10 Juni, 2008

Kuburan

Oleh: Fetra Tumanggor

Siang itu, awal Juni, waktu menunjukkan pukul 09.00 Wib. Mendung tampak menggelayut di langit Siantar. Di Kedai Kopi Kawan atau yang lebih dikenal sebagai Kedai Kopi Morsun di Jalan Cipto, hanya tampak lima orang, termasuk saya, yang sedang mengopi. Biasanya, jam segitu, kedai kopi ini ramai. Mungkin karena mendung, banyak orang menahan langkahnya untuk keluar rumah, takut kehujanan di tengah jalan.
Saya duduk di pojok sembari membaca sebuah koran terbitan Medan. Di meja sebelah tempat saya duduk, tampak dua orang, saya tak kenal, membicarakan soal mahalnya biaya mengubur orang mati di Siantar.
“Aku bingung, siapa sebenarnya yang mengurus pekuburan di Siantar ini. Minggu lalu aku baru ngurus kuburan tulangku yang baru meninggal di Kuburan Lama (Pekuburan Kristen di Kelurahan Kristen, red.) dan keluar biaya Rp2,5 juta,” ujar salah seorang yang tinggi besar.
Temannya mengiyakan sembari mempertanyakan pihak mana sebenarnya yang resmi sebagai pengelola Kuburan Lama tersebut. Menurutnya, harga tanah di Kuburan Lama saat ini ditentukan sepihak oleh ‘penguasa’ di situ. Siapa penguasa tersebut? Tak jelas namun dari diskusi mereka, penguasa tersebut adalah orang-orang di sekitar pekuburan tersebut. Soal harga, kata orang yang lebih tinggi, tak ada kompromi. Jika ada uang sebesar Rp2,5 juta maka boleh dikubur tetapi kalau tak ada uang, silahkan cari tempat lain.
Cukup lama kedua orang ini berdiskusi soal kuburan tersebut. Mendengar diskusi mereka, dalam hati saya ikut prihatin. Ternyata di Siantar, untuk mendapatkan ‘rumah’ bagi orang mati pun ternyata sangat sulit.
Saya sendiri juga tak tahu, siapa sebenarnya yang mengurus kuburan di Siantar ini? Saya pernah mendengar bahwa urusan kuburan dikelola oleh Dinas Kebersihan, Pertamanan, dan Lingkungan Hidup. Namun kalau memang ada yang mengurus, kenapa soal kuburan di Siantar sangat liar, kalau tidak bisa disebut sistem preman?
Sekadar perbandingan, di Jakarta, Bandung, Surabaya, dan banyak daerah lainnya, urusan kuburan ini jelas pengelolanya. Bahkan di komplek kuburan itu sendiri hadir kantor pengelola yang berada di bawah naungan Dinas Pemakaman. Setiap orang yang ingin menguburkan kerabatnya di kuburan tersebut langsung berhubungan dengan pengelola. Mengenai biaya, semuanya transparan dan tak mahal. Di Jakarta saja, yang lahan kuburan sudah sangat sempit, paling tinggi biaya yang dikenakan sebesar Rp1,5 juta. Setiap tiga tahun sekali, ahli waris harus mengurus ijin perpanjangan makam. Biaya perpanjangan tak besar, hanya Rp100 ribu untuk tiga tahun.
Di Siantar, saat ada kerabat kita yang meninggal lalu hendak mengurus makamnya, tak jelas kepada siapa kita harus berhubungan. Contoh sangat jelas terjadi di pekuburan Kristen di beberapa tempat. Di Kuburan Lama, misalnya, kita akan berhadapan dengan orang-orang yang biasanya memang sudah nongkrong di situ. Merekalah sebenarnya penguasa areal pemakaman tersebut. Soal harga, mereka juga yang menentukan. Harga saat ini, Rp2,5 juta sudah termasuk biaya menggali. Tak ada tawar-menawar untuk harga ini. Kalau kita sudah menguburkan kerabat kita di tempat itu, maka selamanya kuburan itu menjadi milik keluarga yang dikuburkan. Soal perpanjangan ijin, sepengetahuan saya, tak pernah ada biaya perpanjangan.
Pekuburan Islam yang ada di beberapa tempat di Siantar, pengelolaan dan biayanya lebih jelas, meski sebenarnya statusnya juga masih dipertanyakan. di Pekuburan Islam Jalan Pane, biaya pemakaman saat ini hanya Rp300 ribu, sudah termasuk biaya menggali.
Menurut saya, masalah pemakaman ini bukan masalah sepele. Pemko Siantar harus benar-benar mengurusi masalah pemakaman ini dengan baik. Dari beberapa pemakaman atau pekuburan yang ada di Siantar, baik Islam maupun Kristen, sebenarnya sudah ‘tak layak huni’ lagi. Kalau kita mau jujur, tak ada lagi tempat untuk pemakaman yang baru. Yang terjadi, akhirnya kerabat kita yang meninggal dijejalkan begitu saja di tempat ‘yang tidak semestinya’. Jalan setapak yang sebelumnya untuk pejalan kaki di pekuburan tersebut, kini sudah digunakan untuk pemakaman yang baru. Akibatnya, kini tak ada lagi tempat untuk pejalan kaki. Kalau kebetulan makam kerabat kita ada di tengah, maka untuk mencapainya, kita harus menginjak-injak makam orang lain.
Sudah saatnya Pemko Siantar menyediakan tempat pemakaman umum yang baru. Toh, Siantar tak kekurangan lahan. Masih banyak lahan-lahan kosong yang bisa dijadikan areal pemakaman. Tak cukup hanya menyediakan, namun Pemko juga harus benar-benar mengelola dengan baik. Sudah saatnya Pemko mengenakan biaya perpanjangan ijin per tiga tahun seperti daerah lainnya. Biaya perpanjangan ijin ini justru bisa menjadi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sekadar perbandingan, di Kuburan Lama saat ini terdapat tak kurang dari 5000 makam. Jika dikalikan dengan biaya perpanjangan ijin yang seharusnya dikenakan, misalnya sebesar Rp100 ribu, maka Pemko seharusnya mendapat pemasukan sebesar Rp500 juta.
Dengan membuat areal pemakaman yang baru dan mengelolanya dengan baik, otomatis biaya pemakaman akan jauh lebih murah. Yang terjadi saat ini, keluarga sudah menderita karena ditinggal orang yang mereka sayangi dan lebih sengsara lagi karena tak ada biaya untuk memakamkan. Rp2,5 juta bukan biaya yang sedikit. Yang meninggal pun mungkin tak tenang menuju dunianya karena meninggalkan masalah bagi keluarganya. Mungkin dia menangis di alamnya…hiiiiiii….(***)