Oh... Dear! Dear! Dear! Ucapan itu spontan dilontarkan komentator televisi begitu tendangan penalti kapten
Chelsea, John Terry, melebar di kiri gawang Manchester United.
Chelsea hanya butuh satu gol penalti itu untuk menjadi juara Eropa. Trofi itu lepas dari
Chelsea dan direbut
Manchester United.
Begitu tipis jarak peluang antara pemenang dan pecundang pada final Liga Champions, Manchester United versus Chelsea, di Stadion Luzhniki, Moskwa, Rabu (21/5) atau Kamis dini hari Wib. Hanya dalam hitungan detik, setelah Terry gagal menendang penalti, peluang itu berpindah ke Manchester United (MU).
Menurut skema normal, Terry adalah penendang terakhir Chelsea. Gelandang Chelsea, Frank Lampard, menuturkan bahwa inisiatif menjadi penendang terakhir datang dari Terry sendiri. ”Saya yang akan menendang penalti terakhir,” ujar Lampard, menirukan ucapan Terry.
Bukan rahasia, dalam tos-tosan adu penalti, penendang terakhir sering menjadi penentu kemenangan. Saat itu, skor adu penalti 4-4 dan, jika gol, Terry akan menutup ”babak lotre” itu dengan kemenangan Chelsea di Liga Champions untuk pertama kali.
”Saya pikir, waktu itu tendangan JT (inisial Terry) bakal gol. Biasanya dia penendang penalti yang hebat,” tutur Rio Ferdinand, bek MU yang juga rekan Terry sesama bek tengah di tim nasional. Kubu MU, termasuk Pelatih Sir Alex Ferguson, merasa timnya akan kalah.
Ronaldo sudah siap-siap menjalani ”hari terburuk dalam hidupnya”. Ia berjasa mencetak gol MU pada menit ke-26, tetapi ia juga satu-satunya pemain MU yang gagal mengeksekusi tendangan penalti setelah tendangannya diblok kiper Petr Cech.
Bukan dosa Terry
Namun, tendangan Terry ternyata melenceng ke sebelah kiri gawang Van der Sar. Sang kapten terpeleset saat menendang bola. Rumput lapangan Stadion Luzhniki memang basah diguyur hujan, tapi dari 14 penendang penalti, hanya Terry yang terpeleset.
MU menundukkan Chelsea lewat adu penalti 6-5 setelah kedua tim imbang 1-1 hingga babak perpanjangan waktu. Gol balasan Chelsea dicetak Lampard menit ke-45. Selain Terry, Nicolas Anelka yang tampil sebagai penendang penalti ke tujuh Chelsea juga gagal.
Kegagalan Terry mengeksekusi penalti jelas disesalkan para pendukung Chelsea, termasuk bos besar Roman Abramovich yang berkali-kali menunduk saat adu penalti berlangsung. Namun, kubu Chelsea langsung pasang badan atas kegagalan Terry.
”Tak seorang pun boleh mengkritik dia, apalagi dari kalangan Chelsea,” kata Lampard. ”Dia sangat sedih dan menangis, tetapi dialah alasan kami bisa tampil di sini. Ini bukan musim yang normal. Hari ini dia memikul tanggung jawab sebagai penendang terakhir,” bela Avram Grant, Pelatih Chelsea.
Pesan mereka jelas: Terry tidak berdosa atas kegagalan Chelsea. Hasil final menyesakkan mereka itu tak ubahnya permainan nasib yang sering kali mengitari sepak bola. Faktor sial-untung berperan besar dalam kegagalan Chelsea dan keberhasilan MU.
”Jika Terry tidak terpeleset, selesai sudah pertandingan. Satu keberuntungan kami, dia terpeleset,” ujar Van der Sar (37), yang ditahbiskan sebagai pemain terbaik pada laga final tersebut.
Grant sempat ditanya wartawan mengenai kemungkinan Didier Drogba menjadi penendang terakhir andai striker Chelsea itu tidak dikartu merah pada menit ke-127 karena menjawil dagu bek MU, Nemanja Vidic. ”Dia (Drogba) tidak ada di lapangan,” ujar pelatih asal Israel itu enggan atas pertanyaan spekulatif tersebut.
Kuasa takdir
Dalam jumpa pers seusai laga, Ferguson tak banyak berbicara soal taktik permainan. Ia bahkan menyebut istilah ”takdir (fate)”, sebuah gagasan yang kurang penting di kalangan masyarakat Inggris. ”Saya pikir, takdir memainkan kuasanya, seperti yang terjadi sepanjang musim ini. Takdir memainkan kuasanya saat Terry terpeleset,” ujar pelatih asal Skotlandia yang pernah tiga kali kalah adu penalti di klub Aberdeen dan tiga kali bersama MU itu.
Ini mirip ketika Pelatih Frank Rijkaard, yang menangani timnas Belanda di Piala Eropa 2000, pernah menyebut istilah ”malaikat kecil” dalam tendangan penalti. Gawang Van der Sar, kata Rijkaard, dilindungi ”malaikat kecil” saat tendangan penalti dua pemain Ceko, Pavel Nedved dan Jan Koller, menerpa mistar pada laga Piala Eropa 2000 yang akhirnya dimenangi Belanda 1-0.
Kemenangan MU atas Chelsea di Moskwa itu dalam beberapa hal mengingatkan betapa pasukan ”Setan Merah” akrab dengan mukjizat jika tampil di final Liga Champions. Mereka juara setelah selamat dari situasi terjepit.
Kemenangan itu mengingatkan sukses mereka menjuarai Liga Champions 1999 di Barcelona. Setelah tertinggal 0-1 dari Bayern Muenchen dalam 2 x 45 menit laga final, Teddy Sheringham dan Ole Solskjær berturut-turut mencetak gol pada menit ke-91 dan ke-93 untuk memenangkan MU.
MU 1999 dan MU 2008 sama-sama seperti ketiban mukjizat. Bedanya, jika tahun 1999 mereka meraih gelar treble (Liga Champions, Liga Inggris, dan Piala FA), kali ini MU ”hanya” memanen gelar double (Liga Champions, Liga Inggris). MU musim ini juara Liga Inggris, juga setelah mengalahkan Chelsea.
Gelar Liga Champions ini adalah gelar Eropa ketiga MU setelah tahun 1968 dan 1999. Dengan gelar itu pula, klub-klub Inggris menyamai rekor klub-klub Italia dan Spanyol dengan sama-sama menjadi juara Eropa 11 kali.
Penuh drama
Di luar adu penalti, laga MU versus Chelsea juga berlangsung penuh drama. Ferguson mengejutkan banyak pihak dengan meninggalkan formasi striker tunggal dan menduetkan Carlos Tevez-Wayne Rooney di depan. Ia juga menempatkan Ronaldo ke kiri untuk menghindari agar pemain Portugal itu tidak bentrok dengan bek kiri Ashley Cole.
Ronaldo, yang sering kalah berduel dengan Cole, ditempatkan di kiri untuk bertarung dengan bek kanan Chelsea, Michael Essien. Taktik itu berbuah saat Ronaldo mencetak gol lewat sundulan seusai memperdayai Essien.
Ferguson memenuhi janji untuk menurunkan gelandang Paul Scholes, sebagai hadiah atas gol pemain berusia 33 tahun itu di semifinal dan ganti atas absennya Scholes saat MU juara 1999. Drama datang silih berganti mewarnai sepanjang laga.
Setelah gol Ronaldo, MU mendapat sedikitnya dua peluang gol beruntun (Tevez dan Michael Carrick), tetapi gagal berkat kecemerlangan Petr Cech. Sebaliknya, Chelsea pun mendapat setidaknya dua peluang emas saat tendangan Drogba dan Lampard membentur gawang.
Drama berpuncak pada menit ke-127 ketika satu keributan memancing Drogba menjawil dagu Vidic. Striker Pantai Gading itu pun diusir. Namun, drama di atas semua drama laga itu adalah gagalnya penalti Terry. Air mata Terry berbicara jelas soal kejadian paling dramatis tersebut.(kcm)