21 Januari, 2011

Eliakim dan Parasit Kekuasaan

Demokrasi ideal yang dicita-citakan Max Weber, sosiolog kondang, tampaknya "masih jauh panggang dari api". Fakta di lapangan belum menunjukkan hadirnya tipe birokrasi Weberian yang bercirikan mampu bekerja secara efisien, efektif, rasional, profesional dan berorientasi publik.
Tak ubahnya dalam tingkatan lokal seperti di Kota Pematangsiantar, demokrasi yang diharapkan oleh rakyat terabaikan dengan pemusatan kekuasaan di tangan walikota tanpa mampu dilawan oleh birokrasi di bawahnya maupun oleh rakyat sendiri. Seperti sabda pandita ratu yang mengikut apa kata walikota.
Pola pemusatan kekuasaan ini di Pematangsiantar tampak jelas dalam periode lima tahun lalu dimana birokrasi praktis tak bergerak maju. Periode lima tahun ke depan dengan kekuasaan dipegang oleh Walikota Hulman Sitorus, pola serupa dikhawatirkan akan kembali terjadi. Bahkan sebagian mengatakan akan lebih buruk lagi mengingat kehadiran orang dekat walikota yang merusak tatanan pemerintahan.
Adalah nama Eliakim Simanjuntak yang menjadi perbincangan hangat di masyarakat yang dikhawatirkan menjadi parasit kekuasaan. Siapa yang tak kenal Eliakim, orang paling dekat dengan Hulman Sitorus?
Kabarnya, semua laporan pejabat di Pematangsiantar harus melalui Eliakim sebelum sampai ke Hulman. Lebih jauh, penentuan pejabat di lingkungan Pemko Pematangsiantar juga ditentukan Eliakim. Sejujurnya, ini tak lagi hanya sekadar kabar atau isu namun juga fakta yang terjadi. Beberapa pejabat Pemko Siantar yang dihubungi Tabloid Siantar Man mengakui hal tersebut. Menurut mereka, segala sesuatu harus melalui Eliakim.
Tak jelas, kenapa Hulman sangat percaya kepada Eliakim dan membiarkan praktek seperti itu terjadi dalam birokrasi di Pematangsiantar. Padahal, Eliakim bukan seorang pegawai negeri sipil atau pejabat yang berwenang melakukan hal ini dalam tatanan birokrasi.
Meski Eliakim selalu membantah, dan memang parasit kekuasaan selalu bersikap idealis dan bermuka seribu, sejatinya praktek seperti ini sangat negatif. Parasit kekuasaan seperti Eliakim ini memperlemah kualitas birokrasi karena absennya sumber daya manusia (SDM) yang kapabel dan pola rekrutmen yang asal-asalan dan koruptif. Konsekuensinya, rentan melahirkan penyakit birokrasi yang gagap dan lamban dalam melayani kepentingan masyarakat seperti layaknya seorang ibu tua yang mengidap obesitas yang kesulitan untuk bergerak lincah.
Anehnya, kekuasaan dalam sistem demokrasi yang direpresentasikan oleh trias politika; lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif, sangat sulit bisa berjalan di Siantar. DPRD Pematangsiantar sebagai lembaga legislatif tak jelas kinerjanya sehingga sulit diharapkan mengontrol jalannya pemerintahan. Pada akhirnya, orang-orang seperti Eliakim bisa lenggang kangkung menjalankan misinya dan bahkan seringkali justru mendikte legislatif. .



Di kelembagaan hukum pun, seperti kepolisian dan kejaksaan, tidak jauh beda. Warisan Orde Baru dengan Muspida plusnya membuat polisi dan jaksa tak berani menyentuh walikota.
Membersihkan parasit
Menggunakan cara pandang sosiologi humanis (Scimecca, 2007), mengutip Novri Susan, dosen sosiologi Universitas Airlangga, Surabaya, kerja ideal dan optimal lembaga-lembaga kekuasaan dipengaruhi oleh interaksi konstruktif para elite di dalamnya dengan konstitusi negara sebagai sistem. Artinya, para elite kekuasaan (seharusnya) rajin mereproduksi tindakan yang secara sadar didedikasikan untuk mengoptimalkan nilai dan tujuan dalam konstitusi negara. Namun, dalam dunia sosial, interaksi konstruktif individu dan sistem tidak selalu bisa diciptakan. Selalu ada saja yang mencari keuntungan sendiri dalam setiap aksi yang mereka bangun.
Individu yang mencari keuntungan semata dari sistem yang ada adalah parasit yang tidak memberi kebaikan. Ia hanya mengisap dan mencuri sehingga yang terjadi adalah interaksi destruktif terhadap sistem dan kepentingan umum. Begitu juga interaksi elite kekuasaan dengan konstitusi yang tidak bersih dari parasit.
Parasit kekuasaan tidak pernah bersedia membangun interaksi konstruktif dengan konstitusi pemerintahan. Perilaku dan kebijakan mereka sama sekali tidak mencerminkan filosofi dasar tentang cita-cita kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Parasit kekuasaan beraksi mencuri uang rakyat, menciptakan kebijakan-kebijakan yang tidak membela rakyat miskin, dan bermalas-malasan kerja sambil hidup mewah dengan biaya pajak rakyat. Pantaslah jika kekuasaan demokrasi Indonesia hingga kini tidak pernah bisa bekerja ideal.
Seperti disampaikan seorang aktivis LSM di Siantar, parasit kekuasaan harus dibasmi. Harus ada gerak bersama semua elemen masyarakat agar Hulman Sitorus sebagai walikota membuang parasit yang menghambat cita-citanya membangun Siantar, jika memang dia punya cita-cita.
Demikian pula politisi di DPRD dan aparat hukum yang jujur dan konsisten pada konstitusi tidak boleh gentar berkonflik dengan parasit kekuasaan. Selesaikan jual beli jabatan dan jual beli proyek yang merugikan cita- cita konstitusi dan legislasi perundangan pro-perlindungan rakyat miskin, dari buruh, tani, hingga perempuan. (FT)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar