Saat ditemui di kediaman orangtuanya di Manik Hataran, Bah Birong Ulu, Kabupaten Simalungun, Minggu (2/6), ibu dua anak itu menuturkan perlakuan Rudi yang bekerja sebagai honorer di Dinas Perhubungan Siantar tersebut sudah tidak dapat lagi dimaafkan selaku kepala rumah tangga. Ia menilai perbuatan suaminya yang telah memberikan dia satu anak laki-laki dan satu anak perempuan, telah melampai batas. “Ia tidak menghargai saya sebagai istri, masalah kecil bisa dibuatnya besar, setiap hari kami berantam mulut dan tidak segan-segan ia ringan tangan dihadapan anak-anak,” papar Wijayanti sembari menitikkan air mata.
Ia mengatakan sejak membina rumah tangga tahun 2004 perangai suaminya tiba-tiba berubah ringan tangan dan sering mabuk pulang ke rumah. “Sejak saya mengandung anak pertama, saya sering kena bentak, dipukul bahkan tidak segan-segan mau menendang kandungan saya,” tandas wanita berambut panjang tersebut.
Wijayanti menceritakan, awalnya tidak mengetahui apa pemicu suaminya marah-marah setiap kali pulang kerja. Namun sejak mengandung anak kedua suaminya sering mabuk-mabukan dan membawa perempuan ke rumah mereka di Jalan Silimakuta, Kelurahan Timbang Galung Kecamatan Siantar Barat, setiap kali Wijayanti tidak berada di rumah. “Berdasarkan keterangan tetangga, ia sering bawa perempuan ke rumah, namun saya sabar dan mencoba menyelidikinya,” tukasnya.
Wijayanti mengakui pernah menemukan foto perempuan dari tangan suaminya saat kondisi mabuk di rumah. Benci, marah, sakit hati, itulah yang dirasakan Wijayanti saat itu. Keesokan harinya ia mencoba menanyakan perihal foto tersebut dan dengan ketus Rudi menjawab hal tersebut bukan urusan Wijayanti. “Saya pernah memaki perempuan tersebut karena mengganggu rumah tanggaku, tapi dia mengatakan suami saya yang merayu dia,” ujarnya dengan nada datar.
Dia juga mengatakan si perempuan tersebut memberikan sepeda motor kepada suaminya untk bekerja dan sering dibawa pulang ke rumah. Lanjut Wijayanti pernah menemukan VCD suaminya dengan perempuan lain bernama Sri Suliswati dari dalam lemari pakaian. Dalam VCD tersebut Rudi dan SS tampak mesra.
Dari banyak kekerasan yang dialaminya, puncaknya terjadi Senin (3/3), Wijayanti dihajar suaminya sekitar Jam 22.00 Wib. Hal tersebut mengakibatkan bibirnya pecah dan sekujur tubuhnya membiru bekas pukulan. Selanjutnya ditemani tetangganya Wijayanti melapor ke Polresta Siantar untuk membuat pengaduan. Berselang tiga minggu kemudian Rudi menyerahkan diri ke kantor polisi dan pihak polisi melakukan penahanan dan dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri (Kajari) Siantar. Namun saat dilimpahkan berkasnya ke Pengadilan Negeri (PN) Siantar, majelis hakim seenaknya begitu saja mengeluarkan surat penetapan penangguhan menjadi tahanan kota. “Ia telah melakukan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), apa bisa menjadi tahanan kota, sementara kami belum berdamai,” ujar Wijayanti diamini keluarganya.
Menurutnya penangguhan yang dilakukan majelis hakim yang diketuai AM Siringo-ringo, SH dibantu hakim anggota Dahlia Panjaitan, SH dan Natsir Simanjuntak, SH, membuat dia dan keluarga keberatan.
Wijayanti berharap agar Rudi kembali dimasukkan dalam penjara guna membuat efek jera terhadap apa yang diperbuatnya kepada korban. Sebab dihadapan keluarga korban, Rudi tidak segan-segan membentak dan bahkan mengancam menceraikan Wijayanti. “Saya ingin dia dipenjara dan saya tetap menuntut cerai, biar kedua anak ini saya yang biayai,” tandasnya.
Sedangkan orang tua korban Wasiman menyerahkan sepenuhnya keputusan ini kepada anaknya. “Kami ingin kasus ini secepatnya dituntaskan sesuai hukum, agar status anak saya jelas,” katanya.
Secara terpisah Vocal point Institut for Judical Monitoring (IJM), M Alinafiah Simbolon SH mengatakan dalam kasus KDRT ada pemberatan terhadap pelakunya. Dikatakanya ancaman hukuman KDRT 5 tahun penjara telah menyalahi jika terdakwa ditetapkan sebagai status tahanan kota. “Layak dipertanyakan atas pertimbangan apa majelis hakim menetapkan status tahanan kota bagi terdakwa?” jelasnya.
Menurutnya status tahanan Rudi sebagai tahanan kota diragukan. Dia beralasan jelas di Polresta dan Kajari tersangka telah ditahan. “Mengapa di Pengadilan statusnya berubah? Tidak ada pertimbangan logika hakim yang dapat diterima, seharusnya dalam kasus KDRT, pelaku tidak diberikan kemudahan,” terangnya.
Ia juga mengingatkan agar hakim jangan bermain-main dalam kasus KDRT. Jika hal itu terjadi, pihaknya bersedia mendampingi korban untuk mengadu ke Kejatisu dan Mahkamah Agung. “Kami siap mendampingi, dan saya akan tetap memantau kasus ini,” tegasnya. (jansen)