24 Desember, 2008

Rakyat: Kami Butuh Bukti!

Oleh: Dra. Grace Christiane br Saragih (Anggota DPRD Pematangsiantar)

Setiap tanggal 9 Desember Indonesia memperingati Hari Anti Korupsi. Yang pasti KPK pernah menggelar peringatan Hari Anti Korupsi tahun 2006 di tiga kota besar yaitu Jakarta, Medan dan Makassar. Pada waktu itu KPK bersama berbagai elemen masyarakat membagikan buku anti korupsi.
Pada tahun 2006 juga, tanggal 1 Desember, ada dialog ‘Eksistensi Forum Muspida’ di Gedung DPD, Jakarta. Dalam dialog ini terungkap bahwa keberadaan Muspida harus ditinjau kembali. Pasalnya lembaga ini disinyalir sering dipakai sebagai tempat persekongkolan untuk meredam kasus korupsi. Lagi pula untuk berkoordinasi, para pimpinan daerah tidak perlu harus lewat muspida.
Danang Widoyoko dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menuturkan dari 411 kasus korupsi yang dicatat ICW di 15 Provinsi di Indonesia antara tahun 2004 sampai November 2006, 226 kasus diantaranya macet. Sementara 102 kasus dalam proses dan 83 kasus dilimpahkan ke Pengadilan. Tingginya kemacetan penanganan kasus korupsi ini, antara lain disebabkan oleh muspida. Sebab di lembaga itu, tersangka koruptor bisa duduk bersama penyidik untuk mengkonsolidasikan masalah mereka. Yang tentunya disertai dengan berbagai permintaan sehingga menciptakan kolusi dan korupsi baru. Bahkan ada hakim yang diangkat menjadi penasihat lembaga itu, kata Danang.
Untuk menghindari praktek kolusi di muspida, anggota DPD dari Kalimantan Timur Eka Komariah berpendapat, muspida tidak perlu dilembagakan, tetapi cukup secara fungsional. Bantuan Pemerintah Daerah kepada muspida juga harus diberikan kepada lembaga dan tidak untuk perseorangan.
Peneliti senior LIPI, Siti Zuhro, malah berpendapat muspida justru tidak lagi diperlukan karena menghambat terciptanya pemerintahan yang bersih. Sebab, muspida membuat posisi Kepala Daerah jauh lebih kuat dibandingkan dengan lembaga lain, seperti Kepolisian dan Kejaksaan. Untuk berkoordinasi, pimpinan daerah juga tidak perlu lewat muspida.
Pendapat-pendapat tersebut di atas tampaknya terbukti secara cukup meyakinkan di Pematangsiantar. Paling tidak dalam masa bakti saya sebagai Anggota DPRD Kota Pematangsiantar. Dalam masa dua tahun berturut-turut, yaitu tahun anggaran 2006 dan tahun anggaran 2007 Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memperoleh temuan hasil pemeriksaan yakni adanya bantuan keuangan kepada institusi Kepolisian, Kejaksaan dan Kodim yang dinilai menyalahi aturan hukum/perundang-undangan. Mestinya jika muspida memiliki pemahaman tepat akan peraturan yang ada maka kekeliruan itu tidak sampai berulang. Jika sudah demikian, ini salah siapa? Bahkan kekeliruan yang sama akan ditemukan kembali jika nanti BPK melakukan pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Kota Pematangsiantar TA 2008.
Oleh karena itu menjadi sangat mungkin pendapat ketiga orang di atas (Danang, Siti Zuhro dan Eka Komariah) memperoleh pembuktian di Pematangsiantar?
Kalau sudah begini jadinya, mungkinkah semudah membalik telapak tangan menciptakan pemerintahan yang bersih? Jika selama tiga tahun (2005-2007) berturut-turut kebocoran uang daerah berkisar Rp 31 miliar. Jika kasus-kasus mandek. Benarkah kita sudah siap?
Selesaikan saja dulu kasus-kasus itu. Jangan ulangi lagi kesalahan yang sama. Barulah masyarakat percaya, tanpa perlu lagi bicara ‘Utamakan Kejujuran’?.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar