Kepala BKD Morris Silalahi Ditetapkan Jadi Tersangka CPNS Gate 2005
SIANTAR-SK: DPRD Siantar harus menggunakan hak angket untuk meminta keterangan Walikota Pematangsiantar RE Siahaan terkait telah ditetapkannya Kepala BKD Morris Silalahi sebagai tersangka dalam kasus penerimaan CPNS formasi 2005 yang diduga dimanipulasi. Hal tersebut disampaikan pengamat hukum Sarles Gultom SH, Rabu (11/6) di kantornya.
Menurutnya walikota selaku penanggungjawab kegiatan penerimaan CPNS 2005 harus bertanggungjawab jika ditemukan pelanggaran tindak pidana hukum. “Legislatif harusnya menanggapi persoalan ini. Mana pengawasan terhadap kinerja walikota? DPRD jangan hanya diam menunggu keputusan pengadilan,” jelasnya.
Sarles mengutarakan penggunaan hak tersebut sesuai dengan Undang-Undang No 32 Tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah. Dalam pasal 32 disebutkan jika kepala daerah atau wakilnya menghadapi krisis kepercayaan publik yang meluas karena dugaan tindak pidana, maka DPRD mempunyai hak angket untuk menanggapinya. “Dewan harus memanggil walikota mempertanyakan kasus ini, dan jika terbukti melanggar sumpah jabatan dapat diteruskan ke aparat hukum,” katanya.
Dia berpendapat DPRD harus secepatnya menggelar sidang paripurna dan pro-aktif dalam kedudukannya sebagai wakil rakyat. Mengenai penetapan Kepala BKD Pemko Siantar Morris Silalahi sebagai tersangka, Sarles mengatakan Polres Simalungun harus memeriksa seluruh panitia penerimaan CPNS formasi 2005, terutama walikota selaku penanggungjawab yang mengusulkan pengangkatan 19 orang tersebut.
Berbicara kategori kasus ini, Sarles menjelaskan CPNS Gate tersebut termasuk tindak pidana korupsi, kolusi dan nepotisme sesuai UU No 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersih. Sesuai pasal 1 poin 4 dikatakan nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara melawan hukum yang menguntungkan keluarga dan kroninya.
“Jelas 19 orang yang diangkat tersebut merupakan anak dan saudara dari sejumlah pejabat pemko, termasuk saudaranya RE Siahaan,” tandasnya.
Sarles juga menambahkan 19 orang tersebut dapat dijadikan tersangka jika mengarah kepada dugaan korupsi yakni menerima gaji yang tidak haknya dan mengakibatkan kerugian negara.
Sarles menambahkan sudah selayaknya RE Siahaan diperiksa karena Badan Kepegawaian Negara (BKN) pun sudah menilai penerimaan 10 orang tersebut tak sesuai ketentuan. BKN bahkan sudah meminta walikota menerbitkan surat keputusan (SK) pemberhentian 19 CPNS tersebut. Selain itu BKN sendiri sudah mencabut Nomor Induk Pegawai (NIP) 19 orang tersebut. “Artinya walikota harus bertanggungjawab dan mengapa sampai sekarang belum ada pemecatan,” sebutnya.
Secara terpisah anggota Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) Sumut Batahi Simanjuntak, SH mengutarakan kepala daerah dapat diperiksa dalam sebuah kasus, sebagai penanggung jawab di dalam dan diluar pengadilan.
“Sebagai kepala daerah, RE Siahaan harus bertanggungjawab di daerahnya, apakah sudah ada kontrol terhadap hasil seleksi sesuai ketentuan,” jelasnya.
Soal dilakukannya pemanggilan kepala daerah sebagai saksi ataupun dugaan tersangka, menurutnya harus ada ijin dari Presiden. Ini sesuai UU No 32 tahun 2004 pasal 36 ayat 1 dijelaskan tindakan penyelidikan/penyidikan kepada kepala daerah atau wakilnya dilaksanakan setelah adanya persetujuan Presiden atas permintaan penyidik. Sedangkan batas waktu dijelaskan sejak diterima Presiden permohonan selama 60 hari maka proses penyelidikan/penyidikan dapat dilanjutkan.
Mengenai sanksi hukum dalam sebuah kasus, dikatakannya ada dua yakni sanksi politis dari legislatif karena ada kewajiban kepala daerah melaksanakan UU yang berlaku di Indonesia. Sedangkan sanksi pidana menurutnya jika ada unsur pidana di dalamnya maka tergantung aparat berwajib untuk memprosesnya.
Batahi juga berpendapat jika mekanisme pengangkatan berjalan sempurna sesuai kontrol, kepala daerah mempunyai hak membatalkan apa yang diusulkan panitia. “Di sini perlu diminta keterangan kepala daerah untuk mempertanyakan apakah ada kontrol atau pengawasan yang telah dilaksanakannya,” ujarnya mengakhiri. (jansen)