Buntut Pembatalan NIP 19 PNS Siluman oleh BKN
Lingga juga meminta pemko agar tidak mengajukan dan mencantunkan nama 19 PNS tersebut dalam pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2008.
“Dengan banyaknya desakan masyarakat terhadap kasus ini, pemko tidak boleh menampung nama mereka dalam anggaran,” jelasnya.
Sementara itu anggota DPRD Grace br Saragih menilai Walikota RE Siahaan tidak tunduk kepada keputusan BKN. Grace berpendapat kasus CPNS Gate Siantar telah menjadi konspirasi pembangkangan hukum dan tata aturan negara.
“Buktinya kepala BKD diam saja. Ini namanya arogansi, harusnya BKN turun langsung menuntaskan kasus ini,” tandasnya.
Jika walikota tetap membangkang, Grace menyarankan aparat penegak hukum perlu dikerahkan dalam penyelesaian kasus PNS tersebut. “Ada yang merusak tata hukum negara ini, kenapa dibiarkan,” paparnya.
Grace juga mengungkapkan keprihatinannya terhadap 19 PNS ilegal yang sejauh ini tidak mengundurkan diri, walapun sudah terbukti pengangkatan mereka tidak sesuai mekanisme yang berlaku berdasarkan surat BKN. Hal tersebut sangat bertentangan dengan sebagian orang tua 19 PNS yang merupakan aparat birokrasi pemko Siantar.
“Tindakan mereka sangat memalukan, tidak mempunyai etika dan moralitasnya sangat rendah,” ujarnya.
Sedangkan surat BKN mengenai pembatalan Nomor Induk Pegawai (NIP) terkait tuntutan di Pengadilan Negeri Siantar, menurut Grace tindakan BKN hanya untuk membebaskan diri dari tuntutan tersebut. Ini dilakukan dengan dalih BKN telah membatalkan NIP 19 PNS jauh sebelumnya.
“Faktanya sudah tiga bulan berjalan pemko belum juga menindaklanjuti surat BKN tersebut,” terangnya.
Grace juga mempertanyakan kinerja para penyelenggara pemerintahan di Siantar. Dia menilai tindakan tersebut telah membuat kota ini menjadi amburadul. Diungkapkannya pemko tidak bertanggungjawab dalam mengurus Siantar.
“Ngurus kota ini saja tidak becus apalagi mau jadi gubernur, ganti saja nama kota ini jadi kota Benar Benar Mabuk (BBM),” katanya.
Politisi dari partai PIB tersebut juga mengungkapkan keheranannya terhadap DPRD, kepolisian, kejaksaan dan pengadilan terhadap nasib kota Siantar.
Dia juga mempertanyakan komisi I mengenai reaksinya terhadap kasus PNS tersebut.
“Saya masih menunggu kapan komisi I memanggil BKD soal surat BKN mengenai 19 PNS illegal tersebut,” tandasnya.
Sementara itu, Rahab Siadari selaku Ketua LSM Komunitas Pendukung Amanah Keadilan (Kompak), saat dikonfirmasi melalui telepon selulernya, mengatakan bahwa kasus CPNS Gate 2005 tidaklah sulit, hanya perlu keseriusan dan kesungguhan dari aparat penegak hukum. “Sebenarnya setelah adanya surat dari BKN yang memintakan Walikota Pematangsiantar untuk segera melakukan pemecatan terhadap 19 PNS Siluman tersebut adalah bukti atas kecurangan yang dilakukan oleh orang nomor satu di daerah ini,” paparnya.
Dia menambahkan bahwa ke-19 orang tersebut juga layak menjadi tersangka atas kasus ini karena secara nyata dan sadar telah sudah menikmati uang negara yang bukan menjadi hak mereka, dan nyata telah melakukan pembohongan publik. “Jika Kapolres Simalungun tidak segera menuntaskan kasus ini, dalam waktu dekat Kompak akan mengadukan Kapolres Simalungun ke jenjang yang lebih tinggi lagi yakni ke Polda Sumatera Utara atau bahkan Ke Mabes Polri,” ujarnya.
Di lain pihak, Anggota Komisi IV DPRD Kota Pematangsiantar dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Muslimin Akbar, SH saat dimintai keterangannya mengatakan ijin presiden untuk memeriksa walikota seringkali dijadikan alasan untuk memperlama prosesn hukum dalam kasus ini. Hal ini mengacu pada Undang-Undang Pemerintahan Daerah Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 36 bahwa rentang waktu perijinan dari presiden dua bulan. Jika dalam kurun waktu tersebut, restu dari Presiden tak turun, penyidikan bisa dilanjutkan. “Namun kenyataan yang terjadi, masalah ijin presiden inilah yang dijadikan alat tarik ulur dan mengundur-undur pemeriksaan oleh pihak kejaksaan atau kepolisian terhadap Walikota Pematangsiantar,” ujar Muslimin.
Dia menambahkan ijin presiden seolah menjadi tameng atau kamuflase dalam penuntasan kasus korupsi, khususnya di Kota Pematangsiantar. Dengan alasan belum memperoleh ijin presiden, banyak kasus yang seharusnya dapat menjerat kepala daerah, akhirnya, melenggang tenang seolah tak bersalah.
Padahal dari gencarnya laporan dari berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat dan pemberitaan media massa, diduga terjadi manipulasi dalam seleksi penerimaan calon pegawai negeri sipil formasi tahun 2005, dimana terdapat enam orang calon pegawai negeri sipil yang tak ikut seleksi dan 13 orang yang tak lulus seleksi tetapi diusulkan mendapatkan nomor induk pegawai oleh Walikota Pematangsiantar ke Badan Kepegawaian Negara (BKN).
Ke-19 orang ini akhirnya mendapat nomor induk pegawai (NIP) dan memperoleh hak sebagaimana calon pegawai negeri sipil (CPNS) berupa gaji dan tunjangan. Setelah ada laporan dugaan manipulasi dari Lembaga Pengawas dan Pelaporan Aset Negara (Lepaskan) tanggal 4 Juni 2007, ternyata baru diterbitkan LP-nya (laporan polisi,red) awal Oktober 2007 dan ditindaklanjuti oleh surat Badan Kepegawaian Negara (BKN) Sebelumnya dengan surat No : 288.a /DIR.PP /PNS /CPNS /XII / 2007 tanggal 28 Desember 2007 ditandatangani Kepala BKN Deputi Bidang Bina Pengadaan Kepangkatan dan Pensiun Ub Direktur Pengadaan PNS I Nyoman Arsa NIP 260003950. Surat tersebut meminta walikota memecat 19 PNS sesuai aduan Lepaskan mengenai 19 CPNS yang diduga diangkat tidak sesuai dengan mekanisme yang berlaku. Selanjutnya BKN melakukan kajian berdasarkan daftar ranking hasil ujian CPNS Siantar yang diterima BKN dari Gubernur Sumatera Utara yang akhirnya meminta Walikota Pematangsiantar memberhentikan ke-19 orang sebagai PNS.
Selain itu dirinya juga mengatakan sudah menyurati pimpinan DPRD Kota Pematangsiantar agar melakukan pengawasan yang lebih ketat lagi terhadap kinerja pemerintah Kota Pematangsiantar yang menurutnya sudah sangat buruk, sarat dengan unsur Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN). (Jansen/Daud)