Monang menunjukkan surat dokter LP atas nama dr Hichsadri yang menangani kesehatan LP Kelas II A. Dalam surat tersebut, tertera terdakwa melalui pemeriksaan 13 Mei 2008 pukul 11.30 Wib, didiaknosa sakit hingga dianjurkan berobat. Tidak itu saja, terdakwa juga mendapat jaminan orangtua kandungnya yakni Nurlela Hasibuan (57). Isinya, Nurlela menjamin terdakwa tidak akan melarikan diri, tidak akan mengulangi tindak pidana, tidak akan merusak atau menghilangkan alat bukti, serta dapat menjamin akan menghadirkan terdakwa setiap saat diperlukan untuk pemeriksaan dan persidangan di PN Siantar.
Pantauan Sinar Keadilani selama dua kali persidangan, terdakwa tampak segar dalam mengikuti persidangan. Beberapa kali, terdakwa juga tampak tertawa lebar meski duduk di kursi pesakitan. Menurut pengacara Netty Simbolon, terdakwa perkara KDRT yang bisa ditangguhkan tahanannya adalah terdakwa yang harus benar-benar mengidap penyakit yang pengobatannya rawat inap. Keheranannya, terdakwa yang penahanannya ditangguhkan menjadi tahanan luar karena sakit saat pembantaran “Kenapa saat pemeriksaan di kepolisian, terdakwa tidak sakit,” cetusnya.
Ditambahkannya dengan ditangguhkannya tahanan terdakwa menjadi tahanan kota, hal ini dapat berdampak pada psikologi mental anak dan korban. Menurutnya hal ini jelas telah melanggar hak asasi. “Padahal, klien saya dengan perkara penganiayaan yang sedang sekarat di LP sangat sulit meminta penangguhannya dari jaksa hingga klien saya meninggal, coba pikir logika,” ucapnya kesal.
Dia juga menjelaskan pelaku KDRT wajib ditahan dengan alasan Undang-undang yang dipergunakan terhadap perkara adalah undang-undang khusus KDRT dan bukan UU tindak pidana umum. “Dalam masalah ini, pelaku dapat didakwa melanggar UU 44 tentang KDRT. Sebab yang dianiaya pelaku adalah istrinya (Wijayanti) sendiri dan bukan orang lain,” ujar Netty.
Dia juga mengutarakan perkara yang dialami Wijayanti tidak dapat dijuntokan terhadap undang-undang tindak pidana umum seperti pasal 351 KUH Pidana tentang penganiayaan. Netty beralasan yang melakukan penganiayaan dan korban memiliki hubungan suami-istri dan termasuk perbuatan KDRT dan bukan penganiayaan biasa. "Pelaku seharusnya ditahan bukan dibiarkan berkeliaran di luar sana. Dengan dia berada diluar, korban akan semakin takut karena masih trauma akan perbuatan fisik yang dilakukan pelaku,” jelasnya.
Menurutnya kredibilitas majelis hakim perlu dipertanyakan. Netty menilai perkara KDRT tidk dapat ditangguhkan menjadi tahanan kota. "Kalau begini untuk apa diciptakan UU KDRT? KDRT diciptakan khusus melindungi perempuan dan UU tersebut dikeluarkan untuk mengangkat hak-hak perempuan,” sebut Netty.
`Di tempat terpisah, praktisi hukum Batahi Simanjuntak, SH mengutarakan hal yang sama. Ia mengatakan, polisi, jaksa, majelis hakim, memiliki hak untuk menetapkan status pelaku (terdakwa) menjadi tahanan kota. Namun harus disertai dengan beberapa pertimbangan yang dapat diterima masyarakat khususnya korban.
Dia berpendapat pertimbangan tersebut harus disertai rasa keadilan dan kewajaran kepada pelaku dan korban. “Korban disiksa, ditendang bahkan dijambak dan hal itu telah diketahui banyak orang. Apakah ini wajar kepada korban, saya rasa masyarakat sudah dapat menilai sendiri,” ujarnya.
Batahi menjelaskan dalam Undang-undang No 44 pasal 5 tentang penghapusan KDRT, kekerasan fisik dalam rumah tangga paling lama ancaman hukuman pidana 5 tahun penjara dan denda Rp15 juta, menganiaya mengakibatkan korban jatuh sakit (luka berat) dipidana 10 tahun dan denda Rp30 juta, hal mengakibatkan matinya korban ancaman hukuman pidana 15 tahun penjara dengan denda Rp45 juta.
Dalam UU penghapusan KDRT tedapat empat bagian yakni kekerasan fisik, kekerasan psikis (kejiwaan), kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga.
“Sesuai cerita korban, dapat dikategorikan pada kekerasan fisik bahkan kekerasan psikis. Dimana akibat bentakan akan menimbulkan tekanan pada kejiwaan si korban,” katanya.
Selain itu diterangkannya sesuai pasal 20 ayat 4 menyatakan penahanan hanya dapat dikenakan terhadap terdakwa yang melakukan tindak pidana apabila ancaman hukumannya 5 tahun penjara.Menurutnya bunyi pasal tersebut berarti Rudi Parlaungan Sagala yang bekerja sebagai pegawai honor di Dinas perhubungan Siantar, bagian pengendalian operasional tersebut layak dilakukan penahanan.
Seperti diberitakan kemarin, lebih kurang empat tahun, Wijayanti (27) menjalin rumah tangga dengan Rudi Parlaungan Sagala. Sebanyak itu pula, ia menerima perlakuan tidak beradab dari lelaki itu. Dipukuli, dijambak bahkan dimandikan paksa tengah malam nyaris menghiasi kehidupan Wijayanti. Tragisnya saat mengandung kedua anaknya Wijayanti sering disiksa.
Saat ditemui di kediaman orangtuanya di Manik Hataran, Bah Birong Ulu, Kabupaten Simalungun, Minggu (2/6), ibu dua anak itu menuturkan perlakuan Rudi yang bekerja sebagai honorer di Dinas Perhubungan Siantar tersebut sudah tidak dapat lagi dimaafkan selaku kepala rumah tangga. Ia menilai perbuatan suaminya yang telah memberikan dia satu anak laki-laki dan satu anak perempuan, telah melampai batas. “Ia tidak menghargai saya sebagai istri, masalah kecil bisa dibuatnya besar, setiap hari kami berantam mulut dan tidak segan-segan ia ringan tangan dihadapan anak-anak,” papar Wijayanti sembari menitikkan air mata.
Ia mengatakan sejak membina rumah tangga tahun 2004 perangai suaminya tiba-tiba berubah ringan tangan dan sering mabuk pulang ke rumah. “Sejak saya mengandung anak pertama, saya sering kena bentak, dipukul bahkan tidak segan-segan mau menendang kandungan saya,” tandas wanita berambut panjang tersebut.
Wijayanti menceritakan, awalnya tidak mengetahui apa pemicu suaminya marah-marah setiap kali pulang kerja. Namun sejak mengandung anak kedua suaminya sering mabuk-mabukan dan membawa perempuan ke rumah mereka di Jalan Silimakuta, Kelurahan Timbang Galung Kecamatan Siantar Barat, setiap kali Wijayanti tidak berada di rumah. “Berdasarkan keterangan tetangga, ia sering bawa perempuan ke rumah, namun saya sabar dan mencoba menyelidikinya,” tukasnya.
Dari banyak kekerasan yang dialaminya, puncaknya terjadi Senin (3/3), Wijayanti dihajar suaminya sekitar Jam 22.00 Wib. Hal tersebut mengakibatkan bibirnya pecah dan sekujur tubuhnya membiru bekas pukulan. Selanjutnya ditemani tetangganya Wijayanti melapor ke Polresta Siantar untuk membuat pengaduan. Berselang tiga minggu kemudian Rudi menyerahkan diri ke kantor polisi dan pihak polisi melakukan penahanan dan dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri (Kajari) Siantar. Namun saat dilimpahkan berkasnya ke Pengadilan Negeri (PN) Siantar, majelis hakim seenaknya begitu saja mengeluarkan surat penetapan penangguhan menjadi tahanan kota. “Ia telah melakukan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), apa bisa menjadi tahanan kota, sementara kami belum berdamai,” ujar Wijayanti diamini keluarganya.
“Ditinju, ditendang, dimandikan tengah malam, bahkan saat hamil saya dipukul dengan ikat pinggang, Pak hakim,” ucapnya pilu kepada majelis hakim PN Siantar saat menggelar persidangan, Kamis (29/5) lalu. (dho/jansen)