Oleh: Fetra Tumanggor
Pada sebuah sore yang sejuk, di Kedai Kopi Massa Bawah Jalan Cipto, Pematangsiantar, Batara Manurung, aktivis Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Siantar, bercerita tentang boru hasiannya (putri kesayangannya) di sebuah malam, tak berhenti menangis. “Dari jam 11 malam sampai jam 3 pagi, tak berhenti menangis,” kata Batara.
Karena sudah segala cara dilakukan agar putrinya berhenti menangis tak juga berhasil, akhirnya di pagi yang dingin itu, Batara bersama pardijabu (istri) membawa putrinya ke orang pintar di Lapangan Bola. Aneh, sampai di sana, hanya dielus-elus, putrinya langsung berhenti menangis.
Masih dalam obrolan santai di kedai kopi tersebut, Tigor Munthe, wartawan Radio CAS sekaligus Ketua Panwaslih Siantar, juga bercerita tentang kondisi putrinya yang baru lahir yang beberapa hari ini sama sekali tak bisa tidur pada tengah malam antara pukul 9 malam sampai pukul 5 pagi.
Morri Rajagukguk, wartawan senior di Siantar, menimpali cerita Batara dan Tigor. Menurutnya, bayi atau anak-anak sering ‘diganggu’ oleh roh halus. ‘Pengganggu’ tersebut, kata Morri, seringkali justru dibawa oleh si Bapak dari luar rumah. “Dia mengikut di badan kita waktu kita masuk rumah. Kata orangtua kita dulu, kalau kita pulang ke rumah, apalagi waktu malam, jangan pernah langsung mencium atau memeluk anak kita. Sebaiknya kita cuci muka dulu atau ganti baju,” ujar Morri.
Menarik mencermati pernyataan Morri yang terakhir. Nasehat agar mencuci muka atau ganti baju sehabis pulang dari luar rumah, mungkin diartikan agar roh pengganggu yang lengket di badan atau di baju kita hilang. Namun kalau disimak, nasehat ini merupakan sebuah kearifan lokal yang punya makna jauh lebih dalam.
Tanpa diembel-embeli alasan agar ‘roh pengganggu’ hilang, sejatinya membersihkan wajah atau ganti baju setelah seharian bekerja di luar merupakan tindakan yang seharusnya dilakukan. Tentu tak elok jika badan bau keringat, wajah berdebu dan kotor, lalu kita memeluk anak kita atau bahkan menciumnya. Mungkin kalau si bayi bisa ngomong, dia akan berteriak, “Enyah, Bapak bau!” Namun karena tak bisa ngomong, yang bisa dia lakukan hanyalah menangis.
Kearifan lokal dalam bentuk tradisi atau kebiasaan-kebiasaan di masyarakat kini sudah mulai banyak ditinggalkan. Padahal harus diakui kearifan lokal ini menjadi jalan bagi masyarakar sebuah daerah untuk lebih mempunyai etika dalam bergaul dan bertingkah laku. Kebiasaan membersihkan wajah atau ganti baju setelah pulang ke rumah tentu sebuah kebiasaan yang sangat baik. Embel-embel agar roh pengganggu hilang, bisa jadi hanya sebuah kamuflase di balik tujuannya yang mulia agar kita punya etika dengan biasa membersihkan diri setelah seharian berada di luar.
Ada nasehat orang-orang tua dulu, kalau terdesak ingin buang air besar di sebuah tempat yang tak ada WC, sebaiknya ambil sebuah batu, dipegang terus atau dimasukkan dalam kantung. Niscaya keinginan untuk buang air besar akan berkurang. Kalau dicermati, sebenarnya nasehat tersebut hanya sugesti. Tak ada metode ilmiah yang bisa membuktikan hubungan memegang batu dengan berhentinya keinginan untuk buang air besar. Dengan memegang batu, kita tersugesti sehingga otomatis otak mengendalikan rangsangan agar keinginan buang air besar berkurang.
Nasehat memegang batu ini sangat sederhana namun maknanya sangat dalam. Apa jadinya jika keinginan untuk buang air besar tak bisa dikendalikan sementara WC terdekat tak ada? Apa tak malu jika belepotan di celana? Atau kita tampak seperti cacing kepanasan? Dengan sugesti memegang batu, ada sebuah etika hidup yang diajarkan. Dalam kondisi apapun, kita harus tetap bisa tenang.
Kearifan lokal tak hanya dalam bentuk nasehat atau kebiasaan. Kearifan lokal juga mencakup pembentukan karakter manusia atau character building dalam permainan anak-anak. Beberapa permainan anak-anak dulu yang kini mulai hilang antara lain marsitekka, margala, alep cendong, marampera, patuk lele, dan lainnya.
Permainan tradisional tersebut tidak hanya bermanfaat untuk menghibur anak anak dan menguji ketangkasan, tapi juga dapat melatih anak anak bersosialisasi antara teman-teman sebayanya karena permainan tersebut sebagian besar dimainkan tidak bisa sendiri, membutuhkan kelompok untuk memainkannya. Lebih jauh, dalam permainan tradisional tersebut, ada tujuan yang lebih dalam yakni menanamkan rasa setia kawan, jujur, dan fair play.
Anak-anak sekarang lebih banyak bermain Playstation atau game komputer yang lebih bersifat individual. Permainan anak-anak pun kini banyak ditawarkan di mal atau pusat perbelanjaan yang tentu menguras kocek orangtua. Tak aneh jika anak-anak sekarang lebih senang berkelahi atau tawuran dan lebih materialistis. Mana ada anak-anak sekarang yang mau ke sekolah jika tak diberi uang jajan?
Kearifan lokal, baik dalam bentuk nasehat, kebiasaan, maupun permainan anak-anak, mungkin hanya sebuah obrolan di kedai kopi. Namun menjadi sebuah perenungan untuk menjadi lebih baik dalam beretika dan menghargai orang lain. Apalagi kini, banyak kejadian, baik lokal Siantar maupun nasional, yang tak lagi menghargai etika dan otak tetapi lebih mengandalkan otot.
Adakah etikanya jika Ketua DPRD dilempar asbak dalam acara resmi? Atau Etiskah jika sekompok warga seperti Front Pembela Islam (FPI) di Jakarta seenaknya memukuli orang lain?
Nenek moyang kita dulu membuat berbagai kearifan lokal ini tidak hanya dipraktekkan pada jamannya. Orang-orang tua kita dulu telah berpikir jauh ke depan. Berbagai bentuk kearifan lokal ini diciptakan agar anak cucunya kelak bisa hidup damai dan saling menghargai. Atau memang orang-orang sekarang lebih bodoh dari orang-orang tua kita dulu? (***)