30 Juni, 2008

Tak Ada Alasan Lagi, Walikota Siantar Harus Terbitkan Surat Pemecatan

BKN Pastikan Pencabutan NIP 19 CPNS Ilegal 2005 Tak Dapat Ditinjau Kembali

SIANTAR-SK: Anggota DPRD Pematangsiantar Aroni Zendrato menegaskan Walikota RE Siahaan tidak mempunyai alasan lagi untuk tidak menerbitkan surat keputusan (SK) pemecatan 19 CPNS ilegal 2005. Hal ini diutarakannya menanggapi surat Badan Kepegawaian Negara (BKN) yang ditujukan kepada walikota, menegaskan pembatalan Nomor Induk Pegawai (NIP) 19 CPNS tidak dapat ditinjau kembali karena sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku. “Jelas surat itu mengatakan pencabutan NIP tidak dapat diganggu gugat, ” ujarnya kepada Sinar Keadilan, Senin (30/6).
Aroni mengatakan keputusan BKN harus dipatuhi, bukan balik menyurati Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan) untuk meminta klarifikasi. Politisi dari Partai PDI-Perjuangan tersebut menambahkan dengan keluarnya surat tersebut maka otomatis gaji yang diterima 19 CPNS harus dikembalikan.
Sementara itu Kabag Hukum Pemko Leonardo Simanjuntak mengatakan surat tersebut merupakan jawaban atas surat pemko yang mempertanyakan pembatalan NIP 19 CPNS formasi 2005. Namun dia menegaskan belum menerima tembusan atas jawaban BKN tersebut.
Mengenai tindakan Pemko yang menyurati Menpan, dia menilai hal tersebut sah- sah saja dilakukan.Menurutnya ada dua instansi yang berkaitan soal penerimaan CPNS yakni Menpan sebagai pihak yang mengeluarkan formasi CPNS dan BKN yang mengeluarkan persetujuan NIP CPNS.
“Jadi kalaupun ada surat mungkin mempertanyakan formasi CPNS Siantar,” ucapnya.
Saat ditanya mengenai isi surat tersebut, dia mengaku kurang mengetahui namun membenarkan Badan Kepegawaian Daerah (BKD) sudah melayangkan surat ke Menpan.
Sedangkan perkara gugatan kepada pemko dan BKN di Pengadilan Negeri Siantar mengenai penetapan CPNS 2005, menurutnya kasus tersebut tidak ditangani PN Siantar.Hal ini berdasarkan eksepsi tergugat jika perkara perdata tersebut bukan kewenangan PN Siantar tetapi Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). “Artinya PN Siantar mengabulkan karena adanya kewenangan absolut PTUN untuk menangani kasus tersebut,” paparnya.
Leonardo menjelaskan surat PN Siantar yang dibacakan pada 21 Mei 2008 menegaskan tidak berwenang memeriksa perkara perdata tersebut, sehingga tidak dapat dilanjutkan kembali masalah sengketa hukum CPNS 2005. Menurutnya dasar pemikiran kasus ini dilimpahkan karena hakim menilai objek sengketa yakni surat putusan CPNS yang dikeluarkan walikota yang diminta untuk dibatalkan. “Karena yang mengeluarkan SK-nya kepala daerah maka yang menanganinya PTUN, dan gugatan di PN Siantar dinyatakan gugur,” ungkapnya.
Secara terpisah Walikota RE Siahaan yang coba dikonfirmasi melalui short message service (SMS) mengenai surat BKN tersebut sampai berita ini diterbitkan belum memberikan jawaban. (jansen)



BKN Pastikan Pencabutan NIP 19 CPNS Ilegal 2005 Tak Dapat Ditinjau Kembali

BKN Surati Walikota Pematangsiantar RE Siahaan
Polres Simalungun Sebut RE Siahaan Sebagai Tersangka Namun Belum Lakukan Pemanggilan


SIANTAR-SK: Keanehan dalam pengungkapan kasus 19 CPNS ilegal formasi 2005 di lingkungan Pemko Siantar, sedikit demi sedikit mulai terkuak. Walikota Pematangsiantar RE Siahaan ternyata telah menerima surat dari Badan Kepegawaian Negara (BKN) yang menyatakan bahwa keputusan BKN untuk mencabut Nomor Induk Pegawai (NIP) 19 CPNS ilegal tersebut adalah sah dan tidak dapat ditinjau ulang karena dibuat sudah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Surat BKN tersebut sebagai balasan surat dari Pemko Siantar yang mempertanyakan alasan BKN mencabut NIP 19 orang tersebut.
Surat BKN tersebut bertanggal 21 April 2008 dan ditandatangani Deputi Bidang Bina Pengadaan Kepangkatan dan Pensiun Dr. Sulardi, MM. Artinya, lebih dari dua bulan lalu, walikota sebenarnya telah mendapat kepastian bahwa 19 orang tersebut tak lagi berhak atas pembayaran gaji. Anehnya, sampai saat ini 19 orang tersebut tetap menerima gaji sebagai PNS meski tak punya NIP lagi. Walikota RE Siahaan pun sampai saat ini tak mau memecat 19 orang tersebut.
Pelaksana Sekda Pematangsiantar James Lumbangaol saat dihubungi melalui telepon selulernya membenarkan Pemko Siantar telah menerima surat BKN tersebut. Tetapi menurutnya, Pemko Siantar masih menyurati Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan) meminta pertimbangan dan penjelasan atas surat BKN tersebut.
Jansen Napitu, Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Lembaga Pengawasan dan Kepelaporan Aset Negara (Lepaskan) sebagai pelapor dalam kasus 19 CPNS ilegal formasi 2005, mengatakan akan mengadukan Kabag Keuangan Waldemar Napitupulu karena tetap membayarkan gaji 19 CPNS tersebut BKN telah mencaut NIP mereka.
Keanehan lainnya, adalah surat Polres Simalungun yang ditandatangani Wakapolres Simalungun Kompol Agus Halimudin kepada Jansen Napitu. Dalam surat tersebut dikatakan dengan jelas bahwa Walikota Pematangsiantar RE Siahaan dan mantan Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Tanjung Sijabat sebagai tersangka. Anehnya, dalam surat tersebut dikatakan belum dilakukan pemanggilan dan pemeriksaan sebagai tersangka karena belum ditemukan bukti yang mengarah ke bersangkutan. Kalau disebut tersangka, lalu kenapa belum dilakukan pemanggilan?
Dalam suratnya di poin 3 bagian c, Polres Simalungun menyebutkan dengan jelas: ‘Terhadap tersangka lain yakni Ir Robert Edison Siahaan dan Tagor Batubara, SH (Alm) serta Drs. Tanjung Sijabat, belum dilakukan pemanggilan dan pemeriksaan sebagai tersangka karena masih belum ditemukan bukti-bukti yang mengarah kepada yang bersangkutan’.
Jansen membenarkan telah menerima surat dari Polres Simalungun yang ditandatangani oleh Waka Polres Simalungun. Surat tersebut sebagai balasan atas pertanyaan pihaknya alasan tidak ditahannya Morris Silalahi serta belum diperiksanya tersangka lain yakni RE Siahaan dan Tanjung Sijabat.
Mengenai tidak ditahan Morris, polisi beralasan penyidik tidak khawatir terhadap tersangka untuk melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan mengulangi tindak pidana karena memiliki status yang jelas sebagai Kepala BKD Siantar. Dalam surat tersebut polisi juga menjelaskan sampai saat ini penyidik telah memeriksa 59 orang saksi dan 2 orang saksi ahli dan penetapan tersangka Morris Silalahi.
Sementara itu, Kapolres Simalungun AKBP Rudi Hartono, Minggu (29/6), melalui layanan SMS membantah telah mengeluarkan surat yang isinya menetapkan RE Siahaan sebagai tersangka kasus 19 CPNS ilegal tersebut. Menurutnya pemeriksaan RE Siahaan sebagai saksi masih dalam proses menunggu ijin dari presiden. (jansen)



26 Juni, 2008

Ironi Sebuah Kemiskinan


“Na pogos do hami, Amang, dang adong hepeng nami mangurus i. Molo torus do anakki di penjara, boa bahenonku? (Kami orang miskin, Pak, kami tak punya uang untuk mengurus. Kalau memang dia harus di penjara apa yang bisa aku perbuat?” ujar Samaria br Purba (46) dengan mata berkaca-kaca. Tak lama, air matanya mulai menetes.
Samaria, yang oleh para tetangganya sering dipanggil Sanna, tak dapat menyembunyikan kesedihannya, anaknya bernama MTS yang baru berusia 13 tahun harus mendekam di penjara karena dituduh mencuri buah kelapa sawit.
Seperti diberitakan, MTS bersama dengan temannya SRP (14), ditangkap polisi karena dituduh mencuri sembilan janjang kelapa sawit. Kedua bocah yang masih duduk di bangku SMP ini harus mendekam di tahanan Polsek Siantar Martoba, Pematangsiantar. Tragisnya, keduanya tak diperbolehkan mengikuti ujian akhir sekolah yang dilaksanakan tanggal 4-7 juni lalu.
Lama Sanna terdiam, matanya menerawang. Mungkin, ia membayangkan nasib anaknya di penjara. Tak lama ia kembali bercerita. Katanya, ia baru sekali menjenguk anaknya sejak ditahan 4 Juni lalu. “Dang adong hepengku lao mengida anakki (aku tak punya uang untuk menjenguk anakku),” ujarnya.
Sanna, adalah sebuah potret kemiskinan di negara ini. Suaminya meninggal tujuh tahun lalu saat MTS baru menginjak kelas 1 SD. Sanna benar-benar menjadi penopang hidup anak-anaknya. Rumah yang ditempati Sanna dan keluarganya saat ini hanya sebuah rumah papan tua yang sudah sangat reot. Rumah itupun bukan milik mereka. Sanna hanya mengontrak rumah tersebut.
Sehari-hari Sanna bekerja serabutan untuk menghidupi anak-anaknya. Biasanya dia menjadi buruh tani dengan upah sekadarnya. Upah menjadi buruh tani, kata Sanna, kadang-kadang cukup untuk makan mereka, dan seringkali tak cukup. Namun ia menolak menyebutkan berapa upahnya setiap hari mengerjakan sawah orang lain.
Sanna mempunyai tujuh anak. MTS anak keenam dan sekarang sekolah di SMP Negeri 13 Pematangsiantar kelas 7. Anak sulungnya kini bekerja di Batam, Kepulauan Riau dengan pekerjaan sekadarnya. “Holan cukup tu ibana do nasinari nai. Ipe nga mauliate boi ibana mangalului di ngoluna (hanya cukup untuk dirinya penghasilannya. Itupun sudah syukur dia bisa menghidupi hidupnya),” ujar Sanna tentang putra sulungnya.
Soal anaknya, MTS, Sanna menyebut selama ini tak pernah berbuat kejahatan. Setiap pulang sekolah, kata Sanna, MTS ikut membantunya mengerjakan sawah orang lain untuk sekadar menambah penghasilan mereka. Menurut Sanna, beberapa kali MTS juga sering diminta tetangganya membantu beberapa pekerjaan demi mendapat upah.
Sebelum ditangkap, cerita Sanna, MTS dan SRP pun sebenarnya hanya diminta menjaga buah kelapa sawit oleh Jhon Piri Sinaga, Sobat Sipayung, dan Andi Syahputra. Mereka dijanjikan sejumlah uang untuk menjaga buah kelapa sawit tersebut. “MTS dan SRP tak tahu kalau kelapa sawit yang mereka jaga itu hasil curian,” ungkap Sanna.
Malang, Jaingot Sinaga, pemilik kelapa sawit tersebut datang bersama polisi dan langsung menangkap kedua bocah tersebut bersama Andi Syahputra.
Kemiskinan yang mendera membuat Sanna tak tahu harus berbuat apa untuk menolong anaknya di penjara. Hanya sekadar menjenguk pun, Sanna tak punya biaya untuk ongkos. Kini dia hanya bisa pasrah terhadap nasib anaknya. “Dang adong na boi hubahen, dang marhepeng hami. Molo marurusan dohot polisi ingkon adong do hepeng, Amang. Sian dia ma hepeng nami. Baen ma anakki disi, nga nasibna songoni (tak ada yang bisa kuperbuat, aku sama sekali tak punya uang. Kalau berurusan dengan polisi harus ada uang, Pak. Biarlah anakku di situ (penjara), mungkin sudah nasibnya seperti itu),” ujar Sanna dan kembali air matanya mengucur.
Bagi orang seperti Sanna, ada anggapan urusan dengan polisi harus mengeluarkan uang. Saat Sinar Keadilan mengatakan bahwa anaknya berhak untuk didampingi pengacara dan berhak mendapat perlindungan sesuai undang-undang, lagi-lagi ia mengatakan bahwa apapun urusannya, semuanya harus mengeluarkan uang. Ia hanya bisa pasrah dengan kemiskinan mereka.
Tak berbeda jauh, nasib SRP pun setali tiga uang. Ibunya telah lama meninggal. Ayahnya, K Purba, menikah lagi dan pindah ke Tigaras, Simalungun. Sejak menikah lagi, Purba tak lagi mempedulikan nasib anak-anaknya. Bahkan untuk sekadar memberi uang belanja pun, Purba tak pernah. Hal ini diakui oleh Dearina Purba (20), kakak keempat SRP. SRP sendiri anak bungsu dari lima bersaudara.
Menurut Dearina, mereka kini hidup bertiga bersama Novelia Purba (25) kakak kedua mereka. Mereka tinggal di sebuah rumah kontrakan di Jalan Sibatu-batu, Kampung Pabrik, Kelurahan Gurilla, Kecamatan Siantar Martoba, Pematangsiantar. Rumah MTS dan SRP hanya berjarak kira-kira 100 meter.
Dearina bercerita, untuk hidup sehari-hari, mereka mengandalkan jerih payah Novelia yang berprofesi sebagai buruh tani. Dearina mengakui upah kakaknya sebagai buruh tani lebih banyak tak mencukupi untuk menopang hidup mereka.
Saat disinggung soal ayah mereka, Dearina langsung terdiam. Namun akhirnya ia buka suara. “Kami ditinggal ibu (meninggal) sejak kecil dan ayah kemudian menikah lagi, pindah ke Tigaras. Sejak menikah lagi, kami sama sekali tak dipedulikan lagi. Untuk belanja pun kami tak pernah dikirim uang. Adik kami SRP masuk penjara dan kami kasih tahu tapi ayah sama sekali tak peduli,” ungkap Dearina.
Ia kembali melanjutkan ceritanya. SRP saat ini duduk di SMP Negeri 7 kelas 7. Namun karena kemiskinan, SRP sering tak pergi sekolah. Sering karena alasan tak bayar SPP atau biaya lainnya di sekolah dan sering karena ikut membantu orang lain demi mendapat upah. “Soal kenakalan, namanya anak SMP biasalah nakal-nakal sedikt. Namun dia tak pernah berbuat kejahatan,” ungkap Dearina soal adiknya itu.
Sama seperti Sanna, Dearina pun baru sekali menjenguk adiknya di penjara. Lagi-lagi masalah ketiadaan biaya untuk ongkos jadi sebab. Ia juga tak tahu harus berbuat bagaimana untuk menolong adiknya di penjara. “Kami tak tahu, bang harus bagaimana. Kami tak punya uang. Saya sendiri sekarang lagi cari pekerjaan biar ada uang untuk menolong adikku,” ujar Dearina yang sudah tamat dari sebuah sekolah kejuruan.
Dearina pun tak tahu menahu soal status adiknya, apakah didampingi oleh pengacara dan bagaimana perlindungan hukum yang seharusnya diperoleh adiknya. “Kami tak tahu bagaimana dia di sana. Lagipula kalau mengurus di sana (kantor polisi) kan semuanya pakai uang. Darimana uang kami?” tanyanya.
Nasib keluarga MTS dan SRP di Pematangsiantar ini, hanya sekelumit ironi kemiskinan di negara ini. Tak berdaya ketika berhadapan dengan hukum dan tak tahu harus berbuat apa. Apalagi, ketika semua urusan harus mengeluarkan uang, mereka hanya bisa pasrah dan menggantungkan hidup semata pada nasib. (fetra tumanggor)



Seto Mulyadi: Komnas Anak Protes Keras Prosedur Penahanan

Dituduh Mencuri Sawit, 2 Anak di Bawah Umur Mendekam di Sel Polsek Martoba
Komnas Anak Akan Minta Penjelasan Kapolres


SIANTAR-SK: Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak) Seto Mulyadi memprotes keras prosedur penahanan yang dilakukan Polsek Siantar Martoba atas dua bocah, MTS (13) dan SRP (14), karena dituduh mencuri buah kelapa sawit.
Menurut Kak Seto, panggilan akrab Seto Mulyadi, yang dihubungi melalui telepon selulernya, Jumat (20/6), penahanan terhadap anak mempunyai prosedur standar yang sesuai dengan Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Kak Seto mengecam keras tindakan polisi yang menggabungkan kedua anak tersebut bersama tahanan dewasa dan tidak memperbolehkan mereka mengikuti ujian akhir di sekolah. Selain itu, Kak Seto juga memprotes penahanan kedua anak itu yang tidak didampingi pengacara. “Ini sudah melanggar hak anak. Kalau memang terjadi pelanggaran terhadap hak anak, kami dari Komnas Anak akan langsung datang dan meminta penjelasan dari Kapolres,” ungkap Kak Seto. Ia meminta Sinar Keadilan untuk terus memantau perkembangan kasus ini agar tidak terjadi pelanggaran hak anak yang lebih fatal.
Seperti diberitakan Sinar Keadilan kemarin, dua bocah MTS dan SRP, warga Jalan Sibatu-batu, Kampung Pabrik, Kelurahan Gurilla, Kecamatan Siantar Martoba, ditahan oleh Polsek Siantar Martoba, Pematangsiantar, dengan tuduhan terlibat pencurian sembilan janjang kelapa sawit. SRP, MTS dan Andi Syahputra (25) dituduh mencuri sawit dari lahan milik Jaingot Sinaga yang ditanam di tanah eks PTPN III Kebun Bangun.
Kapolres Persiapan Pematangsiantar AKBP Drs Andreas Kusmaedi kepada wartawan mengatakan, penangkapan tersebut sah-sah saja. Menurut Kapolresta kedua anak ini terbukti melansir sawit hasil curian milik Jaingot Sinaga. Kapolresta menambahkan, kedua bocah itu tetap saja pelaku pencurian karena membantu pelaku pencurian yang aslinya.
Soal penahanannya yang disatukan dalam sel tahanan dewasa, Andreas Kusmaedi lewat telepon membantahnya. Menurut Kapolresta, mereka dipisahkan dengan sel tahanan dewasa dan didampingi pengacara yang disediakan polisi sejak diperiksa.
Namun saat dikonfirmasi langsung ke keluarganya, penahanan kedua anak ini sama sekali tak diketahui keluarganya. Samaria Purba (47), oleh tetangganya sering dipanggil Sanna, ibunda MTS, mengatakan, saat anaknya ditangkap 4 Juni lalu, sama sekali dia tak menerima surat penahanan.
Sepulang dari ladang, kata Sanna, dia hanya mendapat informasi dari tetangganya kalau anaknya ditangkap karena dituduh mencuri sawit. Namun ia tak tahu polisi mana yang menangkap.
Esoknya, dia meminta tulang (paman) MTS, Lintong Purba, untuk mencari anaknya itu. Setelah bersusah-payah mencari, akhirnya Lintong menemukan keponakannya, bersama dengan SRP, telah mendekam di sel Polsek Siantar Martoba. Setelah itu, polisi kemudian memberikan surat penahanan kepada Lintong. “Saya baru mengetahui anak saya ditahan setelah pamannya membawa surat pemberitahuan penahanan. Mungkin kalau pamannya tak ke sana, surat penahanan tak akan kami terima dan kami mungkin tak tahu kabarnya,” jelas Sanna.
Awalnya Sanna keberatan atas penahanan tanpa pemberitahuan dan menyebabkan anaknya tidak dapat mengikuti ujian semester di SMP 13. Tetapi karena tidak mempunyai uang dan tidak tahu bagaimana cara mengurus agar anaknya ikut ujian, akhirnya Samaria tidak tahu harus berbuat apa. “Kami ini orang miskin, pak. Sejak ayahnya meninggal tujuh tahun yang lalu, hanya saya yang mencari nafkah sebagai buruh tani di ladang orang,” ujarnya sembari menitik air mata.
Dia juga mengatakan tidak mendukung aksi pencurian tersebut, namun dia menilai anaknya terlibat karena bujukan dari teman-temannya. Dijelaskannya, MTS merupakan anak yang penurut kepada orang tua, dan biasanya sehabis pulang sekolah langsung bekerja di ladang membantu ibunya.“Kalau memang ada uang mungkin nasib anak saya tidak sampai begini. Apalah mau saya buat, kami saja mengontrak rumah,” kata dengan nada datar.
Samaria menuturkan sejak anaknya ditahan hanya sekali menjenguk dan dengan ketidakmampuan perekonomian keluarga, akhirnya janda beranak 7 tersebut hanya pasrah. Menurutnya penahanan atas anaknya dinilai memberatkan. Dia hanya pasrah bagaimana akhirnya persoalan ini. “Tergantung pemerintah, apa anak saya mau di situ sampai mati biarlah,” sebutnya berulang kali.
Saat disinggung apakah anaknya didampingi pengacara, Sanna mengaku tak tahu. Saat ditanya apakah ada seseorang yang pernah datang ke rumahnya dan mengaku sebagai pengacara yang mendampingi anaknya, Sanna mengatakan sampai saat ini tak pernah ada orang yang datang ke rumahnya.
Hal senada dikatakan Dearina Purba, kakak SRP. Menurutnya, keluarganya tak mendapat surat penahanan dari polisi selepas kejadian tersebut. Dearina mengatakan, penangkapan terhadap adiknya diketahui dari Lintong Purba yang membawa surat dari polisi. Dia juga mengatakan keterlibatan adiknya semata-mata karena terpengaruh lingkungan sekitar dan diimingi-imingi uang. Menurutnya sejak ditahan , SRP terpaksa tidak mengikuti ujian di sekolah.
Sementara itu berdasarkan keterangan dari salah seorang guru SMP 13 marga Purba, MTS merupakan siswa sekolah tersebut. Dia mengaku tidak tahu MTS telah ditahan polisi, karena tidak ada pemberitahuan dari pihak keluarga.
Menurutnya ini menyebabkan kemungkinan MTS tidak mengikuti ujian dan tinggal kelas. Dia juga mengatakan MTS tergolong siswa yang baik dan rajin sekolah dan dia kurang yakin jika MTS terlibat dalam pencurian tersebut. Mengenai tindakan sekolah dalam hal ini, Purba mengatakan hal tersebut tergantung kebijakan sekolah selama ada pemberitahuan dari orang tuanya.
Sementara itu Lurah Gurilla M Tarigan mengatakan telah meminta polisi agar kedua pelaku diperingan proses hukumnya. Namun jawaban dari polisi menurutnya tidak dapat membantu dengan alasan berkas telah dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Siantar.
Mengenai adanya pengacara mendampingi SRP dan MTS, Tarigan kurang mengetahui hal tersebut. Namun dia berharap agar polisi dalam memproses kasus tersebut mempertimbangkan rasa keadilan mengingat keduanya masih di bawah umur dan berstatus pelajar.(jansen)



Tragis, Dua Bocah Mendekam di Sel Polsek Martoba Tak Diijinkan Ujian Sekolah

Dituduh Mencuri Sawit
Di Sel Bergabung dengan Tahanan Dewasa


SIANTAR-SK: Dua orang anak, MTS (13) dan RP (14), keduanya warga Kampung Pabrik, Kelurahaan Gurilla, Kecamatan Siantar Martoba, terpaksa mendekam di sel Polsek Siantar Martoba. Kedua bocah berstatus pelajar salah satu SMP di Siantar ini telah mendekam di sel Polsek Siantar Martoba sejak 4 Juni lalu.
Menurut keterangan dari kepolisian, keduanya dituduh mencuri sawit milik Jangot Sinaga, dari areal perkebunannya yang tak jauh dari kediaman kedua anak ini. Tragisnya, kedua anak ini akhirnya tidak dapat mengikuti ujian akhir semester di sekolahnya. Lebih jauh, di dalam sel mereka bergabung bersama tahanan dewasa lainnya. Kejanggalan lainnya, penangkapan keduanya tidak langsung diberitahukan kepada orang tuanya, tetapi langsung dimasukkan ke sel. Keesokan harinya setelah penangkapan, kedua orang tua mereka baru memperoleh surat perintah penahanan.
Penjelasan itu diungkapkan ibunda RP, Samaria br Purba (46) yang didampingi kakak kandung RP, Novelia br Purba (25) di rumahnya, Kamis (18/6).
Samaria mengaku tidak bisa berbuat apa-apa perihal penangkapan anaknya. Dirinya berharap kiranya kepolisian teliti mencermati motif kasus tersebut. ”Anak saya ditangkap hari Rabu 4 Juni, namun surat diberikan Kamis 5 Juni 2008,” katanya kepada wartawan dengan berlinang air mata.
Samaria menceritakan, MTS, RP dan seorang teman mereka yang lain, Andi Saputra (25) hanya disuruh untuk menjaga dan melansir 9 janjang sawit. Mereka disuruh oleh Jhon Piri Sinaga, Sobat Sipayung (masih buron, red) dan Andi Syahputra (sudah ditangkap) yang diambil dari lahan milik Jangot Sinaga yang merupakan tanah garapan milik perkebunan PTPN III. Naas bagi ketiganya, ketika hendak melansir sawit menggunakan beko, kepergok petugas yang langsung memboyong mereka ke Polsek Martoba.
Sementara, pelaku (Jhon Piri dan Sobat) kabur begitu mengetahui kehadiran petugas. ”Sebenarnya mereka tidak mengetahui kalau sawit tersebut hasil curian, sebab keduanya pun memiliki kebun,” ujar Samaria seraya mengatakan kalau kedua bocah itu dijemput oleh Jhon Piri dan Sobat dari salah satu warung tak jauh dari rumah mereka.
Kapolres Persiapan Pematangsiantar AKBP Drs Andreas Kusmaedi kepada wartawan mengatakan, penangkapan tersebut sah-sah saja. Menurut Kapolresta kedua anak ini terbukti melansir sawit hasil curiaan itu milik Jangot Sinaga. Kapolresta menambahkan, kedua bocah itu tetap saja pelaku pencurian karena membantu pelaku pencurian yang aslinya.
Soal penahanannya yang disatukan dalam sel tahanan dewasa, Andreas Kusmaedi lewat telepon membantahnya. Menurut Kapolresta, mereka dipisahkan dengan sel tahanan dewasa dan didampingi pengacara yang disediakan polisi sejak diperiksa.
Sementara itu, Lurah Gurilla M Tarigan kepada wartawan mengaku tidak mengetahui ada warganya ditangkap aparat Polsek Siantar Martoba. “Sejak ditangkap sampai sekarang, saya tidak tahu ada dua anak ditangkap gara-gara dituduh mencuri. Tapi akan kita coba untuk koordinasi kepada Kapolseknya, upaya apa untuk bisa menyelesaikan ini,”sebutnya.

Ketidakpatuhan Petugas
Secara terpisah, penangkapan kedua bocah itu mendapat kecaman keras dari Direktur LPM Suluh, Octavianus Sitio. Menurutnya, hal itu merupakan bentuk ketidakkepatuhan petugas terhadap UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dimana yang dimaksud dengan anak adalah yang belum berusia 18 tahun. Serta pada pasal 64 UU itu dijelaskan, anak yang berhadapan dengan hukum harus ada pendamping dan tempat khusus serta harus dipertahankan hubungan dengan orangtuanya. Polisi juga harus melihat aspek-aspeknya, dengan cara apa yang mendasari perbuatan anak ini. Apa karena ekonomi atau kedua orang tuanya sudah tidak ada lagi, hingga tidak ada hubungan kasih sayang. “Penangkapan dan penahanan sesuai pasal 16 ayat dua, merupakan upaya terakhir. Kebanyakan polisi menganggapnya sebagai kriminal murni, padahal kasus anak tidak berdiri sendiri, harus dilihat mengapa hal itu dilakukan dan hak anak harus dilindungi,"tegasnya.
Anak-anak jika berhadapan dengan hukum, harus ditempatkan di ruangan khusus, tak boleh digabung dengan tahanan dewasa, mendapat pendampingan khusus sejak awal dan hubungan dengan orangtua harus tetap dipertahankan. Oktavianus menilai polisi berlebihan menahan kedua bocah tersebut, sebab bukan mereka pelaku utamanya. (jal)



Ketua DPRD Siantar: Jika Gaji Tetap Dibayar, Pemko Lakukan Pembohongan Publik

Ditampungnya Gaji 19 CPNS 2005
Ater: RE Siahaan Harus Diadukan ke Komnas HAM Karena Merampas Hak 19 Orang


SIANTAR-SK: Ketua DPRD Pematangsiantar Lingga Napitupulu tak setuju jika dikatakan penggunaan hak angket oleh anggota DPRD dalam kasus 19 CPNS ilegal 2005 akan sia-sia karena gaji 10 CPNS tersebut telah disetujui dalam APBD 2008.
Lingga mengatakan pada prinsipnya DPRD meminta pemko tidak membayarkan gaji 19 orang tersebut. Menurutnya persoalan pemko tetap membayarkan gaji atau tidak maka DPRD akan melihatnya dalam perhitungan akhir anggaran keuangan 2008. “Ini yang akan kita pantau dan jika tetap dibayar maka pemko telah melakukan pembohongan publik,” jelasnya.
Lingga berprinsip jika instruksi legislatif tersebut tidak dilaksanakan pemko maka kemungkinan secara kelembagaan, DPRD akan bersikap atas tindakan pembayaran gaji terhadap 19 CPNS yang diduga ilegal tersebut.
Dikatakannya dalam pembayaran gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS), a DPRD tidak mencampurinya karena gaji tersebut dialokasikan melalui Dana Alokasi Umum (DAU). Dijelaskannya anggaran DAU tidak boleh dikurangi sesuai penyaluran pusat ke daerah. Adanya surat Badan Kepegawaian Negara (BKN) mengenai pembatalan Nomor Induk Pegawai (NIP), Lingga berpendapat bukan menjadi keharusan dan wewenang gaji 19 CPNS agar dihapuskan. “Pastinya sesuai keputusan DPRD akan dilihat melalui perhitungan apakah dibayar atau tidak,” ujarnya.
Dia menyayangkan tudingan DPRD berbuat bodoh karena menyetujui pembayaran gaji tersebut. “Janganlah ada pernyataan seperti itu, kita bertindak sesuai aturan dan mekanisme yang ada,” tandasnya.
Sementara itu praktisi hukum Sarles Giltom, SH, mengutarakan langkah yang ditempuh DPRD mengajukan hak angket dalam kasus 19 CPNS tersebut harus dilakukan secara prosedural sesuai tata tertib (tatib) DPRD dan sesuai Undang- Undang (UU) No 32 tahun 2004 mengenai pemerintahan daerah. “Jadi ada aturan main, dan saya menilai pengajuan hak angket adalah langkah yang tepat,” katanya.
Dikatakannya melalui hak angket, DPRD memanggil Walikota RE Siahaan untuk mempertanyakan duduk persoalan penerimaan CPNS formasi 2005. Sarles mengatakan, jika dalam pertemuan antara DPRD dan walikota nantinya ditemukan dugaan pelanggaran hukum, maka DPRD dapat menyerahkan hasilnya ke penyidik agar ditindaklanjuti.
Di tempat terpisah, salah seorang tokoh masyarakat Siantar Ater Siahaan menilai RE Siahaan sebagai penanggungjawab penerimaan CPNS 2005 juga harus diadukan ke Komnas HAM. Menurutnya, tindakan pemko yang meluluskan 19 orang CPNS formasi 2005 yang tidak memenuhi syarat, telah melanggar hak asasi 19 orang warga yang seharusnya duduk menempati posisi tersebut. "Bayangkan saja, dari 19 CPNS tersebut, bahkan ada yang tidak mengikuti ujian sama sekali, namun diluluskan. Ini merupakan tindakan perampasan dan pengebirian hak 19 orang yang seharusnya mendapatkan posisi ini," ujar ketua IPK tersebut.
Lebih jauh Ater mengatakan tindakan melaporkan Pemko ke Komnas HAM oleh korban, sangat tepat. Hal ini mengingat hingga kini, pihak Polres Simalungun, belum juga menahan satupun pejabat pemko, meski sudah menetapkan kepala BKD sebagai tersangka. "SK 19 CPNS itu saja sudah dicabut oleh BKN, ini adalah bukti mereka tidak sah. Namun tak satupun yang ditahan. Jadi lebih baik korban CPNS mengadukan pemko ke Komnas HAM, agar hal ini diproses," sarannya lagi.
DPRD Siantar, menurut Ater, seharusnya melindungi warganya yang telah dizolimi haknya oleh Pemko. "Saran saya, segeralah para korban mengadukan pemko dan jajarannya ke Komnas HAM dan hal ini akan saya dukung penuh," ujarnya. (jansen/simon)



13 Juni, 2008

DPRD Siantar Impoten!

Oleh: Fetra Tumanggor

Rabu (11/6) siang, awan tebal menggelayut di langit Siantar. Saya baru selesai makan di depan Kantor PWI di Jalan Kartini saat tiba-tiba SMS masuk ke HP saya. “Au di Kok Tung Bawah.” Sebuah pesan singkat namun jelas dari Tigor Munthe, wartawan Radio CAS FM sekaligus Ketua Panwaslih Siantar. Maksudnya, ayo gabung ke Kedai Kopi Kok Tung Bawah.
Bersama Simon Damanik, koordinator liputan Sinar Keadilan, saya segera meluncur ke TKP. Ternyata di situ, selain Tigor, sudah ada Morri Rajagukguk, sesepuh wartawan di Siantar. Baru saja memesan kopi, hujan deras mengguyur.
Bersantai di kedai kopi, pembicaraan pun sesukanya. Saat itu kami diskusi soal dunia preman di Siantar, terutama saat masa jayanya di tahun 1980-an. Namun tak jauh dari meja kami minum, saya mendengar juga pembicaraan dua anak muda tentang kinerja anggota DPRD Siantar saat ini. Meski saat itu kami sedang membahas soal preman Siantar, telinga dan hati saya lebih konsentrasi mendengar pembicaraan dua anak muda di dekat kami tersebut. Mereka membahas tentang buruknya kinerja anggota DPRD saat ini. Menurut mereka, DPRD sekarang tak bernyali, terutama terhadap Walikota RE Siahaan. Bahkan salah seorang dengan tegas menyebut kalau DPRD Siantar impoten!
Saya hanya tersenyum geli mendengar diskusi mereka. Saya sendiri secara pribadi setuju jika dikatakan DPRD saat ini tak punya nyali, lebih mementingkan pribadi dan sama sekali tak berpihak pada rakyat. Beragam kasus yang terjadi di kota ini, dan terutama beberapa kasus yang melibatkan Walikota Siantar RE Siahaan, namun tak sekalipun DPRD punya sikap resmi.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), misalnya, telah jelas menyebut Walikota RE Siahaan dan Wakilnya Imal Raya Harahap, bersalah karena telah melanggar asas persaingan usaha dalam proyek bangsal di RSUD dr. Djasamen Saragih tahun 2006. Dalam proyek tersebut, walikota disebut telah melakukan intervensi untuk memenangkan perusahaan tertentu. Akibatnya, negara dirugikan sebesar Rp381.440.000.
Dalam kasus dugaan korupsi dana sosial 2007 sebesar Rp18 miliar, walikota juga diduga adalah pemain utama. Harian Sinar Keadilan bahkan sudah sering memberitakan tentang dugaan korupsi dana sosial ini. Beredar informasi, dari sejumlah dana tersebut ada dugaan sekitar Rp10 miliar dipergunakan oleh Walikota Siantar, sedangkan Rp6 miliar belum jelas pengeluarannya. Hanya sekitar Rp2 miliar yang jelas dapat dipertanggungjawabkan. Kasus ini sudah ditangani polisi. Mantan Kepala Bagian Sosial Aslan bahkan sudah diperiksa. Bahkan Bayu Tampubolon, mantan ajudan walikota pun sudah pernah diperiksa.
Sinar Keadilan pernah memberitakan, dalam pemeriksaan di kantor polisi, Bayu jelas menyebut bahwa dia pernah mengantar uang dana sosial tersebut, bersama Aslan, langsung ke RE Siahaan. Jumlah uang yang diantar tak tanggung-tanggung, Rp3,2 miliar!
Kasus lainnya yang melibatkan RE Siahaan adalah kasus penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) formasi tahun 2005. 19 nama yang diusulkan Pemko Siantar ke Badan Kepegawaian Negara (BKN) untuk diangkat menjadi PNS, diduga kuat sarat dengan manipulasi. 19 nama ini merupakan anak dan keluarga dari beberapa pejabat Pemko Siantar, termasuk keluarga walikota.
Ke-19 CPNS ini diketahui tidak mengikuti proses penerimaan sesuai ketentuan tetapi mereka tetap diangkat oleh Pemerintah Kota Pematangsiantar.
Dari 19 CPNS, enam di antaranya sama sekali tak mengikuti tes seleksi, sementara 16 CPNS mengikuti seleksi namun hasilnya dinyatakan tidak lulus. Bayangkan, ada orang yang tak lulus ujian dan bahkan ada yang sama sekali tak mengikuti ujian namun dinyatakan lulus dan diusulkan diangkat menjadi PNS.
Dari ketiga kasus ini, sampai saat ini tak ada sikap dari DPRD Siantar. Bahkan dalam kasus 19 CPNS ilegal tersebut, Walikota RE Siahaan sebenarnya sudah terpojok. BKN secara resmi telah melayangkan surat kepada walikota agar 19 PNS tersebut dipecat. Bahkan BKN sendiri sudah mencabut Nomor Induk Pegawai (NIP) 19 PNS bermasalah tersebut. Sebagai institusi negara, BKN tentunya tak sembarangan mengambil keputusan tersebut (mencabut NIP) tanpa melalui analisa yang mendalam.
BKN juga telah resmi mengakui bahwa penerimaan 19 CPNS itu terdapat kesalahan. Itu sebabnya mereka meminta kepada walikota agar 19 orang tersebut dipecat.
Namun apa mau dikata, DPRD Siantar hanya diam seperti patung. Kadangkala, seperti ingin berpihak pada rakyat, beberapa orang anggota DPRD Siantar mengusulkan dibentuk panitia khusus. Namun, sepertinya itu hanya di bibir saja. Sampai saat ini tak ada realisasi dari pansus tersebut. “Kalaupun ada hanya bansus atau bandrek susu,” ujar seorang kawan sembari tertawa.
Yang paling parah, DPRD Siantar menyetujui APBD Siantar 2008 yang di dalamnya terdapat gaji dari 19 CPNS ilegal tersebut. Logika saja, darimana jalannya mereka berhak memperoleh gaji padahal NIP-nya telah dicabut oleh BKN. NIP dicabut artinya mereka bukan PNS lagi dan tak berhak menerima gaji.
Namun apa mau dikata, sebagian besar anggota DPRD tutup mata dan tutup telinga karena tetap meloloskan APBD tersebut. Kalau menurut saya, mereka bebal alias tak punya nurani lagi. Kalau sudah begini, apa yang mau diharapkan dari DPRD?
Saya teringat perkataan teman saya, katanya tetap ada yang bisa diharapkan dari anggota DPRD, yakni uangnya. “Beberapa dari mereka kan raja olah, beberapa lagi suka memajukan proposal, lainnya suka terima amplop, jadi uang mereka banyak,” kata teman saya itu. Saya hanya tersenyum kecut jika mengingat itu. (***)




Anggota DPRD Gunakan Hak Angket Panggil Walikota RE Siahaan

Terkait Kasus 19 CPNS Ilegal 2005

SIANTAR-SK: Anggota DPRD Aroni Zendrato mengatakan beberapa anggota dewan telah melayangkan surat kepada pimpinan untuk menggunakan hak angket dan menggelar sidang paripurna memanggil Walikota RE Siahaan mengenai kasus 19 CPNS ilegal formasi 2005.
Menurutnya anggota DPRD yang ingin menggunakan hak angket tersebut terdiri dari tiga fraksi yakni fraksi PDI-P Kebangsaan, Barnas dan Demokrat. Dia juga mengatakan permintaan penggunaan hak tersebut telah mencapai lima belas orang anggota atau satu fraksi di DPRD sesuai dengan UU No 32 tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah. Sesuai pasal 32 ayat 2 dijelaskan penggunaan hak angket dihadiri 3/4 jumlah anggota dewan atau mendapat persetujuan 2/3 anggota dewan yang hadir. “Artinya telah memenuhi persyaratan menggelar sidang paripurna memanggil walikota untuk dimintai keterangannya,” jelas Aroni.
Sedangkan latarbelakang penggunaan hak tersebut, dinilainya ada dua hal yakni proses kasus CPNS formasi 2005 jika terbukti walikota melanggar sumpah jabatan menyetujui penerimaan CPNS dimaksud. Kedua, adanya surat Badan Kepegawaian Negara (BKN) yang meminta walikota mengeluarkan surat pemberhentian 19 CPNS yang belum dilaksanakan sampai sekarang. Politisi dari Partai PDI-Perjuangan tersebut mengatakan permintaan sidang paripurna dilakukan untuk menilai kebijakan walikota yang diduga melanggar sumpah jabatan sesuai ketentuan.
Namun dikatakannya sejauh ini belum ada jawaban pimpinan atas permintaan tersebut. Menurutnya hal ini disebabkan adanya pembentukan panitia khusus (Pansus) Laporan Keterangan Pertanggung jawaban (LKPj) 2007. “Kita berharap agar secepatnya diagendakan pimpinan,” katanya.
Aroni juga menilai polisi terlalu lama menetapkan tersangka kasus CPNS 2005 yakni kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Morris Silalahi. Dikatakannya sejak dikeluarkannya surat BKN pertama mengenai pencabutan Nomor Induk Pegawai (NIP) 19 orang tersebut, maka sudah dapat ditetapkan tersangka. Masalah pemberhentian gaji, Aroni menjelaskan dalam pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBD) 2008, legislatif telah meminta gaji mereka diberhentikan. “Tidak mungkin kita pisahkan gaji 19 CPNS itu dengan PNS lain, selama belum ada surat keputusan (SK) pemecatan dari walikota,” terangnya.
Sementara itu anggota komisi I Grace br Saragih menilai kebijakan meminta keterangan dari walikota atas kebijakannya yang menimbulkan persoalan hukum layak dilakukan. Menurutnya penggunaan hak angket secara umum dapat dilaksanakan. Grace juga menilai hal tersebut telah dilakukan kepolisian dengan menetapkan tersangka. Namun yang terpenting dalam hal ini, menurutnya legislatif harus mendapat ketegasan dari kepala BKD apakah bertindak sendiri atau melaksanakan kebijakan walikota. “Tentunya implikasi dan akibat hukum harus lebih jauh diantisipasi legislatif,” ujarnya.
Di tempat terpisah Ketua Fraksi PDI-P Kebangsaan Mangatas Silalahi yang dihubungi melalui telepon selulernya belum mengetahui perihal pengajuan hak angket tersebut dan menyarankan dipertanyakan kepada pimpinan. Saat disinggung penggunaan hak angket seiring timbulnya krisis kepercayaan publik atas walikota terkait kasus tersebut, menurutnya harus dilakukan pengkajian dan melihat sejauh mana keterlibatan walikota dalam dugaan tindak pidana. “DPRD bukan hanya memanggil, tetapi punya legitimasi terhadap berbagai persoalan di Siantar dan bukan hanya kasus 19 CPNS ini,” sebutnya.
Mengenai pemanggilan walikota, Mangatas berpendapat jika memang kepala daerah terbukti melanggar hukum dalam pemeriksaan polisi, maka DPRD dapat mengambil tindakan selanjutnya menggelar sidang paripurna.
“Kita lihat dulu apakah ada indikasi ke arah sana dan kita tetap harus patuhi hukum asas praduga tak bersalah,” ucapnya mengakhiri. (jansen)



Anggota DPRD Siantar Tak Hadir Menyambut Piala Adipura

Bentuk Protes Terhadap Kesejahteraan Petugas Kebersihan

SIANTAR-SK: Anggota DPRD Siantar Aroni Zendrato menyesalkan pernyataan yang mengatakan anggota dewan tidak bermoral karena tidak menghadiri penyambutan Piala Adipura ke- 3, Selasa (10/6), di lapangan H Adam Malik. “Kita minta jangan asal ngomong, apa alasan muncul perkataan seperti itu, jangan karena pengurus partai sembarangan ngomong,” ujarnya, Kamis (12/6), di ruangan komisi III DPRD.
Aroni secara pribadi mengatakan tidak menerima undangan resmi terkait penyambutan Piala Adipura tersebut. Dia juga mengutarakan ketidakhadiran DPRD merupakan bentuk protes mempertanyakan alasan dan kriteria ditetapkannya Siantar sebagai predikat kota terbersih. Menurutnya kota Siantar belum layak menerima penghargaan tersebut. Alasannya, sesuai kenyataan di lapangan penghargaan yang diraih tidak seimbang dengan kondisi gaji petugas kebersihan sebesar Rp450 ribu/bulan, serta belum dibayarkannya dana kesejahteraan Rp150 ribu selama tiga bulan. “Ini yang namanya prestasi kebersihan, sementara kondisi pekerja di lapangan jauh memenuhi standar,” katanya.
Menurutnya penghargaan yang diraih bukan hanya sebatas kota tersebut dianggap bersih. Namun yang menjadi perhatian adalah kepedulian pemko terhadap nasib sejumlah petugas kebersihan yang ada. Aroni juga mengatakan kondisi di lapangan juga jauh berbeda dengan istilah tempat yang bersih. Dia mencontohkan kondisi Pasar Horas dan Dwikora yang terkesan kotor dan kurang memadai. “Siantar mendapat predikat kota terbersih layak dipertanyakan, karena kondisi di lapangan jauh berbeda,” terangnya.
Mengenai adanya dugaan Adipura tersebut sengaja dibeli, Aroni mengatakan hal tersebut tergantung penilaian masyarakat di lapangan, melihat peran pemko mewujudkan kota bersih.
Sedangkan adanya pemberian bonus bagi petugas kebersihan sebesar Rp75 ribu, menurutnya tidak masalah selama sumbangan merupakan bantuan pribadi walikota. “Lebih baik pemko memberikan tunjangan asuransi kepada mereka yang diusulkan melalui ijin prinsip atau peraturan walikota (Perwa),” ujarnya.
Diutarakannya pemberian uang tersebut percuma saja jika dibebankan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Menurutnya berdasarkan pengalaman tahun lalu saat meraih piala Adipura ke-2, pemko juga memberikan sejumlah uang. “Tapi besoknya langsung diusulkan ijin prinsip dengan alasan biaya penyambutan Adipura dan pemberian bonus yang biayanya mencapai ratusan juta,” tukasnya.
Dia menyarankan pemko agar dana tersebut dialihkan untuk biaya kesejahteraan dan kesehatan petugas kebersihan.
Sementara itu Ketua DPRD Lingga Napitupulu juga mengungkapkan ketidakhadiran legislatif sebagai bentuk keprihatinan gaji petugas kebersihan yang jauh dibawah upah minimum regional (UMR) serta ditundanya pembayaran dana kesejahteraan. “Kenapa tidak permasalahan ini dibuat ijin prinsip atau Perwanya,” ucap Lingga.
Dia juga berpendapat penghargaan Adipura harus diseimbangkan dengan kesejahteraan petugas kebersihan seperti penyapu jalan, tukang korek parit, supir dan kenek pengangkut sampah. “Adipura seharusnya membuat kehidupan mereka semakin sejahtera, makanya saya prihatin,” katanya singkat. (Jansen)




DPRD Siantar Harus Segera Panggil Walikota

Kepala BKD Morris Silalahi Ditetapkan Jadi Tersangka CPNS Gate 2005

SIANTAR-SK: DPRD Siantar harus menggunakan hak angket untuk meminta keterangan Walikota Pematangsiantar RE Siahaan terkait telah ditetapkannya Kepala BKD Morris Silalahi sebagai tersangka dalam kasus penerimaan CPNS formasi 2005 yang diduga dimanipulasi. Hal tersebut disampaikan pengamat hukum Sarles Gultom SH, Rabu (11/6) di kantornya.
Menurutnya walikota selaku penanggungjawab kegiatan penerimaan CPNS 2005 harus bertanggungjawab jika ditemukan pelanggaran tindak pidana hukum. “Legislatif harusnya menanggapi persoalan ini. Mana pengawasan terhadap kinerja walikota? DPRD jangan hanya diam menunggu keputusan pengadilan,” jelasnya.
Sarles mengutarakan penggunaan hak tersebut sesuai dengan Undang-Undang No 32 Tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah. Dalam pasal 32 disebutkan jika kepala daerah atau wakilnya menghadapi krisis kepercayaan publik yang meluas karena dugaan tindak pidana, maka DPRD mempunyai hak angket untuk menanggapinya. “Dewan harus memanggil walikota mempertanyakan kasus ini, dan jika terbukti melanggar sumpah jabatan dapat diteruskan ke aparat hukum,” katanya.
Dia berpendapat DPRD harus secepatnya menggelar sidang paripurna dan pro-aktif dalam kedudukannya sebagai wakil rakyat. Mengenai penetapan Kepala BKD Pemko Siantar Morris Silalahi sebagai tersangka, Sarles mengatakan Polres Simalungun harus memeriksa seluruh panitia penerimaan CPNS formasi 2005, terutama walikota selaku penanggungjawab yang mengusulkan pengangkatan 19 orang tersebut.
Berbicara kategori kasus ini, Sarles menjelaskan CPNS Gate tersebut termasuk tindak pidana korupsi, kolusi dan nepotisme sesuai UU No 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersih. Sesuai pasal 1 poin 4 dikatakan nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara melawan hukum yang menguntungkan keluarga dan kroninya.
“Jelas 19 orang yang diangkat tersebut merupakan anak dan saudara dari sejumlah pejabat pemko, termasuk saudaranya RE Siahaan,” tandasnya.
Sarles juga menambahkan 19 orang tersebut dapat dijadikan tersangka jika mengarah kepada dugaan korupsi yakni menerima gaji yang tidak haknya dan mengakibatkan kerugian negara.
Sarles menambahkan sudah selayaknya RE Siahaan diperiksa karena Badan Kepegawaian Negara (BKN) pun sudah menilai penerimaan 10 orang tersebut tak sesuai ketentuan. BKN bahkan sudah meminta walikota menerbitkan surat keputusan (SK) pemberhentian 19 CPNS tersebut. Selain itu BKN sendiri sudah mencabut Nomor Induk Pegawai (NIP) 19 orang tersebut. “Artinya walikota harus bertanggungjawab dan mengapa sampai sekarang belum ada pemecatan,” sebutnya.
Secara terpisah anggota Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) Sumut Batahi Simanjuntak, SH mengutarakan kepala daerah dapat diperiksa dalam sebuah kasus, sebagai penanggung jawab di dalam dan diluar pengadilan.
“Sebagai kepala daerah, RE Siahaan harus bertanggungjawab di daerahnya, apakah sudah ada kontrol terhadap hasil seleksi sesuai ketentuan,” jelasnya.
Soal dilakukannya pemanggilan kepala daerah sebagai saksi ataupun dugaan tersangka, menurutnya harus ada ijin dari Presiden. Ini sesuai UU No 32 tahun 2004 pasal 36 ayat 1 dijelaskan tindakan penyelidikan/penyidikan kepada kepala daerah atau wakilnya dilaksanakan setelah adanya persetujuan Presiden atas permintaan penyidik. Sedangkan batas waktu dijelaskan sejak diterima Presiden permohonan selama 60 hari maka proses penyelidikan/penyidikan dapat dilanjutkan.
Mengenai sanksi hukum dalam sebuah kasus, dikatakannya ada dua yakni sanksi politis dari legislatif karena ada kewajiban kepala daerah melaksanakan UU yang berlaku di Indonesia. Sedangkan sanksi pidana menurutnya jika ada unsur pidana di dalamnya maka tergantung aparat berwajib untuk memprosesnya.
Batahi juga berpendapat jika mekanisme pengangkatan berjalan sempurna sesuai kontrol, kepala daerah mempunyai hak membatalkan apa yang diusulkan panitia. “Di sini perlu diminta keterangan kepala daerah untuk mempertanyakan apakah ada kontrol atau pengawasan yang telah dilaksanakannya,” ujarnya mengakhiri. (jansen)




Aneh, BKD Siantar Tak Tahu Jumlah Tenaga Honor Saat ini

SIANTAR-SK: Aneh, Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Siantar sama sekali tak tahu mengenai jumlah pasti tenaga honor di lingkungan Pemko Siantar. Terbukti Kabid Program Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Siantar P Silaen saat dikonfirmasi mengenai jumlah honor justru menyarankan agar masalah tersebut ditanyakan langsung kepada Kepala BKD Morris Silalahi.
Sebaliknya, saat hal ini ditanyakan kepada Morris Silalahi, dia justru meminta agar hal ini ditanyakan ke stafnya. Sepertinya, ada sesuatu yang disembunyikan oleh BKD mengenai keberadaan tenaga honorer di Pemko Siantar.
Saat Sinar Keadilan mencoba menelusuri jumlah dan keberadaan tenaga honorer di Siantar, tak ada seorangpun pegawai BKD yang mampu memberi jawaban. Dari beberapa orang yang ditanya, semuanya bingung.
Saat disinggung mengenai adanya dugaan sejumlah honor baru yang masuk ke sejumlah instansi dan kantor camat, Silaen sama sekali tidak mengetahui hal tersebut. “Saya belum tahu, nantilah akan kita panggil dan cek masing- masing kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) untuk mempertanyakannya,” jelasnya singkat.
Sedangkan pengangkatan menggunakan surat keputusan (SK) walikota tahun 2005 atau istilah SK mundur, sementara honor tersebut mulai bekerja awal 2008, Silaen juga menegaskan kurang mengetahuinya.
Sementara itu Direktur Eksekutif CBR Foundation menilai ketidakterbukaan pemko soal jumlah honor saat ini dapat menjadi bumerang mengenai keberadan honor. Menurutnya sesuai dengan surat edaran Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) No : K .26 – 30/V.35-5/99 tanggal 27 Maret 2006 mengenai data base tenaga honor tidak mungkin BKD tidak mengetahui jumlah honor saat ini yang akan diusulkan pengangkatannya menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) sesuai data base BKN. “BKD itu lembaga pemerintah jadi mustahil tidak mengetahui jumlah honor saat ini,” katanya.
Agus juga menduga dengan banyaknya honor “misterius” saat ini jelas melanggar ketentuan Peraturan Pemerintah (PP) No 48 tahun 2005 mengenai pengangkatan tenaga honor menjadi CPNS. Dia juga menilai kelebihan jumlah honor saat ini menjadi beban bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kota Siantar setiap tahunnya untuk menampung pembayaran gaji. Dijelaskannya jumlah honor yang berlebihan tersebut juga membuat kinerja PNS yang telah ada menjadi sia- sia dan malas. “Banyak kita temukan PNS hanya santai karena pekerjaan mereka telah diambil-alih tenaga honor, jadi tidak tahu apa yang mau dikerjakan,” ujarnya.
Agus berpendapat keberadaan honor saat ini berdampak terhadap efektifitas dan cara kerja pemko dalam melaksanakan tugas pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. Menurutnya jumlah honor saat ini harus menjadi perhatian serius semua pihak termasuk DPRD Siantar.
Dikatakannya legislatif harus mendesak pemko mengenai jumlah honor yang ada karena secara tidak langsung keberadaan honor tersebut penting untuk mengatur anggaran belanja daerah yang tepat dan efisien.
“Namun kita sayangkan dewan terkesan mengabaikannya, harusnya ada pemanggilan kepada BKD soal jumlah honor saat ini,” paparnya singkat. (jansen)




Kepala BKD Sumut: RE Siahaan Juga Harus Diusut

Morris Resmi Jadi Tersangka Kasus 19 CPNS Ilegal 2005
Kapolres: Kami Akan Segera Surati Presiden

SIANTAR-SK: Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Pematangsiantar Morris Silalahi resmi menjadi tersangka dalam kasus penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) formasi 2005. Meski telah menjadi tersangka, namun Morris yang dalam kasus ini menjabat sekretaris panitia, tidak ditahan. Hal ini diungkapkan Kepala Satuan Reserse Kriminal (Kasat Reskrim) Polres Simalungun Ajun Komisaris Polisi (AKP) Dedi Supriadi, SIk, di ruang kerjanya, Selasa (10/6), sekitar pukul 14.00 Wib.Dedi menambahkan tidak ditahannya Morris karena akan ada pemeriksaan lanjutan. “Karena dalam pemeriksaan terdahulu masih ada sejumlah kekurangan seperti bukti-bukti yang kita mintakan untuk segera dipenuhi oleh Morris dan kalau sudah dipenuhi maka pemeriksaan akan kita lanjutkan kembali,” papar Dedi. “Yang pasti pemeriksaan akan dilakukan kembali secepatnya setelah bukti-bukti yang dimintakan segera dipenuhi kembali,” tambahnya.
Seperti diberitakan kemarin, Morris menjalani pemeriksaan di Polres Simalungun, Senin (9/6), terkait kasus penerimaan CPNS formasi 2005 yang diduga dimanipulasi. Ke-19 CPNS ini diketahui tidak mengikuti proses penerimaan sesuai ketentuan tetapi mereka tetap diangkat oleh Pemerintah Kota Pematangsiantar.
Mereka diduga merupakan kerabat dekat para pejabat di Pemkot Pematang Siantar. Dari 19 CPNS, enam di antaranya sama sekali tak mengikuti tes seleksi, sementara 16 CPNS mengikuti seleksi namun hasilnya dinyatakan tidak lulus.
Kapolres Simalungun AKBP Rudi Hartono mengungkapkan, sejauh ini polisi baru menetapkan Moris sebagai tersangka. Namun tidak menutup kemungkinan, bakal ada tersangka lain dalam kasus ini, karena Moris, menurut Rudi, sifatnya hanya menggantikan peran ketua tim seleksi CPNS yakni mantan Sekretaris Daerah Kota Pematangsiantar, almarhum Togar Batubara.
"Kami akan lihat apakah kasus ini tanggung jawab ketua tim seleksi atau penanggung jawab (Wali Kota Pematangsiantar). Saat ini polisi memang baru menetapkan satu tersangka, tetapi tidak menutup kemungkinan bakal ada tersangka lain setelah pemeriksaan terhadap Moris," ujar Rudi saat dihubungi, Selasa.
Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Provinsi Sumut Mangasing Mungkur meminta agar polisi tidak hanya menimpakan kesalahan pada Moris seorang. "Seleksi penerimaan CPNS ini kan dilakukan oleh tim. Ketua timnya sekretaris daerah, sekretaris tim baru Kepala BKD setempat, sementara penanggung jawabnya bupati atau wali kota," ujar Mungkur.
Menurut dia, Wali Kota Pematangsiantar juga ikut harus diusut karena merupakan pejabat pembina kepegawaian daerah yang mengusulkan surat keputusan (SK) pengangkatan terhadap 19 CPNS bermasalah tersebut. "Yang bermasalah ini jumlahnya 19 orang, tidak mungkin tim seleksi tidak tahu," katanya.
Menurut Rudi, penyidikan polisi juga bisa mengarah pada keterlibatan Wali Kota Pematangsiantar. Tetapi dia buru-buru mengatakan, polisi tidak akan menduga-duga keterlibatan Wali Kota Pematangsiantar dalam kasus ini, meski yang bersangkutan adalah penanggung jawab seleksi tes CPNS sekaligus pejabat yang menandatangani surat keputusan pengangkatan CPNS.
Hanya saja, lanjut Rudi, polisi tetap akan memeriksa RE Siahaan. Rudi mengungkapkan, polisi masih belum bisa memeriksa RE Siahaan karena belum mengantongi izin dari Presiden.
"Dalam waktu dekat kami akan mengirimkan surat Presiden, terkait izin pemeriksaan terhadap Wali Kota Pematangsiantar. Sesuai peraturan perundangan, pemeriksaan terhadap bupati atau wali kota harus seizin Presiden. Untuk sementara kami akan meminta keterangan Wali Kota sebagai saksi, untuk mengecek kebenaran keterangan dari tersangka ini," ujar Rudi.
Polisi, kata Rudi, juga sudah meminta keterangan dari 19 CPNS yang bermasalah. Sudah banyak yang kami mintai keterangan, termasuk 19 CPNS itu. "Polisi juga sudah mengumpulkan dokumen-dokumen terkait kasus ini, antara lain soal surat dari BKN yang membatalkan NIP ke-19 CPNS ini," katanya.
Di sisi lain, Mungkur mengatakan, kesalahan tidak bisa hanya ditimpakan kepada pejabat di Pematang Siantar. Jauh sebelum 19 CPNS ini diusulkan pengangkatannya oleh Wali Kota Pematangsiantar, BKD Provinsi Sumut, kata Mungkur, telah menyurati BKN agar nama-nama CPNS yang diterima harus berdasarkan hasil ujian.
"Sebelum kasus ini mencuat, kami sudah mengingatkan BKN, agar CPNS yang diberi NIP adalah yang lulus berdasarkan perangkingan dari Universitas Sumatera Utara. Kami juga melampirkan hasil ujian dalam surat ke BKN tersebut. Tetapi setelah NIP diberikan BKN, baru diketahui, ada CPNS yang diusulkan mendapat NIP tetapi dilihat rangking hasil tes sebenarnya dia tak lulus. Terus ada juga yang sama sekali tidak ikut tes," kata Mungkur.
Menurut dia, bisa saja Pemkot Pematang Siantar sengaja mengusulkan ke-19 CPNS dengan perkecualian. "Kalau ternyata memang ke-19 CPNS ini diusulkan dengan perkecualian dan Pemkot Pematang Siantar memberitahu terlebih dulu ke BKN, kan Pemkot Pematang Siantar juga tidak bisa disalahkan begitu saja," kata Mungkur.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Vocal Point Institut Judicial of Monitoring (IJM) M Alinafiah Simbolon mengatakan pemeriksaan terhadap Morris layak dipertanyakan. Menurutnya pemeriksaan polisi terhadap kasus tersebut dinilai tidak transparan. Dia mempertanyakan kenapa RE Siahaan tak juga diperiksa padahal penanggungjawab penerimaan tersebut adalah RE Siahaan sebagai walikota. “Apakah sudah ditelusuri keterlibatan walikota, kenapa sejauh ini belum ada pemanggilan,” katanya, Selasa (10/9), di DPRD Siantar.
Menurutnya sesuai Undang–Undang No. 28 tahun 1999 mengenai Pemerintahan yang Bersih dan Bertanggungjawab, maka semua pejabat seperti walikota dapat diperiksa aparat berwajib. “Jangan hanya Morris yang diperiksa, bagaimana dengan dugaan keterlibatan pejabat lain,” ujarnya.
Sementara itu Ketua LSM Lembaga Pengawasan dan Kekayaan Aset Negara (Lepaskan) Jansen Napitu mengatakan Walikota RE Siahaan harus ikut diperiksa. Dia beralasan sesuai pengaduan pihaknya soal pengangkatan 19 CPNS yang diduga ilegal ada beberapa tersangka yang diduga terlibat yakni RE Siahaan, Morris Silalahi, Tanjung Sijabat, dan mantan Sekda Almarhum Tagor Batubara.
Jansen juga menambahkan RE Siahaan harus diperiksa dengan alasan ke-19 orang tersebut sebagian besar keluarga dan saudara walikota. Selain itu RE Siahaan dinilai mengkangkangi hukum dengan tidak menerbitkan surat keputusan (SK) pemberhentian sesuai surat Badan Kepegawaian Negara (BKN) yang menjelaskan pengangkatan tersebut telah menyalahi mekanisme penerimaan CPNS selama ini. Menurutnya Polres Simalungun harus melayangkan surat ijin ke Presiden untuk segera memeriksa walikota.
Dikatakannya sejumlah nama tersangka yang diadukan pihaknya jangan dibiarkan bebas berkeliaran. Langkah tersebut menurutnya mempercepat pengungkapan tersangka dalam kasus dimaksud.
Jansen juga mendesak Polres agar melakukan pemeriksaan terhadap sejumlah pejabat pemko yang telah memasukkan anaknya dalam penerimaan 19 CPNS formasi 2005 tersebut. (daud/jansen/kcm)





10 Juni, 2008

Kuburan

Oleh: Fetra Tumanggor

Siang itu, awal Juni, waktu menunjukkan pukul 09.00 Wib. Mendung tampak menggelayut di langit Siantar. Di Kedai Kopi Kawan atau yang lebih dikenal sebagai Kedai Kopi Morsun di Jalan Cipto, hanya tampak lima orang, termasuk saya, yang sedang mengopi. Biasanya, jam segitu, kedai kopi ini ramai. Mungkin karena mendung, banyak orang menahan langkahnya untuk keluar rumah, takut kehujanan di tengah jalan.
Saya duduk di pojok sembari membaca sebuah koran terbitan Medan. Di meja sebelah tempat saya duduk, tampak dua orang, saya tak kenal, membicarakan soal mahalnya biaya mengubur orang mati di Siantar.
“Aku bingung, siapa sebenarnya yang mengurus pekuburan di Siantar ini. Minggu lalu aku baru ngurus kuburan tulangku yang baru meninggal di Kuburan Lama (Pekuburan Kristen di Kelurahan Kristen, red.) dan keluar biaya Rp2,5 juta,” ujar salah seorang yang tinggi besar.
Temannya mengiyakan sembari mempertanyakan pihak mana sebenarnya yang resmi sebagai pengelola Kuburan Lama tersebut. Menurutnya, harga tanah di Kuburan Lama saat ini ditentukan sepihak oleh ‘penguasa’ di situ. Siapa penguasa tersebut? Tak jelas namun dari diskusi mereka, penguasa tersebut adalah orang-orang di sekitar pekuburan tersebut. Soal harga, kata orang yang lebih tinggi, tak ada kompromi. Jika ada uang sebesar Rp2,5 juta maka boleh dikubur tetapi kalau tak ada uang, silahkan cari tempat lain.
Cukup lama kedua orang ini berdiskusi soal kuburan tersebut. Mendengar diskusi mereka, dalam hati saya ikut prihatin. Ternyata di Siantar, untuk mendapatkan ‘rumah’ bagi orang mati pun ternyata sangat sulit.
Saya sendiri juga tak tahu, siapa sebenarnya yang mengurus kuburan di Siantar ini? Saya pernah mendengar bahwa urusan kuburan dikelola oleh Dinas Kebersihan, Pertamanan, dan Lingkungan Hidup. Namun kalau memang ada yang mengurus, kenapa soal kuburan di Siantar sangat liar, kalau tidak bisa disebut sistem preman?
Sekadar perbandingan, di Jakarta, Bandung, Surabaya, dan banyak daerah lainnya, urusan kuburan ini jelas pengelolanya. Bahkan di komplek kuburan itu sendiri hadir kantor pengelola yang berada di bawah naungan Dinas Pemakaman. Setiap orang yang ingin menguburkan kerabatnya di kuburan tersebut langsung berhubungan dengan pengelola. Mengenai biaya, semuanya transparan dan tak mahal. Di Jakarta saja, yang lahan kuburan sudah sangat sempit, paling tinggi biaya yang dikenakan sebesar Rp1,5 juta. Setiap tiga tahun sekali, ahli waris harus mengurus ijin perpanjangan makam. Biaya perpanjangan tak besar, hanya Rp100 ribu untuk tiga tahun.
Di Siantar, saat ada kerabat kita yang meninggal lalu hendak mengurus makamnya, tak jelas kepada siapa kita harus berhubungan. Contoh sangat jelas terjadi di pekuburan Kristen di beberapa tempat. Di Kuburan Lama, misalnya, kita akan berhadapan dengan orang-orang yang biasanya memang sudah nongkrong di situ. Merekalah sebenarnya penguasa areal pemakaman tersebut. Soal harga, mereka juga yang menentukan. Harga saat ini, Rp2,5 juta sudah termasuk biaya menggali. Tak ada tawar-menawar untuk harga ini. Kalau kita sudah menguburkan kerabat kita di tempat itu, maka selamanya kuburan itu menjadi milik keluarga yang dikuburkan. Soal perpanjangan ijin, sepengetahuan saya, tak pernah ada biaya perpanjangan.
Pekuburan Islam yang ada di beberapa tempat di Siantar, pengelolaan dan biayanya lebih jelas, meski sebenarnya statusnya juga masih dipertanyakan. di Pekuburan Islam Jalan Pane, biaya pemakaman saat ini hanya Rp300 ribu, sudah termasuk biaya menggali.
Menurut saya, masalah pemakaman ini bukan masalah sepele. Pemko Siantar harus benar-benar mengurusi masalah pemakaman ini dengan baik. Dari beberapa pemakaman atau pekuburan yang ada di Siantar, baik Islam maupun Kristen, sebenarnya sudah ‘tak layak huni’ lagi. Kalau kita mau jujur, tak ada lagi tempat untuk pemakaman yang baru. Yang terjadi, akhirnya kerabat kita yang meninggal dijejalkan begitu saja di tempat ‘yang tidak semestinya’. Jalan setapak yang sebelumnya untuk pejalan kaki di pekuburan tersebut, kini sudah digunakan untuk pemakaman yang baru. Akibatnya, kini tak ada lagi tempat untuk pejalan kaki. Kalau kebetulan makam kerabat kita ada di tengah, maka untuk mencapainya, kita harus menginjak-injak makam orang lain.
Sudah saatnya Pemko Siantar menyediakan tempat pemakaman umum yang baru. Toh, Siantar tak kekurangan lahan. Masih banyak lahan-lahan kosong yang bisa dijadikan areal pemakaman. Tak cukup hanya menyediakan, namun Pemko juga harus benar-benar mengelola dengan baik. Sudah saatnya Pemko mengenakan biaya perpanjangan ijin per tiga tahun seperti daerah lainnya. Biaya perpanjangan ijin ini justru bisa menjadi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sekadar perbandingan, di Kuburan Lama saat ini terdapat tak kurang dari 5000 makam. Jika dikalikan dengan biaya perpanjangan ijin yang seharusnya dikenakan, misalnya sebesar Rp100 ribu, maka Pemko seharusnya mendapat pemasukan sebesar Rp500 juta.
Dengan membuat areal pemakaman yang baru dan mengelolanya dengan baik, otomatis biaya pemakaman akan jauh lebih murah. Yang terjadi saat ini, keluarga sudah menderita karena ditinggal orang yang mereka sayangi dan lebih sengsara lagi karena tak ada biaya untuk memakamkan. Rp2,5 juta bukan biaya yang sedikit. Yang meninggal pun mungkin tak tenang menuju dunianya karena meninggalkan masalah bagi keluarganya. Mungkin dia menangis di alamnya…hiiiiiii….(***)



Kenapa Siantar Tak Bisa Menikmati Piala Eropa?

Oleh: Fetra Tumanggor

Sabtu (7/6), Piala Eropa atau Euro 2008 dimulai. Para pecandu bola di seluruh dunia, termasuk Indonesia, akan disuguhi pertandingan-pertandingan menarik sampai 29 Juni nanti. Sayangnya, atmosfir pertandingan Piala Eropa ini tak bisa disaksikan oleh sebagian besar masyarakat Siantar. Penyebabnya apalagi kalau bukan karena siaran langsung pertandingan diacak oleh RCTI.
Banyak yang kesal, marah-marah, dan tak sedikit yang memaki karena tak dapat menikmati siaran langsung ini. Apalagi, kejuaraan ini merupakan kejuaraan sepakbola terbesar kedua di jagat ini setelah Piala Dunia.
Kekesalan tak bisa menonton pertandingan Piala Eropa ini pun lalu memenuhi diskusi di banyak kedai kopi di Siantar. “Negara apa ini, hanya untuk menyaksikan pertandingan bola pun rakyatnya tak bisa,” ujar salah seorang pecandu bola dengan nada tinggi, di Kedai Kopi Morsun, Jalan Cipto, Minggu pagi.
Pengunjung yang lain menyebut bahwa RCTI arogan karena mengacak siaran langsung tersebut. “Apa maksud RCTI mengacak?” tanyanya entah kepada siapa karena tak ada yang menjawab pertanyaannya.
Seorang pengunjung tak habis pikir kenapa RCTI di Siantar saja yang diacak? Kenapa RCTI di Medan, Jakarta dan daerah lainnya tak diacak?
Seorang pengunjung kedai yang lain menyebut bahwa yang mengacak bukan RCTI tetapi seseorang yang menurutnya bertujuan bisnis agar televisi berlangganan Indovision laku. Dari beragam bentuk kekesalan karena tak bisa menonton Piala Eropa, hampir semuanya mengutuk RCTI.
Saya hanya tersenyum mendengar berbagai kutukan terhadap RCTI tersebut. Di satu sisi saya turut kesal karena sebagai pecandu bola, saya pun tak bisa menikmati Piala Eropa kali dengan nyaman. Di sisi lain, saya cukup mengerti dengan adanya pengacakan pada siaran bola tersebut.
Tak hendak menggurui, namun ada baiknya sedikit saya paparkan kenapa masyarakat Siantar tak bisa menikmati Piala Eropa 2008 dengan leluasa.
RCTI sebagai salah satu televisi swasta di Indonesia membeli hak siar Piala Eropa 2008 dengan sangat mahal. Hak siar ini sebenarnya tak dibeli oleh RCTI namun oleh MNC Grup atau induk perusahaan dari RCTI. Itu sebabnya Piala Eropa kali ini dapat dinikmati tak hanya di RCTI namun juga di Global TV, TPI, dan Indovision karena semuanya merupakan anak perusahaan dari MNC Grup.
Khusus kepada RCTI, Global TV, dan TPI, MNC Grup membagikannya secara gratis kepada para pemirsa mereka. Artinya, rakyat Indonesia sebenarnya dapat menikmati Piala Eropa kali ini dengan gratis dan tanpa diacak sepanjang mereka dapat menangkap siaran tiga televisi tersebut.
Pertanyaannya, kenapa masyarakat Siantar tak dapat menikmati Piala Eropa tersebut? Kenapa RCTI, Global TV, TPI diacak pas siaran langsung Piala Eropa? Toh selama ini untuk siaran-siaran yang lain seperti sinetron, berita, hiburan, tak ada masalah.
Jawabannya, penyelenggara Piala Eropa memberlakukan peraturan yang ketat kepada setiap pembeli hak siar di sebuah negara. Peraturan dari penyelenggara Piala Eropa, hak siar tersebut tak bisa keluar dari batas wilayah dari negara dimana perusahaan yang membeli hak siar tersebut berada. Pendeknya, hak siar yang dibeli MNC Grup tak bisa keluar dari negara Indonesia atau dinikmati oleh negara lain.
Untuk menghindari tayangan dari MNC Grup menembus negara lain, maka MNC, dalam hal ini RCTI, Global, dan TPI lantas mengacak siarannya di luar dari jangkauan pemancar mereka yang ada di berbagai kota. Maksudnya begini, siaran Piala Eropa hanya bisa dinikmati secara gratis oleh pemirsa yang masuk dalam jangkauan pemancar RCTI, Global, dan TPI. Di luar jangkauan pemancar MNC Grup, siaran diacak.
Siantar aslinya tak masuk dalam jangkauan pemancar RCTI, Global, atau TPI. Kalaupun selama ini masyarakat Siantar dapat menikmati tayangan ketiga televisi tersebut, ditambah beberapa televisi lainnya seperti Trans, Trans 7, Metro TV, TV One, sebenarnya itu adalah ilegal alias mencuri.
Selama ini masyarakat Siantar menggunakan parabola untuk dapat menikmati siaran televisi swasta. Kasarnya, parabola yang digunakan masyarakat Siantar selama ini sebenarnya adalah ‘alat mencuri’ siaran. Tak pernah diketahui, siapa yang menciptakan perangkat teknologi curian ini di Siantar.
Siantar tak masuk dalam jangkauan RCTI, Global, dan TPI. Karena siaran Piala Eropa diacak untuk penonton di luar jangkauan pemancar RCTI, Global, dan TPI, maka parabola yang kita gunakan memang jadi tak ada apa-apanya.
Sedikit informasi, masyarakat di Sinaksak, Perdagangan, Tebing Tinggi, masih masuk dalam jangkauan pemancar MNC Grup sehingga mereka dapat menikmati siaran Piala Eropa dengan bebas tanpa mengutuk-ngutuk. (***)




Kepala BKD Morris Silalahi Diperiksa Polres Simalungun 6 Jam lebih

Terkait Kasus 19 CPNS Ilegal Formasi 2005

SIANTAR-SK: Terkait kasus penerimaan CPNS tahun 2005 Kota Pematangsiantar yang dianggap bermasalah, Polres Simalungun melakukan pemeriksaan terhadap Kepala Badan Kepegawaian Daerah Kota Pematangsiantar Morris Silalahi yang menjadi sekretaris panitia saat penerimaan CPNS tahun 2005. Morris diperiksa, Senin (9/6) mulai pukul 16.00 Wib. Ada 46 pertanyaan yang diajukan penyidik kepadanya.
Pemeriksaan seyogyanya dilakukan pagi hari sesuai informasi yang diperoleh Sinar Keadilan namun molor sampai sore tanpa alasan yang jelas. Moris Silalahi datang ke Polres Simalungun kemeja lengan panjang warna hitam liris putih. Dia datang menggunakan mobil Kijang Kapsul warna silver nopol BK 1354 CA dan langsung memasuki ruangan Kanit Idik-3 Sat Reskrim Polres Simalungun guna menjalani pemeriksaan. Saat diperiksa, Morris didampingi kuasa hukumnya Martin Simanjuntak, SH. Pemeriksaan berlangsung cukup lama hampir 5 jam.
Kapolres Simalungun AKBP Rudi Hartono, SH, SIK, saat dikonfirmasi melalui telepon selularnya, apakah Morris ditahan atau hanya sebatas pemeriksaan, mengatakan agar langsung menanyakannya kepada Kasat Reskrim AKP Dedi Supriadi atau langsung menanyakannya kepada penyidik. Jawaban yang sama juga diterima saat Sinar Keadilan menghubungi Kasat Reskrim Polres Simalungun AKP Dedi Supriadi. Melalui Short Message Service (SMS) ia menjawab, “Nanti kita lihat hasil pemeriksaan.” Sekitar pukul 23.00 Wib, Morris akhirnya meninggalkan Polres Simalungun menggunakan mobil kijang putih BK 1791 SJ bersama pengacaranya.
Seperti telah diberitakan, kasus 19 CPNS ilegal formasi 2005 ini telah menjadi perbincangan di kalangan masyarakat. Kasus ini menyeret beberapa orang penting di kota ini termasuk Walikota Siantar RE Siahaan.
Kasus ini mencuat setelah diadukan LSM Lepaskan sampai ke Badan Kepegawaian Negara (BKN). 19 orang CPNS tersebut dinilai tak layak menjadi PNS. Proses masuknya mereka diduga dimanipulasi. 19 orang tersebut sebagian besar merupakan kerabat dari pejabat Pemko Siantar, termasuk beberapa orang merupakan keluarga RE Siahaan.
BKN lalu menyurati walikota meminta agar 19 CPNS tersebut dipecat. Namun Walikota Siantar tak menggubris. Sesuai kajian BKN, 19 CPNS diduga diangkat tidak sesuai dengan mekanisme yang berlaku.Dimana 6 orang tidak ikut testing diangkat menjadi CPNS dan 13 orang ikut testing tetapi tidak lulus dalam Puskom USU juga diangkat CPNS 2005.
Atas dasar tersebut BKN kemudian mencabut Nomor Induk Pegawai (NIP) 19 orang tersebut. (daud)



Anggota DPRD Siantar Usul Bentuk Pansus KPPU dan CPNS Gate

SIANTAR-SK: Beberapa anggota DPRD Siantar dalam sidang paripurna DPRD, Senin (9/6), mengusulkan pimpinan dewan segera membentuk panitia khusus (Pansus) mengenai Putusan Komisi Pengawasan dan Persaingan Usaha (KPPU) dalam pembangunan bangsal RSU dr Djasamen Saragih 2006 dan kasus 19 CPNS Gate 2005.
Anggota Komisi II Pardamean Sihombing menilai berbagai permasalahan yang terjadi di Siantar seperti putusan KPPU dan 19 CPNS ilegal harus mendapat perhatian serius dari DPRD.
Hal senada juga disampaikan Muslimin Akbar bahwa usulan anggota dewan tersebut harus diagendakan. Dikatakannya dua inti permasalahan dimaksud harus ada sikap DPRD secara kelembagaan. “Hukum merupakan panglima tertinggi di negara ini dan desakan dari kami harus ditanggapi pimpinan,” tukasnya.
Sementara itu Aroni Zendarto mengungkapkan rencana pembentukan Pansus KPPU dan CPNS Gate jangan bernasib sama dengan Pansus ketekoran kas dan PDAM Tirta Uli. Dikatakannya agenda DPRD memparipurnakan putusan KPPU dan CPNS Gate bukti mewujudkan pemerintahan yang bersih di Siantar. “Berbagai persoalan hukum di Siantar harus secepatnya dibahas,” katanya.
Menanggapi hal tersebut Ketua DPRD Lingga Napitupulu mengatakan ada proses mekanisme di dewan membahas usulan anggota DPRD tersebut. Lingga menambahkan usulan dimaksud akan dibicarakan di tingkat pimpinan untuk membahas pembentukan kedua Pansus tersebut.
Secara terpisah Divisi Pengorganisasian LBH Siantar Batara Manurung menilai usulan pembentukan pansus tersebut jangan hanya sekedar gertakan tanpa ada konsekuensi tindaklanjut DPRD. Menurutnya pengalaman sebelumnya dalam pembentukan Pansus terdahulu tidak diketahui sejauh mana hasil kinerja Pansus tersebut. “Pansus itu harus dibentuk dan jangan skenario pura-pura, karena Pansus yang lalu tidak pernah diparipurnakan dewan, ada apa,” ujarnya.
Batara mengutarakan tujuan pembentukan Pansus tersebut layak dipertanyakan karena dia berasumsi Pansus tersebut hanya sekedar alat bagi DPRD sebagai bentuk gambaran “takut” tidak mendapatkan sesuatu.
Dikatakannya DPRD seharusnya melakukan penelusuran ke lapangan terhadap segala permasalahan yang diduga melibatkan Walikota RE Siahaan. “Mereka harus bekerja secara objektif melaksanakan fungsi pengawasannya, jangan hanya semata-mata untuk kepentingan pribadi,” jelasnya singkat. (jansen)


LKPj Walikota Siantar 2007 Dinilai Tidak Transparan Soal Penggunaan Anggaran

SIANTAR-SK:Anggota DPRD Siantar Grace br Saragih mengungkapkan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPj) Walikota Siantar 2007 dinilai tidak transparan soal penggunaan anggaran di masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).


Hal ini diungkapkannya saat menanggapi penyampaian nota pengantar LKPj 2007 Walikota RE Siahaan, Senin (9/6), dalam sidang paripurna DPRD. “LKPj itu mengukur kinerja walikota setiap tahunnya dalam penggunaan anggaran termasuk pertanggung jawaban kepada masyarakat, karena memakai dana publik,” sebutnya.
Grace menilai pemaparan walikota hanya berupa ringkasan laporan dari masing-masing SKPD. Menurutnya pengantar LKPj semestinya sudah menggambarkan sejauh mana realisasi visi serta pokok arah kebijakan pembangunan di Siantar dari 2006-2010. “Tapi kita hanya mendengar program di setiap SKPD tanpa ada peincian penggunaan anggaran,” jelasnya.
Sidang paripurna DPRD dipimpin ketua Lingga Napitupulu dan dihadiri 28 anggota dewan.Walikota RE Siahaan memaparkan berbagai kegiatan yang berhasil dicapai SKPD seperti pemeliharaan ketertiban umum, penyediaan sarana dan prasarana, pelayanan kesehatan, pengembangan pendidikan dan penanganan masalah sosial, pemuda dan olahraga.
Selain itu juga dijelaskan berbagai program kegiatan di sekretariat daerah, dinas pertanian, pariwisata dan kebudayaan. Sedangkan untuk program di bagian bina Sosial 2007 telah melaksanakan program kerja seperti belanja bantuan sosial kemasyarakatan, peningkatan bimbingan keagamaan, belanja bantuan sarana dan prasarana rumah ibadah/pesantren dan Muhammadiyah.
Sementara itu untuk 2007 ditetapkan target pendapatan sebesar Rp376 miliar, dan target belanja mencapai Rp403 miliar. Dengan realisasi anggaran pendapatan Rp 380 miliar dan belanja Rp 388 miliar, sehingga diperoleh defisit Rp7 miliar. Sedangkan pembiayaan netto Rp21 miliar dengan rincian penerimaan Rp23 miliar dan pengeluaran Rp 1,9 miliar.
Anehnya saat RE Siahaan membacakan LKPj 2007 terlihat sebagian anggota DPRD dan kepala SKPD hanya berbincang- bincang tanpa memperhatikan hasil LKPj tersebut.
Sidang dilanjutkan dengan pembacaan surat keputusan (SK) DPRD mengenai pembentukan panitia khusus terhadap pembahasan LKPj 2007. Pansus yang dibentuk tersebut berencana bekerja selama 30 hari membahas LKPj walikota 2007. (jansen)

06 Juni, 2008

Terjadi Perusakan Hutan Besar-besaran di Simalungun

Prihatin Dengan Kondisi Hutan, LSM dan Wartawan Kunjungi Hutan Juma Sipulut

SIMALUNGUN-SK: Prihatin dengan kondisi hutan Simalungun, atas inisiatif sendiri, beberapa wartawan dari berbagai media cetak dan televisi di Siantar-Simalungun melakukan pantauan langsung untuk melihat kondisi hutan yang penebangannya berstatus IPKTM (Izin Penebangan Kayu Tanah Hak Milik) di Juma Sipulut, Nagori Hutaraja, Kecamatan Purba, Simalungun, Rabu (4/6).

Terkait IPKTM yang dimiliki Ramson Purba tersebut, Rizal Sipayung, Ketua LSM Halilintar yang juga ikut melihat kondisi hutan, kepada Sinar Keadilan mengatakan telah terjadi perusakan secara besar-besaran di hutan Simalungun. Rizal menduga IPKTM tersebut telah menyimpang dari Perda Kabupaten Simalungun No. 10 Tahun 2006. Pasalnya, banyak kayu yang ditebang telah menyalahi dari persentase lahan yang ditentukan. Seperti kemiringan lereng yang ditentukan dan jarak penebangan kayu dari Daerah Aliran Sungai (DAS).
Rizal menambahkan Dinas Kehutanan (Dishut) Simalungun terkesan tutup mata dan tidak mau tahu terhadap kondisi hutan sekarang ini. Mereka hanya memikirkan keuntungan semata tanpa memikirkan nasib rakyatnya di kemudian hari. “Dampak penebangan hutan tersebut semakin banyaknya tanah yang rawan longsor di sekitar lokasi penebangan. Jika hal ini dibiarkan, tidak saja telah menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati, hancurnya habitat-habitat satwa serta semakin merosotnya kualitas sumberdaya Indonesia, namun juga dapat mengakibatkan bencana alam seperti banjir dan tanah longsor yang bisa menimbulkan korban jiwa dan penduduk Kabupaten Serdang Bedagai siap-siap akan terkena musibah banjir," paparnya kesal.
Lebih lanjut dikatakannya sebelumnya pada 2001 lalu, Menteri Kehutanan MS Kaban melalui Jhon Hugo Silalahi, Mantan Bupati Simalungun telah menyatakan bahwa Kabupaten Simalungun dinyatakan bebas dengan IPKTM. "Menteri Kehutanan MS Kaban mendukung sepenuhnya kebijakan Pemkab Simalungun tahun 2001 tidak menerbitkan IPKTM (Ijin Penebangan Kayu di Tanah Masyarakat). Menurut Bupati Simalungun waktu itu Ir John Hugo Silalahi, dari lebih kurang 436.000 hektar luas Kabupaten Simalungun di antaranya sepertiga lahan perkebunan, sepertiga menjadi lahan tanaman pertanian hortikultura dan padi dan 105.000 hektar hutan. Kondisi lahan kritis 25.000 hektar berada di dalam hutan dan 75.000 hektar berada di luar hutan. “Dengan tidak dikeluarkannya ijin penebangan itu, kata Ir John Hugo Silalahi, Simalungun bebas IPKTM," ungkap Rizal mengutip isi salah satu media.
Rizal menambahkan dengan penerbitan IPKTM di Simalungun, Dinas Kehutanan Simalungun telah melakukan pembohongan terhadap pemerintah pusat. (duan)



05 Juni, 2008

Terminal Parluasan

Oleh Fetra Tumanggor

Saat masih di Jakarta, ketika saya berkenalan dengan seseorang dan saya menyebut diri berasal dari Siantar, ada dua hal spesifik yang sering mereka tanyakan tentang Siantar. Pertama, masihkah mi pangsit Siantar enak? Kedua, masihkah Terminal Parluasan menyeramkan?

Nama Siantar bagi orang luar menurut saya ternyata menyimpan cerita tersendiri. Saya tahu, sejak lama orang Siantar dikenal keras. Saya ingat, tahun 1990 ketika ikut bimbingan tes di Medan dan harus mencari tempat kos, saya pernah menjumpai sebuah rumah yang di pagarnya tertempel sebuah pengumuman kecil: “Menerima Anak Kos, Kecuali Anak Siantar”.

Ada apa dengan Siantar? Kenapa sedemikian takut menerima anak Siantar? Waktu berlalu dan dari pengalaman, saya baru menyadari eksistensi anak Siantar memang sejak dulu dikenal keras dan setelah saya telusuri ternyata masih ada hubungannya dengan Terminal Parluasan.

Saya tak tahu kapan sebenarnya Terminal Parluasan mulai berdiri. Yang saya tahu dari ingatan saya waktu kecil dan kemudian beranjak remaja, di terminal ini sering terjadi perampokan dan pembunuhan. Barang milik penumpang hilang bukan cerita baru lagi jika berada di terminal ini. Perkelahian sesama awak bus, preman, pedagang, atau bahkan dengan penumpang, hampir setiap hari terjadi di tempat ini.

Pembunuhan terhadap Amir Damanik, dedengkot preman Parluasan, tahun 1980-an, adalah salah satu kisah klasik di terminal ini. Kerasnya hidup di terminal ini akhirnya mengindektikkan bahwa manusia di Siantar juga sama kerasnya. Akibatnya, ada semacam phobia (ketakutan) bagi orang luar terhadap anak Siantar. Uniknya, anak Siantar pun sepertinya bangga dengan identifikasi seperti ini. Jika berada di rantau, seperti di Medan, Jakarta, Surabaya, atau kota-kota besar lainnya, mereka dengan bangga menyebut Anak Siantar. Tak heran muncul organisasi-organisasi yang membawa nama Siantar seperti Siantar Man, Kami Anak Siantar, dan lainnya.

Namun, bicara Terminal Parluasan dengan segala pola kekerasannya, sebenarnya bicara soal kerasnya persaingan hidup. Di terminal ini, hadir beragam manusia dengan segala caranya untuk menyambung hidup. Ada preman, sopir, kenek, pedagang kue, minuman, pedagang buku ende, pedagang koran, dan masih banyak lainnya. Masing-masing dengan caranya sendiri mencoba mengais rejeki.

Lebih jauh, kehadiran orang-orang di terminal ini tak hanya sekadar mencari sesuap nasi. Ada nilai kerja keras dan keuletan di dalamnya. Hasilnya, tentu mereka yang kini sukses di tanah rantau sana mungkin sangat bangga menyebut dirinya anak Parluasan atau anak Siantar. Kesuksesan mereka buah dari ibu atau bapak mereka yang harus berjibaku di terminal ini.

Eben Ezer Siadari, seorang wartawan di Jakarta dalam blognya di sarimatondang.blogspot.com, mencoba menulis tentang cara unik para pedagang di Terminal Parluasan ini dengan sangat menarik. Pria kelahiran Sarimatondang ini menyebut Terminal Parluasan merupakan sebuah laboratorium nyata mengenai berbagai gaya marketing. Dia yakin seorang mahasiswa S1, bisa meraih gelar doktor bila

saja ia ditempatkan di terminal itu tiga tahun penuh dengan mencatat dan mempelajari apa saja yang terjadi di situ. Dalam blognya, Eben Ezer menulis seperti ini:

Syahdan, pada suatu hari setelah berhasil melepaskan diri dari rutinitas acara-acara adat di kampung halaman, saya bisa melampiaskan rindu menjelajahi Siantar yang saya kenal. Sorenya, saya terdampar di terminal Siantar. Saya memasuki bis SELAMAT,

bis yang akan membawa saya ke kampung. Bis itu masih setengah kosong, supirnya entah kemana. Keneknya malas-malasan berteriak, “Sidamanik….Sidamanik…”

Saya memilih duduk di dekat jendela dekat pintu, ketika tiba-tiba seorang ibu mendekat. Ia meletakkan tampi berisi dagangannya persis di depan saya. Di

sana ada lappet, lemang dan kue bolu. “Baen ito. Nyion lomang on. Panas dope. Nakkin dope hualop on. Asa adong boanonmu tu jabu, tu eda dohot anggi niba i. Boru aha do tahe eda di jabu. (Ayo Mas, ini lemang. Masih panas. Baru saja saya ambil. Nanti bisa dibawa pulang untuk kakak dan adik di rumah. Boru apa kakak itu?).” Ia membolak-balik lagi dagangannya, memperlihatkan sisi-sisi terbaik dari lemang yang ia tawarkan. “Hubukkus ma ate. Tinggal on nama. Sotung sanga ngali-ngali.” Terus saja ia berceloteh. Tiap kali saya cari alasan untuk menolak tawarannya, ia balas lagi dengan jawaban dan canda yang membuat saya makin terpojok. Dan saya menyerah, merogoh kocek membeli lemangnya.

Sesungguhnya dari tadi saya sudah ‘kalah,’ mungkin karena ia telah menyentuh hati saya dengan menyebut si kecil buah hati saya di rumah. Dalam hati saya mengagumi daya persuasi ibu ini. Kawan saya yang ahli motivasi mungkin akan menyebutnya seorang yang persistent (berkeras hati). Seandainya ibu ini di make-up sedemikian rupa, didandani ala wanita karier dan sedikit operasi plastik pada kulitnya yang gosong kena matahari setiap hari, pastilah pramuniaga kartu kredit di mal-mal yang manja-manja tak karuan bakal tereliminasi. Saya juga akan bertanya kepada Kafi Kurnia, gaya marketing apa sebaiknya disematkan kepada cara begini.

Belum tuntas saya dari berpikir-pikir, seorang lagi ibu berteriak dari pintu belakang. Suaranya kencang dan serak, “Roti Namarsileting Inang…, Roti Namarsileting Bapa, Roti Namarsileting Ito…. On dope di Indonesia adong Roti Namarsileting….. Pertama di Siantar…..(Roti yang ada ritsluitingnya Bu, ….roti yang ada ritsluitingnya Pak…. Ini pertama di Indonesia ada roti yang pake ritsluiting…)” Suaranya bergema,

Diiringi tawa seluruh penumpang. Saya juga ikut terbahak. Saya tak bisa membayangkan seperti apa sih roti yang ada ritsluitingnya? Dan, lagipula, apa perlunya roti dipakai kancing tarik begitu? Apakah roti sesuatu yang tabu atau rotinya berbentuk sesuatu yang tabu? Membayangkan jawaban-jawaban dari pertanyaan ini, saya makin tak bisa menahan tawa.

Ternyata ibu itu hanya bercanda. Ketika menyaksikan kami tertawa, ia berkata meledek kami, “Molo tu namarsileting i tor hicca do simalolong muna. Iya tuhor hamu ma jo kue on. Mura pe hubaen. Asa adong pasi sikkola ni paraman muna an . (Kalau untuk yang pakai ritsluiting, mata kalian pasti langsung menoleh. Kalian belilah kue ini. Murah kok. Lumayan buat biaya sekolah anak saya di rumah nanti),” kata dia.

Diledek dengan cara begitu, ditembak dengan lelucon yang menyenangkan (meskipun agak malu juga, sebab, sepertinya kita dipergoki tengah berpikir yang nggak-nggak), saya pun tersentuh juga. Kue bolu ibu itu, yang memang benar-benar kue bolu dan tanpa ritsluiting akhirnya saya minta dibungkuskan. Lagi-lagi saya mengagumi gaya pemasaran ala ibu ini.

Seandainya Hermawan Kertajaya ada di samping saya, saya akan meminta penjelasan teori apa yang akan dia gunakan menerangkan ini. Jangan-jangan dia yang akan belajar dari terminal ini dan mengganti marketing in Venus yang sudah basi itu jadi Marketing in Terminal Siantar. Bisa saja kan? (***)

PSK Siantar

Oleh: Fetra Tumanggor

Saat terakhir kali saya berangkat ke Jawa selepas lulus SMA untuk kuliah dan kemudian bekerja, 17 tahun lalu, dan kini kembali ke tanah kelahiran, Siantar, tak banyak yang berubah dari kota ini. Pembangunan sepertinya stagnan. Pusat kota, yakni Jalan Sutomo dan Jalan Merdeka, dengan deratan toko-toko sama sekali tak berubah. Perubahan hanya tampak pada hadirnya tiga pusat belanja. Selebihnya, sama saja dengan 17 tahun lalu.

Namun setelah beberapa lama mencoba kembali hidup sebagai anak Siantar, ternyata saya mulai merasakan ada sedikit yang berubah di kota ini. Salah satu perubahan adalah hadirnya banyak kupu-kupu malam atau nama bekennya Pekerja Seks Komersial (PSK) di kota ini.

Ingatan saya melayang pada masa remaja saat menapaki bangku SMP dan SMA. Entah karena saya masih terlalu anak-anak, masih lugu, atau mungkin kurang bergaul, namun yang pasti waktu itu saya tak pernah tahu kalau ada PSK berkeliaran di dalam kota. Yang saya tahu ada lokalisasi di Bukit Maraja. Tetapi itupun bukan di Siantar namun jauh di Simalungun. Yang saya ingat juga adalah bencong-bencong di Taman Bunga.

Kini, PSK dengan mudah dijumpai di pusat kota. Sepanjang Jalan Sudirman di depan Siantar Hotel, tiap malam banyak mondar-mandir para PSK. Ciri-cirinya tak sulit dikenali. Dari tingkah laku, cara berpakaian, dan dari bicara mereka, gampang ditebak kalau mereka bisa diajak tidur.

Atau kalau Anda pendatang baru di Siantar, tapi saya tidak hendak merokomendasikan, cobalah susuri Taman Bunga dan masuk ke dalam. Di sini Anda juga akan menjumpai para wanita-wanita nakal.

Yang sangat mencolok adalah pemandangan di Jalan Pattimura, persis di depan SMA Negeri 4. Di sini hadir beberapa kedai tuak lengkap dengan para wanita malam. Namun di sini jangan berharap dapat wanita muda. Di sini rata-rata PSK adalah wanita ‘kadaluarsa’, maaf kalau saya menjuluki demikian, karena kebanyakan sudah umur 40 tahun ke atas. Saya sendiri tak habis pikir jika masih ada pria yang ‘berminat’ kepada wanita PSK seperti ini, tua, gemuk, dan (maaf) jelek.

“Kalau sudah mabuk, mana mereka melihat seperti itu. Semuanya samak (gelap), kawan,” ujar seorang teman saat berbincang di Kedai Kopi Morsun, beberapa waktu lalu. Menurut teman ini, rata-rata harga PSK di Jalan Pattimura ini paling tinggi Rp50 ribu sekali pukul, istilah dia. “Makanya tempat itu tetap ramai setiap malam,” ujarnya.

Siantar kini memang sudah berubah. Beberapa pusat belanja di Siantar pun disinyalir sebagai tempat terselubung praktek prostitusi. Sebuah arena permainan di sebuah tempat perbelanjaan kabarnya banyak tersedia gadis-gadis remaja untuk ‘dibungkus’. Dari obrolan di kedai kopi dan dari bisik-bisik teman wartawan, beberapa pejabat Pemko dan anggota DPRD Siantar kabarnya sering singgah ke tempat ini. Di arena permainan ini, katanya, ada penghubung atau semacam mucikari jika kita membutuhkan gadis remaja. Saya sendiri tak pernah singgah di tempat ini sehingga tak bisa membuktikan kebenarannya.

Suatu saat saya makan siang bersama dengan beberapa rekan wartawan di sebuah kedai nasi di sekitar Jalan Pane. Dari sebuah rumah, keluar beberapa gadis cantik dan seksi (hanya mengenakan kaos dan celana pendek mini) hendak membeli es krim. Karena rumah tersebut sangat dekat dengan tempat kami makan, otomatis mata tertuju ke gadis-gadis tersebut. Seorang rekan wartawan berbisik,”gadis-gadis itu wanita bayaran. Rumah itu tempat penampungan mereka.”

Saya tak percaya dengan omongan teman saya ini. Dalam hati saya bertanya, sudah adakah rumah prostitusi seperti ini di Siantar, seperti Jakarta atau Medan?

Tak berapa lama, datang sebuah mobil kijang. Seorang pria paruh baya turun dan masuk ke rumah itu. Kira-kira 15 menit, dia keluar dengan seorang wanita, masuk ke mobil, dan langsung pergi. “Transaksinya di dalam. Kalau cocok, bawa perempuannya ke luar karena di rumah itu tak ada tempat untuk melakukan. Hanya bisa kalau diajak ke hotel,” ujar rekan wartawan ini kembali meyakinkan saya. Ia menambahkan, tempat penampungan seperti itu di Siantar sudah ada di beberapa tampat sembari menyebutkan nama tempat lengkap dengan nama jalannya.

Lain waktu, dalam sebuah obrolan kedai kopi tentang prostitusi di Siantar, seorang rekan wartawan mencoba meyakinkan saya bahwa Siantar kini sudah dipenuhi oleh wanita-wanita panggilan. “Abang mau anak SMA? Kalau mau bisa saya atur, bang,” ujarnya.

“Apa? Anak SMA? Benaran masih sekolah?” tanyaku seakan tak percaya. “Apa yang tak ada di Siantar, bang, semuanya kini sudah tersedia. Mau tipe apa abang suka, saya bisa atur, bang,” jawab rekan wartawan ini.

Saya tersadar, Siantar memang sudah berubah. (***)

Kearifan Lokal

Oleh: Fetra Tumanggor

Pada sebuah sore yang sejuk, di Kedai Kopi Massa Bawah Jalan Cipto, Pematangsiantar, Batara Manurung, aktivis Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Siantar, bercerita tentang boru hasiannya (putri kesayangannya) di sebuah malam, tak berhenti menangis. “Dari jam 11 malam sampai jam 3 pagi, tak berhenti menangis,” kata Batara.

Karena sudah segala cara dilakukan agar putrinya berhenti menangis tak juga berhasil, akhirnya di pagi yang dingin itu, Batara bersama pardijabu (istri) membawa putrinya ke orang pintar di Lapangan Bola. Aneh, sampai di sana, hanya dielus-elus, putrinya langsung berhenti menangis.

Masih dalam obrolan santai di kedai kopi tersebut, Tigor Munthe, wartawan Radio CAS sekaligus Ketua Panwaslih Siantar, juga bercerita tentang kondisi putrinya yang baru lahir yang beberapa hari ini sama sekali tak bisa tidur pada tengah malam antara pukul 9 malam sampai pukul 5 pagi.

Morri Rajagukguk, wartawan senior di Siantar, menimpali cerita Batara dan Tigor. Menurutnya, bayi atau anak-anak sering ‘diganggu’ oleh roh halus. ‘Pengganggu’ tersebut, kata Morri, seringkali justru dibawa oleh si Bapak dari luar rumah. “Dia mengikut di badan kita waktu kita masuk rumah. Kata orangtua kita dulu, kalau kita pulang ke rumah, apalagi waktu malam, jangan pernah langsung mencium atau memeluk anak kita. Sebaiknya kita cuci muka dulu atau ganti baju,” ujar Morri.

Menarik mencermati pernyataan Morri yang terakhir. Nasehat agar mencuci muka atau ganti baju sehabis pulang dari luar rumah, mungkin diartikan agar roh pengganggu yang lengket di badan atau di baju kita hilang. Namun kalau disimak, nasehat ini merupakan sebuah kearifan lokal yang punya makna jauh lebih dalam.

Tanpa diembel-embeli alasan agar ‘roh pengganggu’ hilang, sejatinya membersihkan wajah atau ganti baju setelah seharian bekerja di luar merupakan tindakan yang seharusnya dilakukan. Tentu tak elok jika badan bau keringat, wajah berdebu dan kotor, lalu kita memeluk anak kita atau bahkan menciumnya. Mungkin kalau si bayi bisa ngomong, dia akan berteriak, “Enyah, Bapak bau!” Namun karena tak bisa ngomong, yang bisa dia lakukan hanyalah menangis.

Kearifan lokal dalam bentuk tradisi atau kebiasaan-kebiasaan di masyarakat kini sudah mulai banyak ditinggalkan. Padahal harus diakui kearifan lokal ini menjadi jalan bagi masyarakar sebuah daerah untuk lebih mempunyai etika dalam bergaul dan bertingkah laku. Kebiasaan membersihkan wajah atau ganti baju setelah pulang ke rumah tentu sebuah kebiasaan yang sangat baik. Embel-embel agar roh pengganggu hilang, bisa jadi hanya sebuah kamuflase di balik tujuannya yang mulia agar kita punya etika dengan biasa membersihkan diri setelah seharian berada di luar.

Ada nasehat orang-orang tua dulu, kalau terdesak ingin buang air besar di sebuah tempat yang tak ada WC, sebaiknya ambil sebuah batu, dipegang terus atau dimasukkan dalam kantung. Niscaya keinginan untuk buang air besar akan berkurang. Kalau dicermati, sebenarnya nasehat tersebut hanya sugesti. Tak ada metode ilmiah yang bisa membuktikan hubungan memegang batu dengan berhentinya keinginan untuk buang air besar. Dengan memegang batu, kita tersugesti sehingga otomatis otak mengendalikan rangsangan agar keinginan buang air besar berkurang.

Nasehat memegang batu ini sangat sederhana namun maknanya sangat dalam. Apa jadinya jika keinginan untuk buang air besar tak bisa dikendalikan sementara WC terdekat tak ada? Apa tak malu jika belepotan di celana? Atau kita tampak seperti cacing kepanasan? Dengan sugesti memegang batu, ada sebuah etika hidup yang diajarkan. Dalam kondisi apapun, kita harus tetap bisa tenang.

Kearifan lokal tak hanya dalam bentuk nasehat atau kebiasaan. Kearifan lokal juga mencakup pembentukan karakter manusia atau character building dalam permainan anak-anak. Beberapa permainan anak-anak dulu yang kini mulai hilang antara lain marsitekka, margala, alep cendong, marampera, patuk lele, dan lainnya.

Permainan tradisional tersebut tidak hanya bermanfaat untuk menghibur anak anak dan menguji ketangkasan, tapi juga dapat melatih anak anak bersosialisasi antara teman-teman sebayanya karena permainan tersebut sebagian besar dimainkan tidak bisa sendiri, membutuhkan kelompok untuk memainkannya. Lebih jauh, dalam permainan tradisional tersebut, ada tujuan yang lebih dalam yakni menanamkan rasa setia kawan, jujur, dan fair play.

Anak-anak sekarang lebih banyak bermain Playstation atau game komputer yang lebih bersifat individual. Permainan anak-anak pun kini banyak ditawarkan di mal atau pusat perbelanjaan yang tentu menguras kocek orangtua. Tak aneh jika anak-anak sekarang lebih senang berkelahi atau tawuran dan lebih materialistis. Mana ada anak-anak sekarang yang mau ke sekolah jika tak diberi uang jajan?

Kearifan lokal, baik dalam bentuk nasehat, kebiasaan, maupun permainan anak-anak, mungkin hanya sebuah obrolan di kedai kopi. Namun menjadi sebuah perenungan untuk menjadi lebih baik dalam beretika dan menghargai orang lain. Apalagi kini, banyak kejadian, baik lokal Siantar maupun nasional, yang tak lagi menghargai etika dan otak tetapi lebih mengandalkan otot.

Adakah etikanya jika Ketua DPRD dilempar asbak dalam acara resmi? Atau Etiskah jika sekompok warga seperti Front Pembela Islam (FPI) di Jakarta seenaknya memukuli orang lain?

Nenek moyang kita dulu membuat berbagai kearifan lokal ini tidak hanya dipraktekkan pada jamannya. Orang-orang tua kita dulu telah berpikir jauh ke depan. Berbagai bentuk kearifan lokal ini diciptakan agar anak cucunya kelak bisa hidup damai dan saling menghargai. Atau memang orang-orang sekarang lebih bodoh dari orang-orang tua kita dulu? (***)