23 April, 2008

Kajian Etnik Pemilih Pilgubsu

MEDAN-SK: Ikatan etnis terbukti menguat dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur Sumatera Utara. Calon yang mewakili etnis tertentu menang di kantong pemilih sesama etnis. Namun pola ini tidak berlaku bagi komunitas Jawa di Sumut. Calon yang mengedepankan kejawaannya justru gagal meraih suara besar di kantong Jawa.

"Penelitian ini dilakukan di kantong-kantong etnis yang calon suku itu tampil menjadi gubernur dan wakil gubernur. Ada tiga kelompok etnis yang menjadi objek penelitian yaitu Melayu, Batak Toba, dan Jawa," kata Ketua Program Studi Antropologi Sosial, Program Pascasarjana Universitas Negeri Medan (Unimed) Ichwan Azhari.

Salah satu indikasi menguatnya ikatan etnis terjadi di pesisir timur Sumatera. Suara pemilih di kantong Melayu lebih banyak mengalir ke pasangan Syamsul-Gatot. Syamsul sendiri sering tampil ke publik sebagai Ketua Majelis Adat dan Budaya Melayu Indonesia (MABMI). Namun demikian, bukan faktor Melayu saja yang menyebabkan dia menang. Itu ditambah ditambah etnis lain, terutama Jawa. "Syamsul belakangan menyampaikan slogan putra Melayu sahabat semua suku efektif menarik simpati pemilih," katanya.

Begitupun dengan ikatan etnis suku Batak Toba. Kecenderungan pemilih lebih banyak ke calon Batak Toba ; Tritamtomo-Benny Pasaribu dan RE Siahaan-Suherdi. Dari wawancara dengan responden, mereka yang etnis Batak Toba cenderung memilih dua pasang calon itu karena faktor suku. Buktinya, dua pasangan ini meraih suara terbanyak di kantong-kantong suku Batak Toba. Data ini Ichwan dapatkan dari Desk Pilkada Sumut, Panitia Pengawas Pilkada Sumut, serta wawancana responden.

Kecuali Jawa

Pola ikatan etnis tidak berlaku untuk komunitas Jawa. Sekalipun mereka 33 persen penduduk Sumut adalah Jawa, namun di kantong-kantong Jawa calon yang mengatasnamakan organisasi masyarakat Jawa tidak mendapatkan suara besar. Pasangan RE Siahaan-Suherdi yang tampil dengan blangkon tidak mampu meraih suara dominan di kantong Jawa seperti Deli Serdang, Langkat, Medan, dan Serdang Bedagai.

Jawa belum mempunyai simbol politik bersama. Suara mereka tersebar ke banyak calon meskipun ada calon yang menjual isu itu ke pemilih, katanya. Ini terjadi karena Jawa, katanya, sedang dalam proses pembentukan solidaritas etnis. Di Sumut ada belasan organisasi Jawa yang mengikat dalam satu komunitas . Sayangnya, organisasi itu lebih banyak didominasi elite Jawa.

Komunitas Jawa di Sumut semula dinilai sebagai faktor penentu karena kemenangan dalam pilkada. Kalaupun pasangan Syamsul-Gatot dan Tritamtomo-Benny meraih suara besar di kantong-kantong Jawa, bukan karena Gatot dan Tritamtomo dari Jawa . Melainkan karena faktor mobilitas partai masing-masing.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), di Sumut terdapat 12 etnis. Etnis yang dimaksud antara lain Melayu (5,89 persen), Karo (5,09), Simalungun (2,04), Toba (25,62), Mandailing (11,27), Pakpak Bharat (0,73), Nias (6,36), Jawa (33,40), Minang (2,66), China (2,17) Aceh (0,97), dan etnis lain (3,29).

Ketua Departemen Antropologi Universitas Sumatera Utara (USU) Zulkifli Lubis membenarkan anggapan itu. Namun tidak semua pemilih tunduk karena faktor kesukuan. Untuk sebagian pemilih, faktor kesukuan bukan lagi menjadi pertimbangan. Sebagian pemilih lebih karena popularitas pasangan calon ketimbang faktor etnis, tuturnya.(kcm)