Begitu tipis jarak peluang antara pemenang dan pecundang pada final Liga Champions, Manchester United versus Chelsea, di Stadion Luzhniki, Moskwa, Rabu (21/5) atau Kamis dini hari Wib. Hanya dalam hitungan detik, setelah Terry gagal menendang penalti, peluang itu berpindah ke Manchester United (MU).
Menurut skema normal, Terry adalah penendang terakhir
Bukan rahasia, dalam tos-tosan adu penalti, penendang terakhir sering menjadi penentu kemenangan. Saat itu, skor adu penalti 4-4 dan, jika gol, Terry akan menutup ”babak lotre” itu dengan kemenangan Chelsea di Liga Champions untuk pertama kali.
”Saya pikir, waktu itu tendangan JT (inisial Terry) bakal gol. Biasanya dia penendang penalti yang hebat,” tutur Rio Ferdinand, bek MU yang juga rekan Terry sesama bek tengah di tim nasional. Kubu MU, termasuk Pelatih Sir Alex Ferguson, merasa timnya akan kalah.
Ronaldo sudah siap-siap menjalani ”hari terburuk dalam hidupnya”. Ia berjasa mencetak gol MU pada menit ke-26, tetapi ia juga satu-satunya pemain MU yang gagal mengeksekusi tendangan penalti setelah tendangannya diblok kiper Petr Cech.
Namun, tendangan Terry ternyata melenceng ke sebelah kiri gawang Van der Sar. Sang kapten terpeleset saat menendang bola. Rumput lapangan Stadion Luzhniki memang basah diguyur hujan, tapi dari 14 penendang penalti, hanya Terry yang terpeleset.
MU menundukkan
Kegagalan Terry mengeksekusi penalti jelas disesalkan para pendukung
”Tak seorang pun boleh mengkritik dia, apalagi dari kalangan
Pesan mereka jelas: Terry tidak berdosa atas kegagalan
”Jika Terry tidak terpeleset, selesai sudah pertandingan. Satu keberuntungan kami, dia terpeleset,” ujar Van der Sar (37), yang ditahbiskan sebagai pemain terbaik pada laga final tersebut.
Grant sempat ditanya wartawan mengenai kemungkinan Didier Drogba menjadi penendang terakhir andai striker
Dalam jumpa pers seusai laga,
Ini mirip ketika Pelatih Frank Rijkaard, yang menangani timnas Belanda di Piala Eropa 2000, pernah menyebut istilah ”malaikat kecil” dalam tendangan penalti. Gawang Van der Sar, kata Rijkaard, dilindungi ”malaikat kecil” saat tendangan penalti dua pemain Ceko, Pavel Nedved dan Jan Koller, menerpa mistar pada laga Piala Eropa 2000 yang akhirnya dimenangi Belanda 1-0.
Kemenangan MU atas Chelsea di Moskwa itu dalam beberapa hal mengingatkan betapa pasukan ”Setan Merah” akrab dengan mukjizat jika tampil di final Liga Champions. Mereka juara setelah selamat dari situasi terjepit.
Kemenangan itu mengingatkan sukses mereka menjuarai Liga Champions 1999 di
MU 1999 dan MU 2008 sama-sama seperti ketiban mukjizat. Bedanya, jika tahun 1999 mereka meraih gelar treble (Liga Champions, Liga Inggris, dan Piala FA), kali ini MU ”hanya” memanen gelar double (Liga Champions, Liga Inggris). MU musim ini juara Liga Inggris, juga setelah mengalahkan
Gelar Liga Champions ini adalah gelar Eropa ketiga MU setelah tahun 1968 dan 1999. Dengan gelar itu pula, klub-klub Inggris menyamai rekor klub-klub Italia dan Spanyol dengan sama-sama menjadi juara Eropa 11 kali.
Di luar adu penalti, laga MU versus
Ronaldo, yang sering kalah berduel dengan Cole, ditempatkan di kiri untuk bertarung dengan bek kanan Chelsea, Michael Essien. Taktik itu berbuah saat Ronaldo mencetak gol lewat sundulan seusai memperdayai Essien.
Ferguson memenuhi janji untuk menurunkan gelandang Paul Scholes, sebagai hadiah atas gol pemain berusia 33 tahun itu di semifinal dan ganti atas absennya Scholes saat MU juara 1999. Drama datang silih berganti mewarnai sepanjang laga.
Setelah gol Ronaldo, MU mendapat sedikitnya dua peluang gol beruntun (Tevez dan Michael Carrick), tetapi gagal berkat kecemerlangan Petr Cech. Sebaliknya,
Drama berpuncak pada menit ke-127 ketika satu keributan memancing Drogba menjawil dagu Vidic. Striker Pantai Gading itu pun diusir. Namun, drama di atas semua drama laga itu adalah gagalnya penalti Terry. Air mata Terry berbicara jelas soal kejadian paling dramatis tersebut.(kcm)