan para pegawai Pemko Siantar terhadap sepak terjang Eliakim ini yang sudah sangat kebablasan. Saya yakin Hulman sudah tahu mengenai ini,” ucap Partogi Siahaan, seorang tokoh masyarakat.
Hal senada disampaikan Kristian Silitonga, Ketua Lembaga Studi Otonomi Politik Siantar (SoPo). Dia mengatakan sebagai masyarakat yang peduli dengan terselenggaranya pemerintahan yang baik dan bersih, masyarakat Siantar tidak lantas berdiam dan mengamini kondisi tersebut. "Secara politik, tugas Eliakim sudah selesai dalam hal merebut kekuasaan. Saat ini Hulman sudah menjadi Walikota yang harus memiliki kebijakan," katanya.
Kristian melanjutkan sebagai Walikota yang memimpin Kota Pematangsiantar, Hulman Sitorus bukan lagi milik kelompok tertentu, melainkan milik seluruh elemen masyarakat Siantar. Untuk itu, katanya, untuk berjalannya pemerintahan yang baik, walikota selayaknya melakukan konsolidasi birokrasi, bukan seperti kuat dugaan selalu mendengarkan pembisik-pembisik yang nota bene bukan dari kalangan birokrasi. "Untuk menjalankan birokrasi, kan sudah ada tatanan yang mengaturnya. Ngapain harus dicampuri orang-orang dari luar?" sebut Kristian.
Menanggapi tudingan miring kepadanya, Eliakim santai menjawabnya. Dia membantah semua tuduhan kepadanya. “Buktikan kalau saya yang mengatur jabatan dan buktikan juga kalau saya mengatur proyek. Saya siap dihadapkan kepada siapa saja yang menuduh saya,” ucapnya.
Walikota Pematangsiantar Hulman Sitorus yang coba dikonfirmasi mengenai sepak terjang Eliakim ini tak berhasil ditemui. Uniknya, untuk menemui Hulman untuk melakukan konfirmasi harus melalui Eliakim. Wajar saja jika konfimasi tak berhasil dilakukan. (tim)
21 Januari, 2011
Eliakim dan Parasit Kekuasaan
Demokrasi ideal yang dicita-citakan Max Weber, sosiolog kondang, tampaknya "masih jauh panggang dari api". Fakta di lapangan belum menunjukkan hadirnya tipe birokrasi Weberian yang bercirikan mampu bekerja secara efisien, efektif, rasional, profesional dan berorientasi publik.
Tak ubahnya dalam tingkatan lokal seperti di Kota Pematangsiantar, demokrasi yang diharapkan oleh rakyat terabaikan dengan pemusatan kekuasaan di tangan walikota tanpa mampu dilawan oleh birokrasi di bawahnya maupun oleh rakyat sendiri. Seperti sabda pandita ratu yang mengikut apa kata walikota.
Pola pemusatan kekuasaan ini di Pematangsiantar tampak jelas dalam periode lima tahun lalu dimana birokrasi praktis tak bergerak maju. Periode lima tahun ke depan dengan kekuasaan dipegang oleh Walikota Hulman Sitorus, pola serupa dikhawatirkan akan kembali terjadi. Bahkan sebagian mengatakan akan lebih buruk lagi mengingat kehadiran orang dekat walikota yang merusak tatanan pemerintahan.
Adalah nama Eliakim Simanjuntak yang menjadi perbincangan hangat di masyarakat yang dikhawatirkan menjadi parasit kekuasaan. Siapa yang tak kenal Eliakim, orang paling dekat dengan Hulman Sitorus?
Kabarnya, semua laporan pejabat di Pematangsiantar harus melalui Eliakim sebelum sampai ke Hulman. Lebih jauh, penentuan pejabat di lingkungan Pemko Pematangsiantar juga ditentukan Eliakim. Sejujurnya, ini tak lagi hanya sekadar kabar atau isu namun juga fakta yang terjadi. Beberapa pejabat Pemko Siantar yang dihubungi Tabloid Siantar Man mengakui hal tersebut. Menurut mereka, segala sesuatu harus melalui Eliakim.
Tak jelas, kenapa Hulman sangat percaya kepada Eliakim dan membiarkan praktek seperti itu terjadi dalam birokrasi di Pematangsiantar. Padahal, Eliakim bukan seorang pegawai negeri sipil atau pejabat yang berwenang melakukan hal ini dalam tatanan birokrasi.
Meski Eliakim selalu membantah, dan memang parasit kekuasaan selalu bersikap idealis dan bermuka seribu, sejatinya praktek seperti ini sangat negatif. Parasit kekuasaan seperti Eliakim ini memperlemah kualitas birokrasi karena absennya sumber daya manusia (SDM) yang kapabel dan pola rekrutmen yang asal-asalan dan koruptif. Konsekuensinya, rentan melahirkan penyakit birokrasi yang gagap dan lamban dalam melayani kepentingan masyarakat seperti layaknya seorang ibu tua yang mengidap obesitas yang kesulitan untuk bergerak lincah.
Anehnya, kekuasaan dalam sistem demokrasi yang direpresentasikan oleh trias politika; lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif, sangat sulit bisa berjalan di Siantar. DPRD Pematangsiantar sebagai lembaga legislatif tak jelas kinerjanya sehingga sulit diharapkan mengontrol jalannya pemerintahan. Pada akhirnya, orang-orang seperti Eliakim bisa lenggang kangkung menjalankan misinya dan bahkan seringkali justru mendikte legislatif. .
Di kelembagaan hukum pun, seperti kepolisian dan kejaksaan, tidak jauh beda. Warisan Orde Baru dengan Muspida plusnya membuat polisi dan jaksa tak berani menyentuh walikota.
Membersihkan parasit
Menggunakan cara pandang sosiologi humanis (Scimecca, 2007), mengutip Novri Susan, dosen sosiologi Universitas Airlangga, Surabaya, kerja ideal dan optimal lembaga-lembaga kekuasaan dipengaruhi oleh interaksi konstruktif para elite di dalamnya dengan konstitusi negara sebagai sistem. Artinya, para elite kekuasaan (seharusnya) rajin mereproduksi tindakan yang secara sadar didedikasikan untuk mengoptimalkan nilai dan tujuan dalam konstitusi negara. Namun, dalam dunia sosial, interaksi konstruktif individu dan sistem tidak selalu bisa diciptakan. Selalu ada saja yang mencari keuntungan sendiri dalam setiap aksi yang mereka bangun.
Individu yang mencari keuntungan semata dari sistem yang ada adalah parasit yang tidak memberi kebaikan. Ia hanya mengisap dan mencuri sehingga yang terjadi adalah interaksi destruktif terhadap sistem dan kepentingan umum. Begitu juga interaksi elite kekuasaan dengan konstitusi yang tidak bersih dari parasit.
Parasit kekuasaan tidak pernah bersedia membangun interaksi konstruktif dengan konstitusi pemerintahan. Perilaku dan kebijakan mereka sama sekali tidak mencerminkan filosofi dasar tentang cita-cita kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Parasit kekuasaan beraksi mencuri uang rakyat, menciptakan kebijakan-kebijakan yang tidak membela rakyat miskin, dan bermalas-malasan kerja sambil hidup mewah dengan biaya pajak rakyat. Pantaslah jika kekuasaan demokrasi Indonesia hingga kini tidak pernah bisa bekerja ideal.
Seperti disampaikan seorang aktivis LSM di Siantar, parasit kekuasaan harus dibasmi. Harus ada gerak bersama semua elemen masyarakat agar Hulman Sitorus sebagai walikota membuang parasit yang menghambat cita-citanya membangun Siantar, jika memang dia punya cita-cita.
Demikian pula politisi di DPRD dan aparat hukum yang jujur dan konsisten pada konstitusi tidak boleh gentar berkonflik dengan parasit kekuasaan. Selesaikan jual beli jabatan dan jual beli proyek yang merugikan cita- cita konstitusi dan legislasi perundangan pro-perlindungan rakyat miskin, dari buruh, tani, hingga perempuan. (FT)
Tak ubahnya dalam tingkatan lokal seperti di Kota Pematangsiantar, demokrasi yang diharapkan oleh rakyat terabaikan dengan pemusatan kekuasaan di tangan walikota tanpa mampu dilawan oleh birokrasi di bawahnya maupun oleh rakyat sendiri. Seperti sabda pandita ratu yang mengikut apa kata walikota.
Pola pemusatan kekuasaan ini di Pematangsiantar tampak jelas dalam periode lima tahun lalu dimana birokrasi praktis tak bergerak maju. Periode lima tahun ke depan dengan kekuasaan dipegang oleh Walikota Hulman Sitorus, pola serupa dikhawatirkan akan kembali terjadi. Bahkan sebagian mengatakan akan lebih buruk lagi mengingat kehadiran orang dekat walikota yang merusak tatanan pemerintahan.
Adalah nama Eliakim Simanjuntak yang menjadi perbincangan hangat di masyarakat yang dikhawatirkan menjadi parasit kekuasaan. Siapa yang tak kenal Eliakim, orang paling dekat dengan Hulman Sitorus?
Kabarnya, semua laporan pejabat di Pematangsiantar harus melalui Eliakim sebelum sampai ke Hulman. Lebih jauh, penentuan pejabat di lingkungan Pemko Pematangsiantar juga ditentukan Eliakim. Sejujurnya, ini tak lagi hanya sekadar kabar atau isu namun juga fakta yang terjadi. Beberapa pejabat Pemko Siantar yang dihubungi Tabloid Siantar Man mengakui hal tersebut. Menurut mereka, segala sesuatu harus melalui Eliakim.
Tak jelas, kenapa Hulman sangat percaya kepada Eliakim dan membiarkan praktek seperti itu terjadi dalam birokrasi di Pematangsiantar. Padahal, Eliakim bukan seorang pegawai negeri sipil atau pejabat yang berwenang melakukan hal ini dalam tatanan birokrasi.
Meski Eliakim selalu membantah, dan memang parasit kekuasaan selalu bersikap idealis dan bermuka seribu, sejatinya praktek seperti ini sangat negatif. Parasit kekuasaan seperti Eliakim ini memperlemah kualitas birokrasi karena absennya sumber daya manusia (SDM) yang kapabel dan pola rekrutmen yang asal-asalan dan koruptif. Konsekuensinya, rentan melahirkan penyakit birokrasi yang gagap dan lamban dalam melayani kepentingan masyarakat seperti layaknya seorang ibu tua yang mengidap obesitas yang kesulitan untuk bergerak lincah.
Anehnya, kekuasaan dalam sistem demokrasi yang direpresentasikan oleh trias politika; lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif, sangat sulit bisa berjalan di Siantar. DPRD Pematangsiantar sebagai lembaga legislatif tak jelas kinerjanya sehingga sulit diharapkan mengontrol jalannya pemerintahan. Pada akhirnya, orang-orang seperti Eliakim bisa lenggang kangkung menjalankan misinya dan bahkan seringkali justru mendikte legislatif. .
Di kelembagaan hukum pun, seperti kepolisian dan kejaksaan, tidak jauh beda. Warisan Orde Baru dengan Muspida plusnya membuat polisi dan jaksa tak berani menyentuh walikota.
Membersihkan parasit
Menggunakan cara pandang sosiologi humanis (Scimecca, 2007), mengutip Novri Susan, dosen sosiologi Universitas Airlangga, Surabaya, kerja ideal dan optimal lembaga-lembaga kekuasaan dipengaruhi oleh interaksi konstruktif para elite di dalamnya dengan konstitusi negara sebagai sistem. Artinya, para elite kekuasaan (seharusnya) rajin mereproduksi tindakan yang secara sadar didedikasikan untuk mengoptimalkan nilai dan tujuan dalam konstitusi negara. Namun, dalam dunia sosial, interaksi konstruktif individu dan sistem tidak selalu bisa diciptakan. Selalu ada saja yang mencari keuntungan sendiri dalam setiap aksi yang mereka bangun.
Individu yang mencari keuntungan semata dari sistem yang ada adalah parasit yang tidak memberi kebaikan. Ia hanya mengisap dan mencuri sehingga yang terjadi adalah interaksi destruktif terhadap sistem dan kepentingan umum. Begitu juga interaksi elite kekuasaan dengan konstitusi yang tidak bersih dari parasit.
Parasit kekuasaan tidak pernah bersedia membangun interaksi konstruktif dengan konstitusi pemerintahan. Perilaku dan kebijakan mereka sama sekali tidak mencerminkan filosofi dasar tentang cita-cita kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Parasit kekuasaan beraksi mencuri uang rakyat, menciptakan kebijakan-kebijakan yang tidak membela rakyat miskin, dan bermalas-malasan kerja sambil hidup mewah dengan biaya pajak rakyat. Pantaslah jika kekuasaan demokrasi Indonesia hingga kini tidak pernah bisa bekerja ideal.
Seperti disampaikan seorang aktivis LSM di Siantar, parasit kekuasaan harus dibasmi. Harus ada gerak bersama semua elemen masyarakat agar Hulman Sitorus sebagai walikota membuang parasit yang menghambat cita-citanya membangun Siantar, jika memang dia punya cita-cita.
Demikian pula politisi di DPRD dan aparat hukum yang jujur dan konsisten pada konstitusi tidak boleh gentar berkonflik dengan parasit kekuasaan. Selesaikan jual beli jabatan dan jual beli proyek yang merugikan cita- cita konstitusi dan legislasi perundangan pro-perlindungan rakyat miskin, dari buruh, tani, hingga perempuan. (FT)
Langganan:
Postingan (Atom)