Dalam beberapa hari terakhir ini, muncul gugatan mengenai keterlibatan gereja dalam politik praktis dukung-mendukung calon gubernur Sumatera Utara. Mereka menggugat ‘ulah’ sebagian pendeta yang secara terang-terangan mengajak masyarakat untuk memilih calon tertentu. Yang lebih parah adalah klaim para pendeta itu yang menyebut calon yang mereka dukung adalah ‘pilihan Tuhan’.
Tak heran jika muncul komentar seperti dimuat di Harian Sinar Keadilan beberapa hari lalu dari seorang anggota jemaat “Oh, Tuhan, maafkanlah pendeta kami sebab dia tidak tahu apa yang terjadi di kota ini, yang dia tahu hanya proposal, sehingga kami sangat miskin. Tuhan berikan kami kekuatan apabila kami tidak mau lagi ke gereja tetapi kami tetap memujiMU”.
Sangat menyedihkan membaca komentar seperti itu. Jemaat yang kritis telah menjadi apatis terhadap wibawa para pendetanya. Anehnya, para pendeta tersebut tampaknya tak menyadari (atau pura-pura tak menyadari) kekonyolan mereka ini dan terus saja ikut sebagai tim sukses ‘berkampanye’ melalui mimbar gereja. Mungkin mereka menganggap para jemaat adalah orang-orang bodoh yang gampang diajak. Atau mungkin mereka masih tetap menganggap bahwa apa kata mereka juga adalah apa kata Tuhan.
Politik telah membuat para pendeta saat ini semakin tak lagi dihargai oleh jemaatnya. Ironisnya, calon gubernur yang diklaim sebagai ‘pilihan Tuhan’ tersebut pun tampaknya menikmati polemik ini karena memang sejatinya dialah aktor intelektual dari perdebatan ini.
Pesan Paskah 2008 Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), pantas menjadi sebuah renungan singkat di tengah situasi masyarakat Kristen di Sumut dalam polemik dukung-mendukung kandidat gubernur saat ini.
Pesan Paskah 2008 PGI yakni ‘Berakarlah di dalam Dia dan dibangun di atas Dia” (Kolose 2:7). Dalam pesan Paskah tersebut, PGI secara jelas menyebut Gereja-gereja dan umat Kristen di segala abad dan zaman, di segala tempat dan wilayah adalah persekutuan yang sepenuhnya terikat dan dipersekutukan di dalam Kristus. Gereja dan umat Kristen memiliki keterkaitan dan keterhubungan dengan Kristus, Raja dan Kepala Gereja. Firman Allah menyatakan “Karena tidak ada seorangpun yang dapat meletakkan dasar lain daripada dasar yang telah diletakkan yaitu Yesus Kristus” (1 Korintus 3:11). Yesus Kristus yang telah bangkit dan mengalahkan kuasa kematian itulah yang menjadi dasar dan fondamen Gereja serta kekristenan, sehingga Gereja dan kekristenan dapat teguh berdiri di tengah-tengah perubahan zaman dengan aneka tantangan di dalamnya. Tak akan pernah ada dasar lain yang dapat menggeser, mengubah atau menggantikan dasar dari Gereja dan kekristenan selain Yesus Kristus itu sendiri.
Inti dari Pesan Paskah PGI ini sangat jelas. Kristus menjadi dasar dan pondasi Gereja. Kristuslah yang memilih, bukan para pendeta. Jadi, tak ada sebuah klaim, bahkan oleh para pendeta sekalipun, yang bisa menyebut bahwa seseorang adalah ‘pilihan Tuhan’, hanya karena dia orang Kristen. Kristen yang bagaimana? Bertanggungjawabkah para pendeta tersebut jika ternyata nanti yang menang adalah kandidat yang ‘bukan pilihan Tuhan’? Mau dibawa kemana muka Tuhan jika ‘orang pilihanNya’ kalah dalam Pilgubsu?
Dalam Pesan Paskah tersebut, PGI mengatakan Kristus telah bangkit menghadirkan harapan-harapan baru bagi manusia dan dunia. Umat manusia umumnya, dan umat Kristiani khususnya, harus bangkit dan secara kreatif dinamik mengukir karya terbaik bagi sesama tanpa pamrih, dengan tidak mempertimbangkan suku, agama, ras dan antar golongan. Menurut PGI, Paskah harus mampu merubuhkan tembok-tembok pemisah yang berdiri kukuh membentengi kedirian manusia. Paskah harus mampu menumbuhkan potensi-potensi integratif dan menghancur-luluhkan virus-virus disintegratif yang menggerogoti masyarakat majemuk Indonesia.
Dalam Pesan Paskah ini, PGI secara jelas mengatakan Paskah harus membarui Gereja, agar Gereja memiliki kekuatan dan keberanian untuk mengatakan ya, di atas yang ya, dan tidak di atas yang tidak. Gereja harus lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia (Kisah Para Rasul 5:29). Gereja yang berakar dan dibangun di dalam Kristus adalah Gereja yang memiliki kekuatan dan kemauan untuk menjadi nabi pada zamannya tanpa ragu, takut dan gentar.
Gereja, dan juga pendeta, harus kembali ke ‘khittah’-nya, ke asalnya, sebagai tubuh Kristus yang terus memperbaharui diri untuk mewujudkan kehidupan yang berakar dan dibangun di dalam Kristus sehingga warga gereja tetap beriman teguh dalam menjawab tantangan global.
Mendukung seorang kandidat gubernur sah-sah saja. Namun, mengatasnamakan Gereja dan menggunakan atribut ‘kependetaan’ untuk mempengaruhi pemilih, merupakan tindakan yang sangat tidak bijaksana. Baiknya, para pendeta tersebut hanya sekadar memberikan rambu agar memilih calon yang bersikap dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai Kekristenan. Tak ada jaminan calon yang Kristen juga bersikap dan bertindak Kristiani sehingga tak ada juga keharusan untuk memilih mereka.
PGI sendiri secara jelas mengatakan semangat Paskah hendaknya menjadi sumber inspirasi untuk merajut relasi lintas agama yang makin bermutu, dan menjadi modal utama dalam perjuangan bersama bagi terwujudnya masyarakat majemuk Indonesia yang cerdas, berkeadaban, inklusif, adil dan demokratis.
Bagi para kandidat gubernur, berjuanglah dahulu. Jangan manfaatkan agama dan para pendeta sebagai senjata karena rakyat saat ini pun tak bodoh. Jika Anda benar-benar telah berjuang, yakinlah, perjuangan tak pernah sia-sia. PGI mengakhiri Pesan Paskahnya dengan menggarisbawahi Firman Allah: “Tetapi syukur kepada Allah, yang telah memberikan kepada kita kemenangan oleh Yesus Kristus, Tuhan kita. Karena itu, saudara-saudaraku yang kekasih, berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia.” (1 Korintus 15:57,58). Selamat Paskah (Fetra Tumanggor)