28 Juli, 2008

Hancurnya Pendidikan di Siantar (2)

Catatan Fetra Tumanggor

Senin (21/7) pagi, Radio CAS FM Pematangsiantar mengadakan talk show yang dipandu oleh Tigor Munthe. Materi yang dibahas mengenai percaloan dalam Penerimaan Siswa Baru (PSB) di sejumlah sekolah negeri di Pematangsiantar. Dalam pemberitaan Sinar Keadilan edisi Senin (21/7), yang juga dibahas dalam talk show tersebut, jelas disebut praktek percaloan tersebut melibatkan para pejabat Pemko Siantar dan anggota DPRD, salah satunya Janter Aruan, Ketua Komisi II yang membidangi masalah pendidikan.
Dalam talk show itu Janter ikut berbicara. Dalam kesempatan itu Janter secara tegas membantah dirinya sebagai calo dan mengambil keuntungan dalam PSB tersebut. Menurutnya, dia sama sekali bersih dari ajang calo-mencalo ini. Dia menambahkan banyak orang tak senang terhadap dirinya sehingga memberikan informasi menyesatkan, seperti dituduh menjadi calo.
Namun pernyataan Janter ini langsung disanggah oleh Rahab Siadari, salah seorang aktivis pendidikan di Siantar-Simalungun. Menurut Rahab, Janter pembohong besar. Rahab lalu membeberkan bukti dua tahun lalu anak Janter masuk ke SMA Negeri 2 Pematangsiantar dengan lompat pagar alias masuk secara ilegal. Tahun lalu, kata Rahab, kasus percaloan ini sudah dilaporkannya ke Janter sebagai Ketua Komisi II. Waktu itu, kata Rahab, Janter berjanji akan menindaklanjuti kasus percaloan tersebut dan meminta Kepala Dinas Pendidikan dan Pengajaran Pematangsiantar agar mengeluarkan siswa yang masuk lewat jalur belakang. “Kenyataannya, Janter hanya omong besar, pembual. Sampai saat ini kasus percaloan tahun 2007 tak pernah ditindaklanjuti dan kembali terulang tahun 2008,” ujar Rahab kepada Sinar Keadilan.
Percaloan dalam PSB memang seperti mengurai benang kusut. Namun demikian, praktek percaloan ini bisa dihentikan jika para pengambil keputusan di kota ini menegakkan aturan dengan tegas. Tetapi bagaimana menegakkan aturan jika para pengambil keputusan tersebut justru biang kerok dari masalah ini?
Percaloan dalam PSB ini memang bukan hal baru lagi. Setiap tahun hal ini selalu terjadi. Namun dari penelusuran yang dilakukan Sinar Keadilan, masalah ini sebenarnya bersumber dari keinginan para pejabat pemko dan anggota DPRD untuk mengambil keuntungan dengan memanfaatkan kedudukannya.
Seorang guru di sebuah SMA negeri yang tak bersedia disebut namanya memberikan data nama-nama siswa yang masuk sebagai titipan atau lewat jalur belakang. Sebagian besar nama tersebut merupakan titipan Walikota Pematangsiantar RE Siahaan dan beberapa anggota DPRD termasuk Janter Aruan.
Menurut guru tersebut, sulit bagi seorang kepala sekolah untuk menolak nama-nama titipan tersebut. “Bagaimana mungkin kepala sekolah bisa menolak nama yang dititipkan jika berasal dari walikota atau DPRD? Posisi kepala sekolah sangat dilematis dan wajar mereka stres,” ungkap guru tersebut.
Guru ini menambahkan sebenarnya beberapa kepala sekolah mencoba menghindari praktek percaloan ini dengan menghindar saat beberapa pejabat pemko, DPRD, tokoh masyarakat, atau wartawan datang ke sekolah. “Namun apa mau dikata, para pejabat itu memaksakan kehendaknya. Kepala sekolah benar-benar dalam posisi sulit,” ujarnya mencoba memberikan fakta yang sebenarnya.
Praktek percaloan ini memang menjadi lahan bisnis yang empuk bagi para pejabat pemko, anggota DPRD, LSM, dan beberapa wartawan. Fakta yang diperoleh Sinar Keadilan, satu siswa membayar satu sampai dua juta rupiah untuk bisa masuk ke sekolah negeri. Bayangkan, seorang anggota DPRD Siantar mempunyai calon titipan sampai 20 orang, berapa besar keuntungan yang diperolehnya? Dan itu hanya dari satu orang.
Tak aneh seperti di SMA Negeri 4 Pematangsiantar, sesuai pernyataan seorang guru di sana, jika awalnya jumlah murid yang masuk secara resmi sesuai ranking yang sah dalam PSB hanya 40 orang perkelas secara perlahan bertambah menjadi 48 orang perkelas. Di SMA tersebut ada sembilan kelas yang diterima. Jika sembilan dikali delapan, berarti ada 72 siswa yang masuk secara ilegal! Catatan, fakta ini baru terdapat di satu sekolah saja, dan di Siantar ada puluhan sekolah negeri.
Mengurai kisruhnya praktek percaloan dalam PSB di Siantar ini memang tak mudah seperti membalik telapak tangan. Banyak kepentingan yang bermain di dalamnya. Besarnya keuntungan yang diperoleh membuat PSB setiap tahun menjadi ajang yang diperebutkan banyak pihak. Namun sejatinya, jika semua pihak menyadari jika asas pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, seyogianya praktek semacam ini mulai ditinggalkan. Paling tidak, janganlah dunia pendidikan yang diobok-obok sebab anak-anak kita ada di dalamnya.