30 Agustus, 2008

Jauhkan DPRD Siantar dari Demo-crazy

Oleh: Fetra Tumanggor

Menjelang Pemilu 2009, dan di tengah penyusunan daftar caleg oleh masing-masing partai, ada yang menarik dari konstelasi perpolitikan di DPRD Pematangsiantar saat ini. Sejak awal memang 30 anggota DPRD Pematangsiantar ini secara tersirat bisa disebut terbagi dalam dua kubu, yang pro eksekutif dan yang pro DPRD.
Kini, garis pemisah tersebut semakin jelas. Namun yang menarik, beberapa anggota DPRD yang dulu ada di pihak eksekutif kini beralih ke pihak DPRD. Sebaliknya, beberapa yang dulu di DPRD kini secara jelas memihak eksekutif. Mereka yang dulunya abu-abu pun kini secara jelas menunjukkan dimana kakinya berada. Akibatnya kini suhu di DPRD mulai memanas.
Namun, jangan salah, pertarungan dua kubu ini sama sekali bukan untuk kepentingan rakyat. Kalau demi kepentingan rakyat, kenapa baru sekarang mereka berteriak, di saat Pemilu mendekat? Kenapa tak dari dulu ada hak angket? Kenapa mereka berteriak bahwa Walikota RE Siahaan telah menjerumuskan kota ini ke lembah kekelaman namun tak ada usaha mereka memanggil RE Siahaan? Apakah cukup hanya berteriak?
Harus diakui, reformasi 10 tahun telah membawa perubahan sikap terhadap wakil rakyat. Ada yang positif, dimana anggota DPRD kini tak lagi hanya penyambung lidah eksekutif. Namun tak sedikit pula yang memunculkan citra makin negatif. Bagaimanapun kondisinya, dari sekarang kita harus punya satu sikap: bersihkan DPRD dari ‘kotoran’.
Penyanyi balada Iwan Fals pernah mengkritik keras wakil rakyat di era Orde Baru. Intinya, Wakil Rakyat, begitu judul lagunya, sama sekali tak mencerminkan utusan penduduk Indonesia. Malas –karena itu tak kreatif, penurut, dan cenderung menjadi tukang stempel saja.
Kini, cap itu sudah berubah. Sepuluh tahun reformasi memunculkan wajah baru wakil rakyat. Mereka lebih terbuka dan lebih lantang dalam menyoroti kinerja pemerintahan. Sayangnya, penguatan tugas dan fungsi DPRD disalahgunakan oleh para politisi yang duduk di DPRD. Sejumlah politisi yang rajin berteriak ternyata banyak menerima upeti dari lembaga eksekutif. Mereka pun asyik dengan permainan-permainan kotor.
Kondisi tersebut terjadi karena lembaga DPRD di era reformasi belum cukup dewasa. DPRD belum cukup mampu menghilangkan anasir-anasir korup yang ditinggalkan rezim Orde Baru. Bahkan lebih parah. Ibarat penyakit, saat ini DPRD terkena penyakit akut peninggalan masa lalu (Orba). Penyakit itu adalah korupsi dan segudang permainan antara DPRD dan eksekutif.
Mau contoh? Berapa banyak anggota DPRD yang memasukkan proposal ke Pemko Siantar dengan dalih bantuan ini-itu. Atau bagaimana anggota DPRD menjadi calo proyek, calo penerimaan siswa baru, dan calo-calo lainnya.
Menjelang pemilu seperti saat ini, ada prediksi praktik-praktik kotor kalangan politisi akan semakin menggila. Atau setidaknya, banyak praktik komersialisasi politik. Demokrasi memang tidak bisa dilepaskan dari transaksi, antara yang memilih dan yang dipilih. Tetapi, di dalam demokrasi yang sehat, transaksi itu tidak berwujud material yang diberikan kepada pribadi-pribadi, melainkan kepada masyarakat umum (publik). Yang terakhir ini, misalnya, berbentuk ikatan tentang kebijakan-kebijakan yang akan dibuat manakala calon tersebut benar-benar terpilih.
Transaksi material mungkin bisa mengarah kepada kehidupan demokrasi yang tidak sehat. Pertama, transaksi itu bersifat sesaat: calon memberikan sesuatu dan penerima memilihnya. Setelah itu, bisa selesai begitu saja. Konsekuensinya, disconnect electoral terjadi.
Kedua, perilaku transaksional semacam itu cenderung hanya membuka ruang kepada orang-orang yang memiliki kekayaan besar saja yang berkesempatan menjadi elite. Minimal, hanya memberikan ruang kepada calon yang mampu mengumpulkan sumbangan dari orang-orang berduit saja.
Karena itu, demokrasi juga butuh kontrol sosial dari pers, LSM dan civil society agar tidak diselewengkan menjadi demo-crazy. Kita sudah lelah dengan banyolan dan kekonyolan politisi DPRD Siantar ini.
Kita harus memperbaiki semua itu, dengan kerja keras, dan membutuhkan energi dan proses waktu. Oleh karenanya, kita perlu optimistis untuk itu agar demokrasi bisa menyejahterakan rakyat. ***