Panitia Khusus Hak Angket DPRD Pematangsiantar dengan tegas meminta Walikota RE Siahaan dan Wakilnya Imal Raya Harahap diberhentikan dari jabatannya. Hasil penyelidikan Pansus jelas, keduanya bersalah telah melakukan persekongkolan dan melanggar sumpah jabatan.
Jika ditelusuri, sebenarnya hasil kerja Pansus ini bermula dari putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) tanggal 13 November 2006. KPPU memutuskan terjadi kecurangan dalam tender Proyek Perbaikan Bangsal RSUD Pematangsiantar tahun 2005 (sekarang RSUD dr. Djasamen Saragih). Sejak itu pula, beragam polemik seputar kasus ini terus menjadi perbincangan di masyarakat Siantar. Lebih jauh, tak ada tanda-tanda kasus ini akan diperiksa oleh aparat hukum meski KPPU telah menetapkan beberapa orang bersalah.
Untuk mengingatkan kembali bagaimana sesungguhnya kecurangan yang terjadi dalam kasus ini, berikut kronologinya, sesuai putusan KPPU:
1. Majelis Komisi KPPU terdiri dari Erwin Syahril (Ketua), Pande Radja Silalahi dan Mohammad Iqbal (masing-masing sebagai anggota), memutuskan bahwa telah terjadi pelanggaran pasal 22 UU No.5/1999 dan menetapkan Hasudungan Nainggolan, SE, (Wakil Direktur II CV Kreasi Multy Poranc) untuk membayar ganti rugi sebesar Rp127.146.666,67.
2. Hasudungan Nainggolan masuk dalam tender perbaikan bangsal RSU Kota Pematangsiantar melalui CV Kreasi Multy Poranc, dan sekaligus meminjam PT Pembangunan Delima Murni dan CV Sumber Mulya.
3. Hasudungan Nainggolan yang mempersiapkan seluruh dokumen penawaran milik PT Pembangunan Delima Murni dan CV Sumber Mulya.
4. Direktur PT Pembangunan Delima Murni dan CV Sumber Mulya tidak pernah menandatangani dokumen penawaran.
5. Pada tanggal 28 November 2005, Panitia mengusulkan CV Risma Karya sebagai calon pemenang kepada Plt Kepala RSU Kota Pematangsiantar.
6. Pada tanggal 29 November 2005, Plt Kepala RSU Kota Pematangsiantar bersama dengan Panitia menghadap Wakil Walikota untuk menyampaikan usulan calon pemenang karena status Plt Kepala RSU Kota Pematangsiantar adalah sebagai Pelaksana Tugas Sementara (Plt) sehingga tidak berwenang mengambil keputusan sendiri dan hal tersebut sudah menjadi kebiasaan di Pemerintahan Kota Pematangsiantar.
7. Pada pertemuan tersebut, Wakil Walikota menelepon seseorang yang menurut Plt Kepala RSU Kota Pematangsiantar dan Panitia Tender adalah Walikota, untuk melaporkan bahwa calon pemenang adalah CV Risma Karya.
8. Setelah komunikasi tersebut, Wakil Walikota memerintahkan kepada Plt Kepala RSU Kota Pematangsiantar dan Panitia Tender untuk memenangkan Hasudungan Nainggolan selaku Wakil Direktur II CV Kreasi Multy Poranc.
9. Panitia semula mengusulkan CV Risma Karya dengan harga penawaran Rp 1.502.757.000 (satu milyar lima ratus dua juta tujuh ratus lima puluh tujuh ribu rupiah) yang kemudian berubah mengusulkan CV Kreasi Multy Poranc dengan harga penawaran Rp 1.884.197.000 (satu milyar delapan ratus delapan puluh empat juta seratus sembilan puluh tujuh ribu rupiah) pada tanggal 30 November 2005.
10. Panitia tidak melakukan evaluasi ulang dalam mengubah usulan calon pemenang seperti yang diperintahkan oleh Wakil Walikota.
11. Pada tanggal 30 November 2005, Santo Denny Simanjuntak (Panitia) menerima telepon dari seseorang yang mengaku sebagai Hasudungan Nainggolan yang mengatakan agar perusahaannya (CV Kreasi Multy Poranc) dimenangkan.
12. Pada tanggal 30 November 2005, Walikota menelepon Santo Denny Simanjuntak (Panitia) dengan menggunakan telepon seluler milik Plt Kepala RSU Kota Pematangsiantar agar Panitia memenangkan Hasudungan Nainggolan.
13. Hasudungan Nainggolan telah lama mengenal dan sering berkomunikasi dengan Wakil Walikota. Sebelumnya Hasudungan Nainggolan pernah mencalonkan diri sebagai pasangan Walikota dan Wakil Walikota bersama dengan Wakil Walikota saat ini
14. Berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, Majelis Komisi menilai bahwa:
Perubahan usulan calon pemenang tanpa adanya evaluasi ulang yang dilakukan oleh Panitia akibat campur tangan Walikota, Wakil Walikota dan Plt Kepala RSU Kota Pematangsiantar adalah menunjukkan Panitia tidak melaksanakan Pakta Integritas.
15. Untuk memenangkan tender, Hasudungan Nainggolan menggunakan CV Kreasi Multy Poranc dan sekaligus meminjam PT Pembangunan Delima Murni serta CV Sumber Mulya sebagai pendamping.
16. Hasudungan Nainggolan menyusun dokumen penawaran dari ketiga perusahaan tersebut, dan khusus untuk PT Pembangunan Delima Murni dan CV Sumber Mulya, penyusunan dokumen penawaran dilakukan tanpa sepengetahuan Direktur masing-masing.
17. Meskipun Walikota dan Wakil Walikota tidak mengakui adanya komunikasi melalui telepon yang membicarakan mengenai pemenang tender, namun setelah pelaporan pada tanggal 29 November 2005 tersebut di atas, pada tanggal 30 November 2005 Panitia melakukan perubahan usulan calon pemenang tanpa melakukan evaluasi ulang, dari semula CV Risma Karya menjadi CV Kreasi Multy Poranc.
18. Hal tersebut dikuatkan dengan pengakuan Plt Kepala RSU Kota Pematangsiantar dan Panitia, pada tanggal 30 November 2005 Walikota menelepon Ketua Panitia dengan menggunakan handphone milik Plt Kepala RSU Kota Pematangsiantar, agar Panitia menetapkan CV Kreasi Multy Poranc sebagai pemenang
19. Selanjutnya Panitia mengusulkan CV Kreasi Multy Poranc sebagai pemenang dan meminta persetujuan dari Walikota, Wakil Walikota dan Plt Kepala RSU Kota Pematangsiantar yang dituangkan dalam bentuk disposisi.
20. Perubahan calon pemenang dari CV Risma Karya yang menawarkan harga sebesar Rp 1.502.757.000 (satu milyar lima ratus dua juta tujuh ratus lima puluh tujuh ribu rupiah) menjadi CV Kreasi Multy Poranc yang menawarkan harga sebesar Rp 1.884.197.000 (satu milyar delapan ratus delapan puluh empat juta seratus sembilan puluh tujuh ribu rupiah), sehingga selisih antara harga penawaran CV Kreasi Multy Poranc dengan CV Risma Karya adalah sebesar Rp 381.440.000 (tiga ratus delapan puluh satu juta empat ratus empat puluh ribu rupiah), mengakibatkan RSU Kota Pematangsiantar tidak memperoleh harga yang terbaik.
21. Harga yang dibayar oleh Pemerintah dalam hal ini RSU Kota Pematangsiantar menjadi lebih mahal sebesar Rp 381.440.000 (tiga ratus delapan puluh satu juta empat ratus empat puluh ribu rupiah), merupakan kerugian bagi negara;
Sebelum memutuskan, Majelis Komisi mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
22. Walikota dan Wakil Walikota seharusnya tidak campur tangan dalam penentuan pemenang lelang, karena berdasarkan ketentuan dalam Keppres. No. 80 Tahun 2003 yang berwenang menetapkan pemenang adalah pengguna barang/jasa
23. Penetapan CV Kreasi Multy Poranc sebagai pemenang tender akibat persekongkolan Hasudungan Nainggolan dengan Walikota dan Wakil Walikota terdapat kerugian negara sekurang-kurangnya Rp 381.440.000 (tiga ratus delapan puluh satu juta empat ratus empat puluh ribu rupiah).
24. Meminta kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengambil tindakan terhadap Walikota, Wakil Walikota Pematangsiantar dan Hasudungan Nainggolan terhadap kerugian negara sebesar Rp 381.440.000 (tiga ratus delapan puluh satu juta empat ratus empat puluh ribu rupiah dalam pelaksanaan tender perbaikan bangsal RSU Kota Pematangsiantar.
25. Majelis Komisi memutuskan: Menyatakan bahwa Terlapor I, Iswan Lubis, S.H. selaku Pelaksana Tugas Sementara Kepala Rumah Sakit Umum Kota Pematangsiantar, bersama-sama dengan Terlapor II, Santo Denny Simanjuntak, S.H. selaku Ketua Panitia Ketua Panitia Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Kegiatan Perbaikan Bangsal di Unit Kerja RSU Kota Pematangsiantar Tahun Anggaran 2005; Terlapor VI, Ir. Robert Edison Siahaan selaku Walikota Pematangsiantar, dan Terlapor VII, Drs. Imal Raya Harahap selaku Wakil Walikota Pematangsiantar terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar ketentuan Pasal 22 Undang-undang Nomor 5 tahun 1999. (fetra/sumber:Putusan KPPU)
30 Agustus, 2008
Pansus Hak Angket DPRD Siantar Minta RE Siahaan dan Imal Raya Harahap Diberhentikan
Pastikan Bersalah dalam Kasus Tender Proyek Bangsal RSU 2005
Terungkap, Kajari Siantar Halangi Kerja Pansus
SIANTAR-SK: Panitia Khusus Hak Angket DPRD Pematangsiantar meminta pimpinan DPRD agar melakukan rapat paripurna untuk memberhentikan Walikota Pematangsiantar RE Siahaan dan Wakilnya Imal Raya Harahap. Menurut Pansus, RE Siahaan dan Imal Raya Harahap jelas bersalah dalam kasus tender proyek perbaikan bangsal RSU Pematangsiantar tahun anggaran 2005. Usul pemberhentian ini disampaikan Pansus Hak Angket mengenai Tender Proyek Bangsal RSU Pematangsiantar 2005, saat menyampaikan hasil akhir dan rekomendasi kepada pimpinan DPRD, Jumat (29/8).
Hasil akhir dan rekomendasi atau memorandum Pansus Hak Angket dibacakan bergantian oleh Sekretaris Pansus Grace Christiane dan Ketua Pansus Aroni Zendrato dalam rapat paripurna yang terbuka untuk umum, termasuk wartawan.
Dalam hasil akhir Pansus, terungkap bahwa Pansus, dalam kapasitasnya untuk menyelidiki, telah melakukan beberapa pertemuan dengan beberapa instansi seperti Kejaksaan Agung, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, dan Kejaksaan Negeri Pematangsiantar. Selain itu Pansus juga telah memanggil panitia pengadaan barang dan jasa dalam kasus tersebut untuk diminta keterangannya.
Walikota RE Siahaan dan Wakilnya Imal Raya Harahap juga telah dipanggil oleh Pansus namun sampai tiga kali pemanggilan, keduanya tak pernah hadir tanpa memberi alasan baik lisan maupun tertulis.
Dari hasil penyelidikan yang dilakukan, Pansus berkesimpulan RE Siahaan dan Imal Raya Harahap telah menyalahgunakan jabatannya sebagai Walikota dan Wakil Walikota Pematangsiantar untuk memenangkan sebuah perusahaan tertentu dalam proses tender proyek perbaikan bangsal RSU di tahun 2005. Akibat perbuatan walikota dan wakil walikota itu, negara dirugikan Rp381 juta lebih. Walikota dan wakilnya dinilai telah melanggar sumpah jabatannya yang beas dari KKN.
Dalam hasil akhirnya, Pansus juga berpedoman kepada keputusan KPPU yang secara jelas telah memutuskan RE Siahaan dan Imal Raya Harahap bersalah dalam kasus tersebut. Menurut hasil akhir Pansus yang dibacakan Grace, putusan KPPU menjadi bukti permulaan yang cukup untuk menindaklanjuti kasus tersebut dalam proses hukum.
Dalam hasil akhir Pansus tersebut juga secara jelas dimuat tentang hasil pertemuan antara Pansus Hak Angket dengan Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara Gortap Marbun dan Kepala Kejaksaan Negeri Pematangsiantar Nelson Sembiring.
Dalam pertemuan tersebut terungkap kalau Nelson Sembiring mengatakan kasus ini adalah masalah perdata yang sudah ditangani Polda Sumut sehingga untuk menghindari overlap atau tumpang tindih, maka Kejaksaan Negeri Pematangsiantar tidak lagi menangani kasus tersebut.
Anehnya, dalam pertemuan di Kejatisu tersebut, Gortap Marbun justru menyatakan kalau kasus ini adalah masalah yang terindikasi tindak pidana.
Sebelumnya, dalam perbincangan dengan Sinar Keadilan, anggota Pansus Maruli Silitonga dan Ketua Pansus Aroni Zendrato mengatakan sepertinya ada usaha Kajari Siantar Nelson Sembiring menghalang-halangi kerja Pansus. “Dalam pertemuan tersebut Nelson kepada Panitia Hak Angket mempertanyakan, kenapa keputusan KPPU yang menjadi obyek hak angket sebab masih banyak kasus yang lain,” kata Maruli dan Zendrato.
Hasil akhir dan rekomendasi Pansus ditandatangani oleh seluruh anggota Pansus dan diserahkan kepada Saud Simanjuntak mewakili pimpinan DPRD.
Atas pengajuan memorandum yang meminta rapat paripurna pemberhentian RE Siahaan dan Imal Raya Harahap tersebut, pimpinan DPRD mengatakan akan menyerahkannya kepada panitia musyawarah yang akan mengagendakan rapat paripurna tersebut. Diperkirakan rapat paripurna tersebut akan dilangsungkan minggu depan antara Selasa-Jumat. (fetra/daud)
Terungkap, Kajari Siantar Halangi Kerja Pansus
SIANTAR-SK: Panitia Khusus Hak Angket DPRD Pematangsiantar meminta pimpinan DPRD agar melakukan rapat paripurna untuk memberhentikan Walikota Pematangsiantar RE Siahaan dan Wakilnya Imal Raya Harahap. Menurut Pansus, RE Siahaan dan Imal Raya Harahap jelas bersalah dalam kasus tender proyek perbaikan bangsal RSU Pematangsiantar tahun anggaran 2005. Usul pemberhentian ini disampaikan Pansus Hak Angket mengenai Tender Proyek Bangsal RSU Pematangsiantar 2005, saat menyampaikan hasil akhir dan rekomendasi kepada pimpinan DPRD, Jumat (29/8).
Hasil akhir dan rekomendasi atau memorandum Pansus Hak Angket dibacakan bergantian oleh Sekretaris Pansus Grace Christiane dan Ketua Pansus Aroni Zendrato dalam rapat paripurna yang terbuka untuk umum, termasuk wartawan.
Dalam hasil akhir Pansus, terungkap bahwa Pansus, dalam kapasitasnya untuk menyelidiki, telah melakukan beberapa pertemuan dengan beberapa instansi seperti Kejaksaan Agung, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, dan Kejaksaan Negeri Pematangsiantar. Selain itu Pansus juga telah memanggil panitia pengadaan barang dan jasa dalam kasus tersebut untuk diminta keterangannya.
Walikota RE Siahaan dan Wakilnya Imal Raya Harahap juga telah dipanggil oleh Pansus namun sampai tiga kali pemanggilan, keduanya tak pernah hadir tanpa memberi alasan baik lisan maupun tertulis.
Dari hasil penyelidikan yang dilakukan, Pansus berkesimpulan RE Siahaan dan Imal Raya Harahap telah menyalahgunakan jabatannya sebagai Walikota dan Wakil Walikota Pematangsiantar untuk memenangkan sebuah perusahaan tertentu dalam proses tender proyek perbaikan bangsal RSU di tahun 2005. Akibat perbuatan walikota dan wakil walikota itu, negara dirugikan Rp381 juta lebih. Walikota dan wakilnya dinilai telah melanggar sumpah jabatannya yang beas dari KKN.
Dalam hasil akhirnya, Pansus juga berpedoman kepada keputusan KPPU yang secara jelas telah memutuskan RE Siahaan dan Imal Raya Harahap bersalah dalam kasus tersebut. Menurut hasil akhir Pansus yang dibacakan Grace, putusan KPPU menjadi bukti permulaan yang cukup untuk menindaklanjuti kasus tersebut dalam proses hukum.
Dalam hasil akhir Pansus tersebut juga secara jelas dimuat tentang hasil pertemuan antara Pansus Hak Angket dengan Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara Gortap Marbun dan Kepala Kejaksaan Negeri Pematangsiantar Nelson Sembiring.
Dalam pertemuan tersebut terungkap kalau Nelson Sembiring mengatakan kasus ini adalah masalah perdata yang sudah ditangani Polda Sumut sehingga untuk menghindari overlap atau tumpang tindih, maka Kejaksaan Negeri Pematangsiantar tidak lagi menangani kasus tersebut.
Anehnya, dalam pertemuan di Kejatisu tersebut, Gortap Marbun justru menyatakan kalau kasus ini adalah masalah yang terindikasi tindak pidana.
Sebelumnya, dalam perbincangan dengan Sinar Keadilan, anggota Pansus Maruli Silitonga dan Ketua Pansus Aroni Zendrato mengatakan sepertinya ada usaha Kajari Siantar Nelson Sembiring menghalang-halangi kerja Pansus. “Dalam pertemuan tersebut Nelson kepada Panitia Hak Angket mempertanyakan, kenapa keputusan KPPU yang menjadi obyek hak angket sebab masih banyak kasus yang lain,” kata Maruli dan Zendrato.
Hasil akhir dan rekomendasi Pansus ditandatangani oleh seluruh anggota Pansus dan diserahkan kepada Saud Simanjuntak mewakili pimpinan DPRD.
Atas pengajuan memorandum yang meminta rapat paripurna pemberhentian RE Siahaan dan Imal Raya Harahap tersebut, pimpinan DPRD mengatakan akan menyerahkannya kepada panitia musyawarah yang akan mengagendakan rapat paripurna tersebut. Diperkirakan rapat paripurna tersebut akan dilangsungkan minggu depan antara Selasa-Jumat. (fetra/daud)
Terungkap, Kajari Siantar Nelson Sembiring Berusaha Halangi Kerja Panitia Hak Angket
SIANTAR-SK: Terungkap, dari hasil kunjungan Panitia Khusus Hak Angket DPRD Pematangsiantar mengenai Proyek Bangsal RSU Pematangsiantar, ke Kejaksaan Tinggi Sumut (Kejatisu), Senin (25/8), Kepala Kejaksaan Negeri Pematangsiantar Nelson Sembiring berusaha menghalangi kerja Pansus Hak Angket.
Anggota DPRD Maruli Silitonga dan Aroni Zendrato kepada Sinar Keadilan, Rabu (27/8), mengatakan saat itu tujuh orang anggota Panitia Hak Angket melakukan pertemuan dengan Kajatisu Gortap Marbun yang didampingi Nelson Sembiring.
“Dalam pertemuan tersebut Nelson kepada Panitia Hak Angket mempertanyakan, kenapa keputusan KPPU yang menjadi obyek hak angket sebab masih banyak kasus yang lain,” kata Maruli dan Zendrato.
Kedua anggota Hak Angket ini menambahkan Nelson mengatakan kalau KPPU hanya berwenang menyelesaikan perselisihan usaha dan itu sudah diselesaikan KPPU. Hal ini langsung dipertanyakan Maruli bagaimana dengan persekongkolan yang terjadi. Pernyataan tersebut langsung dibenarkan Kajatisu Gortap Marbun sembari menyebutkan persekongkolan yang merugikan keuangan Negara, dimana pidananya melanggar Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 80 Tahun 2003 mengenai Pengadaan Barang dan Jasa serta Undang- Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Menurut Maruli dan Zendrato, jika jalur hukum terhempang akibat ketidakseriusan Nelson sebagai Kajari Siantar, maka kemungkinan DPRD akan menempuh jalur politik.
Seperti diketahui, dalam putusan KPPU No.06/KPPU/2006 tentang perselisihan dan persekongkolan lelang proyek bangsal unit RSU 2005 senilai Rp1,9 miliar, KPPU telah menetapkan Walikota RE Siahaan dan Wakilnya Imal Raya Harahap bersalah.
Namun putusan KPPU tersebut mengalami perjalanan panjang. Sejak diputuskan akhir tahun 2006 lalu, putusan ini sempat ‘menghilang’ hampir satu tahun dan November 2007 baru ditemukan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selanjutnya KPK merekomendasikan berkas putusan ini ditindaklanjuti ke Kejaksaan Agung (Kejagung), yang kemudian diturunkan ke Kejatisu untuk proses hukum.
Di Kejatisu kasus ini sempat mengendap dan awal Agustus 2008 Kajari Siantar diminta melakukan penyelidikan. Hal ini ditindaklanjuti dengan melakukan pemanggilan terhadap panitia tender proyek bangsal RSU pada tanggal 8 Agustus 2008.
Dan terakhir, pernyataan Nelson langsung kepada anggota Hak Angket, kenapa mengangkat masalah ini menjadi objek hak angket? Inilah ironi hukum di kota ini… (jansen/fetra)
Anggota DPRD Maruli Silitonga dan Aroni Zendrato kepada Sinar Keadilan, Rabu (27/8), mengatakan saat itu tujuh orang anggota Panitia Hak Angket melakukan pertemuan dengan Kajatisu Gortap Marbun yang didampingi Nelson Sembiring.
“Dalam pertemuan tersebut Nelson kepada Panitia Hak Angket mempertanyakan, kenapa keputusan KPPU yang menjadi obyek hak angket sebab masih banyak kasus yang lain,” kata Maruli dan Zendrato.
Kedua anggota Hak Angket ini menambahkan Nelson mengatakan kalau KPPU hanya berwenang menyelesaikan perselisihan usaha dan itu sudah diselesaikan KPPU. Hal ini langsung dipertanyakan Maruli bagaimana dengan persekongkolan yang terjadi. Pernyataan tersebut langsung dibenarkan Kajatisu Gortap Marbun sembari menyebutkan persekongkolan yang merugikan keuangan Negara, dimana pidananya melanggar Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 80 Tahun 2003 mengenai Pengadaan Barang dan Jasa serta Undang- Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Menurut Maruli dan Zendrato, jika jalur hukum terhempang akibat ketidakseriusan Nelson sebagai Kajari Siantar, maka kemungkinan DPRD akan menempuh jalur politik.
Seperti diketahui, dalam putusan KPPU No.06/KPPU/2006 tentang perselisihan dan persekongkolan lelang proyek bangsal unit RSU 2005 senilai Rp1,9 miliar, KPPU telah menetapkan Walikota RE Siahaan dan Wakilnya Imal Raya Harahap bersalah.
Namun putusan KPPU tersebut mengalami perjalanan panjang. Sejak diputuskan akhir tahun 2006 lalu, putusan ini sempat ‘menghilang’ hampir satu tahun dan November 2007 baru ditemukan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selanjutnya KPK merekomendasikan berkas putusan ini ditindaklanjuti ke Kejaksaan Agung (Kejagung), yang kemudian diturunkan ke Kejatisu untuk proses hukum.
Di Kejatisu kasus ini sempat mengendap dan awal Agustus 2008 Kajari Siantar diminta melakukan penyelidikan. Hal ini ditindaklanjuti dengan melakukan pemanggilan terhadap panitia tender proyek bangsal RSU pada tanggal 8 Agustus 2008.
Dan terakhir, pernyataan Nelson langsung kepada anggota Hak Angket, kenapa mengangkat masalah ini menjadi objek hak angket? Inilah ironi hukum di kota ini… (jansen/fetra)
Akal-akalan Ruislag SMAN 4 Siantar
Oleh: Jansen Siahaan dan Fetra Tumanggor
SIANTAR-SK: Apa kabar ruislag SMA Negeri 4 Pematangsiantar? Dalam dialog dengan para kepala daerah di Gedung DPD, Jumat (22/8), Ketua KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) Antasari Azhar menyampaikan 18 modus operandi korupsi yang biasanya dilakukan oleh kepala daerah.
Yang menarik, salah satu modus yang disampaikan Antasari adalah kepala daerah melakukan ruislag (tukar guling) atas aset Pemda dan melakukan mark down (menurunkan harga) atas aset Pemda serta mark up (menaikkan harga) atas aset pengganti dari pengusaha/rekanan.
Apakah yang dikatakan Antasari menemukan pembenaran dalam ruislag SMAN 4 Pematangsiantar? Mari kita lihat apakah ini akal-akalan atau tidak.
Awalnya, ada dugaan seolah-olah rencana ruislag merupakan program Walikota RE Siahaan. Hal ini dibuktikan dengan surat dari walikota kepada Dinas Pendidikan dan Pengajaran (Dispenjar) dan Ketua Komite Sekolah SMA Negeri 4 tanggal 22 Juni 2006 yang meminta respon menyangkut program pemerintah kota untuk pemindahan sekolah negeri dan swasta dari pusat kota ke kawasan lain dengan pemerataan lokasi per kecamatan. Alasannya, perkembangan pusat kota semakin besar beban fungsinya akibat terkonsentrasinya pusat pendidikan, perbelanjaan/bisnis dan perkantoran.
Dari data yang berhasil dihimpun Sinar Keadilan, jauh sebelum walikota minta respon Kadispenjar dan Komite Sekolah, ternyata pengusaha (direktur) PT. Detis Sari Indah (DSI) sudah pernah mengajukan konsep ruislag SMA Negeri 4. Ini terbukti melalui suratnya tanggal 20 Desember 2005 Nomor 14/DSI-05 yang ditujukan kepada walikota perihal ruislag.
Direktur PT DSI Hermawanto (Lie Yen Po) dalam suratnya bermaksud mengadakan ruislag antara SMA Negeri 4 dengan 3 bangunan SMA lengkap dengan fasilitas mobiler seperti gedung, laboratorium, kantor kepsek, ruangan kantor tata usaha (KTU), ruangan guru, air, listrik, yang berlokasi di Jalan Gunung Sibayak, Jalan Medan dan Jalan Sisingamangaraja.
Selanjutnya PT. DSI membuat surat susulan pada tanggal 15 Agustus 2006 dengan surat Nomor 15/DSI-06 yang intinya akan membangun perhotelan, pertokoan dan mall di lokasi SMA Negeri 4 yang akan diruislag.
Berdasarkan SK Walikota Siantar Nomor 593.33-2728/WK-tahun 2006 tanggal 10 Oktober 2006 telah dibentuk tim tukar menukar barang berupa tanah dan bangunan milik Pemko Siantar. Hasil kajian tim, tanah dan bangunan yang dihubungkan dengan rencana ruislag yakni lokasi SMA Negeri 4, SD Negeri 122350 dan SD Negeri 122351 dengan luas tanah 20.016 M2.
Hasil kajian tim menyebutkan lokasi SMAN 4 dan SD di sebelahnya tidak sesuai lagi sebagai pusat pendidikan dan lebih tepat menjadi pusat bisnis, jasa dan hiburan. Selain itu disebutkan para guru dan dewan komite sekolah pada dasarnya mendukung dan menilai tanah dan bangunan akan dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan pembangunan pendidikan.
Pada tanggal 14 Desember 2006 walikota melalui suratnya Nomor 425/9772/XII/2006 mengajukan permohonan persetujuan tukar menukar barang Pemko Siantar kepada Ketua DPRD. Permohonan ini didasari surat Kadispenjar Nomor 425/38/75.2.53/2006 tanggal 1 September 2006 yang menyebutkan membutuhkan pembangunan unit sekolah baru (USB) tingkat SMA sebanyak dua unit, untuk tingkat SMP satu unit serta bangunan balai latihan dan pengupayaan pendirian perguruan tinggi negeri.
Tepatnya 13 Maret 2007 walikota kembali mengajukan surat permohonan persetujuan tukar menukar barang milik daerah kepada Ketua DPRD dengan suratnya Nomor: 425/1672/III/2007. Surat permohonan persetujuan itu untuk melengkapi informasi bahwa luas tanah SMA Negeri 4 dan SD Negeri 122350 (SD Negeri 122351 tidak turut ditukar) luasnya menjadi 24.621 M2 (bukan lagi 20.016 M2) dan hasil penelitian konsultan independen PT. Sucofindo Appraisal Utama, nilai tanah sebesar Rp 34.956.967.000.
Pimpinan DPRD Pematangsiantar masing-masing ketua Lingga Napitupulu, dan wakilnya Saud Simanjuntak dan Syirwan Hazzly Nasution melalui suratnya Nomor: 425/4255/DPRD/IV/2007 tanggal 17 April 2007 memberikan persetujuan ijin prinsip permohonan tukar menukar barang milik pemerintah Kota Pematangsiantar.
Pemberian persetujuan prinsip didasarkan pada nota penjelasan walikota atas lima Ranperda 27 Desember 2006. Kemudian mengacu pada pembicaraan tahap II penyampaian pemandangan umum delapan anggota DPRD tanggal 8 Januari 2007, nota jawaban Walikota 11 Januari 2007 atas pemandangan umum delapan anggota DPRD dan kesimpulan rapat gabungan komisi-komisi tanggal 18 Januari 2007 serta pendapat akhir fraksi-fraksi tanggal 17 April 2007.
Persetujuan prinsip tukar menukar barang milik Pemko tidak berdasarkan Permendagri Nomor : 17/2007 perihal aturan teknis PP No. 6 tahun 2006.
Hampir tiga tahun proses ruislag antara tanah dan bangunan SMA Negeri 4 dan SD Negeri 122350 belum jelas sampai saat ini. Sementara itu kondisi tiga bangunan sekolah pengganti yang dibangun telah memprihatinkan. Anehnya pelaku ruislag tidak transparan menjelaskan sudah sampai dimana prosesnya termasuk Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) terakhir, sebab ruislag dimaksud tidak melalui tender.
Akankah pendidikan di kota Siantar akan terus menjadi akal-akalan penguasa kota? Bagaimana Pak Antasari, kapan turun ke Siantar?
SIANTAR-SK: Apa kabar ruislag SMA Negeri 4 Pematangsiantar? Dalam dialog dengan para kepala daerah di Gedung DPD, Jumat (22/8), Ketua KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) Antasari Azhar menyampaikan 18 modus operandi korupsi yang biasanya dilakukan oleh kepala daerah.
Yang menarik, salah satu modus yang disampaikan Antasari adalah kepala daerah melakukan ruislag (tukar guling) atas aset Pemda dan melakukan mark down (menurunkan harga) atas aset Pemda serta mark up (menaikkan harga) atas aset pengganti dari pengusaha/rekanan.
Apakah yang dikatakan Antasari menemukan pembenaran dalam ruislag SMAN 4 Pematangsiantar? Mari kita lihat apakah ini akal-akalan atau tidak.
Awalnya, ada dugaan seolah-olah rencana ruislag merupakan program Walikota RE Siahaan. Hal ini dibuktikan dengan surat dari walikota kepada Dinas Pendidikan dan Pengajaran (Dispenjar) dan Ketua Komite Sekolah SMA Negeri 4 tanggal 22 Juni 2006 yang meminta respon menyangkut program pemerintah kota untuk pemindahan sekolah negeri dan swasta dari pusat kota ke kawasan lain dengan pemerataan lokasi per kecamatan. Alasannya, perkembangan pusat kota semakin besar beban fungsinya akibat terkonsentrasinya pusat pendidikan, perbelanjaan/bisnis dan perkantoran.
Dari data yang berhasil dihimpun Sinar Keadilan, jauh sebelum walikota minta respon Kadispenjar dan Komite Sekolah, ternyata pengusaha (direktur) PT. Detis Sari Indah (DSI) sudah pernah mengajukan konsep ruislag SMA Negeri 4. Ini terbukti melalui suratnya tanggal 20 Desember 2005 Nomor 14/DSI-05 yang ditujukan kepada walikota perihal ruislag.
Direktur PT DSI Hermawanto (Lie Yen Po) dalam suratnya bermaksud mengadakan ruislag antara SMA Negeri 4 dengan 3 bangunan SMA lengkap dengan fasilitas mobiler seperti gedung, laboratorium, kantor kepsek, ruangan kantor tata usaha (KTU), ruangan guru, air, listrik, yang berlokasi di Jalan Gunung Sibayak, Jalan Medan dan Jalan Sisingamangaraja.
Selanjutnya PT. DSI membuat surat susulan pada tanggal 15 Agustus 2006 dengan surat Nomor 15/DSI-06 yang intinya akan membangun perhotelan, pertokoan dan mall di lokasi SMA Negeri 4 yang akan diruislag.
Berdasarkan SK Walikota Siantar Nomor 593.33-2728/WK-tahun 2006 tanggal 10 Oktober 2006 telah dibentuk tim tukar menukar barang berupa tanah dan bangunan milik Pemko Siantar. Hasil kajian tim, tanah dan bangunan yang dihubungkan dengan rencana ruislag yakni lokasi SMA Negeri 4, SD Negeri 122350 dan SD Negeri 122351 dengan luas tanah 20.016 M2.
Hasil kajian tim menyebutkan lokasi SMAN 4 dan SD di sebelahnya tidak sesuai lagi sebagai pusat pendidikan dan lebih tepat menjadi pusat bisnis, jasa dan hiburan. Selain itu disebutkan para guru dan dewan komite sekolah pada dasarnya mendukung dan menilai tanah dan bangunan akan dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan pembangunan pendidikan.
Pada tanggal 14 Desember 2006 walikota melalui suratnya Nomor 425/9772/XII/2006 mengajukan permohonan persetujuan tukar menukar barang Pemko Siantar kepada Ketua DPRD. Permohonan ini didasari surat Kadispenjar Nomor 425/38/75.2.53/2006 tanggal 1 September 2006 yang menyebutkan membutuhkan pembangunan unit sekolah baru (USB) tingkat SMA sebanyak dua unit, untuk tingkat SMP satu unit serta bangunan balai latihan dan pengupayaan pendirian perguruan tinggi negeri.
Tepatnya 13 Maret 2007 walikota kembali mengajukan surat permohonan persetujuan tukar menukar barang milik daerah kepada Ketua DPRD dengan suratnya Nomor: 425/1672/III/2007. Surat permohonan persetujuan itu untuk melengkapi informasi bahwa luas tanah SMA Negeri 4 dan SD Negeri 122350 (SD Negeri 122351 tidak turut ditukar) luasnya menjadi 24.621 M2 (bukan lagi 20.016 M2) dan hasil penelitian konsultan independen PT. Sucofindo Appraisal Utama, nilai tanah sebesar Rp 34.956.967.000.
Pimpinan DPRD Pematangsiantar masing-masing ketua Lingga Napitupulu, dan wakilnya Saud Simanjuntak dan Syirwan Hazzly Nasution melalui suratnya Nomor: 425/4255/DPRD/IV/2007 tanggal 17 April 2007 memberikan persetujuan ijin prinsip permohonan tukar menukar barang milik pemerintah Kota Pematangsiantar.
Pemberian persetujuan prinsip didasarkan pada nota penjelasan walikota atas lima Ranperda 27 Desember 2006. Kemudian mengacu pada pembicaraan tahap II penyampaian pemandangan umum delapan anggota DPRD tanggal 8 Januari 2007, nota jawaban Walikota 11 Januari 2007 atas pemandangan umum delapan anggota DPRD dan kesimpulan rapat gabungan komisi-komisi tanggal 18 Januari 2007 serta pendapat akhir fraksi-fraksi tanggal 17 April 2007.
Persetujuan prinsip tukar menukar barang milik Pemko tidak berdasarkan Permendagri Nomor : 17/2007 perihal aturan teknis PP No. 6 tahun 2006.
Hampir tiga tahun proses ruislag antara tanah dan bangunan SMA Negeri 4 dan SD Negeri 122350 belum jelas sampai saat ini. Sementara itu kondisi tiga bangunan sekolah pengganti yang dibangun telah memprihatinkan. Anehnya pelaku ruislag tidak transparan menjelaskan sudah sampai dimana prosesnya termasuk Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) terakhir, sebab ruislag dimaksud tidak melalui tender.
Akankah pendidikan di kota Siantar akan terus menjadi akal-akalan penguasa kota? Bagaimana Pak Antasari, kapan turun ke Siantar?
Label:
Dari Secangkir Kopi
Ketua BPK: Laporan Keuangan Sumatera Utara Jelek
Pematangsiantar Disclaimer, Simalungun Wajar dalam Pengecualian
MEDAN-SK: Badan Pemeriksa Keuangan tercatat paling banyak memberikan opini disclaimer atau tidak memberikan pendapat terhadap laporan keuangan kabupaten/kota di Sumatera Utara tahun anggaran 2006. Terdapat 14 kabupaten/kota yang mendapat opini disclaimer dari Badan Pemeriksa Keuangan.
Tidak hanya laporan keuangan pemerintah kabupaten/kota yang mendapat opini disclaimer, laporan keuangan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Sumut) pada tahun anggaran 2006 juga disclaimer. Kabupaten/kota di Sumut yang mendapat opini disclaimer dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah, Kota Tebing Tinggi, Padangsidimpuan, Tanjung Balai, Pematangsiantar, Binjai, Kabupaten Tapanuli Tengah, Humbang Hasundutan, Deli Serdang, Dairi, Tapanuli Selatan, Tapanuli Utara, Nias, dan Nias Selatan.
Dengan demikian, Sumut tercatat sebagai daerah yang paling banyak mendapat opini disclaimer dari hasil pemeriksaan BPK atas laporan keuangan pemerintah daerah. Menurut Gubernur Sumut Syamsul Arifin, meski cukup tercengang dengan banyaknya jumlah laporan keuangan pemerintah daerah di Sumut yang mendapat opini disclaimer, dia mengakui hal tersebut sebagai informasi yang berharga.
"Ini kan informasi yang sangat berharga untuk kami tindak lanjuti. Setelah ini memang harus ada perbaikan (dalam laporan keuangan pemerintah daerah). Kami juga harus membenahi sumber daya manusia yang menguasai akuntansi," ujar Syamsul di Medan, Rabu (27/8).
Menurut Syamsul, dalam beberapa tahun ke depan, formasi penerimaan pegawai negeri sipil di lingkungan Pemprov Sumut harus diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga akuntan. Syamsul mengatakan, Sumut bisa meniru daerah lain yang memberikan porsi besar pada penerimaan pegawai negeri sipil dengan latar belakag pendidikan akuntansi.
"Sumut memang banyak kekurangan tenaga profesional. Tenaga pendidik saja Sumut masih sangat kurang. Pokoknya kami akan benahi persoalan kekurangan sumber daya manusia ini," ujar Syamsul.
Selain opini disclaimer, BPK juga memberikan opini tidak wajar pada laporan keuangan Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal. "Ini laporan yang paling jelek . Saya enggak tahu kenapa, padahal banyak orang pintar dari Mandailing," ujar Ketua BPK Anwar Nasution.
Anwar juga mengakui, kurangnya tenaga akuntan menjadi salah satu sebab buruknya laporan keuangan pemerintah daerah. Selain itu konflik antara lembaga eksekutif dan legislatif juga ikut mempengaruhinya, kata Anwar.
Kabupaten lain di Sumut, yakni Labuhan Batu, Asahan, Langkat, Simalungun, Toba Samosir, Pakpak Bharat, Serdang Bedagai, Samosir dan Karo mendapat opini wajar dalam pengecualian. Sedangkan untuk opini wajar tanpa pengecualian, tak satu pun pemerintah kabupaten/kota di Sumut yang mendapatkannya. Dalam data BPK, Kota Medan tercatat belum mendapatkan opini apa pun.
Hasil pemeriksaan BPK juga menyebutkan, pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah daerah di Sumut menemukan indikasi kerugian negara sebesar Rp 8,96 miliar. Selain itu terdapat kekurangan dalam penerimaan negara mencapai Rp 18,8 miliar. Sedangkan untuk total pemborosan anggaran dalam pemeriksaan BPK mencapai Rp 4,04 miliar. (kcm)
MEDAN-SK: Badan Pemeriksa Keuangan tercatat paling banyak memberikan opini disclaimer atau tidak memberikan pendapat terhadap laporan keuangan kabupaten/kota di Sumatera Utara tahun anggaran 2006. Terdapat 14 kabupaten/kota yang mendapat opini disclaimer dari Badan Pemeriksa Keuangan.
Tidak hanya laporan keuangan pemerintah kabupaten/kota yang mendapat opini disclaimer, laporan keuangan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Sumut) pada tahun anggaran 2006 juga disclaimer. Kabupaten/kota di Sumut yang mendapat opini disclaimer dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah, Kota Tebing Tinggi, Padangsidimpuan, Tanjung Balai, Pematangsiantar, Binjai, Kabupaten Tapanuli Tengah, Humbang Hasundutan, Deli Serdang, Dairi, Tapanuli Selatan, Tapanuli Utara, Nias, dan Nias Selatan.
Dengan demikian, Sumut tercatat sebagai daerah yang paling banyak mendapat opini disclaimer dari hasil pemeriksaan BPK atas laporan keuangan pemerintah daerah. Menurut Gubernur Sumut Syamsul Arifin, meski cukup tercengang dengan banyaknya jumlah laporan keuangan pemerintah daerah di Sumut yang mendapat opini disclaimer, dia mengakui hal tersebut sebagai informasi yang berharga.
"Ini kan informasi yang sangat berharga untuk kami tindak lanjuti. Setelah ini memang harus ada perbaikan (dalam laporan keuangan pemerintah daerah). Kami juga harus membenahi sumber daya manusia yang menguasai akuntansi," ujar Syamsul di Medan, Rabu (27/8).
Menurut Syamsul, dalam beberapa tahun ke depan, formasi penerimaan pegawai negeri sipil di lingkungan Pemprov Sumut harus diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga akuntan. Syamsul mengatakan, Sumut bisa meniru daerah lain yang memberikan porsi besar pada penerimaan pegawai negeri sipil dengan latar belakag pendidikan akuntansi.
"Sumut memang banyak kekurangan tenaga profesional. Tenaga pendidik saja Sumut masih sangat kurang. Pokoknya kami akan benahi persoalan kekurangan sumber daya manusia ini," ujar Syamsul.
Selain opini disclaimer, BPK juga memberikan opini tidak wajar pada laporan keuangan Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal. "Ini laporan yang paling jelek . Saya enggak tahu kenapa, padahal banyak orang pintar dari Mandailing," ujar Ketua BPK Anwar Nasution.
Anwar juga mengakui, kurangnya tenaga akuntan menjadi salah satu sebab buruknya laporan keuangan pemerintah daerah. Selain itu konflik antara lembaga eksekutif dan legislatif juga ikut mempengaruhinya, kata Anwar.
Kabupaten lain di Sumut, yakni Labuhan Batu, Asahan, Langkat, Simalungun, Toba Samosir, Pakpak Bharat, Serdang Bedagai, Samosir dan Karo mendapat opini wajar dalam pengecualian. Sedangkan untuk opini wajar tanpa pengecualian, tak satu pun pemerintah kabupaten/kota di Sumut yang mendapatkannya. Dalam data BPK, Kota Medan tercatat belum mendapatkan opini apa pun.
Hasil pemeriksaan BPK juga menyebutkan, pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah daerah di Sumut menemukan indikasi kerugian negara sebesar Rp 8,96 miliar. Selain itu terdapat kekurangan dalam penerimaan negara mencapai Rp 18,8 miliar. Sedangkan untuk total pemborosan anggaran dalam pemeriksaan BPK mencapai Rp 4,04 miliar. (kcm)
Kegagalan PDAM Karena Dijadikan Sapi Perah Oleh Penguasa Daerah
JAKARTA-SK: Sebanyak 30 Perusahaan Daerah Air Minum atau PDAM yang selama ini tidak menunggak pinjaman kepada pemerintah pusat akan mendapatkan insentif berupa pemotongan bunga sebesar dua persen. Dengan demikian, bunga pinjaman mereka akan turun dari bunga yang berlaku sekarang di sekitar tujuh hingga sebelas persen menjadi lima hingga sembilan persen.
Direktur Pengelolaan Penerusan Pinjaman Departemen Keuangan (Depkeu) Soritaon Siregar mengungkapkan hal tersebut di Jakarta, Senin (25/8).
Soritaon mengatakan, selama ini, masalah kinerja sebagian besar PDAM menjadi pembicaraan publik karena mereka gagal memenuhi pasokan air bersih meskipun biaya operasional bisnis ini tergolong rendah. Kegagalan kinerja PDAM itu antara lain disebabkan perilaku pemimpin daerah yang menjadikan PDAM sebagai sapi perahan dan cenderung digunakan sebagai komoditas politik lokal.
Salah satu indikasinya adalah pengenaan tarif yang jauh di bawah biaya operasional, sehingga menyebabkan sebagian besar PDAM merugi. Pemimpin daerah enggan menaikkan tarif karena tidak ingin mengecewakan penduduk, yang menjadi basis pemilihnya dalam pemilihan kepala daerah. Namun, meskipun merugi, PDAM itu wajib menyetor dividen.
Padahal tidak ada satu pun teori manajemen perusahaan yang menyebutkan pembayaran dividen dari perusahaan yang merugi. "Tetapi itu justru terjadi di PDAM," ujar Soritaon.
Atas dasar itu, Departemen Keuangan hanya bersedia menerima proposal penghapusan utang PDAM jika perusahaan tersebut memenuhi tiga syarat. Pertama, menaikkan tarif di atas biaya operasional. Kedua, mengganti direksi PDAM dengan orang-orang profesional. Ketiga, menyusun rencana bisnis untuk lima tahun.
Sebelumnya, Dirjen Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum Budi Yuwono mengatakan, target yang ingin dicapai dalam program pengalihan utang ke investasi atau debt swap to investment (DSI) antara lain menambah satu juta sambungan rumah atau meningkatkan cakupan pelayanan air minum menjadi 57 persen. Kegiatan ini digelar pada tahun anggaran 2008-2009. (fetra/kcm)
Direktur Pengelolaan Penerusan Pinjaman Departemen Keuangan (Depkeu) Soritaon Siregar mengungkapkan hal tersebut di Jakarta, Senin (25/8).
Soritaon mengatakan, selama ini, masalah kinerja sebagian besar PDAM menjadi pembicaraan publik karena mereka gagal memenuhi pasokan air bersih meskipun biaya operasional bisnis ini tergolong rendah. Kegagalan kinerja PDAM itu antara lain disebabkan perilaku pemimpin daerah yang menjadikan PDAM sebagai sapi perahan dan cenderung digunakan sebagai komoditas politik lokal.
Salah satu indikasinya adalah pengenaan tarif yang jauh di bawah biaya operasional, sehingga menyebabkan sebagian besar PDAM merugi. Pemimpin daerah enggan menaikkan tarif karena tidak ingin mengecewakan penduduk, yang menjadi basis pemilihnya dalam pemilihan kepala daerah. Namun, meskipun merugi, PDAM itu wajib menyetor dividen.
Padahal tidak ada satu pun teori manajemen perusahaan yang menyebutkan pembayaran dividen dari perusahaan yang merugi. "Tetapi itu justru terjadi di PDAM," ujar Soritaon.
Atas dasar itu, Departemen Keuangan hanya bersedia menerima proposal penghapusan utang PDAM jika perusahaan tersebut memenuhi tiga syarat. Pertama, menaikkan tarif di atas biaya operasional. Kedua, mengganti direksi PDAM dengan orang-orang profesional. Ketiga, menyusun rencana bisnis untuk lima tahun.
Sebelumnya, Dirjen Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum Budi Yuwono mengatakan, target yang ingin dicapai dalam program pengalihan utang ke investasi atau debt swap to investment (DSI) antara lain menambah satu juta sambungan rumah atau meningkatkan cakupan pelayanan air minum menjadi 57 persen. Kegiatan ini digelar pada tahun anggaran 2008-2009. (fetra/kcm)
Badan Pengawas PDAM Tirtauli Pematangsiantar Sepakat Tarif Air Minum Naik 50 Persen
Masyarakat Harus Menolak
Sahala Situmeang Diminta Mundur, Tak Becus Pimpin PDAM
SIANTAR-SK: Badan Pengawas PDAM Tirtauli Pematangsiantar sepakat dengan jajaran direksi untuk menaikkan tarif air minum di Pematangsiantar dan sebagian wilayah Kabupaten Simalungun sebesar 50 persen.
Hal ini dinyatakan Ketua Badan Pengawas PDAM Tirtauli, Lintong Siagian, saat ditemui Sinar Keadilan di ruangan kerja Plt Sekda Pematangsiantar, Kamis (21/8). Di hadapan sejumlah wartawan, Lintong Siagian mengaku telah menerbitkan rekomendasi yang isinya dapat memahami rencana kenaikan tarif air minum yang diusulkan direksi PDAM Tirtauli.
Lintong mengatakan, rekomendasi tersebut diterbitkan setelah Badan Pengawas melakukan rapat. Anehnya, Lintong tak menjelaskan kapan rapat tersebut digelar. Menurutnya, tarif air minum saat ini, sudah tidak bisa lagi dipertahankan, karena tidak sesuai lagi dengan dampak kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak).
Alasan Badan Pengawas menyetujui kenaikan tarif air minum, juga melihat kondisi sejumlah peralatan dan pipa PDAM Tirtauli yang sudah tua dan membuat tingginya tingkat kebocoran air. Akibatnya, diperlukan pergantian pipa.
Lintong menambahkan rekomendasi itu diberikan juga untuk memenuhi persyaratan yang diminta Departemen Keuangan, guna menghapus hutang PDAM Tirtauli. “Terkait juga penghapusan hutang, jadi tarif harus disesuaikan, karena itu syaratnya,” ungkapnya.
Sementara itu, Plt Sekda Kota Pematangsiantar, Drs James Lumbangaol, mengaku telah mendengar rencana kenaikan tarif air minum dari media massa. “Namun, usulan dari PDAM Tirtauli untuk menaikkan tarif air minum belum diterima Pemko Pematangsiantar. Karenanya pemerintah belum dapat menentukan sikap soal kenaikan tarif tersebut,” kata James.
Hal senada diutarakan Walikota Pematangsiantar, RE Siahaan, saat dikonfirmasi melalui telepon selulernya. Menurutnya soal rencana kenaikan tarif PDAM Tirtauli, hingga saat ini Pemko Pematangsiantar belum menerima secara resmi surat usulan kenaikan tarif air minum tersebut. “Secara resmi Pemko Siantar, belum menerima surat usulan kenaikan tarif air minum dari PDAM Tirtauli,” ujarnya.
Persetujuan Badan Pengawas PDAM Tirtauli ini tak pelak membuat anggota DPRD Pematangsiantar, Muslimin Akbar, berang. Menurutnya tak ada alasan dari direksi PDAM menaikkan tarif. “Biaya apa yang naik sehingga tarif harus ikut dinaikkan?” tanyanya.
Muslimin minta direksi PDAM Tirtauli transparan soal laporan keuangan. Menurutnya, sampai saat ini laporan keuangan PDAM Tirtauli tak jelas. “Mulai tahun 2006 sampai saat ini laporan PAD (Pendapatan Asli Daerah) dari PDAM sebesar Rp500 juta setiap tahun tak pernah ada. Itu harus dipertanggungjawabkan kemana PAD tersebut,” kata Muslimin.
Ia meminta ketidakbecusan direksi menangani manajemen, terutama penggunaan uang yang tak jelas, jangan dibebankan ke rakyat dengan menaikkan tarif. “Sahala Situmenang harus mundur karena tak bisa memimpin PDAM. Jangan PDAM semakin membuat susah rakyat,” ujarnya.
Muslimin melanjutkan setiap kebijakan Pemko Siantar yang berhubungan dengan kepentingan rakyat, seperti rencana kenaikan tarif air minum, harus melalui persetujuan DPRD. “Itu aturannya, direksi maupun badan pengawas tak bisa semena-mena menaikkan tarif tanpa persetujuan DPRD dan DPRD tidak akan menyetujui kenaikan tarif tersebut,” katanya.
Hal senada disampaikan Rahab Siadari, salah seorang pengamat masalah sosial di Pematangsiantar. Menurutnya, orang-orang yang duduk di Badan Pengawas PDAM Tirtauli bukanlah orang yang berkompeten di bidangnya. “Mereka dengan mudahnya menyetujui kenaikan tarif yang diajukan direksi. Mereka tak paham apa tugasnya dan seharusnya mereka diganti. Mereka tak berpikir kalau kenaikan tarif ini efeknya akan sangat besar bagi masyarakat,” kata Rahab.
Rahab meminta agar masyarakat bersama-sama menolak kenaikan tarif tersebut karena sangat membebani di saat kondisi perekonomian masih memprihatinkan.
Direktur Eksekutif Goverment Monitoring (GoMo) M. Alinapiah Simbolon bahkan menilai rencana kenaikan tarif air minum tersebut hanya akal-akalan dan disinyalir ditunggangi kepentingan penguasa dan pejabat teras di PDAM Tirtauli sendiri.
Dia sangat menyayangkan sikap dari Badan Pengawas PDAM Tirtauli yang telah menerbitkan rekomendasi soal kenaikan air minum. Seharusnya, sebelum Badan Pengawas menyetujuinya, terlebih dahulu melakukan sosialisasi dengan terjun langsung untuk mengetahui kondisi sebenarnya dan melakukan sosialisasi terhadap masyarakat pelanggan. “Karena masalah tarif air minum, merupakan masalah yang sangat krusial dan menyangkut kehidupan orang banyak. Saya heran dengan sikap dan kebijakan dari Badan Pengawas yang secara sepihak telah menerbitkan rekomendasi,” katanya.
Mengenai alasan penghapusan hutang, menurut Simbolon, seharusnya dari dulu PDAM Tirtauli memiliki kemampuan untuk mengangsur hutangnya ke Departemen Keuangan. “Karena biaya operasional PDAM Tirtauli tidaklah terlalu besar, dimana tidak harus melakukan penyulingan air lagi. Sebab air yang didapat sudah sangat bersih. Uniknya, selama kepemimpinan direksi saat ini, PDAM Tirtauli tidak pernah untung. Itu berarti mereka tak mampu,” katanya. (fetra/daud)
Sahala Situmeang Diminta Mundur, Tak Becus Pimpin PDAM
SIANTAR-SK: Badan Pengawas PDAM Tirtauli Pematangsiantar sepakat dengan jajaran direksi untuk menaikkan tarif air minum di Pematangsiantar dan sebagian wilayah Kabupaten Simalungun sebesar 50 persen.
Hal ini dinyatakan Ketua Badan Pengawas PDAM Tirtauli, Lintong Siagian, saat ditemui Sinar Keadilan di ruangan kerja Plt Sekda Pematangsiantar, Kamis (21/8). Di hadapan sejumlah wartawan, Lintong Siagian mengaku telah menerbitkan rekomendasi yang isinya dapat memahami rencana kenaikan tarif air minum yang diusulkan direksi PDAM Tirtauli.
Lintong mengatakan, rekomendasi tersebut diterbitkan setelah Badan Pengawas melakukan rapat. Anehnya, Lintong tak menjelaskan kapan rapat tersebut digelar. Menurutnya, tarif air minum saat ini, sudah tidak bisa lagi dipertahankan, karena tidak sesuai lagi dengan dampak kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak).
Alasan Badan Pengawas menyetujui kenaikan tarif air minum, juga melihat kondisi sejumlah peralatan dan pipa PDAM Tirtauli yang sudah tua dan membuat tingginya tingkat kebocoran air. Akibatnya, diperlukan pergantian pipa.
Lintong menambahkan rekomendasi itu diberikan juga untuk memenuhi persyaratan yang diminta Departemen Keuangan, guna menghapus hutang PDAM Tirtauli. “Terkait juga penghapusan hutang, jadi tarif harus disesuaikan, karena itu syaratnya,” ungkapnya.
Sementara itu, Plt Sekda Kota Pematangsiantar, Drs James Lumbangaol, mengaku telah mendengar rencana kenaikan tarif air minum dari media massa. “Namun, usulan dari PDAM Tirtauli untuk menaikkan tarif air minum belum diterima Pemko Pematangsiantar. Karenanya pemerintah belum dapat menentukan sikap soal kenaikan tarif tersebut,” kata James.
Hal senada diutarakan Walikota Pematangsiantar, RE Siahaan, saat dikonfirmasi melalui telepon selulernya. Menurutnya soal rencana kenaikan tarif PDAM Tirtauli, hingga saat ini Pemko Pematangsiantar belum menerima secara resmi surat usulan kenaikan tarif air minum tersebut. “Secara resmi Pemko Siantar, belum menerima surat usulan kenaikan tarif air minum dari PDAM Tirtauli,” ujarnya.
Persetujuan Badan Pengawas PDAM Tirtauli ini tak pelak membuat anggota DPRD Pematangsiantar, Muslimin Akbar, berang. Menurutnya tak ada alasan dari direksi PDAM menaikkan tarif. “Biaya apa yang naik sehingga tarif harus ikut dinaikkan?” tanyanya.
Muslimin minta direksi PDAM Tirtauli transparan soal laporan keuangan. Menurutnya, sampai saat ini laporan keuangan PDAM Tirtauli tak jelas. “Mulai tahun 2006 sampai saat ini laporan PAD (Pendapatan Asli Daerah) dari PDAM sebesar Rp500 juta setiap tahun tak pernah ada. Itu harus dipertanggungjawabkan kemana PAD tersebut,” kata Muslimin.
Ia meminta ketidakbecusan direksi menangani manajemen, terutama penggunaan uang yang tak jelas, jangan dibebankan ke rakyat dengan menaikkan tarif. “Sahala Situmenang harus mundur karena tak bisa memimpin PDAM. Jangan PDAM semakin membuat susah rakyat,” ujarnya.
Muslimin melanjutkan setiap kebijakan Pemko Siantar yang berhubungan dengan kepentingan rakyat, seperti rencana kenaikan tarif air minum, harus melalui persetujuan DPRD. “Itu aturannya, direksi maupun badan pengawas tak bisa semena-mena menaikkan tarif tanpa persetujuan DPRD dan DPRD tidak akan menyetujui kenaikan tarif tersebut,” katanya.
Hal senada disampaikan Rahab Siadari, salah seorang pengamat masalah sosial di Pematangsiantar. Menurutnya, orang-orang yang duduk di Badan Pengawas PDAM Tirtauli bukanlah orang yang berkompeten di bidangnya. “Mereka dengan mudahnya menyetujui kenaikan tarif yang diajukan direksi. Mereka tak paham apa tugasnya dan seharusnya mereka diganti. Mereka tak berpikir kalau kenaikan tarif ini efeknya akan sangat besar bagi masyarakat,” kata Rahab.
Rahab meminta agar masyarakat bersama-sama menolak kenaikan tarif tersebut karena sangat membebani di saat kondisi perekonomian masih memprihatinkan.
Direktur Eksekutif Goverment Monitoring (GoMo) M. Alinapiah Simbolon bahkan menilai rencana kenaikan tarif air minum tersebut hanya akal-akalan dan disinyalir ditunggangi kepentingan penguasa dan pejabat teras di PDAM Tirtauli sendiri.
Dia sangat menyayangkan sikap dari Badan Pengawas PDAM Tirtauli yang telah menerbitkan rekomendasi soal kenaikan air minum. Seharusnya, sebelum Badan Pengawas menyetujuinya, terlebih dahulu melakukan sosialisasi dengan terjun langsung untuk mengetahui kondisi sebenarnya dan melakukan sosialisasi terhadap masyarakat pelanggan. “Karena masalah tarif air minum, merupakan masalah yang sangat krusial dan menyangkut kehidupan orang banyak. Saya heran dengan sikap dan kebijakan dari Badan Pengawas yang secara sepihak telah menerbitkan rekomendasi,” katanya.
Mengenai alasan penghapusan hutang, menurut Simbolon, seharusnya dari dulu PDAM Tirtauli memiliki kemampuan untuk mengangsur hutangnya ke Departemen Keuangan. “Karena biaya operasional PDAM Tirtauli tidaklah terlalu besar, dimana tidak harus melakukan penyulingan air lagi. Sebab air yang didapat sudah sangat bersih. Uniknya, selama kepemimpinan direksi saat ini, PDAM Tirtauli tidak pernah untung. Itu berarti mereka tak mampu,” katanya. (fetra/daud)
Perang dan Optimisme jadi Wakil Rakyat
Oleh: Fetra Tumanggor
Selasa (19/8), batas terakhir penyerahan daftar calon legislatif (caleg) di seluruh Indonesia, termasuk di Pematangsiantar. Genderang perang untuk memperebutkan suara pemilih pun secara resmi mulai ditabuh. Namun, jauh sebelum ini perang sebenarnya sudah dimulai.
Apa perangnya? Tak lain adalah saling sikut, saling sikat, saling ancam, dan saling unjuk diri sebagai kader kecap nomor satu ke pimpinan parpol agar mendapat jatah nomor jadi dalam daftar caleg yang diserahkan ke KPU. Pimpinan parpol pun diuji oleh publik. Diuji apakah pimpinan parpol responsif dan memperhatikan suara-suara masyarakat bahwa caleg A, B, C, dan D patut diberi nomor urut jadi.
Juga, apakah pimpinan parpol peduli suara-suara arus bawah konstituennya bahwa caleg E, F, G, dan H tidak cukup punya moral yang layak untuk diberangkatkan menjadi wakil rakyat. Istilah ''perang'' memang patut dilontarkan untuk menjelaskan perburuan kursi parlemen. Sebab, dalam politik, tidak ada kekuasaan yang bisa diperoleh dengan gratis. Sekali lagi, tidak ada tiket gratis.
Dalam tahap perjuangan untuk mendapatkan nomor urut jadi itu, sulit dibedakan mana kawan dan mana lawan. Kawan karib antarcaleg berubah jadi musuh ketika mereka bersaing berebut nomor urut jadi. Di sini pula patut diragukan pimpinan parpol bisa menggunakan jejaring moral untuk perekrutan calegnya. Moral bisa jadi disingkirkan jika justru mengancam perolehan suara parpol dalam Pemilu 2009.
Kader parpol bermoral tinggi percuma direkrut menjadi caleg jika tidak memiliki massa. Tak ada gunanya di-anakemaskan untuk dicalegkan jika yang bersangkutan tak punya basis massa yang bisa dijadikan tambang perolehan suara parpol. Sebaliknya, kader yang tak bermoral baik bisa menjadi anak emas parpol jika yang bersangkutan punya uang dan berani membayar besar.
Kader yang loyal juga tak menjamin mulus dapat nomor jadi. Dia bisa tersingkir oleh orang luar atau pengurus partai yang sebelumnya bukan siapa-siapa namun punya uang. Dalam peta pencalegan ini, bisa dilihat jelas bahwa pengaderan parpol amat amburadul. Karena itu pula, tidak perlu berharap bahwa hasil Pemilu 2009 akan lebih baik daripada yang sekarang.
Rabu (20/8), saya sengaja datang lebih pagi ke Kedai Kopi Morsun di Jalan Cipto. Saat tiba, seluruh meja sudah terisi penuh. Saya lalu mengambil tempat duduk bersama dengan beberapa kader Partai PDI Perjuangan Pematangsiantar. Kebetulan dua diantara mereka adalah caleg, namun bukan nomor jadi. Tergurat wajah kecewa yang mendalam karena tak ditempatkan di nomor jadi.
Salah seorang diantaranya, saya tak usah menyebut nama, secara jelas menyebut kekecewaannya. “Jelas kecewa ditempatkan di nomor x (maaf, tidak usah saya sebutkan nomornya). Saya sebelumnya yakin dapat nomor jadi namun tiba-tiba jadi seperti ini,” ujarnya.
Uniknya, di balik rasa kecewa, dia optimis duduk di DPRD melalui 30 persen dari bilangan pembagi pemilih (BPP). “Saya punya basis massa dan saya yakin dapat suara lebih dari 30%,” ujarnya.
Selain yakin jadi anggota DPRD, dia juga bertekad akan membesarkan PDI Perjuangan dengan kerja kerasnya selama kampanye. “Saya akan buktikan bisa membesarkan partai ini,” katanya.
Pagi itu obrolan di kedai kopi itu tak jauh dari proses pancalegan tersebut. Di beberapa meja, saya mendengar juga optimisme beberapa caleg akan melenggang menjadi anggota DPRD, terutama dari beberapa partai yang menerapkan sistem proporsional terbuka atau suara terbanyak. Keyakinan ini memunculkan eforia seakan-akan kursi DPRD sudah dalam genggaman. Benarkah?
Di atas kertas, aturan internal parpol yang akan memberangkatkan calegnya ke kursi DPRD atau DPR menggunakan perolehan suara terbanyak caleg di daerah pemilihan (dapil) masing-masing memang bisa saja dilakukan. Hanya, harap diingat, KPU tak bakal menggubris aturan internal parpol. Untuk memastikan caleg menjadi anggota DPRD atau tidak, KPU hanya berpedoman pada UU No 10/2008 bahwa caleg yang otomatis lolos menjadi wakil rakyat sedikitnya memperoleh 30 persen dari BPP. Jika tidak ada caleg yang memperoleh 30 persen suara dari BPP, yang berlaku adalah nomor urut dalam daftar caleg. Selesai.
Lagi pula, KPU akan punya banyak pekerjaan tambahan yang tidak perlu jika harus menunggu perolehan suara terbanyak dan kesepakatan internal parpol. Belum lagi masih ada gugatan dari caleg yang gagal ke pimpinan parpolnya. Karena itu, lebih baik melihat fakta, benarkah punya basis massa? Kalau tidak silahkan bekerja keras atau hanya sekadar jadi pecundang. ***
Selasa (19/8), batas terakhir penyerahan daftar calon legislatif (caleg) di seluruh Indonesia, termasuk di Pematangsiantar. Genderang perang untuk memperebutkan suara pemilih pun secara resmi mulai ditabuh. Namun, jauh sebelum ini perang sebenarnya sudah dimulai.
Apa perangnya? Tak lain adalah saling sikut, saling sikat, saling ancam, dan saling unjuk diri sebagai kader kecap nomor satu ke pimpinan parpol agar mendapat jatah nomor jadi dalam daftar caleg yang diserahkan ke KPU. Pimpinan parpol pun diuji oleh publik. Diuji apakah pimpinan parpol responsif dan memperhatikan suara-suara masyarakat bahwa caleg A, B, C, dan D patut diberi nomor urut jadi.
Juga, apakah pimpinan parpol peduli suara-suara arus bawah konstituennya bahwa caleg E, F, G, dan H tidak cukup punya moral yang layak untuk diberangkatkan menjadi wakil rakyat. Istilah ''perang'' memang patut dilontarkan untuk menjelaskan perburuan kursi parlemen. Sebab, dalam politik, tidak ada kekuasaan yang bisa diperoleh dengan gratis. Sekali lagi, tidak ada tiket gratis.
Dalam tahap perjuangan untuk mendapatkan nomor urut jadi itu, sulit dibedakan mana kawan dan mana lawan. Kawan karib antarcaleg berubah jadi musuh ketika mereka bersaing berebut nomor urut jadi. Di sini pula patut diragukan pimpinan parpol bisa menggunakan jejaring moral untuk perekrutan calegnya. Moral bisa jadi disingkirkan jika justru mengancam perolehan suara parpol dalam Pemilu 2009.
Kader parpol bermoral tinggi percuma direkrut menjadi caleg jika tidak memiliki massa. Tak ada gunanya di-anakemaskan untuk dicalegkan jika yang bersangkutan tak punya basis massa yang bisa dijadikan tambang perolehan suara parpol. Sebaliknya, kader yang tak bermoral baik bisa menjadi anak emas parpol jika yang bersangkutan punya uang dan berani membayar besar.
Kader yang loyal juga tak menjamin mulus dapat nomor jadi. Dia bisa tersingkir oleh orang luar atau pengurus partai yang sebelumnya bukan siapa-siapa namun punya uang. Dalam peta pencalegan ini, bisa dilihat jelas bahwa pengaderan parpol amat amburadul. Karena itu pula, tidak perlu berharap bahwa hasil Pemilu 2009 akan lebih baik daripada yang sekarang.
Rabu (20/8), saya sengaja datang lebih pagi ke Kedai Kopi Morsun di Jalan Cipto. Saat tiba, seluruh meja sudah terisi penuh. Saya lalu mengambil tempat duduk bersama dengan beberapa kader Partai PDI Perjuangan Pematangsiantar. Kebetulan dua diantara mereka adalah caleg, namun bukan nomor jadi. Tergurat wajah kecewa yang mendalam karena tak ditempatkan di nomor jadi.
Salah seorang diantaranya, saya tak usah menyebut nama, secara jelas menyebut kekecewaannya. “Jelas kecewa ditempatkan di nomor x (maaf, tidak usah saya sebutkan nomornya). Saya sebelumnya yakin dapat nomor jadi namun tiba-tiba jadi seperti ini,” ujarnya.
Uniknya, di balik rasa kecewa, dia optimis duduk di DPRD melalui 30 persen dari bilangan pembagi pemilih (BPP). “Saya punya basis massa dan saya yakin dapat suara lebih dari 30%,” ujarnya.
Selain yakin jadi anggota DPRD, dia juga bertekad akan membesarkan PDI Perjuangan dengan kerja kerasnya selama kampanye. “Saya akan buktikan bisa membesarkan partai ini,” katanya.
Pagi itu obrolan di kedai kopi itu tak jauh dari proses pancalegan tersebut. Di beberapa meja, saya mendengar juga optimisme beberapa caleg akan melenggang menjadi anggota DPRD, terutama dari beberapa partai yang menerapkan sistem proporsional terbuka atau suara terbanyak. Keyakinan ini memunculkan eforia seakan-akan kursi DPRD sudah dalam genggaman. Benarkah?
Di atas kertas, aturan internal parpol yang akan memberangkatkan calegnya ke kursi DPRD atau DPR menggunakan perolehan suara terbanyak caleg di daerah pemilihan (dapil) masing-masing memang bisa saja dilakukan. Hanya, harap diingat, KPU tak bakal menggubris aturan internal parpol. Untuk memastikan caleg menjadi anggota DPRD atau tidak, KPU hanya berpedoman pada UU No 10/2008 bahwa caleg yang otomatis lolos menjadi wakil rakyat sedikitnya memperoleh 30 persen dari BPP. Jika tidak ada caleg yang memperoleh 30 persen suara dari BPP, yang berlaku adalah nomor urut dalam daftar caleg. Selesai.
Lagi pula, KPU akan punya banyak pekerjaan tambahan yang tidak perlu jika harus menunggu perolehan suara terbanyak dan kesepakatan internal parpol. Belum lagi masih ada gugatan dari caleg yang gagal ke pimpinan parpolnya. Karena itu, lebih baik melihat fakta, benarkah punya basis massa? Kalau tidak silahkan bekerja keras atau hanya sekadar jadi pecundang. ***
Label:
Dari Secangkir Kopi
Konser Sheila on 7 di Siantar Diprotes, Masyarakat akan Ajukan Gugatan Class Action
Merusak Remaja, Tanda Masuk Wajib Beli Sebungkus Rokok
Kak Seto: Saya Mendukung Gugatan Class Action demi Kepentingan Anak
SIANTAR-SK: Konser musik Sheila On 7 yang dilaksanakan di Lapangan Brimob, Pematangsiantar, Minggu, 17 Agustus lalu, dan diselenggarakan oleh event organizer Anak Medan Production bekerjasama dengan PT PDIT, sebuah perusahaan rokok yang memproduksi rokok X Mild, menimbulkan protes keras dari banyak warga masyarakat. Pasalnya, untuk bisa menonton acara tersebut penonton diharuskan membeli sebungkus rokok X Mild seharga Rp8000. Padahal, seperti diketahui, penonton acara musik ini sebagian besar adalah remaja.
Sinar Keadilan mencoba membuktikan kebenaran dari protes warga tersebut. Hasilnya, saat Sinar Keadilan mencoba masuk tanpa membawa sebungkus rokok, seorang panitia melarang masuk sembari mengatakan harus membeli sebungkus rokok dulu. Di luar arena, beberapa gadis cantik bersiliweran menjajakan rokok yang langsung ludes dibeli penonton yang ingin masuk. Ironisnya, sebagian penonton adalah remaja putri.
Beberapa remaja yang ditanyai Sinar Keadilan juga menyatakan keberatannya dengan tanda masuk sebungkus rokok. “Saya tidak merokok tapi dipaksa membeli rokok biar bisa masuk nonton Sheila on 7,” ujar Frans Pasaribu, yang baru berusia 17 tahun, sembari menunjukkan rokok yang dibelinya kepada Sinar Keadilan. Beberapa remaja lainnya juga mengakui hal yang sama, harus membeli rokok.
Sumihar Pardede, salah seorang warga yang protes keras, mengatakan panitia telah merusak generasi muda dengan mengajak merokok. Menurutnya, tanda masuk dengan membeli sebungkus rokok merupakan ajakan yang nyata bagi remaja untuk merokok. “Kami memprotes keras dan bersama dengan warga lainnya berencana akan mengajukan gugatan class action ke pengadilan karena panitia telah nyata mengajak remaja merokok. Sebagian besar para penonton ini adalah anak sekolah,” ujar Sumihar, aktivis dan tokoh politik di Pematangsiantar yang lebih dikenal dengan nama Choki Pardede.
Choki melanjutkan panitia dan perusahaan rokok tersebut hanya mementingkan keuntungan tanpa melihat efeknya bagi remaja. “Ini benar-benar budaya kapitalis yang hanya melihat untung meski harus mengorbankan generasi muda,” ujarnya.
Seto Mulyadi, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), mendukung usaha warga untuk melakukan class action terhadap panitia dan perusahaan rokok tersebut. “Kami mendukung sekali upaya para orangtua (melakukan class action) tersebut dengan mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak. Upaya melindungi anak-anak dan remaja dari bahaya rokok memang harus dilakukan oleh semua lapisan, termasuk para orangtua sendiri,” ujar Seto atau akrab dipanggil Kak Seto, yang saat ini sedang berada di New York, Amerika Serikat, kepada Sinar Keadilan lewat telepon.
Sementara itu saat dikonfirmasi langsung di tempat acara, penyelenggara dari Anak Medan Production, melalui manajernya Very Sumbayak, mengatakan penggunaan rokok sebagai tanda masuk, hanya bertujuan membatasi penonton. Lebih jauh dia mengatakan hal ini juga telah disosialisasikan dalam selebaran yang beredar. "Kita tidak mencari untung dalam hal ini, karena harga jual yang diberikan tidak sebanding dengan apa yang dikeluarkan untuk acara ini," ujarnya.
Ketika ditanya mengapa harus membeli rokok, kenapa tidak pakai tiket senilai tertentu, Very dengan enteng menjawab,"jika keberatan jangan datang dalam acara tersebut."
Menurutnya, orangtua yang harus melarang anaknya, jika si anak tidak diinginkan hadir dalam acara hiburan ini. "Kita hanya ingin memberikan hiburan bagi Siantar," tukasnya. (fetra/simon)
Ingkar Janji, Sahala Situmeang Harus Mundur
Terkait Rencana Kenaikan Tarif Air Minum
PAD Rp500 Juta dari PDAM Kemana?
SIANTAR-SK: Rencana direksi PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) Tirtauli Pematangsiantar untuk menaikkan tarif air minum sebesar 50%, terus mendapat penolakan dari berbagai kalangan masyarakat. Anggota DPRD Pematangsiantar Muslimin Akbar dengan tegas menolak kenaikan tarif tersebut. Menurutnya, jika Dirut PDAM Tirtauli Sahala Situmeang tetap menaikkan tarif maka Sahala harus mundur dari jabatannya.
“Dulu salah satu syarat Sahala duduk jadi direktur utama adalah tidak akan menaikkan tarif. Sekarang dia ingkar janji dengan rencana menaikkan tarif, maka sudah sepantasnya Sahala mundur,” kata Muslimin kepada Sinar Keadilan, Jumat, (15/8).
Muslimin menambahkan Sahala seharusnya mempertanggungjawabkan dulu ketidakjelasan PAD dari PDAM yang berkisar Rp500 juta, bukan malah memikirkan kenaikan tarif. “PAD Rp500 juta itu dulu yang harus dipertangungjawabkan oleh Sahala, kemana larinya PAD tersebut? Itu dulu dibereskan bukan malah menaikkan tarif,” kata Muslimin.
Hal senada diucapkan Efendi Butar-butar, Ketua Lembaga Konsumen dan Lingkungan Hidup (Lemsulihi), Jumat (15/8). Dia menuding direksi PDAM Tirtauli saat ini telah melakukan pembohongan publik. Butar-butar mengingatkan dulu visi misi mereka ketika masih calon direksi PDAM Tirtauli tahun 2006, selama mereka menjadi direksi tidak akan ada kenaikan tarif air minum. Namun kini, mengapa mereka berencana menaikkannya, tanya Efendi.
Efendi menambahkan bila direksi terus memaksakan kenaikan tarif, kejadian tahun 2002 akan kembali terulang. Gelombang aksi unjuk rasa akan mewarnai hari-hari di Pematangsiantar. “Guna menghindari aksi unjuk rasa secara besar besaran, sepantasnya pula Walikota Pematangsiantar mencari solusi, agar kota ini tetap kondusif. Dan bila dianggap tidak mampu menjalankan visi misinya, sudah sepantasnya pula walikota memberhentikan mereka dari jabatan direksi PDAM Tirtauli,” kata Efendi.
Berdasarkan analisa Ketua Lemsulihi tersebut, selama ini kebijakan direksi PDAM Tirtauli banyak yang tidak menyentuh kepentingan peningkatan pelayanan terhadap konsumen, sehingga anggaran yang digunakan terkesan tidak efisien. Dia memberi contoh, pembangunan taman, gapura, pengecatan kantor, dan renovasi ruangan direksi, bukanlah hal yang sangat dibutuhkan, di saat utang PDAM Tirtauli masih membengkak di Departemen Keuangan. “Seharusnya dana tersebut, dapat digunakan direksi untuk kepentingan pelayanan kepada konsumen, atau untuk mengganti pipa saluran yang besinya sudah tua,” kata Efendi.
Di tempat terpisah, anggota DPRD Pematangsiantar Ronald Darwin Tampubolon mengatakan jika direksi tetap menaikkan tarif air minum, sudah sepatutnya di berhentikan dari jabatannya. Kepada tiga orang direksi yang ada saat ini, Ronald meminta mereka untuk mengundurkan diri, bila tidak mampu memperbaiki manajemen di PDAM Tirtauli. Menurut Ronald, dengan menaikkan tarif air minum di saat situasi masih seperti ini, sama dengan melukai hati nurani rakyat yang sedang kelimpungan.
Sayangnya, Dirut PDAM Tirtauli Sahala Situmeang tak berhasil dihubungi Sinar Keadilan melalui telepon. Lewat SMS pun, sampai berita ini diturunkan, Sahala tak mau menjawab pertanyaan Sinar Keadilan mengenai kenaikan tarif tersebut. (fetra/simon /daud).
PAD Rp500 Juta dari PDAM Kemana?
SIANTAR-SK: Rencana direksi PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) Tirtauli Pematangsiantar untuk menaikkan tarif air minum sebesar 50%, terus mendapat penolakan dari berbagai kalangan masyarakat. Anggota DPRD Pematangsiantar Muslimin Akbar dengan tegas menolak kenaikan tarif tersebut. Menurutnya, jika Dirut PDAM Tirtauli Sahala Situmeang tetap menaikkan tarif maka Sahala harus mundur dari jabatannya.
“Dulu salah satu syarat Sahala duduk jadi direktur utama adalah tidak akan menaikkan tarif. Sekarang dia ingkar janji dengan rencana menaikkan tarif, maka sudah sepantasnya Sahala mundur,” kata Muslimin kepada Sinar Keadilan, Jumat, (15/8).
Muslimin menambahkan Sahala seharusnya mempertanggungjawabkan dulu ketidakjelasan PAD dari PDAM yang berkisar Rp500 juta, bukan malah memikirkan kenaikan tarif. “PAD Rp500 juta itu dulu yang harus dipertangungjawabkan oleh Sahala, kemana larinya PAD tersebut? Itu dulu dibereskan bukan malah menaikkan tarif,” kata Muslimin.
Hal senada diucapkan Efendi Butar-butar, Ketua Lembaga Konsumen dan Lingkungan Hidup (Lemsulihi), Jumat (15/8). Dia menuding direksi PDAM Tirtauli saat ini telah melakukan pembohongan publik. Butar-butar mengingatkan dulu visi misi mereka ketika masih calon direksi PDAM Tirtauli tahun 2006, selama mereka menjadi direksi tidak akan ada kenaikan tarif air minum. Namun kini, mengapa mereka berencana menaikkannya, tanya Efendi.
Efendi menambahkan bila direksi terus memaksakan kenaikan tarif, kejadian tahun 2002 akan kembali terulang. Gelombang aksi unjuk rasa akan mewarnai hari-hari di Pematangsiantar. “Guna menghindari aksi unjuk rasa secara besar besaran, sepantasnya pula Walikota Pematangsiantar mencari solusi, agar kota ini tetap kondusif. Dan bila dianggap tidak mampu menjalankan visi misinya, sudah sepantasnya pula walikota memberhentikan mereka dari jabatan direksi PDAM Tirtauli,” kata Efendi.
Berdasarkan analisa Ketua Lemsulihi tersebut, selama ini kebijakan direksi PDAM Tirtauli banyak yang tidak menyentuh kepentingan peningkatan pelayanan terhadap konsumen, sehingga anggaran yang digunakan terkesan tidak efisien. Dia memberi contoh, pembangunan taman, gapura, pengecatan kantor, dan renovasi ruangan direksi, bukanlah hal yang sangat dibutuhkan, di saat utang PDAM Tirtauli masih membengkak di Departemen Keuangan. “Seharusnya dana tersebut, dapat digunakan direksi untuk kepentingan pelayanan kepada konsumen, atau untuk mengganti pipa saluran yang besinya sudah tua,” kata Efendi.
Di tempat terpisah, anggota DPRD Pematangsiantar Ronald Darwin Tampubolon mengatakan jika direksi tetap menaikkan tarif air minum, sudah sepatutnya di berhentikan dari jabatannya. Kepada tiga orang direksi yang ada saat ini, Ronald meminta mereka untuk mengundurkan diri, bila tidak mampu memperbaiki manajemen di PDAM Tirtauli. Menurut Ronald, dengan menaikkan tarif air minum di saat situasi masih seperti ini, sama dengan melukai hati nurani rakyat yang sedang kelimpungan.
Sayangnya, Dirut PDAM Tirtauli Sahala Situmeang tak berhasil dihubungi Sinar Keadilan melalui telepon. Lewat SMS pun, sampai berita ini diturunkan, Sahala tak mau menjawab pertanyaan Sinar Keadilan mengenai kenaikan tarif tersebut. (fetra/simon /daud).
Rakyat Menolak dan Siap Turun ke Jalan Lakukan Perlawanan
Rencana Kenaikan Tarif PDAM Tirtauli Pematangsiantar
SIANTAR-SK: Rencana kenaikan tarif air minum sebesar 50% yang diusulkan direksi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtauli Pematangsiantar terus mendapat penolakan dari berbagai elemen masyarakat. Bahkan bila kenaikan tarif ini terus dipaksakan, beberapa elemen masyarakat menyatakan siap turun ke jalan melakukan perlawanan. Demikian diungkapkan pendiri Sahabat Center, Berry CWT, Kamis (14/8).
Menurut Berry, alasan PDAM Tirta Uli menaikkan tarif air minum untuk menanggulangi beban operasional, dinilai sebagai bentuk akal akalan semata. Menurutnya, direksi lebih baik melakukan efisiensi anggaran untuk menanggulangi beban operasional. Diyakininya, dengan efisiensi anggaran akan mampu membuat perusahaan milik Pemko Pematangsiantar tersebut sembuh dari penyakit merugi yang selama selalu menghantui. Apalagi Kota Pematangsiantar dan Simalungun dikenal sebagai daerah yang kaya akan sumber air minum.
Menurutnya biaya operasional pendistribusian tidak begitu membutuhkan biaya besar. “Karena sistem pengaliran airnya juga berawal dari daerah yang lebih tinggi ke daerah yang lebih rendah. Ditambah lagi sumber air yang didapat dari wilayah Kabupaten Simalungun, tidak memerlukan proses pengolahan menjadi air minum (air bersih). Paling, PDAM Tirta Uli hanya tinggal melakukan pemberian obat (kaporit), untuk membunuh kuman penyakit,” kata Berry.
Berry menambahkan bila direksi PDAM Tirtauli terus memaksakan kenaikan tarif, bila perlu masyarakat harus melakukan perlawanan sampai turun ke jalan. “Kita harus protes keras rencana itu. Bila perlu turun ke jalan untuk berjuang,” sebutnya.
Di tempat terpisah, Ketua Partai Barisan Nasional (Barnas) Pematangsiantar Ir Ahmad Efendi Lubis alias Obong meminta Direktur Utama PDAM Tirta Uli Drs Sahala Situmeang agar segera membatalkan niat untuk menaikkan tarif air minum. Menurutnya, situasi saat ini untuk menaikkan tarif sangat tidak kondusif. “Pendapatan masyarakat Pematangsiantar tidak memiliki kemampuan untuk menghadapi kenaikan tarif. Tidak sedikit masyarakat masih hidup susah. Bila rencana direksi PDAM itu dipaksakan, dikhawatirkan kekondusifan Kota Pematangsiantar yang selama ini terjaga, akan terusik,” kata Obong.
Apalagi, tambah Obong, saat ini mendekati masa pemilihan umum (Pemilu), bahkan sebagian tahapannya sudah berjalan. “Tentunya memerlukan konsentrasi khusus segala lapisan masyarakat dan pemerintah untuk menyukseskannya. Konsentrasi itu jangan dirusak dengan rencana kenaikan air minum,” ucap Obong. (daud)
SIANTAR-SK: Rencana kenaikan tarif air minum sebesar 50% yang diusulkan direksi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtauli Pematangsiantar terus mendapat penolakan dari berbagai elemen masyarakat. Bahkan bila kenaikan tarif ini terus dipaksakan, beberapa elemen masyarakat menyatakan siap turun ke jalan melakukan perlawanan. Demikian diungkapkan pendiri Sahabat Center, Berry CWT, Kamis (14/8).
Menurut Berry, alasan PDAM Tirta Uli menaikkan tarif air minum untuk menanggulangi beban operasional, dinilai sebagai bentuk akal akalan semata. Menurutnya, direksi lebih baik melakukan efisiensi anggaran untuk menanggulangi beban operasional. Diyakininya, dengan efisiensi anggaran akan mampu membuat perusahaan milik Pemko Pematangsiantar tersebut sembuh dari penyakit merugi yang selama selalu menghantui. Apalagi Kota Pematangsiantar dan Simalungun dikenal sebagai daerah yang kaya akan sumber air minum.
Menurutnya biaya operasional pendistribusian tidak begitu membutuhkan biaya besar. “Karena sistem pengaliran airnya juga berawal dari daerah yang lebih tinggi ke daerah yang lebih rendah. Ditambah lagi sumber air yang didapat dari wilayah Kabupaten Simalungun, tidak memerlukan proses pengolahan menjadi air minum (air bersih). Paling, PDAM Tirta Uli hanya tinggal melakukan pemberian obat (kaporit), untuk membunuh kuman penyakit,” kata Berry.
Berry menambahkan bila direksi PDAM Tirtauli terus memaksakan kenaikan tarif, bila perlu masyarakat harus melakukan perlawanan sampai turun ke jalan. “Kita harus protes keras rencana itu. Bila perlu turun ke jalan untuk berjuang,” sebutnya.
Di tempat terpisah, Ketua Partai Barisan Nasional (Barnas) Pematangsiantar Ir Ahmad Efendi Lubis alias Obong meminta Direktur Utama PDAM Tirta Uli Drs Sahala Situmeang agar segera membatalkan niat untuk menaikkan tarif air minum. Menurutnya, situasi saat ini untuk menaikkan tarif sangat tidak kondusif. “Pendapatan masyarakat Pematangsiantar tidak memiliki kemampuan untuk menghadapi kenaikan tarif. Tidak sedikit masyarakat masih hidup susah. Bila rencana direksi PDAM itu dipaksakan, dikhawatirkan kekondusifan Kota Pematangsiantar yang selama ini terjaga, akan terusik,” kata Obong.
Apalagi, tambah Obong, saat ini mendekati masa pemilihan umum (Pemilu), bahkan sebagian tahapannya sudah berjalan. “Tentunya memerlukan konsentrasi khusus segala lapisan masyarakat dan pemerintah untuk menyukseskannya. Konsentrasi itu jangan dirusak dengan rencana kenaikan air minum,” ucap Obong. (daud)
Lingga Napitupulu: PDAM Tirtauli Bukan Milik Sahala Situmeang
Terkait Rencana Kenaikan Tarif Air Minum
SIANTAR-SK: Terkait rencana kenaikan tarif air minum PDAM Tirtauli hingga mencapai 50%, Ketua DPRD Pematangsiantar Lingga Napitupulu meminta sebaiknya PDAM Tirtauli belajar dari peristiwa yang terjadi tahun 2002 lalu. Saat itu, kata Lingga, kenaikan tarif air minum sudah disetujui DPRD Pematangsiantar namun tetap saja menuai aksi protes yang berkepanjangan dari masyarakat Siantar. “Yang sudah disetujui DPRD saja tetap diprotes, apalagi ini yang belum disetujui,” kata Lingga.
Lingga mengatakan PDAM merupakan perusahaan daerah yang melayani kebutuhan masyarakat secara langsung sehingga sehingga kebijakan menaikkan tarif ini harus mendapat persetujuan DPRD. “Bila kebijakan yang dilakukan oleh Pemko Siantar tidak sesuai dengan keinginan masyarakat maka DPRD sendiri yang akan meminta masyarakat untuk menolak kebijakan tersebut,” papar Lingga.
Menyangkut pernyataan Direktur Utama PDAM Tirtauli Sahala Situmeang bahwa rencana kenaikan tarif ini tidak harus melalui persetujuan DPRD, Lingga dengan nada berang mengatakan PDAM bukan milik Sahala Situmeang. “Dia jangan lupa, PDAM itu menyangkut kepentingan publik, bukan milik pribadi Sahala Situmeang,” ujar Lingga.
Menyangkut pembengkakan biaya, sebagai salah satu alasan kenaikan tarif, Lingga menyarankan supaya dewan direksi melakukan efisiensi anggaran. Jika hal itu tidak mampu dilakukan, maka lebih baik PDAM Tirtauli diswastakan dengan menyerahkan ke pengusaha yang profesional. “Jual aqua saja bisa untung, apalagi PDAM. Jadi rakyat jangan lagi dibebani dengan sejumlah persoalan baru,” sebut Lingga Napitupulu.
D itempat terpisah, Daulat Sihombing, SH, mantan Badan Pengawas PDAM Tirtauli yang saat ini menjabat Hakim Adhock II Sumut, mengecam rencana kenaikan tarif PDAM Tirtauli. Menurutnya PDAM merupakan salah satu sumber korupsi di negara ini. “Jadi sebelum hal tersebut menambah imej buruk bagi PDAM sebaiknya PDAM harus memberi penjelasan kepada masyarakat dengan sosialisasi terkait kenaikan tarif,” kata Daulat.
Daulat menambahkan jika kenaikan tarif ini bertujuan menutupi utang PDAM Tirtauli, dengan tegas Daulat mengatakan utang Tirtauli bukanlah beban rakyat Siantar.
Daulat juga meminta agar badan pengawas tak hanya tukang stempel, bagai kerbau dicucuk hidungnya. “Sebaiknya badan pengawas melakukan studi kelayakan dan harus memiliki sikap kritis apakah kebijakan tersebut berpihak kepada masyarakat atau tidak. Mereka harus jeli dalam melihat visi dan misi PDAM yang notabene didirikan untuk memberikan pelayanan yang sehat kepada masyarakat,” kata Daulat. (daud)
SIANTAR-SK: Terkait rencana kenaikan tarif air minum PDAM Tirtauli hingga mencapai 50%, Ketua DPRD Pematangsiantar Lingga Napitupulu meminta sebaiknya PDAM Tirtauli belajar dari peristiwa yang terjadi tahun 2002 lalu. Saat itu, kata Lingga, kenaikan tarif air minum sudah disetujui DPRD Pematangsiantar namun tetap saja menuai aksi protes yang berkepanjangan dari masyarakat Siantar. “Yang sudah disetujui DPRD saja tetap diprotes, apalagi ini yang belum disetujui,” kata Lingga.
Lingga mengatakan PDAM merupakan perusahaan daerah yang melayani kebutuhan masyarakat secara langsung sehingga sehingga kebijakan menaikkan tarif ini harus mendapat persetujuan DPRD. “Bila kebijakan yang dilakukan oleh Pemko Siantar tidak sesuai dengan keinginan masyarakat maka DPRD sendiri yang akan meminta masyarakat untuk menolak kebijakan tersebut,” papar Lingga.
Menyangkut pernyataan Direktur Utama PDAM Tirtauli Sahala Situmeang bahwa rencana kenaikan tarif ini tidak harus melalui persetujuan DPRD, Lingga dengan nada berang mengatakan PDAM bukan milik Sahala Situmeang. “Dia jangan lupa, PDAM itu menyangkut kepentingan publik, bukan milik pribadi Sahala Situmeang,” ujar Lingga.
Menyangkut pembengkakan biaya, sebagai salah satu alasan kenaikan tarif, Lingga menyarankan supaya dewan direksi melakukan efisiensi anggaran. Jika hal itu tidak mampu dilakukan, maka lebih baik PDAM Tirtauli diswastakan dengan menyerahkan ke pengusaha yang profesional. “Jual aqua saja bisa untung, apalagi PDAM. Jadi rakyat jangan lagi dibebani dengan sejumlah persoalan baru,” sebut Lingga Napitupulu.
D itempat terpisah, Daulat Sihombing, SH, mantan Badan Pengawas PDAM Tirtauli yang saat ini menjabat Hakim Adhock II Sumut, mengecam rencana kenaikan tarif PDAM Tirtauli. Menurutnya PDAM merupakan salah satu sumber korupsi di negara ini. “Jadi sebelum hal tersebut menambah imej buruk bagi PDAM sebaiknya PDAM harus memberi penjelasan kepada masyarakat dengan sosialisasi terkait kenaikan tarif,” kata Daulat.
Daulat menambahkan jika kenaikan tarif ini bertujuan menutupi utang PDAM Tirtauli, dengan tegas Daulat mengatakan utang Tirtauli bukanlah beban rakyat Siantar.
Daulat juga meminta agar badan pengawas tak hanya tukang stempel, bagai kerbau dicucuk hidungnya. “Sebaiknya badan pengawas melakukan studi kelayakan dan harus memiliki sikap kritis apakah kebijakan tersebut berpihak kepada masyarakat atau tidak. Mereka harus jeli dalam melihat visi dan misi PDAM yang notabene didirikan untuk memberikan pelayanan yang sehat kepada masyarakat,” kata Daulat. (daud)
Kejaksaan Siantar Periksa Panitia Pengadaan Barang
Terkait Putusan KPPU Tentang Proyek Bangsal RSU Pematangsiantar
SIANTAR-SK: Sebagai langkah awal mengusut kasus dugaan kecurangan dalam Proyek Perbaikan Bangsal RSU Pematangsiantar 2005, Kejaksaan Negeri Siantar, Selasa (12/8), memeriksa panitia proyek tersebut.
Sebelumnya, Kepala Kejaksaan Negeri Pematangsiantar Nelson Sembiring mengatakan kejaksaan akan memeriksa panitia tender Proyek Perbaikan Bangsal RSU Pematangsiantar tahun 2005. Menurut Nelson, pemeriksaan ini sesuai laporan masyarakat ke KPK hingga berkoordinasi dengan Kejagung dan memerintahkan Kejari Siantar.
Nelson menambahkan beberapa hari lalu telah mendapatkan surat dari Kejagung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta. Adapun isi surat menunjuk Kejari Siantar untuk menindaklanjuti putusan KPPU dengan melakukan penyelidikan.
Pantauan Sinar Keadilan di Kejakjaan Negeri Siantar, sekitar pukul 08.00 Wib tampak Santo Denny Simanjuntak SH, selaku Ketua Panitia Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Kegiatan Perbaikan Bangsal di Unit Kerja RSU Kota Pematangsiantar Tahun Anggaran 2005, menuju ruang Kasi Pidana Khusus (Kasipidsus) Kejari Siantar.
Tidak beberapa lama kemudian, sekitar setengah jam dari kedatangan Denny, juga tampak hadir Asal Padang (sekretaris Panitia Pengadaan Barang/Jasa), serta Kamson, salah seorang anggota panitia pengadaan barang/jasa.
Anehnya, meski mengakui ada pemeriksaan, Nelson Sembiring mengelak saat dikonfirmasi nama-nama yang diperiksa. Anehnya lagi, Nelson mengaku baru mengetahui adanya proyek bermasalah dan telah diputus KPPU. “KPPU-pun saya tidak tahu apa itu,” ujarnya senyum.
Sekitar pukul 12.15 Wib, tampak Santo Denny Simanjuntak dan Asal Padang keluar dari ruangan Kasipidsus. Ketika didekati, keduanya mengelak dimintai keterangan. “No comment,” ujar keduanya melangkah meninggalkan gedung Kejari Siantar.
Namun, Kamson yang menyusul keluar dari ruangan Kasipidsus 15 menit kemudian, kepada Sinar Keadilan, mengaku, kalau Kejari Siantar memberinya 15 pertanyaan seputar Proyek Bangsal RSU Kota Siantar. “Ya hanya itulah yang bisa saya sampaikan,” cetusnya sembari melangkah menuruni tangga.
Hal yang sama juga terungkap dari mulut Kasipidsus Heriyansyah, SH. Ketika dikonfirmasi, Heriyansyah malah menyarankan konfirmasi ke Kajari Siantar. “Aduh, maaf saya tidak ada wewenang untuk memberi pernyataan, ke Kajari sajalah,” ungkap Heriyansyah.
Masih pantauan Sinar Keadilan, sekitar pukul 14.15 Wib, ketiganya kembali ke ruangan Heriyansyah setelah istirahat makan siang. Hingga pukul 17.30 Wib ketiganya juga belum keluar.
Seperti telah diberitakan, pemeriksaan tersebut terkait putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) tertanggal 13 November 2006 yang mengatakan Proyek Perbaikan Bangsal RSU Pematangsiantar tahun 2005 terjadi kecurangan. KPPU memutuskan beberapa orang bersalah, termasuk Walikota Pematangsiantar RE Siahaan dan Wakilnya Imal Raya Harahap.
Proyek bernilai Rp1,9 milliar ini awalnya diikuti 31 perusahaan. Sesuai berita acara tender 20 Nopember 2005 dinyatakan hanya tujuh perusahaan yang lengkap dan sah penawarannya. Dari tujuh perusahaan yang melakukan penawaran ditetapkan tiga perusahaan yang menangani tender, yaitu CV Risma Karya dengan tawaran Rp1.502.757.000, selanjutnya CV Rama Indah sebagai pemenang cadangan I dengan tawaran Rp1.617.762.000 dan CV Kreasi Multy Poranc sebagai pemenang cadangan II dengan tawaran Rp1.884.197.000.
Namun, setelah mendapat arahan dari Walikota RE Siahaan dan Wakilnya Imal Raya Harahap, akhirnya panitia tender menerbitkan surat Nomor 12/PAN-RSU/XI/2005 tertanggal 30 Nopember 2005 yang menyatakan pemenang adalah CV Kreasi Multy Poranc dengan tawaran Rp1.884.197.000.
Akhirnya tender proyek yang dinilai cacat hukum ini dilaporkan DM. Ater Siahaan selaku pengusaha jasa konstruksi CV Risma Karya ke KPPU. Sesuai atas putusan KPPU Nomor 06/KPPU-I/2006 tersebut dinyatakan terlapor I, II, VI dan VII terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar ketentuan pasal 22 UU Nomor 5 tahun 1999 yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp381.440.000. (fetra/dho)
SIANTAR-SK: Sebagai langkah awal mengusut kasus dugaan kecurangan dalam Proyek Perbaikan Bangsal RSU Pematangsiantar 2005, Kejaksaan Negeri Siantar, Selasa (12/8), memeriksa panitia proyek tersebut.
Sebelumnya, Kepala Kejaksaan Negeri Pematangsiantar Nelson Sembiring mengatakan kejaksaan akan memeriksa panitia tender Proyek Perbaikan Bangsal RSU Pematangsiantar tahun 2005. Menurut Nelson, pemeriksaan ini sesuai laporan masyarakat ke KPK hingga berkoordinasi dengan Kejagung dan memerintahkan Kejari Siantar.
Nelson menambahkan beberapa hari lalu telah mendapatkan surat dari Kejagung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta. Adapun isi surat menunjuk Kejari Siantar untuk menindaklanjuti putusan KPPU dengan melakukan penyelidikan.
Pantauan Sinar Keadilan di Kejakjaan Negeri Siantar, sekitar pukul 08.00 Wib tampak Santo Denny Simanjuntak SH, selaku Ketua Panitia Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Kegiatan Perbaikan Bangsal di Unit Kerja RSU Kota Pematangsiantar Tahun Anggaran 2005, menuju ruang Kasi Pidana Khusus (Kasipidsus) Kejari Siantar.
Tidak beberapa lama kemudian, sekitar setengah jam dari kedatangan Denny, juga tampak hadir Asal Padang (sekretaris Panitia Pengadaan Barang/Jasa), serta Kamson, salah seorang anggota panitia pengadaan barang/jasa.
Anehnya, meski mengakui ada pemeriksaan, Nelson Sembiring mengelak saat dikonfirmasi nama-nama yang diperiksa. Anehnya lagi, Nelson mengaku baru mengetahui adanya proyek bermasalah dan telah diputus KPPU. “KPPU-pun saya tidak tahu apa itu,” ujarnya senyum.
Sekitar pukul 12.15 Wib, tampak Santo Denny Simanjuntak dan Asal Padang keluar dari ruangan Kasipidsus. Ketika didekati, keduanya mengelak dimintai keterangan. “No comment,” ujar keduanya melangkah meninggalkan gedung Kejari Siantar.
Namun, Kamson yang menyusul keluar dari ruangan Kasipidsus 15 menit kemudian, kepada Sinar Keadilan, mengaku, kalau Kejari Siantar memberinya 15 pertanyaan seputar Proyek Bangsal RSU Kota Siantar. “Ya hanya itulah yang bisa saya sampaikan,” cetusnya sembari melangkah menuruni tangga.
Hal yang sama juga terungkap dari mulut Kasipidsus Heriyansyah, SH. Ketika dikonfirmasi, Heriyansyah malah menyarankan konfirmasi ke Kajari Siantar. “Aduh, maaf saya tidak ada wewenang untuk memberi pernyataan, ke Kajari sajalah,” ungkap Heriyansyah.
Masih pantauan Sinar Keadilan, sekitar pukul 14.15 Wib, ketiganya kembali ke ruangan Heriyansyah setelah istirahat makan siang. Hingga pukul 17.30 Wib ketiganya juga belum keluar.
Seperti telah diberitakan, pemeriksaan tersebut terkait putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) tertanggal 13 November 2006 yang mengatakan Proyek Perbaikan Bangsal RSU Pematangsiantar tahun 2005 terjadi kecurangan. KPPU memutuskan beberapa orang bersalah, termasuk Walikota Pematangsiantar RE Siahaan dan Wakilnya Imal Raya Harahap.
Proyek bernilai Rp1,9 milliar ini awalnya diikuti 31 perusahaan. Sesuai berita acara tender 20 Nopember 2005 dinyatakan hanya tujuh perusahaan yang lengkap dan sah penawarannya. Dari tujuh perusahaan yang melakukan penawaran ditetapkan tiga perusahaan yang menangani tender, yaitu CV Risma Karya dengan tawaran Rp1.502.757.000, selanjutnya CV Rama Indah sebagai pemenang cadangan I dengan tawaran Rp1.617.762.000 dan CV Kreasi Multy Poranc sebagai pemenang cadangan II dengan tawaran Rp1.884.197.000.
Namun, setelah mendapat arahan dari Walikota RE Siahaan dan Wakilnya Imal Raya Harahap, akhirnya panitia tender menerbitkan surat Nomor 12/PAN-RSU/XI/2005 tertanggal 30 Nopember 2005 yang menyatakan pemenang adalah CV Kreasi Multy Poranc dengan tawaran Rp1.884.197.000.
Akhirnya tender proyek yang dinilai cacat hukum ini dilaporkan DM. Ater Siahaan selaku pengusaha jasa konstruksi CV Risma Karya ke KPPU. Sesuai atas putusan KPPU Nomor 06/KPPU-I/2006 tersebut dinyatakan terlapor I, II, VI dan VII terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar ketentuan pasal 22 UU Nomor 5 tahun 1999 yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp381.440.000. (fetra/dho)
RE Siahaan: Tak Gampang Memecat Mereka, Harus Lewat Penyelidikan Dulu
Terkait Surat BKN Meminta Walikota Pecat 19 PNS Ilegal
Kepala BKD Sumut: RE Siahaan Tak Ada Alasan, Harus Pecat Mereka
SIANTAR-SK: Setelah lama diam terhadap beragam kasus yang dituduhkan kepadanya, akhirnya Walikota Pematangsiantar RE Siahaan buka suara. Kepada ratusan wartawan yang hadir dalam temu pers di pendopo Rumah Dinas Walikota Jalan MH Sitorus Pematangsiantar, Selasa (12/8), RE Siahaan mengungkapkan ‘isi hatinya’, termasuk soal dugaan manipulasi penerimaan CPNS formasi 2005.
RE Siahaan mengatakan telah mengajukan daftar CPNS formasi 2004/2005 kepada Badan Kepegawaian Negara (BKN), termasuk 19 orang yang dianggap bermasalah tersebut. “Setelah saya ajukan ternyata tidak ada masalah karena BKN kemudian menetapkan NIP (Nomor Induk Pegawai) mereka. Kenapa kemudian disebut bermasalah dan BKN mencabut NIP 19 orang tersebut?” tanya Siahaan.
Menurut Siahaan tak mudah untuk memecat begitu saja 19 orang tersebut tanpa adanya penyelidikan. “Kalau ada kesalahan administrasi ya diperbaiki, jangan saya disuruh memecat begitu saja tanpa adanya penyelidikan,” ungkap Siahaan.
Siahaan mengakui telah berbicara dengan Deputi Sumber Daya Manusia (SDM) Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan) Ramli Efendi Idris Naibaho saat datang bersama tim BKN dan anggota DPD Sumut Parlindungan Purba ke Pematangsiantar menyelidiki kasus dugaan manipulasi CPNS ini minggu lalu. “”Pak Ramli memang sudah menekankan bahwa BKN sudah mencabut NIP mereka dan saya diminta untuk memecat mereka. Namun saya sudah mengatakan ke Pak Ramli kalau ini kesalahan administrasi tolong diperbaiki. Ada kesalahan administrasi dari BKN, sehingga untuk memberhentikan mereka bukanlah menjadi kewenangan saya, akan tetapi kewenangan dari BKN sendiri yang telah menerbitkan SK mereka,” ungkap Siahaan.
Soal tudingan bahwa sebagian besar dari 19 orang yang dianggap bermasalah tersebut merupakan anak pejabat, termasuk kerabat walikota dan anak Kepala BKD, Siahaan mengatakan itu lumrah saja. “Apa tidak bisa anak Kepala BKD atau anak walikota jadi PNS?” tanyanya.
Dikonfirmasi mengenai pernyataan walikota tersebut, Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Sumatera Utara Mangasing Mungkur mengatakan tak ada alasan bagi Walikota Pematangsiantar RE Siahaan untuk tak memecat 10 PNS yang bermasalah tersebut. Menurutnya, BKN telah melakukan penelusuran dan ditemukan dugaan manipulasi sehingga telah mencabut NIP 19 orang tersebut.
“NIP mereka telah dicabut, apalagi yang ditunggu? Walikota harus memecat mereka dan tidak ada lagi alasan. Jika terus dibiarkan, 19 orang tersebut tidak bisa kemana-mana lagi karena mereka sudah tidak punya NIP lagi,” ungkap Mangasing. (fetra/daud)
Kepala BKD Sumut: RE Siahaan Tak Ada Alasan, Harus Pecat Mereka
SIANTAR-SK: Setelah lama diam terhadap beragam kasus yang dituduhkan kepadanya, akhirnya Walikota Pematangsiantar RE Siahaan buka suara. Kepada ratusan wartawan yang hadir dalam temu pers di pendopo Rumah Dinas Walikota Jalan MH Sitorus Pematangsiantar, Selasa (12/8), RE Siahaan mengungkapkan ‘isi hatinya’, termasuk soal dugaan manipulasi penerimaan CPNS formasi 2005.
RE Siahaan mengatakan telah mengajukan daftar CPNS formasi 2004/2005 kepada Badan Kepegawaian Negara (BKN), termasuk 19 orang yang dianggap bermasalah tersebut. “Setelah saya ajukan ternyata tidak ada masalah karena BKN kemudian menetapkan NIP (Nomor Induk Pegawai) mereka. Kenapa kemudian disebut bermasalah dan BKN mencabut NIP 19 orang tersebut?” tanya Siahaan.
Menurut Siahaan tak mudah untuk memecat begitu saja 19 orang tersebut tanpa adanya penyelidikan. “Kalau ada kesalahan administrasi ya diperbaiki, jangan saya disuruh memecat begitu saja tanpa adanya penyelidikan,” ungkap Siahaan.
Siahaan mengakui telah berbicara dengan Deputi Sumber Daya Manusia (SDM) Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan) Ramli Efendi Idris Naibaho saat datang bersama tim BKN dan anggota DPD Sumut Parlindungan Purba ke Pematangsiantar menyelidiki kasus dugaan manipulasi CPNS ini minggu lalu. “”Pak Ramli memang sudah menekankan bahwa BKN sudah mencabut NIP mereka dan saya diminta untuk memecat mereka. Namun saya sudah mengatakan ke Pak Ramli kalau ini kesalahan administrasi tolong diperbaiki. Ada kesalahan administrasi dari BKN, sehingga untuk memberhentikan mereka bukanlah menjadi kewenangan saya, akan tetapi kewenangan dari BKN sendiri yang telah menerbitkan SK mereka,” ungkap Siahaan.
Soal tudingan bahwa sebagian besar dari 19 orang yang dianggap bermasalah tersebut merupakan anak pejabat, termasuk kerabat walikota dan anak Kepala BKD, Siahaan mengatakan itu lumrah saja. “Apa tidak bisa anak Kepala BKD atau anak walikota jadi PNS?” tanyanya.
Dikonfirmasi mengenai pernyataan walikota tersebut, Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Sumatera Utara Mangasing Mungkur mengatakan tak ada alasan bagi Walikota Pematangsiantar RE Siahaan untuk tak memecat 10 PNS yang bermasalah tersebut. Menurutnya, BKN telah melakukan penelusuran dan ditemukan dugaan manipulasi sehingga telah mencabut NIP 19 orang tersebut.
“NIP mereka telah dicabut, apalagi yang ditunggu? Walikota harus memecat mereka dan tidak ada lagi alasan. Jika terus dibiarkan, 19 orang tersebut tidak bisa kemana-mana lagi karena mereka sudah tidak punya NIP lagi,” ungkap Mangasing. (fetra/daud)
Jauhkan DPRD Siantar dari Demo-crazy
Oleh: Fetra Tumanggor
Menjelang Pemilu 2009, dan di tengah penyusunan daftar caleg oleh masing-masing partai, ada yang menarik dari konstelasi perpolitikan di DPRD Pematangsiantar saat ini. Sejak awal memang 30 anggota DPRD Pematangsiantar ini secara tersirat bisa disebut terbagi dalam dua kubu, yang pro eksekutif dan yang pro DPRD.
Kini, garis pemisah tersebut semakin jelas. Namun yang menarik, beberapa anggota DPRD yang dulu ada di pihak eksekutif kini beralih ke pihak DPRD. Sebaliknya, beberapa yang dulu di DPRD kini secara jelas memihak eksekutif. Mereka yang dulunya abu-abu pun kini secara jelas menunjukkan dimana kakinya berada. Akibatnya kini suhu di DPRD mulai memanas.
Namun, jangan salah, pertarungan dua kubu ini sama sekali bukan untuk kepentingan rakyat. Kalau demi kepentingan rakyat, kenapa baru sekarang mereka berteriak, di saat Pemilu mendekat? Kenapa tak dari dulu ada hak angket? Kenapa mereka berteriak bahwa Walikota RE Siahaan telah menjerumuskan kota ini ke lembah kekelaman namun tak ada usaha mereka memanggil RE Siahaan? Apakah cukup hanya berteriak?
Harus diakui, reformasi 10 tahun telah membawa perubahan sikap terhadap wakil rakyat. Ada yang positif, dimana anggota DPRD kini tak lagi hanya penyambung lidah eksekutif. Namun tak sedikit pula yang memunculkan citra makin negatif. Bagaimanapun kondisinya, dari sekarang kita harus punya satu sikap: bersihkan DPRD dari ‘kotoran’.
Penyanyi balada Iwan Fals pernah mengkritik keras wakil rakyat di era Orde Baru. Intinya, Wakil Rakyat, begitu judul lagunya, sama sekali tak mencerminkan utusan penduduk Indonesia. Malas –karena itu tak kreatif, penurut, dan cenderung menjadi tukang stempel saja.
Kini, cap itu sudah berubah. Sepuluh tahun reformasi memunculkan wajah baru wakil rakyat. Mereka lebih terbuka dan lebih lantang dalam menyoroti kinerja pemerintahan. Sayangnya, penguatan tugas dan fungsi DPRD disalahgunakan oleh para politisi yang duduk di DPRD. Sejumlah politisi yang rajin berteriak ternyata banyak menerima upeti dari lembaga eksekutif. Mereka pun asyik dengan permainan-permainan kotor.
Kondisi tersebut terjadi karena lembaga DPRD di era reformasi belum cukup dewasa. DPRD belum cukup mampu menghilangkan anasir-anasir korup yang ditinggalkan rezim Orde Baru. Bahkan lebih parah. Ibarat penyakit, saat ini DPRD terkena penyakit akut peninggalan masa lalu (Orba). Penyakit itu adalah korupsi dan segudang permainan antara DPRD dan eksekutif.
Mau contoh? Berapa banyak anggota DPRD yang memasukkan proposal ke Pemko Siantar dengan dalih bantuan ini-itu. Atau bagaimana anggota DPRD menjadi calo proyek, calo penerimaan siswa baru, dan calo-calo lainnya.
Menjelang pemilu seperti saat ini, ada prediksi praktik-praktik kotor kalangan politisi akan semakin menggila. Atau setidaknya, banyak praktik komersialisasi politik. Demokrasi memang tidak bisa dilepaskan dari transaksi, antara yang memilih dan yang dipilih. Tetapi, di dalam demokrasi yang sehat, transaksi itu tidak berwujud material yang diberikan kepada pribadi-pribadi, melainkan kepada masyarakat umum (publik). Yang terakhir ini, misalnya, berbentuk ikatan tentang kebijakan-kebijakan yang akan dibuat manakala calon tersebut benar-benar terpilih.
Transaksi material mungkin bisa mengarah kepada kehidupan demokrasi yang tidak sehat. Pertama, transaksi itu bersifat sesaat: calon memberikan sesuatu dan penerima memilihnya. Setelah itu, bisa selesai begitu saja. Konsekuensinya, disconnect electoral terjadi.
Kedua, perilaku transaksional semacam itu cenderung hanya membuka ruang kepada orang-orang yang memiliki kekayaan besar saja yang berkesempatan menjadi elite. Minimal, hanya memberikan ruang kepada calon yang mampu mengumpulkan sumbangan dari orang-orang berduit saja.
Karena itu, demokrasi juga butuh kontrol sosial dari pers, LSM dan civil society agar tidak diselewengkan menjadi demo-crazy. Kita sudah lelah dengan banyolan dan kekonyolan politisi DPRD Siantar ini.
Kita harus memperbaiki semua itu, dengan kerja keras, dan membutuhkan energi dan proses waktu. Oleh karenanya, kita perlu optimistis untuk itu agar demokrasi bisa menyejahterakan rakyat. ***
Menjelang Pemilu 2009, dan di tengah penyusunan daftar caleg oleh masing-masing partai, ada yang menarik dari konstelasi perpolitikan di DPRD Pematangsiantar saat ini. Sejak awal memang 30 anggota DPRD Pematangsiantar ini secara tersirat bisa disebut terbagi dalam dua kubu, yang pro eksekutif dan yang pro DPRD.
Kini, garis pemisah tersebut semakin jelas. Namun yang menarik, beberapa anggota DPRD yang dulu ada di pihak eksekutif kini beralih ke pihak DPRD. Sebaliknya, beberapa yang dulu di DPRD kini secara jelas memihak eksekutif. Mereka yang dulunya abu-abu pun kini secara jelas menunjukkan dimana kakinya berada. Akibatnya kini suhu di DPRD mulai memanas.
Namun, jangan salah, pertarungan dua kubu ini sama sekali bukan untuk kepentingan rakyat. Kalau demi kepentingan rakyat, kenapa baru sekarang mereka berteriak, di saat Pemilu mendekat? Kenapa tak dari dulu ada hak angket? Kenapa mereka berteriak bahwa Walikota RE Siahaan telah menjerumuskan kota ini ke lembah kekelaman namun tak ada usaha mereka memanggil RE Siahaan? Apakah cukup hanya berteriak?
Harus diakui, reformasi 10 tahun telah membawa perubahan sikap terhadap wakil rakyat. Ada yang positif, dimana anggota DPRD kini tak lagi hanya penyambung lidah eksekutif. Namun tak sedikit pula yang memunculkan citra makin negatif. Bagaimanapun kondisinya, dari sekarang kita harus punya satu sikap: bersihkan DPRD dari ‘kotoran’.
Penyanyi balada Iwan Fals pernah mengkritik keras wakil rakyat di era Orde Baru. Intinya, Wakil Rakyat, begitu judul lagunya, sama sekali tak mencerminkan utusan penduduk Indonesia. Malas –karena itu tak kreatif, penurut, dan cenderung menjadi tukang stempel saja.
Kini, cap itu sudah berubah. Sepuluh tahun reformasi memunculkan wajah baru wakil rakyat. Mereka lebih terbuka dan lebih lantang dalam menyoroti kinerja pemerintahan. Sayangnya, penguatan tugas dan fungsi DPRD disalahgunakan oleh para politisi yang duduk di DPRD. Sejumlah politisi yang rajin berteriak ternyata banyak menerima upeti dari lembaga eksekutif. Mereka pun asyik dengan permainan-permainan kotor.
Kondisi tersebut terjadi karena lembaga DPRD di era reformasi belum cukup dewasa. DPRD belum cukup mampu menghilangkan anasir-anasir korup yang ditinggalkan rezim Orde Baru. Bahkan lebih parah. Ibarat penyakit, saat ini DPRD terkena penyakit akut peninggalan masa lalu (Orba). Penyakit itu adalah korupsi dan segudang permainan antara DPRD dan eksekutif.
Mau contoh? Berapa banyak anggota DPRD yang memasukkan proposal ke Pemko Siantar dengan dalih bantuan ini-itu. Atau bagaimana anggota DPRD menjadi calo proyek, calo penerimaan siswa baru, dan calo-calo lainnya.
Menjelang pemilu seperti saat ini, ada prediksi praktik-praktik kotor kalangan politisi akan semakin menggila. Atau setidaknya, banyak praktik komersialisasi politik. Demokrasi memang tidak bisa dilepaskan dari transaksi, antara yang memilih dan yang dipilih. Tetapi, di dalam demokrasi yang sehat, transaksi itu tidak berwujud material yang diberikan kepada pribadi-pribadi, melainkan kepada masyarakat umum (publik). Yang terakhir ini, misalnya, berbentuk ikatan tentang kebijakan-kebijakan yang akan dibuat manakala calon tersebut benar-benar terpilih.
Transaksi material mungkin bisa mengarah kepada kehidupan demokrasi yang tidak sehat. Pertama, transaksi itu bersifat sesaat: calon memberikan sesuatu dan penerima memilihnya. Setelah itu, bisa selesai begitu saja. Konsekuensinya, disconnect electoral terjadi.
Kedua, perilaku transaksional semacam itu cenderung hanya membuka ruang kepada orang-orang yang memiliki kekayaan besar saja yang berkesempatan menjadi elite. Minimal, hanya memberikan ruang kepada calon yang mampu mengumpulkan sumbangan dari orang-orang berduit saja.
Karena itu, demokrasi juga butuh kontrol sosial dari pers, LSM dan civil society agar tidak diselewengkan menjadi demo-crazy. Kita sudah lelah dengan banyolan dan kekonyolan politisi DPRD Siantar ini.
Kita harus memperbaiki semua itu, dengan kerja keras, dan membutuhkan energi dan proses waktu. Oleh karenanya, kita perlu optimistis untuk itu agar demokrasi bisa menyejahterakan rakyat. ***
Label:
Dari Secangkir Kopi
Kepala BKD Sumut: Walikota Harus Membatalkan SK 19 PNS Ilegal 2005
MEDAN-SK: Walikota Pematangsiantar RE Siahaan harus membatalkan surat keputusan pengangkatan 19 calon pegawai negeri sipil bermasalah pada formasi tahun 2005. Pembatalan ini karena Badan Kepegawaian Negara sudah secara resmi mencabut nomor induk pegawai dari ke-19 calon pegawai negeri sipil bermasalah itu.
"Kalau BKN sudah mencabut NIP ke-19 CPNS bermasalah ini, seharusnya Walikota Pematangsiantar juga secepatnya membatalkan SK pengangkatan mereka," ujar Mangasing Mungkur, Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Provinsi Sumatera Utara (Sumut) mengutip Kompas, di Medan, Senin (11/8). Ia mengatakan pencabutan tersebut telah dipastikan tim bersama dari Kantor Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) yang berkunjung ke Pematangsiantar pekan lalu.
BKD Provinsi Sumut, kata Mangasing, ikut mengutus pegawainya ke Pematangsiantar saat tim dari Kementerian PAN dan BKN meminta keterangan pejabat kepegawaian di Pemko Pematangsiantar. Mangasing mengatakan, Deputi Menteri PAN bidang SDM dan Aparatur Ramli Effendi Idris Naibaho sudah secara tegas mengatakan, NIP ke-19 CPNS bermasalah ini sudah dicabut BKN. "Tidak ada alasan lagi bagi Walikota Pematangsiantar untuk tidak membatalkan SK pengangkatan ke-19 CPNS ini," ujarnya. Bersamaan dengan pembatalan SK pengangkatan, Mangasing mengatakan proses hukum atas pelanggaran proses seleksi CPNS di Pematangsiantar tahun 2005 ini juga harus tetap diusut.
"Ada kemungkinan besar RE Siahaan sebagai penanggungjawab seleksi penerimaan CPNS ikut terlibat dalam pelanggaran ini. Dari proses penerimaannya kan sudah jelas siapa-siapa saja pejabat yang terlibat. Kalau tahu CPNS ini bermasalah, mengapa Walikota mengusulkan NIP untuk mereka ke BKN dan mengangkat mereka sebagai CPNS," ujar Mangasing.
Sebelumnya diberitakan, penerimaan CPNS formasi tahun 2005 di Pematangsiantar diduga dimanipulasi karena terdapat 19 CPNS yang tak memenuhi syarat tetapi tetap diusulkan mendapat NIP oleh Walikota. Enam dari 19 CPNS ini bahkan sama sekali tak mengikuti ujian seleksi penerimaan CPNS. Sedangkan 13 orang sisanya meski mengikuti seleksi, tetapi hasil rangkingnya tak memenuhi syarat untuk diterima sebagai CPNS. Ke-19 CPNS ini diketahui merupakan kerabat dekat pejabat di Pematangsiantar. Beberapa bahkan merupakan kerabat langsung dari walikota.
Sejauh ini polisi baru menetapkan satu orang tersangka, yakni Kepala BKD Pematangsiantar Moris Silalahi. Siahaan belum bisa diperiksa karena polisi masih menunggu izin pemeriksaan dari Presiden. Mangasing mengatakan, pembatalan SK pengangkatan ke-19 CPNS ini harus dilakukan secepatnya mengingat negara terus dirugikan karena harus membayar gaji dan tunjangan untuk mereka. Bahkan salah satu dari 19 CPNS bermasalah ini diduga sedang dalam tugas belajar dan dibiayai pemerintah.
"Tentu saja kalau memang yang bersangkutan ternyata benar merupakan CPNS yang NIP-nya dibatalkan BKN, dia harus mengembalikan biaya pendidikan yang diterimanya kepada negara," kata Mangasing. Hanya saja soal gaji dan tunjangan yang sudah diberikan selama ini, menurut Mangasing penyelesaiannya masih diperdebatkan. Bisa saja mereka mengganti kerugian negara, tetapi gaji dan tunjangan ini telah mereka dapatkan karena selama ini mereka juga bekerja. (kcm)
"Kalau BKN sudah mencabut NIP ke-19 CPNS bermasalah ini, seharusnya Walikota Pematangsiantar juga secepatnya membatalkan SK pengangkatan mereka," ujar Mangasing Mungkur, Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Provinsi Sumatera Utara (Sumut) mengutip Kompas, di Medan, Senin (11/8). Ia mengatakan pencabutan tersebut telah dipastikan tim bersama dari Kantor Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) yang berkunjung ke Pematangsiantar pekan lalu.
BKD Provinsi Sumut, kata Mangasing, ikut mengutus pegawainya ke Pematangsiantar saat tim dari Kementerian PAN dan BKN meminta keterangan pejabat kepegawaian di Pemko Pematangsiantar. Mangasing mengatakan, Deputi Menteri PAN bidang SDM dan Aparatur Ramli Effendi Idris Naibaho sudah secara tegas mengatakan, NIP ke-19 CPNS bermasalah ini sudah dicabut BKN. "Tidak ada alasan lagi bagi Walikota Pematangsiantar untuk tidak membatalkan SK pengangkatan ke-19 CPNS ini," ujarnya. Bersamaan dengan pembatalan SK pengangkatan, Mangasing mengatakan proses hukum atas pelanggaran proses seleksi CPNS di Pematangsiantar tahun 2005 ini juga harus tetap diusut.
"Ada kemungkinan besar RE Siahaan sebagai penanggungjawab seleksi penerimaan CPNS ikut terlibat dalam pelanggaran ini. Dari proses penerimaannya kan sudah jelas siapa-siapa saja pejabat yang terlibat. Kalau tahu CPNS ini bermasalah, mengapa Walikota mengusulkan NIP untuk mereka ke BKN dan mengangkat mereka sebagai CPNS," ujar Mangasing.
Sebelumnya diberitakan, penerimaan CPNS formasi tahun 2005 di Pematangsiantar diduga dimanipulasi karena terdapat 19 CPNS yang tak memenuhi syarat tetapi tetap diusulkan mendapat NIP oleh Walikota. Enam dari 19 CPNS ini bahkan sama sekali tak mengikuti ujian seleksi penerimaan CPNS. Sedangkan 13 orang sisanya meski mengikuti seleksi, tetapi hasil rangkingnya tak memenuhi syarat untuk diterima sebagai CPNS. Ke-19 CPNS ini diketahui merupakan kerabat dekat pejabat di Pematangsiantar. Beberapa bahkan merupakan kerabat langsung dari walikota.
Sejauh ini polisi baru menetapkan satu orang tersangka, yakni Kepala BKD Pematangsiantar Moris Silalahi. Siahaan belum bisa diperiksa karena polisi masih menunggu izin pemeriksaan dari Presiden. Mangasing mengatakan, pembatalan SK pengangkatan ke-19 CPNS ini harus dilakukan secepatnya mengingat negara terus dirugikan karena harus membayar gaji dan tunjangan untuk mereka. Bahkan salah satu dari 19 CPNS bermasalah ini diduga sedang dalam tugas belajar dan dibiayai pemerintah.
"Tentu saja kalau memang yang bersangkutan ternyata benar merupakan CPNS yang NIP-nya dibatalkan BKN, dia harus mengembalikan biaya pendidikan yang diterimanya kepada negara," kata Mangasing. Hanya saja soal gaji dan tunjangan yang sudah diberikan selama ini, menurut Mangasing penyelesaiannya masih diperdebatkan. Bisa saja mereka mengganti kerugian negara, tetapi gaji dan tunjangan ini telah mereka dapatkan karena selama ini mereka juga bekerja. (kcm)
Parlindungan: Putusan Menpan Soal Manipulasi 19 PNS akan Menguatkan Putusan BKN
Tim Menpan, BKN, DPD Temui Beberapa Pejabat Pemko Siantar
SIANTAR-SK: Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Sumatera Utara Parlindungan Purba mengatakan tim dari Kantor Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan), Badan Kepegawaian Negara (BKN), dan DPD, setelah bertemu dengan pejabat Pemko Pematangsiantar untuk menyelidiki kasus 19 PNS ilegal 2005, menemukan beberapa fakta yang akan segera dibawa ke Kantor Menpan di Jakarta.
Menurut Parlindungan, Tim Menpan, BKN, dan DPD, sudah membawa beragam bukti mengenai beberapa tindakan Pemko Siantar yang menyalahi aturan terkait penerimaan CPNS 2005. “BKN sendiri sudah resmi mencabut NIP 19 orang yang diduga bermasalah tersebut. Pemko sendiri sudah mengakui menerima surat BKN tersebut namun Pemko beralasan mereka menggunakan interpretasi yang berbeda dengan BKN dalam menerima CPNS tersebut dan mereka anggap tindakan mereka sah,” ujar Parlindungan.
Karena tak dalam posisi untuk didebatkan, kata Parlindungan, masalah perbedaan interpretasi tersebut akan dibawa ke Kantor Menpan dan akan segera diputuskan. “Dan kalian pasti sudah tahu kira-kira apa keputusan Menpan nanti,” ujar Parlindungan kepada wartawan yang menemuinya di Lobby Siantar Hotel, Jumat (8/8) sore.
Saat ditanya apakah kira-kira nanti keputusan Menpan akan sama dengan BKN, yang menguatkan putusan bahwa terdapat manipulasi, Parlindungan mengatakan ya. “Kalian kan sudah tahu jawabannya seperti yang disebut barusan,” katanya.
Hal senada dikatakan Deputi Sumber Daya Manusia (SDM) Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan) Ramli Efendi Idris Naibaho, salah seorang anggota tim. Menurut Naibaho, masalah 19 CPNS 2005 yang diduga ilegal terjadi karena adanya kesalahan dalam penerapan peraturan.
Naibaho menerangkan dalam penerimaan CPNS 2005, pemko mengacu kepada Peraturan Pemerintah (PP) No 9 Tahun 2003 mengenai Kewenangan Daerah dalam Penerimaan CPNS. Sedangkan Badan Kepegawaian Negara (BKN) berpedoman kepada PP No 98 Tahun 2000 mengenai prosedur penerimaan CPNS. “Jadi ini yang akan dikaji lebih lanjut, maka pansus telah mencari fakta dan mempelajari penerimaan CPNS dengan meminta keterangan dari Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) yang lama dan sekarang,” terangnya. Naibaho mengatakan hasil investigasi tersebut akan dirumuskan dengan anggota DPD RI dan diserahkan kepada Menpan.
Kemarin, Tim Menpan, BKN, dan DPD, bertemu dengan beberapa pejabat Pemko Siantar diantaranya Pelaksana Sekda James Lumbangaol, Asisten II Marihot Situmorang, Kepala Bagian Hukum Leonardo Simanjuntak, Kepala Seksi Bina Program Badan Kepegawaian Daerah (BKD) P Silaen, dan mantan Kepala BKD Tanjung Sijabat. Pertemuan dilakukan tertutup dari pukul 10.00 Wib sampai pukul 14.00 Wib.
Walikota RE Siahaan dan Kepala BKD Morris Silalahi tak hadir dalam pertemuan tersebut dengan alasan yang tak jelas. Mengenai ketidakhadiran RE Siahaan ini, Parlindungan mengatakan tidak masalah karena tim hanya meminta keterngan kepada pemko secara kelembagaan dan sudah diwakilkan kepada beberapa pejabat pemko.
Parlindungan menambahkan yang pasti mereka serius dan hasil investigasi dari Siantar akan menjadi masukan bagi Menpan terhadap dugaan manipulasi 19 CPNS di Siantar. “Siapa yang melanggar ketentuan ada sanksinya,” tandasnya. (jansen/fetra)
SIANTAR-SK: Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Sumatera Utara Parlindungan Purba mengatakan tim dari Kantor Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan), Badan Kepegawaian Negara (BKN), dan DPD, setelah bertemu dengan pejabat Pemko Pematangsiantar untuk menyelidiki kasus 19 PNS ilegal 2005, menemukan beberapa fakta yang akan segera dibawa ke Kantor Menpan di Jakarta.
Menurut Parlindungan, Tim Menpan, BKN, dan DPD, sudah membawa beragam bukti mengenai beberapa tindakan Pemko Siantar yang menyalahi aturan terkait penerimaan CPNS 2005. “BKN sendiri sudah resmi mencabut NIP 19 orang yang diduga bermasalah tersebut. Pemko sendiri sudah mengakui menerima surat BKN tersebut namun Pemko beralasan mereka menggunakan interpretasi yang berbeda dengan BKN dalam menerima CPNS tersebut dan mereka anggap tindakan mereka sah,” ujar Parlindungan.
Karena tak dalam posisi untuk didebatkan, kata Parlindungan, masalah perbedaan interpretasi tersebut akan dibawa ke Kantor Menpan dan akan segera diputuskan. “Dan kalian pasti sudah tahu kira-kira apa keputusan Menpan nanti,” ujar Parlindungan kepada wartawan yang menemuinya di Lobby Siantar Hotel, Jumat (8/8) sore.
Saat ditanya apakah kira-kira nanti keputusan Menpan akan sama dengan BKN, yang menguatkan putusan bahwa terdapat manipulasi, Parlindungan mengatakan ya. “Kalian kan sudah tahu jawabannya seperti yang disebut barusan,” katanya.
Hal senada dikatakan Deputi Sumber Daya Manusia (SDM) Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan) Ramli Efendi Idris Naibaho, salah seorang anggota tim. Menurut Naibaho, masalah 19 CPNS 2005 yang diduga ilegal terjadi karena adanya kesalahan dalam penerapan peraturan.
Naibaho menerangkan dalam penerimaan CPNS 2005, pemko mengacu kepada Peraturan Pemerintah (PP) No 9 Tahun 2003 mengenai Kewenangan Daerah dalam Penerimaan CPNS. Sedangkan Badan Kepegawaian Negara (BKN) berpedoman kepada PP No 98 Tahun 2000 mengenai prosedur penerimaan CPNS. “Jadi ini yang akan dikaji lebih lanjut, maka pansus telah mencari fakta dan mempelajari penerimaan CPNS dengan meminta keterangan dari Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) yang lama dan sekarang,” terangnya. Naibaho mengatakan hasil investigasi tersebut akan dirumuskan dengan anggota DPD RI dan diserahkan kepada Menpan.
Kemarin, Tim Menpan, BKN, dan DPD, bertemu dengan beberapa pejabat Pemko Siantar diantaranya Pelaksana Sekda James Lumbangaol, Asisten II Marihot Situmorang, Kepala Bagian Hukum Leonardo Simanjuntak, Kepala Seksi Bina Program Badan Kepegawaian Daerah (BKD) P Silaen, dan mantan Kepala BKD Tanjung Sijabat. Pertemuan dilakukan tertutup dari pukul 10.00 Wib sampai pukul 14.00 Wib.
Walikota RE Siahaan dan Kepala BKD Morris Silalahi tak hadir dalam pertemuan tersebut dengan alasan yang tak jelas. Mengenai ketidakhadiran RE Siahaan ini, Parlindungan mengatakan tidak masalah karena tim hanya meminta keterngan kepada pemko secara kelembagaan dan sudah diwakilkan kepada beberapa pejabat pemko.
Parlindungan menambahkan yang pasti mereka serius dan hasil investigasi dari Siantar akan menjadi masukan bagi Menpan terhadap dugaan manipulasi 19 CPNS di Siantar. “Siapa yang melanggar ketentuan ada sanksinya,” tandasnya. (jansen/fetra)
Tim Menpan, BKN, dan DPD, Turun ke Siantar Selidiki Kasus 19 CPNS Ilegal 2005
Parlindungan: Saya akan Minta Presiden Segera Keluarkan Surat Ijin Pemeriksaan RE Siahaan
MEDAN-SK: Kantor Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, Badan Kepegawaian Negara (BKN), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPD) menurunkan tim ke Pematangsiantar, terkait kasus manipulasi seleksi penerimaan calon pegawai negeri sipil formasi tahun 2005.
Anggota DPD asal Sumut Parlindungan Purba yang menjadi motor dari tim ini mengungkapkan masalah manipulasi CPNS di Siantar ini merupakan masalah yang sangat serius dan harus segera diungkap.
Menurutnya, dia akan mengawasi kinerja tim dari Menpan dan BKN dalam menyelidiki kasus CPNS ini di Siantar. “Ini masalah yang sangat serius. Jika tim dari Menpan dan BKN main-main dalam mengungkap masalah ini, saya akan laporkan langsung ke presiden,” ujar Parlindungan.
Mengenai lamanya proses penyelidikan kasus ini di Polres Simalungun, dengan alasan surat ijin pemeriksaan walikota belum turun dari presiden, Parlindungan mengatakan DPD akan mengadakan rapat paripurna di Jakarta tanggal 14 Agustus mendatang dan dalam rapat tersebut dia akan minta presiden segera mengeluarkan surat ijin pemeriksaan terhadap Walikota Pematangsiantar RE Siahaan.
Sementara itu, terkait turunnya tim ke Pematangsiantar, Deputi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara bidang Sumber Daya Manusia dan Aparatur Ramli Effendi Idris Naibaho akan meminta keterangan pejabat terkait kasus ini, termasuk Wali Kota Pematangsiantar RE Siahaan yang menjadi penanggung jawab seleksi CPNS.
Menurut Ramli, dia bersama pejabat dari BKN dan Parlindungan Purba dari DPD akan meminta keterangan langsung dari Walikota, Sekretaris Daerah hingga Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Pematangsiantar.
"Kami sudah mendapat laporan ini sejak lama. Bahkan BKN sudah meminta Walikota Pematangsiantar membatalkan nomor induk pegawai (NIP) dari 19 CPNS yang bermasalah ini. Tetapi ini kan baru sepihak, sehingga kami harus datang langsung meminta keterangan pejabat terkait di Pematangsiantar," ujar Ramli di Medan, Kamis (7/8).
Rencananya, hari Jumat ini Ramli akan meminta keterangan RE Siahaan di Pematangsiantar. "Saya juga akan datang bersama anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah) asal Sumut Parlindungan Purba yang melaporkan kasus ini ke Menteri PAN," ujarnya.
Menurut Ramli, jika nanti memang terbukti ada pelanggaran dalam proses seleksi CPNS formasi tahun 2005 di Pematangsiantar, Pemerintah tak akan segan memberi sanksi kepada pejabat terkait. "Sanksinya bisa administratif seperti penundaan pangkat dan gaji hingga pemberhentian, atau sanksi pidana dan ditangani langsung aparat hukum," katanya.
Seperti diberitakan sebelumnya, 19 CPNS di Pematangsiantar diduga tak memenuhi ketentuan seleksi tes CPNS, namun oleh Pemkot Pematangsiantar mereka tetap diusulkan mendapat NIP ke BKN. Dari 19 CPNS ini, enam orang di antaranya bahkan sama sekali tak mengikuti tes seleksi CPNS, sementara sisanya, mengikuti seleksi namun dari hasil tes, rangking mereka tak memenuhi syarat untuk lulus. Ditengarai ke-19 CPNS ini merupakan kerabat dekat pejabat di Pemko Pematangsiantar. (fetra/kcm)
MEDAN-SK: Kantor Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, Badan Kepegawaian Negara (BKN), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPD) menurunkan tim ke Pematangsiantar, terkait kasus manipulasi seleksi penerimaan calon pegawai negeri sipil formasi tahun 2005.
Anggota DPD asal Sumut Parlindungan Purba yang menjadi motor dari tim ini mengungkapkan masalah manipulasi CPNS di Siantar ini merupakan masalah yang sangat serius dan harus segera diungkap.
Menurutnya, dia akan mengawasi kinerja tim dari Menpan dan BKN dalam menyelidiki kasus CPNS ini di Siantar. “Ini masalah yang sangat serius. Jika tim dari Menpan dan BKN main-main dalam mengungkap masalah ini, saya akan laporkan langsung ke presiden,” ujar Parlindungan.
Mengenai lamanya proses penyelidikan kasus ini di Polres Simalungun, dengan alasan surat ijin pemeriksaan walikota belum turun dari presiden, Parlindungan mengatakan DPD akan mengadakan rapat paripurna di Jakarta tanggal 14 Agustus mendatang dan dalam rapat tersebut dia akan minta presiden segera mengeluarkan surat ijin pemeriksaan terhadap Walikota Pematangsiantar RE Siahaan.
Sementara itu, terkait turunnya tim ke Pematangsiantar, Deputi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara bidang Sumber Daya Manusia dan Aparatur Ramli Effendi Idris Naibaho akan meminta keterangan pejabat terkait kasus ini, termasuk Wali Kota Pematangsiantar RE Siahaan yang menjadi penanggung jawab seleksi CPNS.
Menurut Ramli, dia bersama pejabat dari BKN dan Parlindungan Purba dari DPD akan meminta keterangan langsung dari Walikota, Sekretaris Daerah hingga Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Pematangsiantar.
"Kami sudah mendapat laporan ini sejak lama. Bahkan BKN sudah meminta Walikota Pematangsiantar membatalkan nomor induk pegawai (NIP) dari 19 CPNS yang bermasalah ini. Tetapi ini kan baru sepihak, sehingga kami harus datang langsung meminta keterangan pejabat terkait di Pematangsiantar," ujar Ramli di Medan, Kamis (7/8).
Rencananya, hari Jumat ini Ramli akan meminta keterangan RE Siahaan di Pematangsiantar. "Saya juga akan datang bersama anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah) asal Sumut Parlindungan Purba yang melaporkan kasus ini ke Menteri PAN," ujarnya.
Menurut Ramli, jika nanti memang terbukti ada pelanggaran dalam proses seleksi CPNS formasi tahun 2005 di Pematangsiantar, Pemerintah tak akan segan memberi sanksi kepada pejabat terkait. "Sanksinya bisa administratif seperti penundaan pangkat dan gaji hingga pemberhentian, atau sanksi pidana dan ditangani langsung aparat hukum," katanya.
Seperti diberitakan sebelumnya, 19 CPNS di Pematangsiantar diduga tak memenuhi ketentuan seleksi tes CPNS, namun oleh Pemkot Pematangsiantar mereka tetap diusulkan mendapat NIP ke BKN. Dari 19 CPNS ini, enam orang di antaranya bahkan sama sekali tak mengikuti tes seleksi CPNS, sementara sisanya, mengikuti seleksi namun dari hasil tes, rangking mereka tak memenuhi syarat untuk lulus. Ditengarai ke-19 CPNS ini merupakan kerabat dekat pejabat di Pemko Pematangsiantar. (fetra/kcm)
Kronologi Ruislag SMAN 4 Pematangsiantar
Masalah ruislag SMA Negeri 4 Pematangsiantar, terutama setelah ratusan siswanya melakukan unjukrasa ke Gedung DPRD, Kantor Walikota, dan bahkan ke Rumah Dinas Walikota, menimbulkan beragam pendapat pro dan kontra. Masalah ruislag ini kemudian menjadi topik menarik yang sering diperbincangkan masyarakat Pematangsiantar. Untuk memberi kejelasan bagaimana awalnya proses ruislag ini dimulai, berikut kronologi permasalahan ruislag dan beberapa peristiwa yang menyertainya:
1. 14 Desember 2005, dengan surat Nomor: 14/DSI-05 yang ditujukan kepada Walikota Pematangsiantar, PT Detis Sari Indah memohonkan akan meruislag SMAN 4 Jl Sutomo, Pattimura dan Merdeka dengan 3 unit bangunan sekolah.
2. 22 Juni 2006, Walikota Pematangsiantar meminta respon kepada Kepala Dinas Pendidikan dan Pengajaran dan Ketua Komite Sekolah SMAN 4 sehubungan dengan program pemerintah yang akan memindahkan sekolah negeri dan swasta ke kawasan lain, sesuai dengan surat nomor: 050/4353/VI/2006.
3. 14 Agustus 2006 dengan surat Nomor 15/DSI/06. PT Detis Sari Indah memohonkan kembali kepada Walikota Pematangsiantar untuk meruislag SMAN 4 dengan 3 gedung, dan lahan SMAN 4 tersebut akan didirikan bangunan perhotelan, pertokoan dan mal.
4. 1 September 2006, dengan surat nomor: 425/38.75.2.53/2006 yang ditujukan kepada Walikota Pematangsiantar, yang pada intinya menyatakan dibutuhkan 2 unit Sekolah Baru (USB), 1 unit untuk tingkat SMP, 1 unit Balai Latihan dan Pengupayaan Perguruan Tinggi Negri.
5. 10 Oktober 2006, dengan surat keputusan Nomor 593.33-2728/WK-Tahun 2006, walikota menetapkan dan membentuk Tim Tukar Menukar Barang berupa tanah milik Pemko Pematangsiantar.
6. 14 Desember 2006, dengan surat Nomor: 425/8772/XII/2006, yang ditujukan kepada Ketua DPRD Pematangsiantar, Walikota Pematangsiantar memohonkan persetujuan DPRD Pematangsiantar untuk meruislag SMAN 4 dan SD 122350.
7. 13 Maret 2007 dengan surat nomor: 425/4255/DPRD/IV/2007 yang ditujukan kepada DPRD Pematangsiantar, Walikota Pematangsiantar kembali memohonkan kepada DPRD Pematangsiantar untuk memberikan persetujuan meruislag SMAN4 dan SDN 122350 dengan keterangan yang di ruislag adalah tanah seluas 24.621 M2, dengan nilai harga Rp 34.956.967.000.
8. 17 April 2007, DPRD Pematangsiantardengan surat Nomor: 425/4255/DPRD/IV/2007 yang ditujukan kepada Walikota Pematangsiantar yang pada pokoknya menyatakan memberikan Persetujuan Permohonan Tukar Menukar Barang Milik Pemerintah Pematangsiantar berupa tanah bangunan SMAN 4 dan SD 122350 seluas 24.621 M2. Dengan nilai harga Rp 34.956.967.000.
9. 27 April 2007, melalui sebuah media lokal, Kepala Dinas Pendidikan dan Pengajaran Pematangsiantar Hodden Simarmata menyatakan bahwa ketiga gedung sekolah yang ada di Jalan Gunung Sibayak, Jalan Sisingamangaraja, dan di Tanjung Pinggir adalah sekolah Swasta dan tidak mungkin swasta membangun sekolah negeri.
10. 29 Januari 2008, tim penilai independen (PT Procon) memberikan pemaparan di Gedung DPRD Pematangsiantar. Hasil kajian tim ditaksir nilai ruilslag SMA 4 sebesar Rp45 miliar dan barang milik PT Detis Sari Indah sekitar Rp35 miliar. Menurut anggota DPRD, Grace Christiane, harga itu tidak sesuai dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang diperkirakan tanah dan bangunan SMAN 4 mencapai Rp60 miliar. Anggota DPRD lainnya, Muslimin Akbar juga mengatakan kekecewaannya terjadap hasil penilaian PT Procon. Menurutnya nilai yang dipaparkan tidak transparan dan harga penilaiannya jauh di bawah standar. Kekecewaan Muslimin berlanjut saat dia hendak meminta data itu dari tim independen tetapi tidak diperbolehkan dengan alasan harus permisi dari pemko.
11. 4 Juli 2008 Walikota Pematangsiantar melalui surat Nomor: 011/4059/VII/2008 yang ditujukan kepada Kepala Dinas Pendidikan dan Pengajaran Pematangsiantar meminta agar siswa kelas X (kelas 1) mengikuti kegiatan belajar mengajar di gedung yang dibangun PT Detis Sari Indah di Jalan Gunung Sibayak, Siantar Timur.
12. 8 Juli 2008, Kepala Dinas Pendidikan dan Pengajaran Pematangsiantar melalui surat Nomor: 420/2944.PP/2008 memerintahkan Kepala Sekolah SMA Negeri 4 Pematangsiantar untuk menggunakan gedung yang terletak di Jalan Gunung Sibayak, Siantar Timur.
13. 11 Juli 2008, Komite Sekolah SMA Negeri 4 Pematangsiantar dengan tegas menolak rencana perpindahan sekolah dari Jalan Pattimura ke Jalan Gunung Sibayak. Menurut Ketua Komite Sekolah SMAN 4 Djarusdin Sitio, surat dari walikota dan Kepala Dinas Pendidikan dan Pengajaran (Kadispenjar) Pematangsiantar yang memerintahkan kepala sekolah untuk melaksanakan pendaftaran siswa baru di Jalan Gunung Sibayak menimbulkan keresahan bagi siswa dan orangtua. Menurutnya sesuai rapat komite, orangtua siswa menilai lokasi SMAN 4 masih layak dan cukup untuk menampung siswa kelas X (kelas 1) tahun ajaran 2008/2009.
14. 1 Agustus 2008 ratusan siswa SMA Negeri 4 Pematangsiantar menggelar unjukrasa di halaman Gedung DPRD Siantar menolak rencana ruislag gedung sekolah mereka dan menolak perpindahan lokasi belajar dari Jalan Pattimura ke Jalan Gunung Sibayak, Siantar Selatan. Lengkap dengan atribut pramuka, para siswa tersebut memulai unjukrasa saat siswa kelas XI dan XII (kelas 2 dan 3) melakukan orasi di halaman SMAN 4 Jalan Pattimura. Selanjutnya mereka melakukan long march sepanjang Jalan Sutomo, berbelok melalui Jalan Imam Bonjol tembus Jalan Pane, menuju lokasi gedung sekolah milik swasta di Jalan Gunung Sibayak yang untuk sementara dipinjam dan digunakan oleh SMAN 4 untuk lokasi belajar kelas X (kelas 1). Selanjutnya, dari Jalan Sibayak, seluruh siswa tersebut dengan berjalan kaki menuju Gedung DPRD Siantar di Jalan Merdeka.
15. 4 Agustus 2008 ratusan siswa SMA Negeri 4 Pematangsiantar, kembali melakukan unjukrasa menentang perpindahan sekolah mereka dari Jalan Pattimura ke Jalan Gunung Sibayak. Aksi unjukrasa kali ini lebih berani karena mereka tak hanya mendatangi Gedung DPRD namun juga mendatangi Rumah Dinas Walikota Pematangsiantar. Di depan rumah dinas, para siswa meneriakkan agar Walikota RE Siahaan berani menemui mereka untuk memberi penjelasan kenapa sekolah mereka harus di-ruislag atau ditukar guling. Namun sampai aksi mereka bubar, walikota sama sekali tak menampakkan batang hidungnya. (Sumber: KNPSI dan data Sinar Keadilan)
1. 14 Desember 2005, dengan surat Nomor: 14/DSI-05 yang ditujukan kepada Walikota Pematangsiantar, PT Detis Sari Indah memohonkan akan meruislag SMAN 4 Jl Sutomo, Pattimura dan Merdeka dengan 3 unit bangunan sekolah.
2. 22 Juni 2006, Walikota Pematangsiantar meminta respon kepada Kepala Dinas Pendidikan dan Pengajaran dan Ketua Komite Sekolah SMAN 4 sehubungan dengan program pemerintah yang akan memindahkan sekolah negeri dan swasta ke kawasan lain, sesuai dengan surat nomor: 050/4353/VI/2006.
3. 14 Agustus 2006 dengan surat Nomor 15/DSI/06. PT Detis Sari Indah memohonkan kembali kepada Walikota Pematangsiantar untuk meruislag SMAN 4 dengan 3 gedung, dan lahan SMAN 4 tersebut akan didirikan bangunan perhotelan, pertokoan dan mal.
4. 1 September 2006, dengan surat nomor: 425/38.75.2.53/2006 yang ditujukan kepada Walikota Pematangsiantar, yang pada intinya menyatakan dibutuhkan 2 unit Sekolah Baru (USB), 1 unit untuk tingkat SMP, 1 unit Balai Latihan dan Pengupayaan Perguruan Tinggi Negri.
5. 10 Oktober 2006, dengan surat keputusan Nomor 593.33-2728/WK-Tahun 2006, walikota menetapkan dan membentuk Tim Tukar Menukar Barang berupa tanah milik Pemko Pematangsiantar.
6. 14 Desember 2006, dengan surat Nomor: 425/8772/XII/2006, yang ditujukan kepada Ketua DPRD Pematangsiantar, Walikota Pematangsiantar memohonkan persetujuan DPRD Pematangsiantar untuk meruislag SMAN 4 dan SD 122350.
7. 13 Maret 2007 dengan surat nomor: 425/4255/DPRD/IV/2007 yang ditujukan kepada DPRD Pematangsiantar, Walikota Pematangsiantar kembali memohonkan kepada DPRD Pematangsiantar untuk memberikan persetujuan meruislag SMAN4 dan SDN 122350 dengan keterangan yang di ruislag adalah tanah seluas 24.621 M2, dengan nilai harga Rp 34.956.967.000.
8. 17 April 2007, DPRD Pematangsiantardengan surat Nomor: 425/4255/DPRD/IV/2007 yang ditujukan kepada Walikota Pematangsiantar yang pada pokoknya menyatakan memberikan Persetujuan Permohonan Tukar Menukar Barang Milik Pemerintah Pematangsiantar berupa tanah bangunan SMAN 4 dan SD 122350 seluas 24.621 M2. Dengan nilai harga Rp 34.956.967.000.
9. 27 April 2007, melalui sebuah media lokal, Kepala Dinas Pendidikan dan Pengajaran Pematangsiantar Hodden Simarmata menyatakan bahwa ketiga gedung sekolah yang ada di Jalan Gunung Sibayak, Jalan Sisingamangaraja, dan di Tanjung Pinggir adalah sekolah Swasta dan tidak mungkin swasta membangun sekolah negeri.
10. 29 Januari 2008, tim penilai independen (PT Procon) memberikan pemaparan di Gedung DPRD Pematangsiantar. Hasil kajian tim ditaksir nilai ruilslag SMA 4 sebesar Rp45 miliar dan barang milik PT Detis Sari Indah sekitar Rp35 miliar. Menurut anggota DPRD, Grace Christiane, harga itu tidak sesuai dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang diperkirakan tanah dan bangunan SMAN 4 mencapai Rp60 miliar. Anggota DPRD lainnya, Muslimin Akbar juga mengatakan kekecewaannya terjadap hasil penilaian PT Procon. Menurutnya nilai yang dipaparkan tidak transparan dan harga penilaiannya jauh di bawah standar. Kekecewaan Muslimin berlanjut saat dia hendak meminta data itu dari tim independen tetapi tidak diperbolehkan dengan alasan harus permisi dari pemko.
11. 4 Juli 2008 Walikota Pematangsiantar melalui surat Nomor: 011/4059/VII/2008 yang ditujukan kepada Kepala Dinas Pendidikan dan Pengajaran Pematangsiantar meminta agar siswa kelas X (kelas 1) mengikuti kegiatan belajar mengajar di gedung yang dibangun PT Detis Sari Indah di Jalan Gunung Sibayak, Siantar Timur.
12. 8 Juli 2008, Kepala Dinas Pendidikan dan Pengajaran Pematangsiantar melalui surat Nomor: 420/2944.PP/2008 memerintahkan Kepala Sekolah SMA Negeri 4 Pematangsiantar untuk menggunakan gedung yang terletak di Jalan Gunung Sibayak, Siantar Timur.
13. 11 Juli 2008, Komite Sekolah SMA Negeri 4 Pematangsiantar dengan tegas menolak rencana perpindahan sekolah dari Jalan Pattimura ke Jalan Gunung Sibayak. Menurut Ketua Komite Sekolah SMAN 4 Djarusdin Sitio, surat dari walikota dan Kepala Dinas Pendidikan dan Pengajaran (Kadispenjar) Pematangsiantar yang memerintahkan kepala sekolah untuk melaksanakan pendaftaran siswa baru di Jalan Gunung Sibayak menimbulkan keresahan bagi siswa dan orangtua. Menurutnya sesuai rapat komite, orangtua siswa menilai lokasi SMAN 4 masih layak dan cukup untuk menampung siswa kelas X (kelas 1) tahun ajaran 2008/2009.
14. 1 Agustus 2008 ratusan siswa SMA Negeri 4 Pematangsiantar menggelar unjukrasa di halaman Gedung DPRD Siantar menolak rencana ruislag gedung sekolah mereka dan menolak perpindahan lokasi belajar dari Jalan Pattimura ke Jalan Gunung Sibayak, Siantar Selatan. Lengkap dengan atribut pramuka, para siswa tersebut memulai unjukrasa saat siswa kelas XI dan XII (kelas 2 dan 3) melakukan orasi di halaman SMAN 4 Jalan Pattimura. Selanjutnya mereka melakukan long march sepanjang Jalan Sutomo, berbelok melalui Jalan Imam Bonjol tembus Jalan Pane, menuju lokasi gedung sekolah milik swasta di Jalan Gunung Sibayak yang untuk sementara dipinjam dan digunakan oleh SMAN 4 untuk lokasi belajar kelas X (kelas 1). Selanjutnya, dari Jalan Sibayak, seluruh siswa tersebut dengan berjalan kaki menuju Gedung DPRD Siantar di Jalan Merdeka.
15. 4 Agustus 2008 ratusan siswa SMA Negeri 4 Pematangsiantar, kembali melakukan unjukrasa menentang perpindahan sekolah mereka dari Jalan Pattimura ke Jalan Gunung Sibayak. Aksi unjukrasa kali ini lebih berani karena mereka tak hanya mendatangi Gedung DPRD namun juga mendatangi Rumah Dinas Walikota Pematangsiantar. Di depan rumah dinas, para siswa meneriakkan agar Walikota RE Siahaan berani menemui mereka untuk memberi penjelasan kenapa sekolah mereka harus di-ruislag atau ditukar guling. Namun sampai aksi mereka bubar, walikota sama sekali tak menampakkan batang hidungnya. (Sumber: KNPSI dan data Sinar Keadilan)
29 Agustus, 2008
Siswa SMA Negeri 4 Pematangsiantar Kembali Unjukrasa Tolak Perpindahan Sekolah
Tak Berani Temui Siswa, Walikota Disebut Pengecut
SIANTAR-SK: Kemarin, Senin (4/8), ratusan siswa SMA Negeri 4 Pematangsiantar, untuk kesekian kalinya melakukan unjukrasa menentang perpindahan sekolah mereka dari Jalan Pattimura ke Jalan Gunung Sibayak. Aksi unjukrasa kali ini lebih berani karena mereka tak hanya mendatangi Gedung DPRD namun juga mendatangi Rumah Dinas Walikota Pematangsiantar. Di depan rumah dinas, para siswa meneriakkan agar Walikota RE Siahaan berani menemui mereka untuk memberi penjelasan kenapa sekolah mereka harus di-ruislag atau ditukar guling. Namun sampai aksi mereka bubar, walikota sama sekali tak menampakkan batang hidungnya. Tampak berjaga di rumah dinas beberapa anggota Satpol PP dan beberapa orang yang selama ini dikenal dekat dengan Walikota RE Siahaan.
Dalam orasinya, seorang siswa mengatakan walikota pengecut karena tak berani menemui siswa. “Walikota tak berani menemui kita karena dia tahu bersalah,” ungkap seorang siswa lainnya.
Beberapa siswa yang ditanya Sinar Keadilan mengaku ikut unjukrasa karena merasa prihatin sekolah mereka akan diganti dengan pusat perbelanjaan dan dipindah ke tempat yang lebih jauh yang akan menambah waktu dan beban ongkos. “Unjukrasa ini murni keinginan kami, bukan karena disuruh orang lain. Kami tidak ingin sekolah kami dipindah,” ungkap seorang siswa kelas XII, yang tidak mau disebut namanya.
Sebelumnya, beberapa kalangan menyesalkan aksi unjukrasa yang dilakukan ratusan siswa ini. Menurut mereka, tugas siswa adalah belajar bukan unjukrasa. Namun pernyataan ini ditentang salah seorang orangtua siswa, Jansen Napitu. Menurut Jansen, siswa saat ini sudah pintar, mampu memilah mana yang mereka anggap baik dan mana yang tidak baik. “Mereka melihat bahwa ruislag ini merugikan mereka, makanya mereka ikut melakukan unjukrasa,” kata Jansen.
Unjukrasa kemarin dimulai dari halaman sekolah SMA Negeri 4 sekitar pukul 10.30 Wib. Dari sekolah, para siswa tersebut berjalan kaki atau long march menyusuri Jalan Sutomo menuju Gedung DPRD Pematangsiantar. Sampai di Gedung DPRD, untuk beberapa saat lamanya, tak seorangpun anggota DPRD yang mau menerima mereka.
Akhirnya, muncul beberapa anggota DPRD yakni Grace Christiane, Ronald Tampubolon, Pardamean Sihombing, dan Jonny Siregar. Kepada ratusan siswa, Grace mengatakan DPRD sebenarnya telah mengundang Walikota Pematangsiantar, Kepala Dinas Pendidikan dan Pengajaran Pematangsiantar Hodden Simarmata, Kepala Sekolah SMAN 4, dan komite sekolah. “Namun sampai jam 11 ini, tak satupun dari mereka yang mau datang,” ujar Grace yang disambut teriakan huuu dan pengecut, dari seluruh siswa.
Karena tak mungkin melakukan dialog, ratusan siswa ini kemudian bergeser ke Kantor Walikota Pematangsiantar yang persis berada di samping Gedung DPRD. Di kantor walikota, tak satupun pejabat Pemko Siantar yang mau menemui mereka. Bahkan setelah dilihat ke dalam, hampir tak ada pegawai yang masuk kantor. Kondisi ini membuat ratusan siswa hanya geleng-geleng kepala. “Bagaimana bapak-bapak itu bisa menjadi contoh bagi kita kalau jam kantor seperti ini mereka tak ada di ruangan? Apa yang pantas dicontoh dari mereka? Jangan hanya bisa korupsi tetapi kerja tak becus. Harusnya mereka yang mencontoh kita, mau berjuang demi kebenaran, bukan menjadi pengecut,” kata seorang siswa dengan lantang yang disambut rekan-rekannya dengan teriakan setuju.
Karena tak ada yang menemui mereka di kantor walikota, ratusan siswa ini dengan bersemangat kemudian bergerak ke Rumah Dinas Walikota di Jalan MH Sitorus. Di sini, mereka melakukan orasi meminta agar ruislag dan perpindahan sekolah mereka dibatalkan. Lebih satu jam mereka melakukan unjukrasa di depan rumah dinas ini. Anehnya, selama melakukan long march dan unjukrasa, terutama di depan rumah dinas, sama sekali tak ada yang memberikan air minum kepada mereka. Beberapa siswa tampak kehausan. Meski demikian, mereka tetap bersemangat melakukan unjukrasa.
Secara terpisah salah satu alumni SMAN 4, Daliansyah Saragih, yang ikut dalam aksi tersebut diteror sekelompok orang tidak dikenal di sekitar Lapangan H Adam Malik. Daliansyah mengatakan usai pulang dari rumah dinas walikota, dia dipanggil dua orang dengan ciri-ciri badan tinggi dan tegap pangkas cepak serta memakai kalung.Yang satunya lagi bertubuh pendek, gemuk dan berambut putih.
“Mereka tanya saya aktivis darimana dan berapa dibayar Jansen Napitu, (Ketua Forum Komunikasi Orang Tua Siswa) agar ikut aksi demo,” papar alumnus 2006 tersebut.
Dia menambahkan salah seorang oknum tersebut meminta dirinya tidak membuat keributan di Siantar dan mengajak anaknya unjukrasa. Anehnya saat Daliansyah meminta agar ditunjukkan siapa anaknya, oknum tersebut hanya diam. Daliansyah juga mengakui sempat akan dipukul dan dipaksa difoto bersama oknum tersebut dan merekam suaranya.
Menyikapi aksi unjukrasa siswa tersebut, Sinar Keadilan mencoba meminta tanggapan Kepala Dinas Pendidikan dan Pengajaran (Kadis Penjar) Pematangsiantar Hodden Simarmata. Namun beberapa kali dihubungi, juga melalui pesan layanan singkat (sms), sampai berita ini diturunkan, Hodden tak bersedia menjawab. (fetra/jansen)
Ruislag SMAN 4 Pematangsiantar Diduga Sarat Korupsi
Jika Ruislag Terlaksana, Negara Dirugikan Rp33 Miliar!
SIANTAR-SK: Proses ruislag atau tukar guling aset Pemerintah Kota (Pemko) Pematangsiantar yakni bangunan dan tanah SMA Negeri 4 dan SD Negeri 122350 dengan tiga bangunan milik PT Detis Sari Indah, diduga sarat dengan korupsi. Proses ruislag diduga tidak sesuai dengan aturan dan nilai yang ditawarkan PT Detis Sari Indah tak sesuai dengan nilai aset pemko. Demikian dikatakan Jan Wiserdo Saragih, Ketua Umum Komite Nasional Pemuda Simalungun Indonesia (KNPSI) kepada Sinar Keadilan, Minggu (3/8).
Menurut Jan Wiserdo, seharusnya Pemko Siantar mengumumkan secara terbuka jika ingin me-ruislag aset pemko. “Harus diumumkan dan ditawarkan secara terbuka kepada investor. Kemudian investor yang berminat memasukkan penawaran lengkap dengan bangunan pengganti. Setelah itu lalu diumumkan siapa pemenangnya,” ujar Jan Wiserdo.
Faktanya, katanya, pemko tak melakukan penawaran terbuka. Tiba-tiba PT Detis Sari Indah masuk menjadi investor. “Patut diduga kuat terjadi kolusi antara pemko dan PT Detis Sari Indah,” katanya.
Jan Wiserdo menambahkan karena tak diumumkan secara terbuka, muncul beberapa kejanggalan yang diduga bagian dari persekongkolan antara Pemko Siantar dengan PT Detis Sari Indah.
Dia memberikan beberapa bukti antara lain PT Detis Sari Indah terlebih dahulu membangun tiga bangunan pengganti sebelum melakukan persetujuan dengan pemko. “Logikanya setelah ada persetujuan dulu baru bangunan pengganti dibangun,” ujar Jan Wiserdo.
Kejanggalan lain, 14 Desember 2006, Walikota Pematangsiantar mengajukan permohonan persetujuan kepada DPRD untuk melakukan ruislag SMA Negeri 4 dan SD Negeri 122350, yang membuktikan bahwa terlebih dahulu ada kesepakatan antara Pemko Siantar dengan PT Detis Sari Indah barulah walikota mengajukan persetujuan kepada DPRD. “Seharusnya sesuai peraturan, Pemko Siantar harus meminta persetujuan dari DPRD baru kemudian membuat kesepakatan dengan investor, bukan sebaliknya,” ujar Jan Wiserdo.
Lebih lanjut dia mengatakan, kejanggalan lainnya adalah pada luas tanah dan bangunan yang akan diruislag. Sebelumnya, berdasarkan surat walikota luas yang akan di-ruislag 24.621 meter persegi. Namun oleh Tim Tukar Menukar Barang yang dibentuk walikota, luas SMA 4 dan SD Negeri 122350 hanya 20.016 meter persegi atau terdapat selisih luas sebesar 4605 meter persegi.
Selain itu, kata Jan Wiserdo, Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) untuk harga tanah SMAN 4 dan SD Negeri 122350 hanya Rp1,4 juta per meter persegi. “Padahal bangunan itu terletak di pusat kota atau di jantung kota Siantar. Harga tanah di situ sekarang Rp2,5 juta per meter persegi. Harga tanah di Jalan Cokroaminoto yang merupakan jalan kelas II dan III saja sekarang sudah Rp2 juta. Tak mungkin harga di pusat kota di bawah Rp 2 juta,” katanya. Jan Wiserdo mengatakan berdasarkan kajian dan perhitungan yang mereka lakukan, nilai total aset SMA Negeri 4 dan SD Negeri 122350 ini sebesar Rp49,2 miliar.
Lebih jauh dia mengatakan yang menguatkan terjadinya persekongkolan antara Pemko Siantar dengan PT Detis Sari Indah adalah nilai tiga bangunan yang ditawarkan PT Detis Sari Indah hanya Rp16, 2 miliar. “Jadi apabila benar-benar terjadi ruislag, negara akan dirugikan Rp33 miliar. Inikan korupsi gila-gilaan,”ujar Jan Wiserdo. Dia meminta agar proses ruislag ini dibatalkan dan dilakukan kajian ulang agar tidak merugikan negara.
Di tempat terpisah, salah seorang orangtua murid SMA Negeri 4, Jansen Napitu, mempertanyakan kenapa Walikota Pematangsiantar RE Siahaan ngotot untuk meruislag SAM Negeri 4. Menurutnya, tidak ada alasan yang cukup kuat bagi walikota untuk melakukan ruislag.
“Kalau alasan bahwa di Jalan Pattimura (lokasi SMA Negeri 4 dan SD Negeri 122350, red.) cukup bising dan macet sehingga tidak nyaman bagi proses belajar, itu alasan yang mengada-ada. Beberapa sekolah yang juga kualitasnya bagus ada di pinggir jalan raya seperti Kalam Kudus, Methodist, dan Sultan Agung. Lagipula selama ini proses belajar mengajar di SMA tidak pernah terganggu. Lalau kenapa walikota ngotot agar di-ruislag? Ini patut dicurigai, apalagi proses ruislag ini tak transparan,” ujar Jansen yang juga aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat. (fetra)
SIANTAR-SK: Proses ruislag atau tukar guling aset Pemerintah Kota (Pemko) Pematangsiantar yakni bangunan dan tanah SMA Negeri 4 dan SD Negeri 122350 dengan tiga bangunan milik PT Detis Sari Indah, diduga sarat dengan korupsi. Proses ruislag diduga tidak sesuai dengan aturan dan nilai yang ditawarkan PT Detis Sari Indah tak sesuai dengan nilai aset pemko. Demikian dikatakan Jan Wiserdo Saragih, Ketua Umum Komite Nasional Pemuda Simalungun Indonesia (KNPSI) kepada Sinar Keadilan, Minggu (3/8).
Menurut Jan Wiserdo, seharusnya Pemko Siantar mengumumkan secara terbuka jika ingin me-ruislag aset pemko. “Harus diumumkan dan ditawarkan secara terbuka kepada investor. Kemudian investor yang berminat memasukkan penawaran lengkap dengan bangunan pengganti. Setelah itu lalu diumumkan siapa pemenangnya,” ujar Jan Wiserdo.
Faktanya, katanya, pemko tak melakukan penawaran terbuka. Tiba-tiba PT Detis Sari Indah masuk menjadi investor. “Patut diduga kuat terjadi kolusi antara pemko dan PT Detis Sari Indah,” katanya.
Jan Wiserdo menambahkan karena tak diumumkan secara terbuka, muncul beberapa kejanggalan yang diduga bagian dari persekongkolan antara Pemko Siantar dengan PT Detis Sari Indah.
Dia memberikan beberapa bukti antara lain PT Detis Sari Indah terlebih dahulu membangun tiga bangunan pengganti sebelum melakukan persetujuan dengan pemko. “Logikanya setelah ada persetujuan dulu baru bangunan pengganti dibangun,” ujar Jan Wiserdo.
Kejanggalan lain, 14 Desember 2006, Walikota Pematangsiantar mengajukan permohonan persetujuan kepada DPRD untuk melakukan ruislag SMA Negeri 4 dan SD Negeri 122350, yang membuktikan bahwa terlebih dahulu ada kesepakatan antara Pemko Siantar dengan PT Detis Sari Indah barulah walikota mengajukan persetujuan kepada DPRD. “Seharusnya sesuai peraturan, Pemko Siantar harus meminta persetujuan dari DPRD baru kemudian membuat kesepakatan dengan investor, bukan sebaliknya,” ujar Jan Wiserdo.
Lebih lanjut dia mengatakan, kejanggalan lainnya adalah pada luas tanah dan bangunan yang akan diruislag. Sebelumnya, berdasarkan surat walikota luas yang akan di-ruislag 24.621 meter persegi. Namun oleh Tim Tukar Menukar Barang yang dibentuk walikota, luas SMA 4 dan SD Negeri 122350 hanya 20.016 meter persegi atau terdapat selisih luas sebesar 4605 meter persegi.
Selain itu, kata Jan Wiserdo, Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) untuk harga tanah SMAN 4 dan SD Negeri 122350 hanya Rp1,4 juta per meter persegi. “Padahal bangunan itu terletak di pusat kota atau di jantung kota Siantar. Harga tanah di situ sekarang Rp2,5 juta per meter persegi. Harga tanah di Jalan Cokroaminoto yang merupakan jalan kelas II dan III saja sekarang sudah Rp2 juta. Tak mungkin harga di pusat kota di bawah Rp 2 juta,” katanya. Jan Wiserdo mengatakan berdasarkan kajian dan perhitungan yang mereka lakukan, nilai total aset SMA Negeri 4 dan SD Negeri 122350 ini sebesar Rp49,2 miliar.
Lebih jauh dia mengatakan yang menguatkan terjadinya persekongkolan antara Pemko Siantar dengan PT Detis Sari Indah adalah nilai tiga bangunan yang ditawarkan PT Detis Sari Indah hanya Rp16, 2 miliar. “Jadi apabila benar-benar terjadi ruislag, negara akan dirugikan Rp33 miliar. Inikan korupsi gila-gilaan,”ujar Jan Wiserdo. Dia meminta agar proses ruislag ini dibatalkan dan dilakukan kajian ulang agar tidak merugikan negara.
Di tempat terpisah, salah seorang orangtua murid SMA Negeri 4, Jansen Napitu, mempertanyakan kenapa Walikota Pematangsiantar RE Siahaan ngotot untuk meruislag SAM Negeri 4. Menurutnya, tidak ada alasan yang cukup kuat bagi walikota untuk melakukan ruislag.
“Kalau alasan bahwa di Jalan Pattimura (lokasi SMA Negeri 4 dan SD Negeri 122350, red.) cukup bising dan macet sehingga tidak nyaman bagi proses belajar, itu alasan yang mengada-ada. Beberapa sekolah yang juga kualitasnya bagus ada di pinggir jalan raya seperti Kalam Kudus, Methodist, dan Sultan Agung. Lagipula selama ini proses belajar mengajar di SMA tidak pernah terganggu. Lalau kenapa walikota ngotot agar di-ruislag? Ini patut dicurigai, apalagi proses ruislag ini tak transparan,” ujar Jansen yang juga aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat. (fetra)
Walikota RE Siahaan Jangan Asal Ngomong
Rencana Pemko Siantar Bangun Institut Kesehatan
SIANTAR-SK: Masalah ruislag atau tukar guling SMA Negeri 4 dan SD Negeri 122350 Pematangsiantar, juga membuat pusing Ketua DPRD Pematangsiantar Lingga Napitupulu. Menurutnya, ia sudah cukup pusing dengan polemik ruislag tersebut, apalagi dengan kasus terakhir ratusan siswa SMA Negeri 4 melakukan unjukrasa ke Gedung DRD menolak perpindahan mereka ke Jalan Gunung Sibayak.
Menurut Lingga, DPRD bukan tidak setuju dengan ruislag tetapi mekanisme yang dilalui dalam proses ruislag tersebut harus sesuai dengan peraturan yang ada. Menurutnya,ruislag tersebut harus sesuai dengan tata ruang kota dan tata ruang provinsi dan tidak asal dilakukan ruislag. “Pemko harus membuat tata ruang, setelah SMA 4 diruislag nantinya kemudian daerah itu bentuknya seperti apa? Apa itu sudah ada rencana tata ruangnya?” tanya Lingga.
Ketua DPRD yang juga Ketua DPC PDI Perjuangan Pematangsiantar ini bertambah pusing dengan rencana pemko membangun sebuah institut negeri di sebelah jalan tembus Sutomo-Pane, sebagai bagian dari ruislag SMA Negeri 4 dan SD Negeri 122350. “Lho, kapan rencana itu diusulkan dan direncanakan sebagai bagian dari ruislag? Kenapa DPRD tidak tahu?” kata Lingga.
Lingga bertambah heran karena tanah yang direncanakan untuk dibangun institut tersebut adalah tanah negara. “Yang benar, dong!” katanya.
Dia meminta Pemko Siantar tidak asal ngomong mendirikan sebuah institut. Menurutnya membangun sebuah perguruan tinggi tidak mudah. “Yang jelas pembangunan apapun itu, pendirian apapun itu, tanpa konsep yang telah dikaji akan sia-sia. Seperti membangun rumah di atas pasir, tanpa pondasi. DPRD siap mendukung apa yang dilakukan pemko tetapi dengan syarat harus disosialisasikan dulu bukan langsung asal ngomong,” katanya.
Dia menambahkan mari kita arif dan bijaksana dalam membuat sebuah kuputusan. “Sekarang pertanyaan kepada kita, sudahkah ada study kelayakan untuk itu? Apa dasar dan latar belakang pembangunan (institut) tersebut. Apa ada termasuk dalam rencana kerja pemko sebelumnya? Apa sudah ada kajian dari Dikjar? Bagaimana dengan kurikulum, operasional, masa depan sekolah dan murid?” tanya Lingga.
Agar tidak menimbulkan persepsi yang keliru di masyarakat, Lingga meminta Walikota RE Siahaan tidak asal ngomong. “Permohonannya saja tidak ada. Dosen siapa yang menggaji? Masih banyak hal yang perlu dipertanyakan. Dibangun di atas tanah mana? Bagaimana tata kelola kepemilikan dan hak kelola bangunan? Saya minta kita berpikir sehat untuk kemajuan Siantar ke depan. Pemko diminta mempelajari dengan benar agar rencana tersebut lebih baik dan bermanfaat,”ucap Lingga. (fetra)
SIANTAR-SK: Masalah ruislag atau tukar guling SMA Negeri 4 dan SD Negeri 122350 Pematangsiantar, juga membuat pusing Ketua DPRD Pematangsiantar Lingga Napitupulu. Menurutnya, ia sudah cukup pusing dengan polemik ruislag tersebut, apalagi dengan kasus terakhir ratusan siswa SMA Negeri 4 melakukan unjukrasa ke Gedung DRD menolak perpindahan mereka ke Jalan Gunung Sibayak.
Menurut Lingga, DPRD bukan tidak setuju dengan ruislag tetapi mekanisme yang dilalui dalam proses ruislag tersebut harus sesuai dengan peraturan yang ada. Menurutnya,ruislag tersebut harus sesuai dengan tata ruang kota dan tata ruang provinsi dan tidak asal dilakukan ruislag. “Pemko harus membuat tata ruang, setelah SMA 4 diruislag nantinya kemudian daerah itu bentuknya seperti apa? Apa itu sudah ada rencana tata ruangnya?” tanya Lingga.
Ketua DPRD yang juga Ketua DPC PDI Perjuangan Pematangsiantar ini bertambah pusing dengan rencana pemko membangun sebuah institut negeri di sebelah jalan tembus Sutomo-Pane, sebagai bagian dari ruislag SMA Negeri 4 dan SD Negeri 122350. “Lho, kapan rencana itu diusulkan dan direncanakan sebagai bagian dari ruislag? Kenapa DPRD tidak tahu?” kata Lingga.
Lingga bertambah heran karena tanah yang direncanakan untuk dibangun institut tersebut adalah tanah negara. “Yang benar, dong!” katanya.
Dia meminta Pemko Siantar tidak asal ngomong mendirikan sebuah institut. Menurutnya membangun sebuah perguruan tinggi tidak mudah. “Yang jelas pembangunan apapun itu, pendirian apapun itu, tanpa konsep yang telah dikaji akan sia-sia. Seperti membangun rumah di atas pasir, tanpa pondasi. DPRD siap mendukung apa yang dilakukan pemko tetapi dengan syarat harus disosialisasikan dulu bukan langsung asal ngomong,” katanya.
Dia menambahkan mari kita arif dan bijaksana dalam membuat sebuah kuputusan. “Sekarang pertanyaan kepada kita, sudahkah ada study kelayakan untuk itu? Apa dasar dan latar belakang pembangunan (institut) tersebut. Apa ada termasuk dalam rencana kerja pemko sebelumnya? Apa sudah ada kajian dari Dikjar? Bagaimana dengan kurikulum, operasional, masa depan sekolah dan murid?” tanya Lingga.
Agar tidak menimbulkan persepsi yang keliru di masyarakat, Lingga meminta Walikota RE Siahaan tidak asal ngomong. “Permohonannya saja tidak ada. Dosen siapa yang menggaji? Masih banyak hal yang perlu dipertanyakan. Dibangun di atas tanah mana? Bagaimana tata kelola kepemilikan dan hak kelola bangunan? Saya minta kita berpikir sehat untuk kemajuan Siantar ke depan. Pemko diminta mempelajari dengan benar agar rencana tersebut lebih baik dan bermanfaat,”ucap Lingga. (fetra)
Kebakaran Di Merek Raya
7 Rumah Hangus, 1 Dibongkar Paksa
SIMALUNGUN-SK: Tujuh rumah hangus terbakar di Nagori Merek Raya, Kecamatan Raya, Simalungun, Jumat (1/8). Informasi yang dihimpun dari lokasi, kebakaran terjadi pukul 10.00 Wib. Akibatnya, delapan kepala keluarga kehilangan tempat tinggal. Walaupun tak menimbulkan korban jiwa, namun kejadian tersebut sangat mengejutkan warga.
Tujuh rumah yang terbakar adalah bengkel las milik Risjon Saragih, rumah milik Jonathan Sinaga, Berman Purba, Lesmen Damanik, P.br Damanik, Jolden Saragih. Api cepat membesar karena jauhnya jarak sumber air dari lokasi kebakaran. Selain itu saat api mulai muncul, warga sedang bekerja di ladang sehingga tidak segera tahu terjadi kebakaran. Apalagi, saat itu matahari bersinar cukup terik dan angin berhembus kencang, membuat kobaran api semakin merajalela sehingga semakin sulit untuk dijinakkan.
Warga di sekitar tempat kejadian berusaha memadamkan api dengan mengangkat air dari rumah masing-masing. Namun usaha ini tak banyak membantu karena api cepat menyebar. Beberapa pemilik rumah yang terbakar berteriak histeris dan bahkan ada yang jatuh pingsan.
Untuk menghindari lebih banyak memakan korban, karena api cepat menyebar, warga terpaksa membongkar dengan paksa rumah milik Jahurdin Saragih. Sekitar pukul 12.00 WIB, kobaran si jago merah dapat dijinakkan oleh tiga unit mobil pemadam kebakaran.
Asal api diduga berasal dari rumah milik Kiti yang disewa oleh Jolden Damanik dan digunakan sebagai tempat servis barang elektronik. “Kobaran api diduga berasal dari sebuah televisi yang berada berada di dalam salah rumah. Mungkin sebelum meninggalkan rumah stop kontak lupa dicabut dan terjadi korsleting (hubungan arus pendek),” ungkap salah seorang warga yang tak mau disebut namanya.
Sementara itu, Pangulu Nagori Merek Raya Jatam Purba mengatakan belum mengetahui asal kobaran api. Jatam hanya menyebut kebakaran ini menimbulkan kerugian besar bagi korban karena hampir seluruh barang yang di dalam rumah hangus terbakar, termasuk beberapa mesin dan satu unit sepeda motor. “Kerugian ditaksir lebih dari satu miliar rupiah,” katanya.
Buntut dari kebakaran itu, Partuha Maujana Simalungun (PMS) Nagori Merek Raya Jariah Damanik dan pengulu nagori Jatam Purba mengumpulkan para korban kebakaran untuk bermusyawarah. Dalam pertemuan itu disepakati, pemilik rumah sumber kebakaran membuat surat pernyataan maaf pada semua korban. Disepakati juga agar kejadian tersebut biarlah berlalu tak perlu saling menuntut. Selain itu, PMS dan pangulu nagori juga melakukan penggalangan dana membantu korban. (duan/s. wilson)
Ratusan Siswa SMAN 4 Unjukrasa Tolak Ruislag
SIANTAR-SK: Ratusan siswa SMA Negeri 4 Pematangsiantar menggelar unjukrasa di halaman Gedung DPRD Siantar, Jumat (1/8), menolak rencana ruislag gedung sekolah mereka dan menolak perpindahan lokasi belajar dari Jalan Pattimura ke Jalan Gunung Sibayak, Siantar Selatan.
Lengkap dengan atribut pramuka, para siswa tersebut memulai unjukrasa saat siswa kelas XI dan XII (kelas 2 dan 3) melakukan orasi di halaman SMAN 4 Jalan Pattimura. Selanjutnya mereka melakukan long march sepanjang Jalan Sutomo, berbelok melalui Jalan Imam Bonjol tembus Jalan Pane, menuju lokasi gedung sekolah milik swasta di Jalan Gunung Sibayak yang untuk sementara dipinjam dan digunakan oleh SMAN 4 untuk lokasi belajar kelas X (kelas 1). Selanjutnya, dari Jalan Sibayak, seluruh siswa tersebut dengan berjalan kaki menuju Gedung DPRD Siantar di Jalan Merdeka.
Aksi unjukrasa ini merupakan buntut dari kebijakan Pemko Pematangsiantar melalui Dispenjar (Dinas Pendidikan dan Pengajaran) yang memindahkan lokasi lokasi belajar siswa kelas X dari Jalan Patimura ke Jalan Gunung Sibayak. Bagi mereka, perpindahan siswa hanya untuk kepentingan kelompok tertentu. “Sekolah Kami Bukan Tempat Nyari Duit”, demikian salah satu tulisan yang tertera dalam poster yang dibawa para siswa tersebut.
Anehnya, saat unjukrasa berlangsung tak satupun anggota DPRD, terutama dari Komsisi II yang membidangi masalah pendidikan, menunjukkan batang hidungnya. Hal ini menambah kekesalan siswa yang unjukrasa. Apalagi saat itu, kondisi cuaca sangat panas. Sejumlah kalangan dan pemerhati pendidikan di Pematangsiantar pun mencibir ketidakhadiran anggota DPRD ini. Ada yang menyebut, beberapa anggota DPRD telah mendapat suap dari uang ruislag sehingga tak berani menampakkan batang hidungnya.
Akhirnya setelah ditunggu beberapa lama, beberapa anggota Komisi II mulai menampakkan batang hidungnya. Ronald Darwin Tampubolon tampak hadir menerima kedatangan para pendemo diikuti anggota DPRD lainnya yakni Grace Cristiane, Aroni Zendrato, Julian Martin, dan juga Ketua DPRD Lingga Napitupulu.
Grace Cristiane mewakili DPRD mengatakan DPRD akan tetap memperjuangkan apa yang telah diaspirasikan oleh siswa namun diminta kepada para siswa agar jangan melakukan tindakan konyol. “DPRD tidak akan mendiamkan kebijakan yang tidak benar. Namun demikian tugas kalian adalah belajar, biar kami yang akan menyelesaikan apa yang menjadi keinginan dan harapan kalian,” papar Grace.
Merasa kurang puas dengan jawaban yang diberikan, para pengunjukrasa kemudian meminta DPRD jangan hanya berupaya dan berjanji namun harus memberikan bukti yang nyata bagi mereka.
Ketua DPRD Pematangsiantar Lingga Napitupulu kemudian dengan spontan meraih toa (alat pengeras suara, red) dan memanggil Sekretaris Dewan agar saat itu juga melayangkan surat kepada Walikota Pematangsiantar, Kadis Penjar dan beberapa instansi terkait dan orangtua siswa untuk menghadiri pertemuan yang akan dilaksanakan pada Senin (4/8), guna membahas permasalahan tersebut di Gedung DPRD Pematangsianta. Mendapat jawaban dari Lingga, para pengunjukrasa langsung bertepuk riuh. Puas dengan tuntutan dan keinginan mereka, setengah jam berselang dengan tertib para pengunjukrasa membubarkan diri.
Kepala Sekolah SMAN 4, DR Gultom mengatakan berdasarkan pengamatannya jumlah siswa yang setuju sekolahnya dipindahkan ke Jalan Gunung Sibayak lebih banyak daripada siswa yang tidak setuju perpindahan. “Kira-kira 60 persen berbanding 40 persen,” ujar Gultom saat ditemui di ruang kerjanya, Jumat (1/8).
Gultom mengakui sebelum melakukan unjukrasa, dia telah mencoba melakukan dialog dengan para siswa. Hasil dialog, kata Gultom, dia berjanji akan mendapingi siswa melakukan pertemuan dengan Dispenjar. “Namun ternyata upaya dialog yang saya bangun sama sekali tidak dihargai oleh siswa pengunjuk rasa. Mereka memaksa keluar dan berangkat ke Jalan Gunung Sibayak. Meski tidak dihargai, saya tidak akan menerbitkan surat peringatan bagi siswa yang bolos sekolah untuk berunjukrasa ke gedung dewan,” ujar Gultom.
Sedangkan kepada guru yang ikut menolak perpindahan, Gultom juga berjanji tidak akan memberikan teguran. “Hal itu berlaku bila, guru guru tersebut tidak menghambat proses belajar dan mengajar di SMAN 4,” katanya.
Di tempat terpisah, Ketua PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) cabang Pematangsiantar, Daniel Siregar, mengatakan, mayoritas guru di SMAN 4 merasa puas bila mengajar di gedung Jalan Gunung Sibayak. “Karena memang tempatnya lebih tenang dan bebas dari kebisingan lalu lintas,” sebutnya.
Karenanya, Daniel Siregar menaruh rasa curiga terhadap aksi yang dilakukan sejumlah siswa yang berunjukrasa menolak perpindahan. Kecurigaan itu semakin bertambah seiring dengan melencengnya sejumlah siswa dari kesepakatan yang telah dilakukan antara kepala sekolah dengan siswa pengunjukrasa. “Kenapa siswa bisa lari dari kesepakatan? Ada apa ini?” tanya Daniel. (fet/daud)
Lengkap dengan atribut pramuka, para siswa tersebut memulai unjukrasa saat siswa kelas XI dan XII (kelas 2 dan 3) melakukan orasi di halaman SMAN 4 Jalan Pattimura. Selanjutnya mereka melakukan long march sepanjang Jalan Sutomo, berbelok melalui Jalan Imam Bonjol tembus Jalan Pane, menuju lokasi gedung sekolah milik swasta di Jalan Gunung Sibayak yang untuk sementara dipinjam dan digunakan oleh SMAN 4 untuk lokasi belajar kelas X (kelas 1). Selanjutnya, dari Jalan Sibayak, seluruh siswa tersebut dengan berjalan kaki menuju Gedung DPRD Siantar di Jalan Merdeka.
Aksi unjukrasa ini merupakan buntut dari kebijakan Pemko Pematangsiantar melalui Dispenjar (Dinas Pendidikan dan Pengajaran) yang memindahkan lokasi lokasi belajar siswa kelas X dari Jalan Patimura ke Jalan Gunung Sibayak. Bagi mereka, perpindahan siswa hanya untuk kepentingan kelompok tertentu. “Sekolah Kami Bukan Tempat Nyari Duit”, demikian salah satu tulisan yang tertera dalam poster yang dibawa para siswa tersebut.
Anehnya, saat unjukrasa berlangsung tak satupun anggota DPRD, terutama dari Komsisi II yang membidangi masalah pendidikan, menunjukkan batang hidungnya. Hal ini menambah kekesalan siswa yang unjukrasa. Apalagi saat itu, kondisi cuaca sangat panas. Sejumlah kalangan dan pemerhati pendidikan di Pematangsiantar pun mencibir ketidakhadiran anggota DPRD ini. Ada yang menyebut, beberapa anggota DPRD telah mendapat suap dari uang ruislag sehingga tak berani menampakkan batang hidungnya.
Akhirnya setelah ditunggu beberapa lama, beberapa anggota Komisi II mulai menampakkan batang hidungnya. Ronald Darwin Tampubolon tampak hadir menerima kedatangan para pendemo diikuti anggota DPRD lainnya yakni Grace Cristiane, Aroni Zendrato, Julian Martin, dan juga Ketua DPRD Lingga Napitupulu.
Grace Cristiane mewakili DPRD mengatakan DPRD akan tetap memperjuangkan apa yang telah diaspirasikan oleh siswa namun diminta kepada para siswa agar jangan melakukan tindakan konyol. “DPRD tidak akan mendiamkan kebijakan yang tidak benar. Namun demikian tugas kalian adalah belajar, biar kami yang akan menyelesaikan apa yang menjadi keinginan dan harapan kalian,” papar Grace.
Merasa kurang puas dengan jawaban yang diberikan, para pengunjukrasa kemudian meminta DPRD jangan hanya berupaya dan berjanji namun harus memberikan bukti yang nyata bagi mereka.
Ketua DPRD Pematangsiantar Lingga Napitupulu kemudian dengan spontan meraih toa (alat pengeras suara, red) dan memanggil Sekretaris Dewan agar saat itu juga melayangkan surat kepada Walikota Pematangsiantar, Kadis Penjar dan beberapa instansi terkait dan orangtua siswa untuk menghadiri pertemuan yang akan dilaksanakan pada Senin (4/8), guna membahas permasalahan tersebut di Gedung DPRD Pematangsianta. Mendapat jawaban dari Lingga, para pengunjukrasa langsung bertepuk riuh. Puas dengan tuntutan dan keinginan mereka, setengah jam berselang dengan tertib para pengunjukrasa membubarkan diri.
Kepala Sekolah SMAN 4, DR Gultom mengatakan berdasarkan pengamatannya jumlah siswa yang setuju sekolahnya dipindahkan ke Jalan Gunung Sibayak lebih banyak daripada siswa yang tidak setuju perpindahan. “Kira-kira 60 persen berbanding 40 persen,” ujar Gultom saat ditemui di ruang kerjanya, Jumat (1/8).
Gultom mengakui sebelum melakukan unjukrasa, dia telah mencoba melakukan dialog dengan para siswa. Hasil dialog, kata Gultom, dia berjanji akan mendapingi siswa melakukan pertemuan dengan Dispenjar. “Namun ternyata upaya dialog yang saya bangun sama sekali tidak dihargai oleh siswa pengunjuk rasa. Mereka memaksa keluar dan berangkat ke Jalan Gunung Sibayak. Meski tidak dihargai, saya tidak akan menerbitkan surat peringatan bagi siswa yang bolos sekolah untuk berunjukrasa ke gedung dewan,” ujar Gultom.
Sedangkan kepada guru yang ikut menolak perpindahan, Gultom juga berjanji tidak akan memberikan teguran. “Hal itu berlaku bila, guru guru tersebut tidak menghambat proses belajar dan mengajar di SMAN 4,” katanya.
Di tempat terpisah, Ketua PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) cabang Pematangsiantar, Daniel Siregar, mengatakan, mayoritas guru di SMAN 4 merasa puas bila mengajar di gedung Jalan Gunung Sibayak. “Karena memang tempatnya lebih tenang dan bebas dari kebisingan lalu lintas,” sebutnya.
Karenanya, Daniel Siregar menaruh rasa curiga terhadap aksi yang dilakukan sejumlah siswa yang berunjukrasa menolak perpindahan. Kecurigaan itu semakin bertambah seiring dengan melencengnya sejumlah siswa dari kesepakatan yang telah dilakukan antara kepala sekolah dengan siswa pengunjukrasa. “Kenapa siswa bisa lari dari kesepakatan? Ada apa ini?” tanya Daniel. (fet/daud)
Langganan:
Postingan (Atom)