26 Juni, 2008

Ironi Sebuah Kemiskinan


“Na pogos do hami, Amang, dang adong hepeng nami mangurus i. Molo torus do anakki di penjara, boa bahenonku? (Kami orang miskin, Pak, kami tak punya uang untuk mengurus. Kalau memang dia harus di penjara apa yang bisa aku perbuat?” ujar Samaria br Purba (46) dengan mata berkaca-kaca. Tak lama, air matanya mulai menetes.
Samaria, yang oleh para tetangganya sering dipanggil Sanna, tak dapat menyembunyikan kesedihannya, anaknya bernama MTS yang baru berusia 13 tahun harus mendekam di penjara karena dituduh mencuri buah kelapa sawit.
Seperti diberitakan, MTS bersama dengan temannya SRP (14), ditangkap polisi karena dituduh mencuri sembilan janjang kelapa sawit. Kedua bocah yang masih duduk di bangku SMP ini harus mendekam di tahanan Polsek Siantar Martoba, Pematangsiantar. Tragisnya, keduanya tak diperbolehkan mengikuti ujian akhir sekolah yang dilaksanakan tanggal 4-7 juni lalu.
Lama Sanna terdiam, matanya menerawang. Mungkin, ia membayangkan nasib anaknya di penjara. Tak lama ia kembali bercerita. Katanya, ia baru sekali menjenguk anaknya sejak ditahan 4 Juni lalu. “Dang adong hepengku lao mengida anakki (aku tak punya uang untuk menjenguk anakku),” ujarnya.
Sanna, adalah sebuah potret kemiskinan di negara ini. Suaminya meninggal tujuh tahun lalu saat MTS baru menginjak kelas 1 SD. Sanna benar-benar menjadi penopang hidup anak-anaknya. Rumah yang ditempati Sanna dan keluarganya saat ini hanya sebuah rumah papan tua yang sudah sangat reot. Rumah itupun bukan milik mereka. Sanna hanya mengontrak rumah tersebut.
Sehari-hari Sanna bekerja serabutan untuk menghidupi anak-anaknya. Biasanya dia menjadi buruh tani dengan upah sekadarnya. Upah menjadi buruh tani, kata Sanna, kadang-kadang cukup untuk makan mereka, dan seringkali tak cukup. Namun ia menolak menyebutkan berapa upahnya setiap hari mengerjakan sawah orang lain.
Sanna mempunyai tujuh anak. MTS anak keenam dan sekarang sekolah di SMP Negeri 13 Pematangsiantar kelas 7. Anak sulungnya kini bekerja di Batam, Kepulauan Riau dengan pekerjaan sekadarnya. “Holan cukup tu ibana do nasinari nai. Ipe nga mauliate boi ibana mangalului di ngoluna (hanya cukup untuk dirinya penghasilannya. Itupun sudah syukur dia bisa menghidupi hidupnya),” ujar Sanna tentang putra sulungnya.
Soal anaknya, MTS, Sanna menyebut selama ini tak pernah berbuat kejahatan. Setiap pulang sekolah, kata Sanna, MTS ikut membantunya mengerjakan sawah orang lain untuk sekadar menambah penghasilan mereka. Menurut Sanna, beberapa kali MTS juga sering diminta tetangganya membantu beberapa pekerjaan demi mendapat upah.
Sebelum ditangkap, cerita Sanna, MTS dan SRP pun sebenarnya hanya diminta menjaga buah kelapa sawit oleh Jhon Piri Sinaga, Sobat Sipayung, dan Andi Syahputra. Mereka dijanjikan sejumlah uang untuk menjaga buah kelapa sawit tersebut. “MTS dan SRP tak tahu kalau kelapa sawit yang mereka jaga itu hasil curian,” ungkap Sanna.
Malang, Jaingot Sinaga, pemilik kelapa sawit tersebut datang bersama polisi dan langsung menangkap kedua bocah tersebut bersama Andi Syahputra.
Kemiskinan yang mendera membuat Sanna tak tahu harus berbuat apa untuk menolong anaknya di penjara. Hanya sekadar menjenguk pun, Sanna tak punya biaya untuk ongkos. Kini dia hanya bisa pasrah terhadap nasib anaknya. “Dang adong na boi hubahen, dang marhepeng hami. Molo marurusan dohot polisi ingkon adong do hepeng, Amang. Sian dia ma hepeng nami. Baen ma anakki disi, nga nasibna songoni (tak ada yang bisa kuperbuat, aku sama sekali tak punya uang. Kalau berurusan dengan polisi harus ada uang, Pak. Biarlah anakku di situ (penjara), mungkin sudah nasibnya seperti itu),” ujar Sanna dan kembali air matanya mengucur.
Bagi orang seperti Sanna, ada anggapan urusan dengan polisi harus mengeluarkan uang. Saat Sinar Keadilan mengatakan bahwa anaknya berhak untuk didampingi pengacara dan berhak mendapat perlindungan sesuai undang-undang, lagi-lagi ia mengatakan bahwa apapun urusannya, semuanya harus mengeluarkan uang. Ia hanya bisa pasrah dengan kemiskinan mereka.
Tak berbeda jauh, nasib SRP pun setali tiga uang. Ibunya telah lama meninggal. Ayahnya, K Purba, menikah lagi dan pindah ke Tigaras, Simalungun. Sejak menikah lagi, Purba tak lagi mempedulikan nasib anak-anaknya. Bahkan untuk sekadar memberi uang belanja pun, Purba tak pernah. Hal ini diakui oleh Dearina Purba (20), kakak keempat SRP. SRP sendiri anak bungsu dari lima bersaudara.
Menurut Dearina, mereka kini hidup bertiga bersama Novelia Purba (25) kakak kedua mereka. Mereka tinggal di sebuah rumah kontrakan di Jalan Sibatu-batu, Kampung Pabrik, Kelurahan Gurilla, Kecamatan Siantar Martoba, Pematangsiantar. Rumah MTS dan SRP hanya berjarak kira-kira 100 meter.
Dearina bercerita, untuk hidup sehari-hari, mereka mengandalkan jerih payah Novelia yang berprofesi sebagai buruh tani. Dearina mengakui upah kakaknya sebagai buruh tani lebih banyak tak mencukupi untuk menopang hidup mereka.
Saat disinggung soal ayah mereka, Dearina langsung terdiam. Namun akhirnya ia buka suara. “Kami ditinggal ibu (meninggal) sejak kecil dan ayah kemudian menikah lagi, pindah ke Tigaras. Sejak menikah lagi, kami sama sekali tak dipedulikan lagi. Untuk belanja pun kami tak pernah dikirim uang. Adik kami SRP masuk penjara dan kami kasih tahu tapi ayah sama sekali tak peduli,” ungkap Dearina.
Ia kembali melanjutkan ceritanya. SRP saat ini duduk di SMP Negeri 7 kelas 7. Namun karena kemiskinan, SRP sering tak pergi sekolah. Sering karena alasan tak bayar SPP atau biaya lainnya di sekolah dan sering karena ikut membantu orang lain demi mendapat upah. “Soal kenakalan, namanya anak SMP biasalah nakal-nakal sedikt. Namun dia tak pernah berbuat kejahatan,” ungkap Dearina soal adiknya itu.
Sama seperti Sanna, Dearina pun baru sekali menjenguk adiknya di penjara. Lagi-lagi masalah ketiadaan biaya untuk ongkos jadi sebab. Ia juga tak tahu harus berbuat bagaimana untuk menolong adiknya di penjara. “Kami tak tahu, bang harus bagaimana. Kami tak punya uang. Saya sendiri sekarang lagi cari pekerjaan biar ada uang untuk menolong adikku,” ujar Dearina yang sudah tamat dari sebuah sekolah kejuruan.
Dearina pun tak tahu menahu soal status adiknya, apakah didampingi oleh pengacara dan bagaimana perlindungan hukum yang seharusnya diperoleh adiknya. “Kami tak tahu bagaimana dia di sana. Lagipula kalau mengurus di sana (kantor polisi) kan semuanya pakai uang. Darimana uang kami?” tanyanya.
Nasib keluarga MTS dan SRP di Pematangsiantar ini, hanya sekelumit ironi kemiskinan di negara ini. Tak berdaya ketika berhadapan dengan hukum dan tak tahu harus berbuat apa. Apalagi, ketika semua urusan harus mengeluarkan uang, mereka hanya bisa pasrah dan menggantungkan hidup semata pada nasib. (fetra tumanggor)