Oleh; Fetra Tumanggor
Siang itu, Senin (7/7), di Kedai Kopi Kawan (Morsun), hanya ada dua orang yang sedang mengopi. Saya mengambil duduk di meja paling sudut sembari memesan secangkir kopi kepada Morsun. Seperti biasa, saat kopi datang, dia juga menyodorkan beragam koran harian untuk dibaca.
Saya lalu membaca beberapa koran yang disodorkannya. Dari sekian berita yang saya baca, saya agak terusik dengan berita tentang hak angket DPRD Siantar di Harian Sinar Keadilan. Agak aneh memang, sebagai redaktur pelaksana sekaligus penanggungjawab Sinar Keadilan, toh saya sudah pasti lebih dulu tahu soal berita tersebut sebelum naik cetak. Kenapa saya harus terusik kembali dengan berita tersebut?
Saya terusik karena sebelumnya di Kantin DPRD masalah hak angket ini ramai dibicarakan kalangan wartawan. Yang paling ramai dibicarakan adalah DPRD mengajukan hak angket namun tak tahu agenda apa yang akan diangkat.
Saat kembali membaca berita tersebut, saya tak bisa mengerti, atas alasan apa hak angket tersebut diajukan? Kenapa mengajukan hak angket namun agenda yang dibahas tak jelas?
Dalam hati saya berpikir, jangan-jangan anggota DPRD ini tak tahu apa yang dimaksud dengan hak angket. Ada beberapa hal yang membuat saya agak yakin bahwa DPRD sebenarnya tak begitu mengerti tentang hak angket.
Hak angket DPRD jelas diatur dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004. Dalam pasal 32 undang-undang tersebut dalam ayat 1 dikatakan: ‘ Dalam hal kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah menghadapi krisis kepercayaan publik yang meluas karena dugaan melakukan tindak pidana dan melibatkan tanggungjawabnya, DPRD menggunakan hak angket untuk menanggapinya’.
DPRD memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Untuk melaksanakan fungsinya ini, DPRD memiliki hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.
Sekadar perbandingan dengan hak angket yang diajukan anggota DPR RI soal BBM. DPR menggunakan hak angket terkait kenaikan harga BBM. DPR merasa BBM tak sepantasnya dinaikkan pemerintah karena sebenarnya masalah utama bukan terletak pada harga minyak dunia yang melambung tinggi sehingga pemerintah harus mengurangi subsidi, namun terletak pada jalur distribusi yang dianggap banyak penyimpangan.
Kali ini DPR merasa perlu memakai hak angket karena hak ini sifatnya investigatif: menggali keterangan para ahli dan semua pihak terkait dengan produksi, distribusi, dan konsumsi bahan bakar minyak. Dengan memakai hak angket, diharapkan ada konklusi yang lebih obyektif, bukan asal kritis. Sebab, orientasi angket menyelidiki dan mencari solusi. Jadi lebih mendalam dan komprehensif ketimbang interpelasi.
Dalam konteks inilah relevansi hak angket BBM. Sebab, yang ingin diketahui DPR bukan sebatas mendengar apologi pemerintah, melainkan menguak lebih jauh ada apa sebenarnya di balik kebijakan minyak kita selama ini. Sebab, sejauh ini terlalu banyak hal terkait dengan BBM yang terkesan ditutup-tutupi. Tentang berapa biaya riil yang dikeluarkan Pertamina untuk mengolah minyak mentah per barel atau berapa sesungguhnya produksi dan konsumsi riil minyak kita, misalnya, tak ada yang tahu. Sementara total impor BBM dan produksi minyak kita secara teoretis melebihi total konsumsi. Ke mana sisanya? Maka, kenaikan harga BBM hanyalah pintu masuk guna menguak misteri itu.
Lantas bagaimana dengan hak angket DPRD Siantar? Itulah masalahnya. Mereka tak tahu dalam masalah apa hak angket ini diajukan. Jika merujuk pada Pasal 32 Ayat 1, seharusnya DPRD langsung saja membidik kasus yang jelas-jelas melibatkan walikota. Kasus 19 CPNS ilegal 2005 sebenarnya cukup telak melibatkan walikota. Badan Kepegawaian Negara (BKN) secara jelas telah mencabut Nomor Induk Pegawai (NIP) dari 19 orang tersebut dengan alasan pengangkatannya menyalahi aturan. Morris Silalahi yang waktu itu menjabat sekretaris panitia penerimaan pun telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Simalungun yang menyelidiki kasus ini. Walikota saat itu menjabat sebagai penanggungjawab.
Lebih jauh, dari 19 orang yang bermasalah tersebut, sebagian merupakan kroni langsung dari walikota. Jika dilihat UU No.32 tahun 2004 Pasal 28 jelas disebutkan Kepala daerah dan wakil kepala daerah dilarang membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan bagi diri, anggota keluarga, kroni, golongan tertentu, atau kelompok politiknya yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, merugikan kepentingan umum, dan meresahkan sekelompok masyarakat, atau mendiskriminasikan warga negara dan/atau golongan masyarakat lain.
Anggota DPRD Siantar tak perlu bingung menentukan agenda apa yang akan diajukan dalam hak angket ini. Seperti hak angket BBM oleh DPR RI, seharusnya proses penerimaan 19 CPNS ilegal tersebut menjadi pintu masuk untuk menguak misteri penyalahgunaan wewenang yang dilakukan walikota. Kenapa orang tak tak ikut ujian dan orang yang seharusnya tak lulus bisa diterima menjadi PNS?
Karena hak angket adalah hak untuk menyelidiki, maka DPRD bisa masuk jauh lebih ke dalam dengan melakukan investigasi, menggali keterangan dari semua yang terlibat dalam proses penerimaan tersebut, dan mengumpulkan data dan fakta yang ada.
Namun saya ragu, apakah DPRD mampu melakukan pekerjaan investigasi seperti itu? Karena jangankan menginvestigasi, menentukan agenda pun mereka tak mampu.
Lagipula, mekanisme pengambilan keputusan hak angket ini, sebenarnya DPRD menyalahi aturan. Dalam Pasal 32 Ayat 2 dikatakan: ‘ Penggunaan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir untuk melakukan penyelidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah’.
Hak angket DPRD Pematangsiantar disetujui melalui rapat paripurna DPRD, Jumat (4/7), dihadiri 18 dari 30 orang anggota DPRD saat ini. 12 orang tidak hadir dengan berbagai alasan.
Mekanisme pengambilan keputusan hak angket ini jelas telah menyalahi aturan. Sesuai ayat 2 jelas menyebut dihadiri sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota DPRD. Anggota DPRD Siantar berjumlah 30 orang dan ¾ dari 30 adalah 22,5 atau dibulatkan menjadi 22 orang. Artinya, mekanisme pengambilan keputusan untuk hak angket ini telah menyalahi aturan karena tak kuorum karena hanya dihadiri 18 dari yang seharusnya 22 orang untuk bisa sah.
Jadi menurut saya, hak angket DPRD Siantar ini adalah hak angket aneh! (***)