05 Juni, 2008

Terminal Parluasan

Oleh Fetra Tumanggor

Saat masih di Jakarta, ketika saya berkenalan dengan seseorang dan saya menyebut diri berasal dari Siantar, ada dua hal spesifik yang sering mereka tanyakan tentang Siantar. Pertama, masihkah mi pangsit Siantar enak? Kedua, masihkah Terminal Parluasan menyeramkan?

Nama Siantar bagi orang luar menurut saya ternyata menyimpan cerita tersendiri. Saya tahu, sejak lama orang Siantar dikenal keras. Saya ingat, tahun 1990 ketika ikut bimbingan tes di Medan dan harus mencari tempat kos, saya pernah menjumpai sebuah rumah yang di pagarnya tertempel sebuah pengumuman kecil: “Menerima Anak Kos, Kecuali Anak Siantar”.

Ada apa dengan Siantar? Kenapa sedemikian takut menerima anak Siantar? Waktu berlalu dan dari pengalaman, saya baru menyadari eksistensi anak Siantar memang sejak dulu dikenal keras dan setelah saya telusuri ternyata masih ada hubungannya dengan Terminal Parluasan.

Saya tak tahu kapan sebenarnya Terminal Parluasan mulai berdiri. Yang saya tahu dari ingatan saya waktu kecil dan kemudian beranjak remaja, di terminal ini sering terjadi perampokan dan pembunuhan. Barang milik penumpang hilang bukan cerita baru lagi jika berada di terminal ini. Perkelahian sesama awak bus, preman, pedagang, atau bahkan dengan penumpang, hampir setiap hari terjadi di tempat ini.

Pembunuhan terhadap Amir Damanik, dedengkot preman Parluasan, tahun 1980-an, adalah salah satu kisah klasik di terminal ini. Kerasnya hidup di terminal ini akhirnya mengindektikkan bahwa manusia di Siantar juga sama kerasnya. Akibatnya, ada semacam phobia (ketakutan) bagi orang luar terhadap anak Siantar. Uniknya, anak Siantar pun sepertinya bangga dengan identifikasi seperti ini. Jika berada di rantau, seperti di Medan, Jakarta, Surabaya, atau kota-kota besar lainnya, mereka dengan bangga menyebut Anak Siantar. Tak heran muncul organisasi-organisasi yang membawa nama Siantar seperti Siantar Man, Kami Anak Siantar, dan lainnya.

Namun, bicara Terminal Parluasan dengan segala pola kekerasannya, sebenarnya bicara soal kerasnya persaingan hidup. Di terminal ini, hadir beragam manusia dengan segala caranya untuk menyambung hidup. Ada preman, sopir, kenek, pedagang kue, minuman, pedagang buku ende, pedagang koran, dan masih banyak lainnya. Masing-masing dengan caranya sendiri mencoba mengais rejeki.

Lebih jauh, kehadiran orang-orang di terminal ini tak hanya sekadar mencari sesuap nasi. Ada nilai kerja keras dan keuletan di dalamnya. Hasilnya, tentu mereka yang kini sukses di tanah rantau sana mungkin sangat bangga menyebut dirinya anak Parluasan atau anak Siantar. Kesuksesan mereka buah dari ibu atau bapak mereka yang harus berjibaku di terminal ini.

Eben Ezer Siadari, seorang wartawan di Jakarta dalam blognya di sarimatondang.blogspot.com, mencoba menulis tentang cara unik para pedagang di Terminal Parluasan ini dengan sangat menarik. Pria kelahiran Sarimatondang ini menyebut Terminal Parluasan merupakan sebuah laboratorium nyata mengenai berbagai gaya marketing. Dia yakin seorang mahasiswa S1, bisa meraih gelar doktor bila

saja ia ditempatkan di terminal itu tiga tahun penuh dengan mencatat dan mempelajari apa saja yang terjadi di situ. Dalam blognya, Eben Ezer menulis seperti ini:

Syahdan, pada suatu hari setelah berhasil melepaskan diri dari rutinitas acara-acara adat di kampung halaman, saya bisa melampiaskan rindu menjelajahi Siantar yang saya kenal. Sorenya, saya terdampar di terminal Siantar. Saya memasuki bis SELAMAT,

bis yang akan membawa saya ke kampung. Bis itu masih setengah kosong, supirnya entah kemana. Keneknya malas-malasan berteriak, “Sidamanik….Sidamanik…”

Saya memilih duduk di dekat jendela dekat pintu, ketika tiba-tiba seorang ibu mendekat. Ia meletakkan tampi berisi dagangannya persis di depan saya. Di

sana ada lappet, lemang dan kue bolu. “Baen ito. Nyion lomang on. Panas dope. Nakkin dope hualop on. Asa adong boanonmu tu jabu, tu eda dohot anggi niba i. Boru aha do tahe eda di jabu. (Ayo Mas, ini lemang. Masih panas. Baru saja saya ambil. Nanti bisa dibawa pulang untuk kakak dan adik di rumah. Boru apa kakak itu?).” Ia membolak-balik lagi dagangannya, memperlihatkan sisi-sisi terbaik dari lemang yang ia tawarkan. “Hubukkus ma ate. Tinggal on nama. Sotung sanga ngali-ngali.” Terus saja ia berceloteh. Tiap kali saya cari alasan untuk menolak tawarannya, ia balas lagi dengan jawaban dan canda yang membuat saya makin terpojok. Dan saya menyerah, merogoh kocek membeli lemangnya.

Sesungguhnya dari tadi saya sudah ‘kalah,’ mungkin karena ia telah menyentuh hati saya dengan menyebut si kecil buah hati saya di rumah. Dalam hati saya mengagumi daya persuasi ibu ini. Kawan saya yang ahli motivasi mungkin akan menyebutnya seorang yang persistent (berkeras hati). Seandainya ibu ini di make-up sedemikian rupa, didandani ala wanita karier dan sedikit operasi plastik pada kulitnya yang gosong kena matahari setiap hari, pastilah pramuniaga kartu kredit di mal-mal yang manja-manja tak karuan bakal tereliminasi. Saya juga akan bertanya kepada Kafi Kurnia, gaya marketing apa sebaiknya disematkan kepada cara begini.

Belum tuntas saya dari berpikir-pikir, seorang lagi ibu berteriak dari pintu belakang. Suaranya kencang dan serak, “Roti Namarsileting Inang…, Roti Namarsileting Bapa, Roti Namarsileting Ito…. On dope di Indonesia adong Roti Namarsileting….. Pertama di Siantar…..(Roti yang ada ritsluitingnya Bu, ….roti yang ada ritsluitingnya Pak…. Ini pertama di Indonesia ada roti yang pake ritsluiting…)” Suaranya bergema,

Diiringi tawa seluruh penumpang. Saya juga ikut terbahak. Saya tak bisa membayangkan seperti apa sih roti yang ada ritsluitingnya? Dan, lagipula, apa perlunya roti dipakai kancing tarik begitu? Apakah roti sesuatu yang tabu atau rotinya berbentuk sesuatu yang tabu? Membayangkan jawaban-jawaban dari pertanyaan ini, saya makin tak bisa menahan tawa.

Ternyata ibu itu hanya bercanda. Ketika menyaksikan kami tertawa, ia berkata meledek kami, “Molo tu namarsileting i tor hicca do simalolong muna. Iya tuhor hamu ma jo kue on. Mura pe hubaen. Asa adong pasi sikkola ni paraman muna an . (Kalau untuk yang pakai ritsluiting, mata kalian pasti langsung menoleh. Kalian belilah kue ini. Murah kok. Lumayan buat biaya sekolah anak saya di rumah nanti),” kata dia.

Diledek dengan cara begitu, ditembak dengan lelucon yang menyenangkan (meskipun agak malu juga, sebab, sepertinya kita dipergoki tengah berpikir yang nggak-nggak), saya pun tersentuh juga. Kue bolu ibu itu, yang memang benar-benar kue bolu dan tanpa ritsluiting akhirnya saya minta dibungkuskan. Lagi-lagi saya mengagumi gaya pemasaran ala ibu ini.

Seandainya Hermawan Kertajaya ada di samping saya, saya akan meminta penjelasan teori apa yang akan dia gunakan menerangkan ini. Jangan-jangan dia yang akan belajar dari terminal ini dan mengganti marketing in Venus yang sudah basi itu jadi Marketing in Terminal Siantar. Bisa saja kan? (***)