Kepada Sinar Keadilan, Kamis (10/4), Lukas mengatakan tak pernah menerima pengaduan dari KMP-SU. Ia menyayangkan banyak yang menuding kejaksaan selalu pilih kasih dalam menangani berbagai kasus. Dia meminta kepada siapapun untuk tidak asal ngomong. “Jika mempunyai bukti-bukti serta fakta yang menunjukan kalau pengadaan 19 ambulan itu mark-up seharusnya menunjukan buktinya. Di sisi mana yang salah dalam pengadaan ambulans itu, bukanya hanya membual saja. “Tunjukkan dimana yang salah dalam pengadaan ambulan itu, dan memberi bukti-bukti, jangan hanya ngomong saja,” ungkapnya.
Jumat, (4/4) lalu, Tantra dari KMP-SU mengatakan, Rabu (2/4), pihaknya telah mengadukan Dinkes Simalungun ke Kejari Simalungun atas pengadaan 19 unit ambulan yang telah merugikan negara sebesar Rp1.837.800.000. “Kami sudah meneliti dan mengumpulkan data yang akurat,” cetusnya.
Ditambahkannya, Kepala Dinas Kesehatan Simalungun dr Waldi Saragih serta Pejabat Pembuat Komitmen, pengawas, tim monitoring, dan kontraktor diduga kuat terlibat dalam kasus korupsi 19 ambulan ini.
Pasalnya, terdapat selisih harga yang signifikan antara harga yang direalisasikan Dinkes Simalungun kepada PT ITC Auto Multy Finance. Dinkes menganggarkan harga per-unitnya sebesar Rp235 juta. Sedangkan Auto Multy Finance menawarkan mobil per-unitnya seharga Rp160. juta. “Jelas sudah mark-up sebesar Rp75 Juta per-unitnya sehingga dikalikan keseluruhannya mencapai Rp 1,4 miliar,” kata Tantra.
Lebih jauh Tantra yang didampingi Adi Zulhadi selaku pelapor kedua, menjelaskan, Dinkes Simalungun memanipulasi penggunaan AC Ambulan sebesar Rp9 juta per unitnya hingga bila dijumlahkan ke-19 unit ambulan mencapai Rp171 Juta. Belum lagi, biaya pajak atau PPN sebesar 12 persen dikali harga 19 ambulan sebesar Rp538.800.000.
Yang lebih mengherankan, lanjut Tantra, asumsi laba yang diperoleh kontraktor adalah 10 persen dikali harga mobil yang sebenarnya adalah Rp160 Juta dan bila dikali ke-19 unit ambulan hasilnya mencapai Rp304 juta. Bila seluruhnya ditotalkan dari jumlah mark-up, AC, dan biaya pajak BBN.KB dan PKB, yang seharusnya tidak dibayar karena plat merah (milik pemerintah) maka keseluruhannya berjumlah Rp 2.131.800.000. “Karena Rp160 juta adalah keuntungan kontraktor, bila jumlah total yang di mark-up dikurangi jumlah keuntungan kontraktor maka kerugian negara sebesar Rp1,8 miliar,” terang Tantra. (sendi/dho)