Oleh: Fetra Tumanggor
Rabu (11/6) siang, awan tebal menggelayut di langit Siantar. Saya baru selesai makan di depan Kantor PWI di Jalan Kartini saat tiba-tiba SMS masuk ke HP saya. “Au di Kok Tung Bawah.” Sebuah pesan singkat namun jelas dari Tigor Munthe, wartawan Radio CAS FM sekaligus Ketua Panwaslih Siantar. Maksudnya, ayo gabung ke Kedai Kopi Kok Tung Bawah.
Bersama Simon Damanik, koordinator liputan Sinar Keadilan, saya segera meluncur ke TKP. Ternyata di situ, selain Tigor, sudah ada Morri Rajagukguk, sesepuh wartawan di Siantar. Baru saja memesan kopi, hujan deras mengguyur.
Bersantai di kedai kopi, pembicaraan pun sesukanya. Saat itu kami diskusi soal dunia preman di Siantar, terutama saat masa jayanya di tahun 1980-an. Namun tak jauh dari meja kami minum, saya mendengar juga pembicaraan dua anak muda tentang kinerja anggota DPRD Siantar saat ini. Meski saat itu kami sedang membahas soal preman Siantar, telinga dan hati saya lebih konsentrasi mendengar pembicaraan dua anak muda di dekat kami tersebut. Mereka membahas tentang buruknya kinerja anggota DPRD saat ini. Menurut mereka, DPRD sekarang tak bernyali, terutama terhadap Walikota RE Siahaan. Bahkan salah seorang dengan tegas menyebut kalau DPRD Siantar impoten!
Saya hanya tersenyum geli mendengar diskusi mereka. Saya sendiri secara pribadi setuju jika dikatakan DPRD saat ini tak punya nyali, lebih mementingkan pribadi dan sama sekali tak berpihak pada rakyat. Beragam kasus yang terjadi di kota ini, dan terutama beberapa kasus yang melibatkan Walikota Siantar RE Siahaan, namun tak sekalipun DPRD punya sikap resmi.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), misalnya, telah jelas menyebut Walikota RE Siahaan dan Wakilnya Imal Raya Harahap, bersalah karena telah melanggar asas persaingan usaha dalam proyek bangsal di RSUD dr. Djasamen Saragih tahun 2006. Dalam proyek tersebut, walikota disebut telah melakukan intervensi untuk memenangkan perusahaan tertentu. Akibatnya, negara dirugikan sebesar Rp381.440.000.
Dalam kasus dugaan korupsi dana sosial 2007 sebesar Rp18 miliar, walikota juga diduga adalah pemain utama. Harian Sinar Keadilan bahkan sudah sering memberitakan tentang dugaan korupsi dana sosial ini. Beredar informasi, dari sejumlah dana tersebut ada dugaan sekitar Rp10 miliar dipergunakan oleh Walikota Siantar, sedangkan Rp6 miliar belum jelas pengeluarannya. Hanya sekitar Rp2 miliar yang jelas dapat dipertanggungjawabkan. Kasus ini sudah ditangani polisi. Mantan Kepala Bagian Sosial Aslan bahkan sudah diperiksa. Bahkan Bayu Tampubolon, mantan ajudan walikota pun sudah pernah diperiksa.
Sinar Keadilan pernah memberitakan, dalam pemeriksaan di kantor polisi, Bayu jelas menyebut bahwa dia pernah mengantar uang dana sosial tersebut, bersama Aslan, langsung ke RE Siahaan. Jumlah uang yang diantar tak tanggung-tanggung, Rp3,2 miliar!
Kasus lainnya yang melibatkan RE Siahaan adalah kasus penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) formasi tahun 2005. 19 nama yang diusulkan Pemko Siantar ke Badan Kepegawaian Negara (BKN) untuk diangkat menjadi PNS, diduga kuat sarat dengan manipulasi. 19 nama ini merupakan anak dan keluarga dari beberapa pejabat Pemko Siantar, termasuk keluarga walikota.
Ke-19 CPNS ini diketahui tidak mengikuti proses penerimaan sesuai ketentuan tetapi mereka tetap diangkat oleh Pemerintah Kota Pematangsiantar.
Dari 19 CPNS, enam di antaranya sama sekali tak mengikuti tes seleksi, sementara 16 CPNS mengikuti seleksi namun hasilnya dinyatakan tidak lulus. Bayangkan, ada orang yang tak lulus ujian dan bahkan ada yang sama sekali tak mengikuti ujian namun dinyatakan lulus dan diusulkan diangkat menjadi PNS.
Dari ketiga kasus ini, sampai saat ini tak ada sikap dari DPRD Siantar. Bahkan dalam kasus 19 CPNS ilegal tersebut, Walikota RE Siahaan sebenarnya sudah terpojok. BKN secara resmi telah melayangkan surat kepada walikota agar 19 PNS tersebut dipecat. Bahkan BKN sendiri sudah mencabut Nomor Induk Pegawai (NIP) 19 PNS bermasalah tersebut. Sebagai institusi negara, BKN tentunya tak sembarangan mengambil keputusan tersebut (mencabut NIP) tanpa melalui analisa yang mendalam.
BKN juga telah resmi mengakui bahwa penerimaan 19 CPNS itu terdapat kesalahan. Itu sebabnya mereka meminta kepada walikota agar 19 orang tersebut dipecat.
Namun apa mau dikata, DPRD Siantar hanya diam seperti patung. Kadangkala, seperti ingin berpihak pada rakyat, beberapa orang anggota DPRD Siantar mengusulkan dibentuk panitia khusus. Namun, sepertinya itu hanya di bibir saja. Sampai saat ini tak ada realisasi dari pansus tersebut. “Kalaupun ada hanya bansus atau bandrek susu,” ujar seorang kawan sembari tertawa.
Yang paling parah, DPRD Siantar menyetujui APBD Siantar 2008 yang di dalamnya terdapat gaji dari 19 CPNS ilegal tersebut. Logika saja, darimana jalannya mereka berhak memperoleh gaji padahal NIP-nya telah dicabut oleh BKN. NIP dicabut artinya mereka bukan PNS lagi dan tak berhak menerima gaji.
Namun apa mau dikata, sebagian besar anggota DPRD tutup mata dan tutup telinga karena tetap meloloskan APBD tersebut. Kalau menurut saya, mereka bebal alias tak punya nurani lagi. Kalau sudah begini, apa yang mau diharapkan dari DPRD?
Saya teringat perkataan teman saya, katanya tetap ada yang bisa diharapkan dari anggota DPRD, yakni uangnya. “Beberapa dari mereka kan raja olah, beberapa lagi suka memajukan proposal, lainnya suka terima amplop, jadi uang mereka banyak,” kata teman saya itu. Saya hanya tersenyum kecut jika mengingat itu. (***)