05 Juni, 2008

PSK Siantar

Oleh: Fetra Tumanggor

Saat terakhir kali saya berangkat ke Jawa selepas lulus SMA untuk kuliah dan kemudian bekerja, 17 tahun lalu, dan kini kembali ke tanah kelahiran, Siantar, tak banyak yang berubah dari kota ini. Pembangunan sepertinya stagnan. Pusat kota, yakni Jalan Sutomo dan Jalan Merdeka, dengan deratan toko-toko sama sekali tak berubah. Perubahan hanya tampak pada hadirnya tiga pusat belanja. Selebihnya, sama saja dengan 17 tahun lalu.

Namun setelah beberapa lama mencoba kembali hidup sebagai anak Siantar, ternyata saya mulai merasakan ada sedikit yang berubah di kota ini. Salah satu perubahan adalah hadirnya banyak kupu-kupu malam atau nama bekennya Pekerja Seks Komersial (PSK) di kota ini.

Ingatan saya melayang pada masa remaja saat menapaki bangku SMP dan SMA. Entah karena saya masih terlalu anak-anak, masih lugu, atau mungkin kurang bergaul, namun yang pasti waktu itu saya tak pernah tahu kalau ada PSK berkeliaran di dalam kota. Yang saya tahu ada lokalisasi di Bukit Maraja. Tetapi itupun bukan di Siantar namun jauh di Simalungun. Yang saya ingat juga adalah bencong-bencong di Taman Bunga.

Kini, PSK dengan mudah dijumpai di pusat kota. Sepanjang Jalan Sudirman di depan Siantar Hotel, tiap malam banyak mondar-mandir para PSK. Ciri-cirinya tak sulit dikenali. Dari tingkah laku, cara berpakaian, dan dari bicara mereka, gampang ditebak kalau mereka bisa diajak tidur.

Atau kalau Anda pendatang baru di Siantar, tapi saya tidak hendak merokomendasikan, cobalah susuri Taman Bunga dan masuk ke dalam. Di sini Anda juga akan menjumpai para wanita-wanita nakal.

Yang sangat mencolok adalah pemandangan di Jalan Pattimura, persis di depan SMA Negeri 4. Di sini hadir beberapa kedai tuak lengkap dengan para wanita malam. Namun di sini jangan berharap dapat wanita muda. Di sini rata-rata PSK adalah wanita ‘kadaluarsa’, maaf kalau saya menjuluki demikian, karena kebanyakan sudah umur 40 tahun ke atas. Saya sendiri tak habis pikir jika masih ada pria yang ‘berminat’ kepada wanita PSK seperti ini, tua, gemuk, dan (maaf) jelek.

“Kalau sudah mabuk, mana mereka melihat seperti itu. Semuanya samak (gelap), kawan,” ujar seorang teman saat berbincang di Kedai Kopi Morsun, beberapa waktu lalu. Menurut teman ini, rata-rata harga PSK di Jalan Pattimura ini paling tinggi Rp50 ribu sekali pukul, istilah dia. “Makanya tempat itu tetap ramai setiap malam,” ujarnya.

Siantar kini memang sudah berubah. Beberapa pusat belanja di Siantar pun disinyalir sebagai tempat terselubung praktek prostitusi. Sebuah arena permainan di sebuah tempat perbelanjaan kabarnya banyak tersedia gadis-gadis remaja untuk ‘dibungkus’. Dari obrolan di kedai kopi dan dari bisik-bisik teman wartawan, beberapa pejabat Pemko dan anggota DPRD Siantar kabarnya sering singgah ke tempat ini. Di arena permainan ini, katanya, ada penghubung atau semacam mucikari jika kita membutuhkan gadis remaja. Saya sendiri tak pernah singgah di tempat ini sehingga tak bisa membuktikan kebenarannya.

Suatu saat saya makan siang bersama dengan beberapa rekan wartawan di sebuah kedai nasi di sekitar Jalan Pane. Dari sebuah rumah, keluar beberapa gadis cantik dan seksi (hanya mengenakan kaos dan celana pendek mini) hendak membeli es krim. Karena rumah tersebut sangat dekat dengan tempat kami makan, otomatis mata tertuju ke gadis-gadis tersebut. Seorang rekan wartawan berbisik,”gadis-gadis itu wanita bayaran. Rumah itu tempat penampungan mereka.”

Saya tak percaya dengan omongan teman saya ini. Dalam hati saya bertanya, sudah adakah rumah prostitusi seperti ini di Siantar, seperti Jakarta atau Medan?

Tak berapa lama, datang sebuah mobil kijang. Seorang pria paruh baya turun dan masuk ke rumah itu. Kira-kira 15 menit, dia keluar dengan seorang wanita, masuk ke mobil, dan langsung pergi. “Transaksinya di dalam. Kalau cocok, bawa perempuannya ke luar karena di rumah itu tak ada tempat untuk melakukan. Hanya bisa kalau diajak ke hotel,” ujar rekan wartawan ini kembali meyakinkan saya. Ia menambahkan, tempat penampungan seperti itu di Siantar sudah ada di beberapa tampat sembari menyebutkan nama tempat lengkap dengan nama jalannya.

Lain waktu, dalam sebuah obrolan kedai kopi tentang prostitusi di Siantar, seorang rekan wartawan mencoba meyakinkan saya bahwa Siantar kini sudah dipenuhi oleh wanita-wanita panggilan. “Abang mau anak SMA? Kalau mau bisa saya atur, bang,” ujarnya.

“Apa? Anak SMA? Benaran masih sekolah?” tanyaku seakan tak percaya. “Apa yang tak ada di Siantar, bang, semuanya kini sudah tersedia. Mau tipe apa abang suka, saya bisa atur, bang,” jawab rekan wartawan ini.

Saya tersadar, Siantar memang sudah berubah. (***)