02 Juli, 2008

Ungkap Betapa Bobroknya Kinerja Walikota RE Siahaan dan Dugaan Penyelewengan Uang Negara

Rekomendasi Pansus DPRD Terhadap LKPj Walikota Siantar 2007

SIANTAR-SK: Panitia Khusus (Pansus) DPRD Pematangsiantar terhadap Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPj) Walikota Pematangsiantar 2007, telah menyerahkan hasil kerjanya kepada pimpinan DPRD, Selasa (1/7) lalu.
Sedikit mengagetkan adalah hasil pembahasan dan rekomendasi yang dibuat oleh pansus. Dari beragam permasalahan yang dibahas Pansus, terungkap betapa bobroknya kinerja Walikota Pematangsiantar RE Siahaan dan tak jelasnya laporan keuangan Pemko.
Sayangnya, beragam permasalahan dan temuan pansus, tak jelas tindaklanjutnya. Dugaan berbagai pihak yang menuding hasil rekomendasi tersebut digunakan sebagai alat bargaining atau menaikkan nilai tawar anggota DPRD terhadap Walikota semakin mendekati kebenaran. Apalagi, fotokopi rekomendasi pansus yang beredar di wartawan, tanpa tanda tangan ketua dan sekretaris pansus, berbeda jauh dengan rekomendasi aslinya yang ditandatangan ketua dan sekretaris, yang diperoleh Sinar Keadilan dari salah seorang anggota pansus.
Dalam rekomendasi yang beredar di wartawan, ada beberapa permasalahan dan temuan yang tak muncul. Padahal dalam rekomendasi aslinya, permasalahan dan temuan tersebut muncul. Tak jelas apa maksud dari hilangnya beberapa permasalahan dan temuan dalam fotokopi yang beredar di wartawan. Kuat dugaan beberapa hal sensitif, yang tak beredar di kalangan wartawan, digunakan sebagai alat bergaining kepada walikota.
Keanehan lainya dalam hasil kerja pansus adalah 12 rekomendasi yang mereka sampaikan. Jika dalam pembahasan ditemukan beragam permasalahan dan temuan yang mengarah kepada tindak pidana korupsi, namun dalam rekomendasi, tak satupun yang mengarah langsung kepada permintaan untuk mengarahkan hasil temuan untuk segera diselidiki aparat hukum. Semua rekomendasi sangat normatif yang hanya meminta agar walikota melakukan pembenahan. Hanya poin 12 dalam rekomendasi tersebut yang jelas meminta agar DPRD menggunakan hak angket menyikapi kinerja walikota. Namun, hak angket inipun diragukan apakah bisa terealisasi.
Ketua Pansus Aroni Zendrato membantah bahwa rekomendasi tersebut merupakan alat untuk menaikkan posisi tawar kepada walikota. Menurut Zendrato, hasil temuan dari pansus merupakan gambaran sesungguhnya dari kinerja walikota dan bukan dibuat untuk menaikkan nilai tawar.
Saat ditanyakan kenapa beberapa temuan yang sudah jelas mengarah pada tindak pidana korupsi tak langsung diteruskan saja kepada aparat hukum, Zendrato mengatakan paripurna yang akan diadakan Jumat (4/7) akan menentukan bagaimana tindaklanjut dari rekomendasi pansus.
Soal hak angket, Zendrato optimis akan segera terealisasi. Menurutnya sebagian besar anggota pansus sudah setuju diadakan hak angket dan sesuai ketentuan, hak angket bisa dilakukan jika minimal diusulkan oleh lima orang anggita DPRD.
Zendrato meminta pimpinan DPRD segera menampung aspirasi anggota soal hak angket ini. Saat ditanya kenapa mengharapkan persetujuan pimpinan DPRD sementara ketentuannya hak angket diusulkan dari bawah oleh anggota dan pimpinan DPRD hanya menyetujui jika telah sesuai aturan, Zendrato mencoba berkelit. Menurutnya, pimpinan DPRD tetap harus menawarkan usulan hak angket ini kepada anggota.
Sementara itu Ketua lembaga Study Otonomi Politik dan Demokrasi (SoPo) Siantar-Simalungun Kristian Silitonga menilai pengajuan hak angket hanya sebagai citra perbaikan diri wakil rakyat untuk target DPRD 2009. Menurutnya berbagai kasus seperti 19 CPNS ilegal 2005, dugaan korupsi dana sosial 2007 Rp 12,5 miliar, dan putusan Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) terhadap pembangunan bangsal RSU Djasamen Saragih, dijadikan pengalihan melalui hak angket untuk kepentingan politis.
“Pada prinsipnya kita setuju digunakan hak angket, tetapi dilihat dulu status persoalan dugaan kasus di Siantar, jadi ini tindakan sia- sia. Jelas kasus diatas sudah ditangani aparat hukum dan statusnya telah ditetapkan,” tukasnya.
Kristian mengatakan DPRD jangan latah menggunakan hak angket, karena berbagai kasus tersebut tergolong lama. Ia mempertanyakan mengapa DPRD tiba-tiba bersuara. Hal ini menimbulkan asumsi DPRD buang badan. Dikatakannya dewan jangan terjebak formalitas kelembagaan untuk memproses hak angket. “Jangan ada pengelabuan masalah, proses hukum dapat terkendala dengan hak tersebut. Jika terkait dugaan pelanggaran walikota, melalui peraturan sekarang saja sudah terbukti, mengapa repot melempar opini dan ada keraguan (hak angket) ini tidak murni,” paparnya.
Kristian menilai DPRD harusnya menggunakan tekanan politik kepada lembaga yang menangani sejumlah kasus dan tindakan konkrit mendesak penuntasan kasus tersebut. Ini sebagai langkah DPRD berfungsi dalam pengawasannya berkoordinasi mendesak penuntasan kasus. Namun dia pesimis jika melihat kinerja dewan selama ini, jika hal tersebut sekarang dipergunakan.
Dijelaskannya dalam konteks lokal, sejarahnya pengajuan hak angket belum pernah dapat menjatuhkan kepala daerah tetapi lebih kepada tindakan pelanggaran hukum yang dilakukan. Ini sesuai Undang- Undang (UU) Nomor 32 tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah pasal 32 dijelaskan penggunaan hak angket jika ditemukan pelanggaran maka proses penyelesaiannya diserahkan kepada aparat hukum. “Dapat terjadi kerancuan jika tidak ada ditemukan pelanggaran, bisa jadi penanganan hukum yang berjalan tidak jelas seiring hasil penyidikan DPRD,” ucapnya.
Kristian mengutarakan yang dilakukan dewan peningkatan penyelidikan dengan langkah strategis politik pada lembaga hukum, bukan memulai dari awal melakukan penyelidikan yang telah lama diketahui dewan. (fetra/jansen)