28 Juli, 2008

Hancurnya Pendidikan di Siantar

Catatan Fetra Tumanggor (1)

Dalam proses belajar di sekolah, siswa dibekali dengan keteladanan. Siswa diminta untuk meneladani guru, orangtua, pemimpin, tokoh masyarakat, atau pemuka agama. Namun apa jadinya jika mereka yang harusnya menjadi teladan tersebut justru menginjak-injak dunia pendidikan?
Realitas yang terjadi kini di dunia pendidikan di Pematangsiantar membuat banyak kalangan menjadi miris. Walikota, pejabat pemko, anggota DPRD, aktivis LSM, tokoh masyarakat, dan bahkan sejumlah pemuka agama, menjadi calo dalam Penerimaan Siswa Baru (PSB) di sejumlah sekolah negeri, baik SMP maupun SMA. Mereka memaksakan kehendaknya agar titipan mereka diterima di sekolah negeri meskipun nilai mereka tak memenuhi persyaratan.
Seperti diketahui, dalam PSB tahun ajaran baru 2008/2009 di sekolah negeri diterapkan sejumlah aturan. Dilakukan seleksi berdasarkan ranking sesuai jumlah yang mendaftar dan jumlah kelas yang tersedia. Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 41 tahun 2007 tentang Standar Proses, satu rombongan kelas (romkel) hanya boleh diisi maksimal 32 siswa. Memang peraturan ini diterapkan secara bertahap, artinya tak mengikat.
Namun di Siantar, seperti diungkapkan Ketua Dewan Pendidikan Kota (DPK) Pematangsiantar Armaya Siregar telah ada kesepakatan antara Dinas Pendidikan dan Pengajaran (Dispenjar), DPRD Siantar, Pemko Siantar, bersama DPK, Serikat Guru Swasta Indonesia (SGSI), dan Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS) mengenai jumlah siswa yang diterima di sekolah negeri. “Sesuai aturan jumlah siswa yang diterima 32 orang perkelas,” jelasnya.
Hanya satu hari setelah Masa Orientasi Studi (MOS) berakhir, mulai terkuak banyaknya titipan yang masuk ke sejumlah sekolah negeri. Jumlah siswa yang awalnya hanya 32 atau 40 secara perlahan mulai betambah dari hari ke hari. Pada akhirnya rata-rata satu kelas akan terisi 48 orang. Kesepakatan pun dilanggar.
Seorang guru SMA negeri yang tak mau disebut namanya kepada Sinar Keadilan mengungkapkan walikota, pejabat pemko, anggota DPRD, aktivis LSM, wartawan, dan bahkan pemuka agama, memaksa memasukkan orang-orang titipannya. Yang paling parah, mereka benar-benar menjadi calo dengan mengambil keuntungan dari siswa tersebut. Dari penelusuran Sinar Keadilan, terungkap satu siswa harus membayar antara satu sampai dua juta rupiah agar bisa masuk ke sekolah negeri. Bayangkan, dari penelusuran Sinar Keadilan juga, terkuak kalau siswa titipan di satu sekolah bisa mencapai 50 orang.
Dari beberapa sumber yang tak mau disebut namanya terungkap walikota dan beberapa anggota DPRD adalah calo yang paling banyak memasukkan titipannya.
Aktivis pendidikan di Siantar-Simalungun Rahab Siadari mengungkapkan keprihatinannya dalam percaloan dalam PSB ini. Dia mengakui masalah ini sudah terus berlangsung dari tahun ke tahun namun tak pernah ada tindakan apapun dari pemko maupun DPRD.
Namun keprihatinan Rahab dan mungkin banyak kalangan sulit mendapatkan solusi jika pengambil keputusan di Pemko Siantar, seperti walikota dan Kadis Penjar, dan DPRD justru menjadi pelaku utama dari kebobrokan sistem PSB ini.
PSB benar-benar telah menjadi ladang bisnis bagi banyak orang. Tak lagi terpikir bagi mereka mengedepankan kualitas pendidikan. Di otak mereka hanya bagaimana mengeruk keuntungan dari PSB ini.
Saat dikonfirmasi mengenai percaloan dalam PSB ini, mereka yang terlibat di dalamnya menutup mulutnya rapat-rapat. Kepala Dinas Pendidikan dan Pengajaran (Kadis Penjar) Hodden Simarmata saat dihubungi Sinar Keadilan hanya mengatakan tak ada masalah dalam PSB ini. “Tak ada masalah, semuanya baik-baik saja,” ujarnya singkat.
Padahal, seperti diungkapkan beberapa sumber, tokoh sentral dalam percaloan PSB ini justru Hodden. Menurut seorang guru, jumlah dan nama-nama yang boleh diterima di sebuah sekolah, semuanya atas persetujuan Hodden sebagai kepala dinas. “Modusnya, komite sekolah merangkum semua nama titipan lalu diserahkan kepada kepala sekolah. Dari kepala sekolah diserahkan kepada kepala dinas dan kemudian kepala dinas melakukan persetujuan dan kemudian diturunkan lagi ke kepala sekolah,” ujar guru tersebut.
Tokoh sentral lain dalam merusak tatanan pendidikan di Siantar justru kepala sekolah. Sayangnya, tak satupun kepala sekolah SMA negeri di Siantar yang dihubungi Sinar Keadilan bersedia untuk diwawancarai. Kepala sekolah SMAN 1 Risbon Sinaga mengelak dengan mengatakan sedang berada di Parapat. Kepala sekolah SMAN 2 Umar Simarmata sama sekali tak mau menjawab. Sedangkan kepala sekolah SMAN 3 Simbolon juga mengelak dengan mengatakan masalah PSB ini sebaiknya ditanyakan kepada kepala dinas. Kepala sekolah SMAN 4 juga tak mau menjawab.
Sumber Sinar Keadilan menyebutkan kepala sekolah sebenarnya menjadi korban dari banyaknya titipan ini. Menurut sumber tersebut sulit bagi seorang kepala sekolah menolak titipan tersebut karena datangnya langsung dari walikota, DPRD, LSM, dan wartawan. “Dia tentunya tak mau mengorbankan jabatannya,” ujar sumber tersebut.
Sebaliknya, sumber Sinar Keadilan lainnya mengatakan kepala sekolah justru pemain utama dalam masalah ini. Menurut sumber tersebut, kepala sekolah banyak mengeruk keuntungan dari jual-beli bangku di sekolahnya. “Setiap penerimaan siswa baru kepala sekolah mendapat banyak keuntungan. Tak mungkin kepala sekolah tak bermain di sini. Istilahnya bisalah beli mobil baru,” ungkap sumber tersebut.
Sayangnya, sekali lagi, tak ada satupun kepala sekolah yang bersedia diwawancarai. Tak jelas apa alasan keengganan mereka diwawancarai. Minimnya informasi dari kepala sekolah justru semakin menguatkan kalau mereka memang ‘bermain’ dalam PSB ini.
Inilah realita pendidikan di Siantar. Pemimpinnya, DPRD, dan kepala sekolah justru aktor utama yang merusak pendidikan. Korupsi ada dimana-mana dan pendidikan pun yang seharusnya bagian untuk melahirkan manusia yang bersih dan jujur, justru siswanya dibekali dengan kecurangan. Kota ini memang sedang sakit. (bersambung)