30 Agustus, 2008

Perang dan Optimisme jadi Wakil Rakyat

Oleh: Fetra Tumanggor

Selasa (19/8), batas terakhir penyerahan daftar calon legislatif (caleg) di seluruh Indonesia, termasuk di Pematangsiantar. Genderang perang untuk memperebutkan suara pemilih pun secara resmi mulai ditabuh. Namun, jauh sebelum ini perang sebenarnya sudah dimulai.
Apa perangnya? Tak lain adalah saling sikut, saling sikat, saling ancam, dan saling unjuk diri sebagai kader kecap nomor satu ke pimpinan parpol agar mendapat jatah nomor jadi dalam daftar caleg yang diserahkan ke KPU. Pimpinan parpol pun diuji oleh publik. Diuji apakah pimpinan parpol responsif dan memperhatikan suara-suara masyarakat bahwa caleg A, B, C, dan D patut diberi nomor urut jadi.
Juga, apakah pimpinan parpol peduli suara-suara arus bawah konstituennya bahwa caleg E, F, G, dan H tidak cukup punya moral yang layak untuk diberangkatkan menjadi wakil rakyat. Istilah ''perang'' memang patut dilontarkan untuk menjelaskan perburuan kursi parlemen. Sebab, dalam politik, tidak ada kekuasaan yang bisa diperoleh dengan gratis. Sekali lagi, tidak ada tiket gratis.
Dalam tahap perjuangan untuk mendapatkan nomor urut jadi itu, sulit dibedakan mana kawan dan mana lawan. Kawan karib antarcaleg berubah jadi musuh ketika mereka bersaing berebut nomor urut jadi. Di sini pula patut diragukan pimpinan parpol bisa menggunakan jejaring moral untuk perekrutan calegnya. Moral bisa jadi disingkirkan jika justru mengancam perolehan suara parpol dalam Pemilu 2009.
Kader parpol bermoral tinggi percuma direkrut menjadi caleg jika tidak memiliki massa. Tak ada gunanya di-anakemaskan untuk dicalegkan jika yang bersangkutan tak punya basis massa yang bisa dijadikan tambang perolehan suara parpol. Sebaliknya, kader yang tak bermoral baik bisa menjadi anak emas parpol jika yang bersangkutan punya uang dan berani membayar besar.
Kader yang loyal juga tak menjamin mulus dapat nomor jadi. Dia bisa tersingkir oleh orang luar atau pengurus partai yang sebelumnya bukan siapa-siapa namun punya uang. Dalam peta pencalegan ini, bisa dilihat jelas bahwa pengaderan parpol amat amburadul. Karena itu pula, tidak perlu berharap bahwa hasil Pemilu 2009 akan lebih baik daripada yang sekarang.
Rabu (20/8), saya sengaja datang lebih pagi ke Kedai Kopi Morsun di Jalan Cipto. Saat tiba, seluruh meja sudah terisi penuh. Saya lalu mengambil tempat duduk bersama dengan beberapa kader Partai PDI Perjuangan Pematangsiantar. Kebetulan dua diantara mereka adalah caleg, namun bukan nomor jadi. Tergurat wajah kecewa yang mendalam karena tak ditempatkan di nomor jadi.
Salah seorang diantaranya, saya tak usah menyebut nama, secara jelas menyebut kekecewaannya. “Jelas kecewa ditempatkan di nomor x (maaf, tidak usah saya sebutkan nomornya). Saya sebelumnya yakin dapat nomor jadi namun tiba-tiba jadi seperti ini,” ujarnya.
Uniknya, di balik rasa kecewa, dia optimis duduk di DPRD melalui 30 persen dari bilangan pembagi pemilih (BPP). “Saya punya basis massa dan saya yakin dapat suara lebih dari 30%,” ujarnya.
Selain yakin jadi anggota DPRD, dia juga bertekad akan membesarkan PDI Perjuangan dengan kerja kerasnya selama kampanye. “Saya akan buktikan bisa membesarkan partai ini,” katanya.
Pagi itu obrolan di kedai kopi itu tak jauh dari proses pancalegan tersebut. Di beberapa meja, saya mendengar juga optimisme beberapa caleg akan melenggang menjadi anggota DPRD, terutama dari beberapa partai yang menerapkan sistem proporsional terbuka atau suara terbanyak. Keyakinan ini memunculkan eforia seakan-akan kursi DPRD sudah dalam genggaman. Benarkah?
Di atas kertas, aturan internal parpol yang akan memberangkatkan calegnya ke kursi DPRD atau DPR menggunakan perolehan suara terbanyak caleg di daerah pemilihan (dapil) masing-masing memang bisa saja dilakukan. Hanya, harap diingat, KPU tak bakal menggubris aturan internal parpol. Untuk memastikan caleg menjadi anggota DPRD atau tidak, KPU hanya berpedoman pada UU No 10/2008 bahwa caleg yang otomatis lolos menjadi wakil rakyat sedikitnya memperoleh 30 persen dari BPP. Jika tidak ada caleg yang memperoleh 30 persen suara dari BPP, yang berlaku adalah nomor urut dalam daftar caleg. Selesai.
Lagi pula, KPU akan punya banyak pekerjaan tambahan yang tidak perlu jika harus menunggu perolehan suara terbanyak dan kesepakatan internal parpol. Belum lagi masih ada gugatan dari caleg yang gagal ke pimpinan parpolnya. Karena itu, lebih baik melihat fakta, benarkah punya basis massa? Kalau tidak silahkan bekerja keras atau hanya sekadar jadi pecundang. ***