31 Oktober, 2008
Aneh, Dinas PU Bangun Kamar Mandi di Lahan Hijau
Lahan RSUD dr Djasamen Saragih Kembali Jadi Rebutan
Lahan Relokasi Pedagang Jadi Rebutan
SIANTAR-SK: Masalah di RSUD dr Djasamen Saragih Pematangsiantar sepertinya tak pernah berhenti. Pencopotan dr Ria Novida Telaumbanua sebagai direktur sampai saat ini belum selesai. Menyusul kemudian pendirian bangunan di lahan kuburan mayat tak dikenal yang menuai protes dari pegawai rumah sakit. Terakhir, Jumat (31/10), pegawai kembali protes terhadap rencana pendirian toilet umum dan pos polisi di areal hijau, lahan penanaman 5000 pohon di komplek rumah sakit, yang dilakukan Dinas Pekerjaan Umum Kota (PUK) Pematangsiantar.
Awalnya, Jumat pagi kemarin, sekitar pukul 10.00 Wib, sekitar delapan pekerja memasuki areal lahan hijau rumah sakit, tepat berada di depan rumah dinas direktur. Mereka membawa peralatan seperti cangkul, linggis, besi pondasi, beberapa balok kayu, dan lainnya. Mereka lalu mulai menggali pondasi dengan mencangkul lahan hijau tersebut.
Tak berapa lama, beberapa pegawai rumah sakit mendatangi para pekerja tersebut. Mereka meminta para pekerja menghentikan pekerjaannya. Selanjutnya para pekerja menghentikan pekerjaannya dan memberesi beberapa peralatan dan bahan bangunan seperti semen, besi, dan papan. “Kita bingung melihat kinerja pemko. Tempat yang sudah bagus bukan diperlihara. Percuma dilakukan penanaman pohon selama ini kalau akhirnya dihancurkan,” ujar salah seorang pegawai dengan nada kesal.
Sementara itu, salah seorang pegawai Dinas PUK Siantar R Sipayung didampingi rekannya mengatakan di lahan tersebut akan didirikan kamar mandi umum dan pos polisi yang merupakan proyek dari dinas tersebut. Mengenai pemborong pekerjaan tersebut, Sipayung mengatakan tidak tahu karena pihaknya hanya diperintahkan untuk mengawasi.
Rekan Sipayung yang tak mau disebut namanya menimpali, proyek ini dilakukan dengan sistim pemilihan langsung (PML) kepada perusahaan Fa Gavetri atas nama Saudara Situmorang. Menurutnya pengerjaan tersebut berbiaya Rp88 juta.
Selanjutnya para pegawai langsung memasang spanduk di lokasi galian pondasi yang berisi larangan mendirikan bangunan di kompleks RSUD dr Djasamen Saragih.
Pantauan Sinar Keadilan, pekerjaan baru dilakukan dengan memasang papan ukuran luas bangunan tersebut. Selanjutnya menggali pondasi di kiri-kanan yang berada di antara bibit pohon yang baru ditanam sebelumnya. Anehnya secara kebetulan atau tidak di sekitar lokasi galian juga ditemukan setumpuk bunga kembang di dalam kotak yang tidak diketahui kegunaannya, mirip sesajen.
Berdasarkan informasi di lapangan terungkap adanya surat yang ditandatangani Kepala Dinas PUK Ir Bona Tua Lubis dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Aldi Simanjuntak, tertanggal 30 Okotober 2008 yang ditujukan kepada Direktur RSUD dr Djasamen Saragih. Dalam surat yang bernomor 03 / PPK/ PPIP/ X / 2008 mengenai pembangunan kamar mandi/WC dalam program pembangunan infrastruktur pedesaan yang dananya bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAU) 2008. Dimana berdasarkan surat perjanjian pemborong Nomor 602.1/2 PPIP/ DAU/ PEML/ X/ PUK/ 2008 di lokasi komplek RSUD milik Pemko Pematangsiantar, pekerjaan dilakukan mulai tanggal 31 Oktober 2008 - 31 Desember 2008.
Sementara itu Ketua Partuha Maujana Simalungun (PMS) Kabupaten Simalungun Drs Jomen Purba menilai pembangunan kamar mandi tersebut tidak sesuai dengan tata ruang kota. Dia menilai pembangunan tersebut jelas merusak keindahan RSUD dr Djasamen Saragih.
“Kita heran apa alasan walikota membangunnya, apakah kamar mandi di rumah dinas tumpat sehingga perlu dibangun di rumah sakit?” tandasnya.
Jomen juga menyayangkan tanah di RSUD Djasamen yang diobok- obok untuk kepentingan pribadi. Menurutnya pembangunan sebelumnya di dekat pekuburan mayat tak dikenal tersebut juga menyalahi aturan dan menilai pejabat di Siantar telah berbuat semaunya.
“Mau dibawa kemana kota ini jika hanya kemauan seseorang yang membangun tanpa mengikuti aturan yang jelas,” katanya.
Rebutan Lapak
Masalah tak hanya pembangunan di lahan hijau. Rencana pemindahan pedagang Sutomo Square ke Jalan Imam Bonjol – Jalan Tembus Sutomo – Pane, persis di samping rumah sakit, juga menimbulkan masalah.
Puluhan pedagang kecil yang dikoordinir Ketua Gabungan Pedagang Kecil (Gapek) Coky Pardede, pada pagi hari memasang tali plastik antara sisi pinggir jalan sebelah kiri lewat saluran parit sampai ke pagar pembatas rumah sakit.
Menurutnya ini dilakukan sebagai antisipasi adanya dugaan penjualan lapak dilakukan pejabat Pemko Pematangsiantar.
“Ini lebih diperlukan para pedagang kecil daripada dijual kepada pengusaha,” katanya singkat.
Sementara itu sore harinya di lokasi tersebut tiba-tiba ramai dengan adanya kumpulan massa, bahkan sejumlah pejabat pemko termasuk Camat Siantar Selatan Serta Uli br Girsang, dan Camat Siantar Barat Hamam Soleh ikut juga turun ke lapangan dan berdiri di pinggir Jalan Imam Bonjol-Pane.
Soleh mengatakan pada prinsipnya pemindahan pedagang Sutomo Square tetap akan dilakukan. Mengenai adanya pemasangan tali di sekitar tempat tersebut menurutnya karena adanya keinginan dari Gapek agar lahan tersebut tidak diperjualbelikan kepada mereka yang bukan pedagang kecil.
Coky mengatakan lahan tersebut merupakan hak pedagang kecil dan tindakan yang mereka lakukan hanya untuk mengantisipasi agar lahan tersebut tidak dikuasai oleh orang yang tidak berhak.
Soleh memastikan, jumlah pedagang Sutomo Square yang akan direlokasi sebanyak 30 pedagang dan yang akan menempati lahan baru juga hanya 30 pedagang tersebut, tidak akan ada penambahan. (jansen/fetra)
30 Oktober, 2008
Yempo Buktikan Ucapannya, Pejabat Siantar Tak Ada Apa-apanya
Meskipun Disegel, Pembangunan di Komplek RSUD dr Djasamen Saragih Dilanjutkan
SIANTAR-SK: Pengusaha Hermawanto alias Yempo tampaknya membuktikan ucapannya bahwa dia tidak takut terhadap pejabat di Pematangsiantar karena pejabat di Pematangsiantar tak ada apa-apanya. Buktinya, pembangunan di areal rumah sakit tetap berlanjut, Kamis (30/10). Sepertinya, protes dan penyegelan tanah yang dilakukan pegawai RSUD dr Djasamen Saragih, Rabu (29/10) kemarin, bagi Yempo hanya angin lalu. Sejumlah pekerja tetap melakukan pengerjaan bangunan seperti biasa yang rencananya akan didirikan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Pendidikan Keperwatan (SPK).
Seperti diketahui, Yempo, pengusaha yang juga pemilik Kolam Renang Detis Sari Indah, merupakan rekanan Pemko Pematangsiantar dalam ruislag atau tukar guling SMA Negeri 4 Pematangsiantar. Dalam proses ruislag yang banyak menimbulkan masalah ini, diduga Yempo juga mendapatkan kompensasi sebagian dari tanah milik RSUD dr Djasamen. Bahkan disebut-sebut, Yempo telah memiliki sertifikat tanah di komplek rumah sakit ini. Ini berdasarkan hasil rekaman pembicaraan antara seorang pegawai rumah sakit dengan Yempo beberapa waktu lalu. Dalam rekaman tersebut Yempo mengatakan telah memiliki berkas seperti sertifikat dan surat dari Walikota RE Siahaan tertanggal 4 Juli 2008, dan Sekretaris Daerah (Sekda) James Lumban Gaol tertanggal 11 Juli 2008. “Warga jangan sampai ribut gara-gara lahan rumah sakit ini. Kalau sama pejabat di Siantar saya tidak takut karena bisa diatasi dan mereka nggak ada apa-apanya,” ucap Yempo kepada pegawai rumah sakit itu. Dan Yempo membuktikan omongannya, pembangunan tetap berlanjut.
Sementara itu Ketua Gerakan Muda Kelahiran Siantar Sekitarnya (Gamkess) Drs R Sihombing menyayangkan adanya pendirian bangunan di RSUD dr Djasamen yang merupakan aset pemerintah tersebut.
“Sejak kapan ada pembangunan yang tidak diketahui tujuannya dan siapa pemilik bangunan tersebut. Apakah ada dugaan tanah tersebut sudah dijual diam-diam?” ujarnya.
Sihombing mengatakan hal ini perlu ditelesuri melalui surat Sertifikat Hak Milik (SHM) yang diterbitkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) atas status tanah tersebut. Menurutnya jika SHM tersebut diterbitkan di atas tahun 2005 maka ada kemungkinan tanah tersebut telah dijual. Sedangkan jika di bawah 2005 dia menilai perlu dibuktikan keaslian surat tersebut.
“Apapun alasannya masyarakat Siantar harus menolak kecurangan yang dilakukan antara pengusaha dan penguasa di kota ini. Kita mendukung sepenuhnya aksi penolakan pegawai RSUD tersebut,” katanya.
Dia juga menambahkan Gamkess juga akan melakukan aksi mobilisasi massa menolak adanya pembangunan yang dilakukan persis dipekuburan terhadap mayat tak dikenal yang disediakan pihak RSUD dr Djasamen Saragih.
Di tempat terpisah Ketua LSM Lembaga Pengawasan dan Kepelaporan Aset Negara (Lepaskan) Siantar-Simalungun Jansen Napitu menilai dalam hal pengalihan aset pemerintah harus diketahui DPRD Pematangsiantar.
“Artinya ada pemberitahuan dari pemko dan jika tidak ada pengumuman dan pelelangan dilakukan maka pembangunan tersebut melanggar hukum,” sebutnya.
Jansen juga mendesak DPRD harus melaporkan ke polisia jika tidak mengetahui adanya pembangunan di tanah pemerintah yang dilakukan pihak swasta yang diduga tidak memiliki Ijin Mendirikan Bangunan (IMB).
“Ini bukti bobroknya kepemimpinan Walikota Siantar yang tidak transparan. Tidak mungkin pengusaha berani membangun. Disinyalir tanah tersebut sudah dijual,” ucapnya.
Jansen juga menegaskan pihaknya akan melakukan penelusuran dugaan tanah RSUD tersebut telah diperjualbelikan. Dia juga berpendapat perlunya penelusuran yang dilakukan jika benar pengakuan Yempo yang telah memiliki sertifikat tanah di tempat tersebut.
Mengenai adanya pembangunan tersebut untuk mempermudah proses ruislag (tukar guling) terhadap SMAN 4 agar sesuai dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), Jansen menilai hal ini tidak mungkin jika bangunan pengganti didirikan di tanah pemerintah.
“Kita berharap DPRD bertindak tegas, dan bila perlu mencabut ijin prinsip atas persetujuan ruislag tersebut,” katanya. (jansen)
Sarjana Indonesia Tidak Bisa Mandiri
JAKARTA-SK: Pengangguran terdidik dari jenjang pendidikan tinggi justru sebagian besar dialami sarjana. Kondisi ini akibat kemandirian dan semangat kewirausahaan sarjana Indonesia yang rendah sehingga mereka terjebak mencari kerja meskipun lapangan kerja terbatas.
Data dari Badan Pusat Statistik soal jumlah penganggur menurut jenjang pendidikan tinggi selama kurun 2004 - 2007 menunjukkan pengangguran sarjana mencapai 50 persen atau lebih jika dibandingkan pengangguran lulusan diploma I/II dan akademi/diploma III. Lebih dari 80 persen sarjana memilih bekerja sebagai buruh atau karyawan dan hanya sekitar enam persen yang bekerja sendiri.
Kondisi pengangguran dari jenjang pendidikan tinggi di Indonesia tersebut disampaikan Fasli Jalal, Direktur Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional dalam focus group discussion soal Pengembangan Perguruan Tinggi untuk Menjawab Tantangan Masa Kini dan Masa Depan di Jakarta, Kamis (30/10). Isu pendidikan entrepreneurhip memang semakin perlu diajarkan untuk mahasiswa. "Tetapi tidak kalah penting bagaimana kita mendorong perguruan tinggi untuk bisa memiliki dan mengiplementasikan ide-ide yang baik untuk memecahkan persoalan yang dihadapi bangsa ini," kata Fasli.
SD Darmono, Presiden Direktur PT Jababeka Tbk, mengatakan perusahaan di Indonesia memang menghadapi kendala mendapatkan tenaga kerja yang berpengalaman dan terampil. Daya tarik berinvestasi di Indonesia yang menyediakan tenaga kerja murah namun dinilai tidak terampil tidak lagi diminati investor.
"Soal pengetahuan dan keterampilan sebenarnya bukan tidak bisa dipelajari. Tetapi yang menyedihkan, para sarjana di dunia kerja itu kebiasaan dan sikapnya masih jauh dari memuaskan, misal dalam hal disiplin, tanggung jawab, jujur, inovatif, dan lain-lain," kata Darmono. (kcm)
Puluhan Pegawai dan Perawat Demo Bawa 3 Keranda Mati ke Kantor Walikota
Bangunan di Kompleks RSU dr Djasamen Saragih Diduga Liar
Walikota Siantar Telah Bertindak Sewenang-wenang
SIANTAR-SK: Pendirian bangunan yang diduga liar di kompleks RSUD dr Djasamen Saragih persis di samping pekuburan bagi mayat tidak dikenal (Mr X), memancing aksi protes dari pegawai dan perawat rumah sakit milik Pemko Siantar tersebut. Buntutnya, puluhan perawat dan pegawai di RS dr Djasamen melakukan aksi demo ke Kantor Walikota Siantar dengan membawa tiga keranda mati sebagai tanda protes, rabu (29/10).
Sebelum para pengunjukrasa mendatangi Kantor Walikota Siantar, mereka didampingi mantan Direktur RSUD dr Djasamen Saragih, dr Ria Telaumbanua memasang plank sebagai tanda larangan pembangunan gedung di lahan pekuburan tersebut. Selain itu, mereka juga memasang spanduk yang bertuliskan Walikota Siantar telah bertindak sewenang- wenang dengan menjual aset pemerintah kepada pihak swasta. Aksi kali ini mendapat pengawalan ketat dari personil Polresta Pematangsiantar yang dipimpin Kasat Samapta AKP Arjo. “Tanah ini digunakan untuk kuburan mayat tidak dikenal, jika dibangun untuk gedung SD dan Sekolah Perawatan Kesehatan (SPK), maka dikuatirkan mayat Mr X terancam tidak dapat dikebumikan dengan wajar,” ujar anggota tim forensik RSU dr Djasamen Saragih, dr Reinhart Hutahaean. Aksi protes ini dicukein para pekerja yang terlihat sibuk melanjutkan pemasangan pondasi dan besi pondasi. Sebagai tanda duka atas perlakuan semena-mena terhadap pekuburan mayat tersebut, para pegawai juga melakukan aksi tabur bunga (nyekar) di pemakaman Mr X. Sebelumnya beredar informasi, tanah tersebut akan dibangun Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIK). Namun ada dugaan pembangunan dialihkan sebagai proses agar sesuai dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang dilakukan seorang pengusaha Siantar, berinisial Y. Bahkan disebut-sebut, si pengusaha telah memiliki sertifikat tanah di kompleks itu. Ini berdasarkan hasil pemaparan antara pertemuan pegawai dengan Caleg DPR-RI dari PDI-Perjuangan Mayjen (Pur) Tritamtomo yang dilakukan sebelum aksi protes para pegawai. Dimana adanya percakapan antara Y dengan salah satu pegawai yang direkam melalui handycam. Dalam rekaman tersebut, Y mengatakan telah memiliki berkas seperti sertifikat dan surat dari Walikota RE Siahaan tertanggal 4 Juli 2008, dan Sekretaris Daerah (Sekda) James Lumban Gaol tertanggal 11 Juli 2008. “Warga jangan sampai ribut gara-gara lahan rumah sakit ini. Kalau sama pejabat di Siantar saya tidak takut karena bisa diatasi dan mereka nggak ada apa- apanya,” sebut Y dalam rekaman tersebut. Selanjutnya massa meneruskan aksinya dengan bergerak menuju ke Kantor Walikota Pematangsiantar, dan membawa tiga buah keranda berisi “mayat” dengan menggunakan tiga unit mobil ambulans. Sementara itu, Direktur RSUD dr Djasamen, dr Ronald Saragih hanya menyaksikan aksi tersebut dari ruangan ICU. Sampai di lokasi, ketiga keranda berisi mayat mainan itu diturunkan, tepat di depan tangga masuk menuju ruangan kerja walikota. Sayangnya, aksi ini mendapat larangan dari aparat kepolisian, karena pengunjukrasa tidak memiliki Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP). Selanjutnya para pegawai RSUD melanjutkan aksinya ke Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) di Jalan Dahlia. Sepanjang perjalanan mereka membunyikan sirene dan berteriak “Walikota telah menjual aset RSUD dr Djasamen Saragih”, “Kemana mayat- mayat ini akan dikuburkan”,. Hal ini menjadi tontotan terhadap masyarakat yang melintasi rombongan tersebut.
Selanjutnya, perwakilan massa dr Reinhart dan Johanson Purba diterima Kepala BPN Pematangsiantar Ir Sudarsono MM, di ruang kerjanya. Sudarsono mengatakan, lahan sertifikat RSUD masih atas hak pakai nama Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Menurutnya, setelah adanya otonomi daerah maka diserahkan kepada Pemko Pematangsiantar. “Sampai disinilah data yang ada di BPN, yang pasti tanah itu masih milik negara,” ungkapnya. Sudarsono menambahkan meski masih dalam proses balik nama, dipastikan lahan RSUD seluas 12,28 Ha.masih tetap utuh dan tidak pernah dipecah pecah. Aksi massa dilanjutkan ke Kantor Dinas Tata Kota di Jalan Melanthon Siregar dan diterima Kepala Tata Usaha (KTU) Tarzan Simarmata. Dalam penjelasannya, Simarmata mengatakan bangunan yang terletak diatas lahan pekuburan RSUD belum memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB). “Dinas Tata Kota telah melayangkan surat teguran kepada pemilik bangunan,” sebutnya singkat. Usai mendengarkan penjelasan tersebut para pegawai langsung meninggalkan lokasi dan tetap akan melakukan aksi protes atas pembangunan di RSUD Dr Djasamen Saragih.(jansen/daud)
28 Oktober, 2008
Pemko Pematangsiantar Dinilai Hanya Obral Janji
Biaya Kompensasi Outer Ring Road Rp 4,4 M Belum Dibayarkan
Oknum TNI dari Kodim Injak-injak Tanaman Warga
SIANTAR-SK: Sampai saat ini warga yang tanah dan tanamannya terkena Proyek Outer Ring Road tahap II belum memperoleh ganti rugi. Pemko Pematangsiantar dinilai hanya obral janji. Padahal sertifikat tanah tersebut telah diserahkan kepada Pemko. Karena tak jelas, beberapa warga mencoba menanam jagung di lahan proyek tersebut namun kemudian diinjak-injak oleh oknum TNI dari Kodim 0207 Simalungun.
Hal ini disampaikan warga Lingkungan II Kelurahan Tambun Nabolon, Karnadi (66) dan Kelansuyoto (70), Selasa (28/10).
“Sudah berapa kali dijanjikan akan dibayar. Mereka (pemko) janji dibayar setelah APBD disahkan April 2008 lalu namun nyatanya sampai sekarang tak juga dibayar. Kami hanya disuruh menunggu,” ujar Karnadi yang tanahnya seluas dua rante terkena proyek tersebut.
Menurutnya sertifikat asli kepemilikan tanah warga juga telah dikumpulkan sebagai persyaratan agar ganti rugi dibayarkan. Karnadi mengatakan justru warga kembali diminta untuk membuka rekening di bank dan mengurus Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
“Bagaimana kami mau buka rekening, uangnya darimana, Pak? Lagian apakah sudah ada kepastian dana itu akan diberikan? Kami sudah capek mendengar janji pemko,” tandasnya.
Karnadi menambahkan ada kesangsian masyarakat, karena sebelumnya pemko melalui Kabag Tapem (saat itu) Hendro Pasaribu menjelaskan tidak ada persyaratan lain dalam pemberian ganti rugi.
Mengenai ganti rugi yang dijanjikan, Karnadi mengatakan untuk tanah diberikan Rp14 ribu per meter persegi dan tanaman seperti padi Rp20 ribu perkalengnya. Dikatakannya Hendro pada saat itu mengatakan ini sudah menguntungkan warga karena tanah dan tanamannya diganti.
“Ini yang membuat kami bingung, Pak. Lebih baik sertifikat tanah itu dikembalikan dan kami ikhlas tidak usah diberikan ganti rugi,” katanya.
Dia juga menuturkan karena belum juga dibangun jalan tersebut, pernah mencoba menanam jagung, namun diinjak-injak oknum dari Kodim 0207 Simalungun.
Sedangkan Kelansuyoto mengatakan pembukaan rekening tersebut disampaikan Lurah Tambun Nabolon dengan alasan perintah dari panitia ganti rugi pemko. Menurutnya warga sudah beberapa kali mempertanyakan hal ini kepada lurah, dan bagian Tapem, namun hanya berjanji akan segera dibayarkan.
“Kami berharap pemko transparan, apakah memang dananya masih ada, karena ada dugaan jika uang itu sudah habis,” sebutnya.
Mereka berdua menambahkan jika tidak ada kejelasan pihaknya dalam waktu dekat ini akan melakukan aksi demo ke Kantor Walikota menuntut pembayaran ganti rugi.
Sementara itu pantauan Sinar Keadilan di lapangan kondisi jalan selebar 30 meter tersebut telah ditumbuhi semak belukar. Bahkan parit yang dibangun selebar satu meter di sisi kanan dan kiri jalan juga telah longsor. Yang paling parah parit sebelah kiri sudah mencapai lebar enam meter akibat longsor dan tidak mampu menampung debit air hujan.
Di tempat terpisah Lurah Tambun Nabolon Amran di kantornya mengatakan ada sekitar 36 Kepala Keluarga (KK) yang tanahnya ikut diratakan pada saat pengerjaan proyek tersebut.
Amran juga membenarkan warga harus membuka rekening di Bank Sumut dan mengurus NPWP sesuai dengan instruksi dari panitia ganti rugi.
“Ini prosedur dari pemko, dan tinggal selangkah lagi akan dilakukan pembayaran,” jelasnya, seraya menambahkan sudah lima warga yang membuka rekening bank.
Menurutnya warga juga sudah menemui Kabag Tapem yang baru Robert Samosir dan mendapat penjelasan warga harus membuka rekening agar diberikan biaya ganti ruginya.
Seperti diketahui, proyek outer ring road sepanjang 12 km ini dimulai dari Jalan Medan, Kecamatan Siantar Martoba sampai Simpang Dua, Kecamatan Siantar Simarimbun, melalui Kecamatan Siantar Sitalasari.
Dalam pengerjaannya terdiri dari tahap I yang menghabiskan biaya sebesar Rp1,05 miliar dari APBD 2006 dan tahap II sebesar Rp3,94 miliar dari APBD 2007.
Sedangkan untuk biaya ganti rugi tanah dan tanaman milik masyarakat, Pemko Pematangsiantar menampungnya di APBD 2008 sebesar Rp.4,425 miliar. Sehingga secara keseluruhan, biaya yang akan dikeluarkan untuk pembukaan jalan dan ganti rugi mencapai Rp9,4 miliar lebih. (jansen)
Mobil Supersonik Bukan Khayalan Lagi
LONDON-SK: Dalam tiga tahun ke depan, mobil supersonik yang kecepatannya melebihi kecepatan suara bukan khayalan lagi. Para peneliti Inggris sedang berencana membuat mobil tersebut dan targetnya dapat menguji coba pertama kali pada tahun 2011.
Mobil yang diberi nama Bloodhound SSC (supersonic car) didesain untuk dapat melesat di permukaan tanah dengan kecepatan lebih dari 1600 kilometer perjam. Tentu saja mobil ini hanya akan dijajal di permukaan yang rata seperti danau garam di AS.
Proyek tersebut dikerjakan secara rahasia sejak 18 bulan lalu di hanggar pesawat di Bristol dengan biaya pembuatan sekitar 12 juta pounds. Pembuatan mobil itu adalah impian Drayson, seorang pecinta mobil yang ingin generasi muda Inggris tertarik mendalami iptek dan rekayasa teknik.
Tim yang sama memecahkan rekor kendaraan darat tercepat pada tahun 1997. Saat itu, pilot angkatan udara Inggris Andy Reef yang menjadi sopirnya berhasil memacu mobil bernama Thrust SSC hingga kecepatan 1.228 kilometer perjam.
Tim Bloodhound rencananya akan menyelesaikan proyek mereka kurang dari setahun lagi. Namun, rekor kecepatan yang diinginkan diharapkan tercapai dalam tiga tahun. Mesin yang digunakan mobil tersebut merupakan jet Eurofighter Typhoon dengan tambahan roket sehingga menghasilkan daya dorong 20.000 kgf. Rodanya yang masing-masing berdiameter 900 milimeter terbuat dari logam terkuat dari bahan titanium kualitas tinggi.
"Ini kesempatan untuk berbuat sesuatu yang luar biasa dalam bidang permesinan dan memecahkan rekor kecepatan di darat," Andy Green yang kembali akan menjadi pengendara Bloodhound SSC.
Dia akan menggunakan akselerator untuk menyalakan mesin jet hingga kecepatan 563 kilometer per jam. Kemudian kecepatan dipacu dengan menyalakan booster roket. Mesin balap akan memompa lebih dari satu ton hidrogen peroksida ke dalam booster. Untuk melesat hingga 1.690 kilometer perjam hanya dibutuhkan akselerasi selama 40 detik. Mobil yang memiliki panjang 12,8 meter dan berat 6,4 ton akan melesat lebih cepat dari proyektil peluru.
"Saat itu akan tidak nyaman. Tempat saya duduk persis di bawah intake mesin jet, jadi pasti sangat bising," kata Green. Rem mobil itu adalah dua parasut dan rem angin. (kcm)
Diduga Sertifikat Tanah RSUD dr Djasamen Dipecah dua, Yenpo Pegang Satu Sertifikat
Bangunan Misterius Berdiri di Kompleks RSUD Dr Djasamen Saragih
Lingga: Pemko Jangan Lakukan Pembohongan Publik
SIANTAR-SK: Pembangunan yang dilakukan di kompleks RSUD dr Djasamen Saragih Pematangsiantar, berada persis di Jalan Tembus Sutomo-Pane, Kelurahan Simalungun, Kecamatan Siantar Selatan, diduga misterius dan belum diketahui pasti tujuannya.
Informasi yang berhasil dihimpun di lapangan, Senin (27/10), bangunan tersebut mulai dikerjakan sekitar empat hari yang lalu dan berada persis di samping komplek perkuburan yang disediakan RSUD Djasamen terhadap sejumlah mayat yang tidak dikenal. Terlihat pengerjaan telah dimulai, dimana sejumlah pekerja telah memasang pondasi bangunan.
Tanah dan bangunan yang sedang dibangun di komplek pekuburan rumah sakit ini disinyalir bagian dari proses ruislag SMAN 4 antara Yenpo sebagai pengusaha dengan Pemko Pematangsiantar. Diduga ini bagian dari kompensasi agar sesuai dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) atas SMAN 4.
Sumber Sinar Keadilan yang sangat layak dipercaya menyebutkan tanah yang sedang digarap untuk dijadikan bangunan tersebut sudah sah milik Yenpo. “Ini menurut pengakuan Yenpo sendiri kepada kami,” ujarnya.
Sumber tersebut menambahkan Yenpo bahkan berani menyebut bahwa dia sudah mempunyai sertifikat atas tanah tersebut.
Pengakuan sumber Sinar Keadilan ini menjadi menarik mengingat selama ini diketahui bahwa tanah tersebut resmi milik pemerintah. Namun fakta adanya pembangunan di areal tersebut menguatkan pernyataan sumber Sinar Keadilan ini. Sederhananya, tak mungkin Yenpo berani membangun di tanah itu jika tak mempunyai alasan yang sangat kuat.
Ada dugaan, sertifikat tanah RSUD dr Djasamen Saragih sudah dipecah dua dan sertifikat yang terbaru diserahkan Pemko Siantar kepada Yenpo. Atas dasar itu, Yenpo berani membangun di areal tersebut.
Dr Ria Novida Telaumbanua, direktur RSUD dr Djasamen Saragih yang dicopot Walikota Pematangsiantar, mengaku tak tahu menahu dengan pembangunan tersebut. Menurutnya, dia tak pernah diberitahu soal itu. Selain itu, kata dr Ria, pembangunan tersebut tak sesuai dengan master plan RSUD dr Djasamen.
Ketua DPRD Siantar Lingga Napitupul, BCeng, mengatakan bangunan tersebut layak dipertanyakan tujuan pendiriannya. Lingga juga mempertanyakan darimana ijin didirikannya bangunan tersebut.
“Apakah tata ruangnya telah dipersiapkan, dan sejauhmana perencanaannya dilakukan,” tandasnya.
Mengenai adanya rencana akan dibangun Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES), Lingga menegaskan informasi tersebut jelas diragukan kebenarannya, Dia meminta Pemko Pematangsiantar tidak melakukan pembohongan publik akan dibangun STIKES di tempat tersebut.
“Darimana dananya? Kita minta pemko tidak terlalu jauh berpikir dengan konsepnya,” sebut Lingga.
Menurutnya aturan mana yang dipergunakan untuk membangun STIKES, serta sumber dana yang diperuntukkan untuk pembangunan tersebut.
Mengenai adanya kaitan dengan ruislag, dia mengatakan sampai saat ini prosesnya saja belum jelas. Lingga menilai jika bangunan tersebut dihubungkan untuk memperlancar ruislag, dia menilai jangan ada anggapan ini justru akan mempermudah.
Dia mengatakan sampai saat ini saja prosedur ruislag belum jelas sejak dibatalkannya ijin prinsip DPRD Siantar. Lingga juga menampik jika DPRD telah melakukan perjanjian persetujuan untuk ruislag SMAN4. Menurutnya yang ada justru adanya kesepakatan antara Pemko Pematangsiantar dengan pihak pengusaha. (jansen)
Hati-hati... Telur Palsu Beredar
Mengandung Melamin, Tawas, Karbit, dan Parafin
SURABAYA—SK: Para pemalsu ternyata semakin lihai dan banyak akalnya. Yang mereka palsukan tidak cuma barang-barang buatan pabrik, kini bahkan produk alami seperti telur. Telur-telur palsu itu diduga sudah beredar cukup luas di Surabaya dan ditemui di penjual makanan anak-anak di depan sekolah.
Isu telur palsu atau sintetis itu mencuat setelah beberapa hari lalu Direktur Utama (Dirut) PD Pasar Surya Surabaya A Ganies Purnomo melihat telur yang mencurigakan di depan sebuah SD di kawasan Dapukan, Surabaya Utara.
Menurut Ganies, telur rebus yang dijual bersama makanan lainnya, seperti pentol bakso dan sosis itu, agak berbeda dari telur pada umumnya. Kuning telurnya sangat dominan dibandingkan dengan putih telurnya. Selain itu, kuning telurnya juga mengumpul di pinggir, tidak di bagian tengah telur sebagaimana lazimnya.
“Karena sebelumnya membaca berita tentang telur palsu yang beredar di China, saya spontan membeli telur saat lewat di depan sebuah sekolah SD karena harganya cuma Rp 1.000. Saya curiga, jangan-jangan telur yang dijual pedagang makanan itu palsu. Kecurigaan saya makin kuat setelah melihat kondisinya dan mencicipinya. Rasanya beda. Saya yakin ini telur palsu,” tutur Ganies.
Karena ingin menguak lebih lanjut kandungan telur tersebut, pada Jumat (24/10), Ganies lantas mengirim sampel telur yang dibelinya itu ke Balai Pengawasan Obat dan Makanan Surabaya untuk diteliti.
“Makanan yang mencurigakan itu harus diteliti segera karena banyak anak-anak yang menggemarinya sebagaimana pentol atau sosis,” ucap Ganies.
Kepala Bidang Pemeriksaan dan Penyidikan BPOM Surabaya Dra Harlina Samadi Apt membenarkan bahwa pihaknya telah mendapat laporan dan kiriman sampel telur dari Ganies. Akan tetapi, kata Harlina, BPOM belum melakukan penelitian karena sampelnya dianggap belum mencukupi.
“Contoh telur yang diberikan cuma satu. Kami akan teliti kandungannya setelah mendapatkan sampel lebih banyak. Kami akan mencari sendiri sampelnya di pasaran pada Senin (27/10). Tapi, sebetulnya, yang jauh lebih penting adalah memastikan dari mana asal telur itu,” kata Herlina.
Sementara itu, kepada sebuah situs berita di internet, ahli perunggasan dari Universitas Airlangga (Unair) Dr CA Nidom memastikan bahwa telur tersebut memang tidak alami alias palsu.
Setelah meneliti, Nidom mengungkapkan telur tersebut dipastikan bukan telur asli, dan dibuat dari bahan-bahan berbahaya bagi kesehatan seperti melamin (bahan pembuatan pupuk dan pewarna plastik), tawas (zat penjernih air), karbit serta parafin (semacam lilin).
"Saya bisa memastikan ini telur palsu. Dari teksturnya, sudah jelas ini bukan telur ayam tapi telur yang dibuat dari bahan sintetis yang selama ini kita kawatirkan," terang Nidom seperti dikutip oleh situs berita tersebut.
Ketika dihubungi terpisah, Kepala Sub Bidang Kesehatan Dinas Peternakan Surabaya, Irawan Subiyanto mengaku telah mendengar kabar tentang telur palsu itu. Namun demikian, Irawan belum berani memastikan kebenaran kabar tersebut karena pihaknya memang belum menelitinya.
Hanya saja, jika benar bahwa telur tersebut sintetis alias palsu, maka ini sangat mengkhawatirkan. Apalagi, kalau kemudian terbukti bahwa peredaran telur-telur palsu di sini berasal dari China.
“Kalau sampai telur-telur itu diimpor dari China, tentu jumlahnya tidak sedikit. Ini membahayakan konsumen,” kata Irawan. Berdasarkan informasi yang digali Surya, asal telur sintetis itu di China adalah dari provinsi Guanzhou.
Sepengetahuan Irawan, telur sintetis yang telah beredar di China mengandung banyak zat kimia yang sangat berbahaya. Putih telur pada telur sintetis itu mengandung unsur gelatin serta bahan-bahan kimia yang bersifat alumunium. Sementara kuning telurnya diambil dari zat pewarna minuman beraroma lemon. Cangkang atau kulit telur sintetis itu berunsur parafin.
Zat-zat tersebut, jelas Irawan, membahayakan kesehatan. Kalau dikonsumsi berulang-ulang, akibat yang ditimbulkan adalah terjadinya dementia syndrome -sebuah sindrom penurunan daya ingat seseorang yang diakibatkan oleh zat-zat kimia.
“Kalau anak-anak SD kerap mengkonsumsi telur sintetis ini, maka kemampuan mereka untuk menghafal apa saja yang baru diajarkan gurunya menjadi menurun,” ungkap Irawan.
Selain itu, imbuh dia, disfungsi liver dan ginjal juga menjadi suatu efek yang muncul akibat pengkonsumsian telur sintetis tersebut secara terus-menerus.
Sementara itu, ahli gizi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Unair, Prof Bambang Wirjatmadi mengatakan, hingga saat ini dirinya belum pernah mendapati adanya telur imitasi.
Yang sejauh ini dia ketahui adalah rekayasa telur asin yang berasal dari telur ayam (bukan telur bebek). Serta telur ayam broiler dijadikan telur ayam kampung, dengan maksud mendapatkan keuntungan lebih besar. Selain itu, ada juga rekayasa telur asin dengan menggunakan media alat suntik.
Rekayasa telur ayam kampung menjadi telur bebek (asin) biasanya dilakukan dengan menggunakan cat. Sebaliknya telur ayam broiler bisa dimanipulasi menjadi telur ayam kampung, dengan memoles kulit telur ayam broiler yang berukuran kecil.
Menurut Irawan, Dinas Peternakan sebetulnya sudah menerapkan maximum security dalam hal mencegah terjadinya kecolongan berupa beredarnya makanan berbahaya berasal dari peternakan. Namun, yang paling berperan sesungguhnya adalah kehati-hatian masyarakat sendiri dalam mengkonsumsi makanan. (kcm)
Aneh, RE Siahaan Tak Ditetapkan Jadi Tersangka, Unsur Melawan Hukum Terpenuhi
Hasil Gelar Perkara Kasus Manipulasi Seleksi CPNS Pematangsiantar 2005
Bukti Tak Terbantahkan, 19 CPNS Ilegal Keluarga Walikota dan Pejabat Pemko
SIANTAR-SK: Hasil gelar perkara yang dilakukan Polres Simalungun menimbulkan ketidakpuasan dari berbagai kalangan. Dari gelar perkara tersebut, penyidik Polres Simalungun bahkan sudah menyimpulkan bahwa unsur perbuatan melawan hukum oleh Ir RE Siahaan selaku penanggungjawab, Tagor Batu Bara (alm) selaku Ketua Panitia Penerimaan CPNS, Drs Morris Silalahi selaku Sekretaris Panitia, dan Drs Tanjung Sijabat selaku anggota panitia, telah terpenuhi. Mereka disangkakan melanggar pasal 5, 21, dan 22 UU No 28 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, yaitu tentang melakukan perbuatan yang menguntungkan diri, keluarga, dan kroninya, serta mengakibatkan kerugian orang lain serta negara.
Tapi anehnya dari empat orang yang telah memenuhi unsur perbuatan melanggar hukum itu, hanya satu orang yang ditetapkan oleh penyidik Polres Simalungun menjadi tersangka yakni Drs Morris Silalahi.
Saksi pelapor Ketua DPP Lepaskan, Jansen Napitu, menyampaikan rasa keberatan dan kekecewaannya atas kinerja penyidik yang hanya menetapkan Drs Morris Silalahi sebagai tersangka. Menurutnya sejumlah bukti untuk menetapkan RE Siahaan dan Tanjung Sijabat sebagai tersangka telah cukup. ”Namun kenapa hanya Morris yang ditetapkan sebagai tersangka? Saya sangat kecewa dengan kinerja Polres Simalungun dalam kasus ini. Untuk itu saya akan melaporkan kembali kejanggalan-kejanggalan ini ke Kapolri,” katanya seusai acara gelar perkara itu.
Sementara itu, Kapolres Simalungun dinilai terlalu menyederhanakan masalah dengan pernyataannya bahwa Walikota Pematangsiantar RE Siahaan belum dapat dijadikan tersangka karena baru satu saksi yang menyatakan RE Siahaan terlibat. Demikian dikatakan Ketua Komisi II DPRD Pematangsiantar, Grace Christiane, menanggapi hasil gelar perkara kasus manipulasi seleksi CPNS Pemko Pematangsiantar formasi 2005, yang dilakukan Polres Simalungun, Jumat (24/10).
Menurutnya sesuai penjelasan dari penyidik pada saat gelar perkara, diketahui ke-19 orang tersebut menjadi CPNS tanpa melalui prosedur yang berlaku. Dia mengatakan dari keterangan saksi yang diperiksa penyidik telah menyimpulkan 19 CPNS tersebut merupakan keluarga Walikota RE Siahaan dan sejumlah pejabat Pemko Pematangsiantar.
“Ada substansi sangat singnifikan, dimana ada beberapa orang disinyalir keluarga walikota. Atas peran siapa mereka bisa masuk jadi CPNS?” tanyanya, Minggu (26/10).
Seperti diketahui, sesuai pengaduan LSM Lepaskan, terungkap 19 CPNS illegal tersebut merupakan keluarga Walikota Pematangsiantar RE Siahaan dan sejumlah pejabat Pemko Pematangsiantar. Mereka adalah Saur Katerina Saiahaan (anak dari abang kandung RE Siahaan), Julius E Siahaan (anak abang kandung RE Siahaan), Friska Manullang (anak abang ipar RE Siahaan), Sony Marike Hutapea (adik kandung isteri walikota Pematangsiantar RE Siahaan),Edward Purba (suami Marike atau ipar RE Siahaan), Rosalia Sitinjak (anak adik kandung isteri RE Siahaan), Daud Kiply Siahaan (anak Kepala Terminal Tanjung Pinggir Pematangsiantar, Hotman Siahaan, yang juga kerabat RE Siahaan), Mestika Manurung (keluarga walikota), Cristin Napitupulu (anak Kabag Keuangan Pemko Pematangsiantar, Waldemar Napitupulu), Doharni Bunga Sijabat (anak mantan kepala BKD Tanjung Sijabat yang saat ini Kadisnaker), Torop Mindo Batu Bara(anak abang mantan Sekdakot Tagor Batu Bara), Wasty Marina Silalahi (anak kepala BKD Morris Silalahi).
Grace menambahkan tanggungjawab terbesar dalam proses seleksi yang penuh kecurangan tersebut seharusnya ada di Walikota Pematangsiantar. Grace menilai 19 CPNS tersebut tidak akan mungkin bisa diangkat tanpa adanya persetujuan RE Siahaan.
“Logikanya sangat sederhana, justru dalam hal ini sepertinya ada anggapan Kapolres dinilai memutar balikkan fakta yang sudah jelas ada buktinya,” ungkapnya.
Grace mengatakan agar dalam hal ini Polres Simalungun tidak membuat pernyataan yang bersifat mengada-ada dan membuat penafsiran yang berbeda di masyarakat. (jansen/fetra)
Bukti Tak Terbantahkan, 19 CPNS Ilegal Keluarga Walikota dan Pejabat Pemko
SIANTAR-SK: Hasil gelar perkara yang dilakukan Polres Simalungun menimbulkan ketidakpuasan dari berbagai kalangan. Dari gelar perkara tersebut, penyidik Polres Simalungun bahkan sudah menyimpulkan bahwa unsur perbuatan melawan hukum oleh Ir RE Siahaan selaku penanggungjawab, Tagor Batu Bara (alm) selaku Ketua Panitia Penerimaan CPNS, Drs Morris Silalahi selaku Sekretaris Panitia, dan Drs Tanjung Sijabat selaku anggota panitia, telah terpenuhi. Mereka disangkakan melanggar pasal 5, 21, dan 22 UU No 28 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, yaitu tentang melakukan perbuatan yang menguntungkan diri, keluarga, dan kroninya, serta mengakibatkan kerugian orang lain serta negara.
Tapi anehnya dari empat orang yang telah memenuhi unsur perbuatan melanggar hukum itu, hanya satu orang yang ditetapkan oleh penyidik Polres Simalungun menjadi tersangka yakni Drs Morris Silalahi.
Saksi pelapor Ketua DPP Lepaskan, Jansen Napitu, menyampaikan rasa keberatan dan kekecewaannya atas kinerja penyidik yang hanya menetapkan Drs Morris Silalahi sebagai tersangka. Menurutnya sejumlah bukti untuk menetapkan RE Siahaan dan Tanjung Sijabat sebagai tersangka telah cukup. ”Namun kenapa hanya Morris yang ditetapkan sebagai tersangka? Saya sangat kecewa dengan kinerja Polres Simalungun dalam kasus ini. Untuk itu saya akan melaporkan kembali kejanggalan-kejanggalan ini ke Kapolri,” katanya seusai acara gelar perkara itu.
Sementara itu, Kapolres Simalungun dinilai terlalu menyederhanakan masalah dengan pernyataannya bahwa Walikota Pematangsiantar RE Siahaan belum dapat dijadikan tersangka karena baru satu saksi yang menyatakan RE Siahaan terlibat. Demikian dikatakan Ketua Komisi II DPRD Pematangsiantar, Grace Christiane, menanggapi hasil gelar perkara kasus manipulasi seleksi CPNS Pemko Pematangsiantar formasi 2005, yang dilakukan Polres Simalungun, Jumat (24/10).
Menurutnya sesuai penjelasan dari penyidik pada saat gelar perkara, diketahui ke-19 orang tersebut menjadi CPNS tanpa melalui prosedur yang berlaku. Dia mengatakan dari keterangan saksi yang diperiksa penyidik telah menyimpulkan 19 CPNS tersebut merupakan keluarga Walikota RE Siahaan dan sejumlah pejabat Pemko Pematangsiantar.
“Ada substansi sangat singnifikan, dimana ada beberapa orang disinyalir keluarga walikota. Atas peran siapa mereka bisa masuk jadi CPNS?” tanyanya, Minggu (26/10).
Seperti diketahui, sesuai pengaduan LSM Lepaskan, terungkap 19 CPNS illegal tersebut merupakan keluarga Walikota Pematangsiantar RE Siahaan dan sejumlah pejabat Pemko Pematangsiantar. Mereka adalah Saur Katerina Saiahaan (anak dari abang kandung RE Siahaan), Julius E Siahaan (anak abang kandung RE Siahaan), Friska Manullang (anak abang ipar RE Siahaan), Sony Marike Hutapea (adik kandung isteri walikota Pematangsiantar RE Siahaan),Edward Purba (suami Marike atau ipar RE Siahaan), Rosalia Sitinjak (anak adik kandung isteri RE Siahaan), Daud Kiply Siahaan (anak Kepala Terminal Tanjung Pinggir Pematangsiantar, Hotman Siahaan, yang juga kerabat RE Siahaan), Mestika Manurung (keluarga walikota), Cristin Napitupulu (anak Kabag Keuangan Pemko Pematangsiantar, Waldemar Napitupulu), Doharni Bunga Sijabat (anak mantan kepala BKD Tanjung Sijabat yang saat ini Kadisnaker), Torop Mindo Batu Bara(anak abang mantan Sekdakot Tagor Batu Bara), Wasty Marina Silalahi (anak kepala BKD Morris Silalahi).
Grace menambahkan tanggungjawab terbesar dalam proses seleksi yang penuh kecurangan tersebut seharusnya ada di Walikota Pematangsiantar. Grace menilai 19 CPNS tersebut tidak akan mungkin bisa diangkat tanpa adanya persetujuan RE Siahaan.
“Logikanya sangat sederhana, justru dalam hal ini sepertinya ada anggapan Kapolres dinilai memutar balikkan fakta yang sudah jelas ada buktinya,” ungkapnya.
Grace mengatakan agar dalam hal ini Polres Simalungun tidak membuat pernyataan yang bersifat mengada-ada dan membuat penafsiran yang berbeda di masyarakat. (jansen/fetra)
Tersangka Hanya Morris Silalahi, Polres Simalungun Dinilai Tebang Pilih
SIANTAR-SK: Ketua LSM Lembaga Pengawasan dan Kepelaporan Aset Negara (Lepaskan) Jansen Napitu mengatakan dari hasil gelar perkara yang dilakukan Polres Simalungun terhadap kasus 19 Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) 2005, Jumat (24/10), di ruang PPDO Polres Simalungun, seharusnya jumlah tersangka tidak hanya satu orang. Menurutnya, dari hasil gelar perkara tersebut tidak beralasan jika Polres Simalungun hanya menetapkan satu tersangka yakni Sekretaris Panitia Penerimaan CPNS Formasi 2005, Drs Morris Silalahi.
Menurutnya Polres Simalungun yang selama ini menangani kasus yang dilaporkan sejak Februari 2007 lalu itu melakukan tebang pilih dalam menentukan tersangka.
“Harusnya ada ketrasparanan sejauhmana hasil pemeriksaan yang dilakukan terhadap tersangka lain yang telah kita laporkan. Ada diterangkan jika ke 19 CPNS tersebut diduga keluarga dekat Walikota RE Siahaan dan sejumlah Pejabat Pemko Pematangsiantar,” tandasnya.
Sedangkan langkah selanjutnya, Jansen mengatakan akan tetap mempertanyakan penetapan tersangka lain yang telah dilaporkan pihaknya sebelumnya yakni Walikota RE Siahaan, Mantan Sekretaris Daerah (Sekda) Alm Tagor Batu Bara, dan Mantan Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Drs Tanjung Sijabat.
Dia menegaskan akan menyurati kembali Kapolri, Kapoldasu dan DPR-RI untuk memberikan desakan dan perhatian serius atas kasus 19 CPNS 2005 yang ditangani Polres Simalungun.
Sementara itu Kuasa Hukum LSM Lepaskan Sarles Gultom SH menilai penentuan satu tersangka tidak bisa diterima pihaknya. Dia beralasan bukan hanya Morris yang menjadi bagian dari panitia penerimaan CPNS 2005.
“Artinya ada panitia yang sama- sama bekerja dan mengetahui sejauh mana proses awal sampai akhir yang telah mereka lakukan selama ini. Jadi bagaimana status yang lain?” terangnya.
Dikatakannya dalam kasus ini semua panitia, termasuk Walikota RE Siahaan dan 19 CPNS tersebut harus dijadikan tersangka. Menurutnya ini dilakukan karena ada dugaan ke 19 tersebut memberikan sejumlah uang agar diloloskan sebagai CPNS formasi 2005. apalagi, sebagian dari 19 orang tersebut mempunyai hubungan keluarga dengan Walikota RE Siahaan.
Sarles juga menyayangkan keterangan yang mengatakan orangtua dari 19 CPNS tersebut tidak mengetahui apakah anaknya lulus atau tidak.
“Intinya kita akan tetap mendesak ditetapkannya tersangka yang lain termasuk Walikota sesuai dengan bukti- bukti yang telah dilaporkan LSM Lepaskan,” tegasnya.
Lebihlanjut dia mengatakan jika hanya Morris yang ditetapkan sebagai tersangka jelas tidak sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 31 Thaun 1999 Tentang Pemberantasan Tinda Pidana Korupsi, serta UU Nomor 17 Tahun 2007 Mengenai Pemerintahan yang Bersih.
Di tempat terpisah Ketua Lembaga Pemerhati Daerah Sumatera Utara (LPDSU) Siantar-Simalungun Drs R Sihombing mengatakan kemungkinan aparat hukum di Siantar tidak akan menjadikan Walikota RE Siahaan menjadi tersangka. Menurutnya ini dapat dilakukan jika yang bersangkutan telah dinonaktifkan dari jabatannya.
Dia mengusulkan untuk mempercepat proses dari kasus tersebut agar sebaiknya ditangani langsung pemerintah pusat. (jansen)
Menurutnya Polres Simalungun yang selama ini menangani kasus yang dilaporkan sejak Februari 2007 lalu itu melakukan tebang pilih dalam menentukan tersangka.
“Harusnya ada ketrasparanan sejauhmana hasil pemeriksaan yang dilakukan terhadap tersangka lain yang telah kita laporkan. Ada diterangkan jika ke 19 CPNS tersebut diduga keluarga dekat Walikota RE Siahaan dan sejumlah Pejabat Pemko Pematangsiantar,” tandasnya.
Sedangkan langkah selanjutnya, Jansen mengatakan akan tetap mempertanyakan penetapan tersangka lain yang telah dilaporkan pihaknya sebelumnya yakni Walikota RE Siahaan, Mantan Sekretaris Daerah (Sekda) Alm Tagor Batu Bara, dan Mantan Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Drs Tanjung Sijabat.
Dia menegaskan akan menyurati kembali Kapolri, Kapoldasu dan DPR-RI untuk memberikan desakan dan perhatian serius atas kasus 19 CPNS 2005 yang ditangani Polres Simalungun.
Sementara itu Kuasa Hukum LSM Lepaskan Sarles Gultom SH menilai penentuan satu tersangka tidak bisa diterima pihaknya. Dia beralasan bukan hanya Morris yang menjadi bagian dari panitia penerimaan CPNS 2005.
“Artinya ada panitia yang sama- sama bekerja dan mengetahui sejauh mana proses awal sampai akhir yang telah mereka lakukan selama ini. Jadi bagaimana status yang lain?” terangnya.
Dikatakannya dalam kasus ini semua panitia, termasuk Walikota RE Siahaan dan 19 CPNS tersebut harus dijadikan tersangka. Menurutnya ini dilakukan karena ada dugaan ke 19 tersebut memberikan sejumlah uang agar diloloskan sebagai CPNS formasi 2005. apalagi, sebagian dari 19 orang tersebut mempunyai hubungan keluarga dengan Walikota RE Siahaan.
Sarles juga menyayangkan keterangan yang mengatakan orangtua dari 19 CPNS tersebut tidak mengetahui apakah anaknya lulus atau tidak.
“Intinya kita akan tetap mendesak ditetapkannya tersangka yang lain termasuk Walikota sesuai dengan bukti- bukti yang telah dilaporkan LSM Lepaskan,” tegasnya.
Lebihlanjut dia mengatakan jika hanya Morris yang ditetapkan sebagai tersangka jelas tidak sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 31 Thaun 1999 Tentang Pemberantasan Tinda Pidana Korupsi, serta UU Nomor 17 Tahun 2007 Mengenai Pemerintahan yang Bersih.
Di tempat terpisah Ketua Lembaga Pemerhati Daerah Sumatera Utara (LPDSU) Siantar-Simalungun Drs R Sihombing mengatakan kemungkinan aparat hukum di Siantar tidak akan menjadikan Walikota RE Siahaan menjadi tersangka. Menurutnya ini dapat dilakukan jika yang bersangkutan telah dinonaktifkan dari jabatannya.
Dia mengusulkan untuk mempercepat proses dari kasus tersebut agar sebaiknya ditangani langsung pemerintah pusat. (jansen)
Satu Saksi Lagi, RE Siahaan akan Jadi Tersangka
Polres Simalungun Gelar Perkara 19 CPNS Ilegal 2005
SIANTAR-SK: Dari hasil gelar perkara kasus 19 CPNS illegal Pemko Siantar formasi 2005 yang digelar di Polres Simalungun, Jumat (24/10), terungkap hanya ada satu saksi, yakni Morris Silalahi, yang menyatakan RE Siahaan terlibat. Padahal untuk menjadikan seseorang menjadi tersangka, seperti dikatakan Kapolres Simalungun AKBP Rudi Hartono, diperlukan minimal dua orang saksi. “Dari 50 lebih saksi yang sudah kita periksa, hanya seorang saksi yang menyatakan bahwa Ir RE Siahaan terlibat. Saksi itu adalah tersangka kasus ini, Drs Morris Silalahi,” tegas penyidik kasus CPNS Gate Siantar, Aiptu Sawal Siregar.
Lebih jauh diterangkan Sawal sejumlah saksi telah diperiksa. Mereka antara lain saksi pelapor Jansen Napitu, sembilan orangtua dari 19 CPNS bermasalah tersebut, enam CPNS yang lulus 2004, tiga CPNS yang mengundurkan diri, 18 panitia pelaksana pengadaan CPNS formasi tahun 2005 di Pemko Pematangsiantar, 19 CPNS bermasalah, saksi ahli, saksi dari BKN, dan saksi lainnya.
Sawal memaparkan berdasarkan hasil seleksi penerimaan CPNS formasi tahun 2005, yang dinyatakan lulus sesuai hasil rangking yang dikeluarkan Puskom USU adalah sebanyak 240 orang. Namun tiga diantara yang lulus dinyatakan mengundurkan diri. Sehingga jumlahnya menjadi 237 orang. Namun, oleh Pemko Siantar, yang diusulkan ke BKN malah sebanyak 256 orang. Sehingga jelas terdapat 19 orang yang bermasalah sebagai CPNS, yang saat ini proses hukumnya masih ditangani oleh Polres Simalungun. “Sebenarnya kasus ini ditangani pihak Polda,” imbuh Kapolres Simalungun disela-sela pemaparan.
Dari 19 CPNS yang bermasalah itu, oleh panitia penyelenggara penerimaan CPNS, tiga orang disusup untuk menutupi yang mengundurkan diri, meski tidak sesuai rangking. Sembilan orang untuk mengisi formasi CPNS tahun 2004 yang kosong. Anehnya, enam CPNS yang dinyatakan lulus sebagai CPNS formasi 2004, tidak juga diangkat menjadi CPNS oleh Pemko Pematangsiantar. Serta tujuh orang lainnya, diusulkan Pemko Pematangsiantar, untuk menutupi formasi yang kosong untuk penerimaan CPNS di tahun 2005 itu sendiri.
Dari gelar perkara itu juga terungkap, kalau keberadaan Wasti Marina Silalahi, anak dari tersangka Drs Morris Silalahi, hingga bisa menjadi CPNS. Dimana, saat proses pengusulan nama-nama CPNS akan diserahkan ke BKN, Morris meminta kepada Sekda Pematangsiantar Tagor Batubara (Ketua panitia penerimaan CPNS tahun 2005), agar memasukkan anaknya untuk diusulkan menjadi CPNS ke BKN. Selanjutnya, oleh Sekda, Morris melapor ke walikota untuk mendapat ijin. Setelah mendapat ijin dari walikota, nama Wasti Marina Silalahi pun lantas ikut serta diusulkan menjadi CPNS.
Selain itu, tahap pengembangan proses penyidikan, Kapolres Simalungun menjelaskan bahwa empat bulan yang lalu, Polres Simalungun telah menerbitkan surat permohonan kepada Presiden RI, untuk melakukan pemeriksaan terhadap Walikota Pematangsiantar, terkait penanganan kasus CPNS Gate Siantar tahun 2005. Sayangnya proses tidak semudah seperti apa yang diharapkan.
Dijelaskan Aiptu Sawal Siregar, untuk mendapat ijin pemeriksaan walikota dari presiden, menempuh perjalanan yang panjang. Dari Polres, surat ijin itu dikirim ke Polda. Selanjutnya, oleh Polda dilakukan gelar perkara. Selanjutnya, permohonan ijin pemeriksaan itu dilanjutkan ke Mabes Polri. Di markas pusat kepolisian ini, Bareskrim juga kembali melakukan gelar perkara. Kemudian dilakukan koordinasi dengan Kejaksaan Agung dan Menko Polhukam. Setelah itu semua, barulah surat ijin pemeriksaan walikota tersebut diteruskan ke presiden.
Berdasarkan pemaparan yang disampaikan, ijin pemeriksaan dari Presiden RI untuk memeriksa Walikota Pematangsiantar Ir RE Siahaan, hingga saat ini masih mentok di Mabes Polri. Tepatnya di Bareskrim Mabes Polri.
Oleh Bareskrim Mabes Polri, penyidik Polres Simalungun diminta untuk melimpahkan berkas kasus CPNS Siantar ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Pematangsiantar. Bila oleh JPU (Jaksa Penuntut Umum) di Kejari meminta berkas dilengkapi dengan keterangan dari Walikota Pematangsiantar, maka penyidik kembali meminta ijin pemeriksaan terhadap Walikota dari Presiden. (fandho)
SIANTAR-SK: Dari hasil gelar perkara kasus 19 CPNS illegal Pemko Siantar formasi 2005 yang digelar di Polres Simalungun, Jumat (24/10), terungkap hanya ada satu saksi, yakni Morris Silalahi, yang menyatakan RE Siahaan terlibat. Padahal untuk menjadikan seseorang menjadi tersangka, seperti dikatakan Kapolres Simalungun AKBP Rudi Hartono, diperlukan minimal dua orang saksi. “Dari 50 lebih saksi yang sudah kita periksa, hanya seorang saksi yang menyatakan bahwa Ir RE Siahaan terlibat. Saksi itu adalah tersangka kasus ini, Drs Morris Silalahi,” tegas penyidik kasus CPNS Gate Siantar, Aiptu Sawal Siregar.
Lebih jauh diterangkan Sawal sejumlah saksi telah diperiksa. Mereka antara lain saksi pelapor Jansen Napitu, sembilan orangtua dari 19 CPNS bermasalah tersebut, enam CPNS yang lulus 2004, tiga CPNS yang mengundurkan diri, 18 panitia pelaksana pengadaan CPNS formasi tahun 2005 di Pemko Pematangsiantar, 19 CPNS bermasalah, saksi ahli, saksi dari BKN, dan saksi lainnya.
Sawal memaparkan berdasarkan hasil seleksi penerimaan CPNS formasi tahun 2005, yang dinyatakan lulus sesuai hasil rangking yang dikeluarkan Puskom USU adalah sebanyak 240 orang. Namun tiga diantara yang lulus dinyatakan mengundurkan diri. Sehingga jumlahnya menjadi 237 orang. Namun, oleh Pemko Siantar, yang diusulkan ke BKN malah sebanyak 256 orang. Sehingga jelas terdapat 19 orang yang bermasalah sebagai CPNS, yang saat ini proses hukumnya masih ditangani oleh Polres Simalungun. “Sebenarnya kasus ini ditangani pihak Polda,” imbuh Kapolres Simalungun disela-sela pemaparan.
Dari 19 CPNS yang bermasalah itu, oleh panitia penyelenggara penerimaan CPNS, tiga orang disusup untuk menutupi yang mengundurkan diri, meski tidak sesuai rangking. Sembilan orang untuk mengisi formasi CPNS tahun 2004 yang kosong. Anehnya, enam CPNS yang dinyatakan lulus sebagai CPNS formasi 2004, tidak juga diangkat menjadi CPNS oleh Pemko Pematangsiantar. Serta tujuh orang lainnya, diusulkan Pemko Pematangsiantar, untuk menutupi formasi yang kosong untuk penerimaan CPNS di tahun 2005 itu sendiri.
Dari gelar perkara itu juga terungkap, kalau keberadaan Wasti Marina Silalahi, anak dari tersangka Drs Morris Silalahi, hingga bisa menjadi CPNS. Dimana, saat proses pengusulan nama-nama CPNS akan diserahkan ke BKN, Morris meminta kepada Sekda Pematangsiantar Tagor Batubara (Ketua panitia penerimaan CPNS tahun 2005), agar memasukkan anaknya untuk diusulkan menjadi CPNS ke BKN. Selanjutnya, oleh Sekda, Morris melapor ke walikota untuk mendapat ijin. Setelah mendapat ijin dari walikota, nama Wasti Marina Silalahi pun lantas ikut serta diusulkan menjadi CPNS.
Selain itu, tahap pengembangan proses penyidikan, Kapolres Simalungun menjelaskan bahwa empat bulan yang lalu, Polres Simalungun telah menerbitkan surat permohonan kepada Presiden RI, untuk melakukan pemeriksaan terhadap Walikota Pematangsiantar, terkait penanganan kasus CPNS Gate Siantar tahun 2005. Sayangnya proses tidak semudah seperti apa yang diharapkan.
Dijelaskan Aiptu Sawal Siregar, untuk mendapat ijin pemeriksaan walikota dari presiden, menempuh perjalanan yang panjang. Dari Polres, surat ijin itu dikirim ke Polda. Selanjutnya, oleh Polda dilakukan gelar perkara. Selanjutnya, permohonan ijin pemeriksaan itu dilanjutkan ke Mabes Polri. Di markas pusat kepolisian ini, Bareskrim juga kembali melakukan gelar perkara. Kemudian dilakukan koordinasi dengan Kejaksaan Agung dan Menko Polhukam. Setelah itu semua, barulah surat ijin pemeriksaan walikota tersebut diteruskan ke presiden.
Berdasarkan pemaparan yang disampaikan, ijin pemeriksaan dari Presiden RI untuk memeriksa Walikota Pematangsiantar Ir RE Siahaan, hingga saat ini masih mentok di Mabes Polri. Tepatnya di Bareskrim Mabes Polri.
Oleh Bareskrim Mabes Polri, penyidik Polres Simalungun diminta untuk melimpahkan berkas kasus CPNS Siantar ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Pematangsiantar. Bila oleh JPU (Jaksa Penuntut Umum) di Kejari meminta berkas dilengkapi dengan keterangan dari Walikota Pematangsiantar, maka penyidik kembali meminta ijin pemeriksaan terhadap Walikota dari Presiden. (fandho)
Hotman Siahaan dan Tanjung Sijabat Datangi Jansen Napitu Minta Kasus Tidak Diteruskan
Terkait Kasus 19 CPNS Ilegal Pemko Pematangsiantar Formasi 2005
SIANTAR-SK: Jansen Napitu, pelapor dalam kasus 19 CPNS ilegal Pemko Pematangsiantar formasi 2005, mengaku didatangi lima orang di rumahnya untuk mengajak damai sekaligus meminta agar Jansen tidak meneruskan kasus 19 CPNS tersebut. Jansen mengaku didatangi, Rabu (22/10) malam, sekitar pukul 20.46 Wib.
Menurut Jansen, dua dari lima orang tersebut adalah Kepala Terminal Tanjung Pinggir Pematangsiantar, Hotman Siahaan, dan Tanjung Sijabat, mantan Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Pematangsiantar.
Jansen mengatakan lima orang tersebut meminta agar kasus CPNS tersebut tidak diteruskan. Dalam pertemuan tersebut, Jansen mengaku tidak menghiraukan tawaran mereka dengan mengatakan bahwa kasus tersebut sudah sepenuhnya di tangan penegak hukum, yaitu polisi dan jaksa. “Saya mengatakan kepada mereka bahwa kasus ini harus tuntas, tidak bisa berhenti di tengah jalan,” kata Jansen.
Seperti diketahui, Hotman dan Tanjung sangat berkepentingan agar kasus ini tidak diteruskan. Sesuai laporan Jansen ke Polres Simalungun, Daud Kipply Siahaan, salah seorang dari 19 CPNS illegal tersebut merupakan anak kandung Hotman Siahaan. Sementara Tanjung Sijabat juga mempunyai anak diantara 19 CPNS tersebut yakni Doharni Bunga Sijabat.
Sementara itu, direncanakan hari ini, Jumat (24/10), Polres Simalungun melakukan gelar perkara terhadap kasus 19 CPNS 2005 ilegal Pemko Pematangsiantar formasi 2005. yang diadukan Siantar Simalungun sekitar setahun yang lalu.
Ketua LSM Lembaga Pengawasan dan Kepelaporan Aset Negara (Lepaskan Jansen Napitu, Kamis (23/10), di kantornya mengatakan sesuai dengan surat undangan yang diterimanya dengan No Pol: B/150/X/200/Reskim tanggal 22 Oktober 2008, pihaknya diundang untuk menghadiri gelar perkara tersebut.
Menurutnya dalam surat undangan yang ditandatangani Kasat Reskrim AKP Deddy Supriadi SIK, akan dilaksanakan Jumat (24/10) pukul 10.00 Wib bertempat di ruangan PPDO Polres Simalungun.
Dikatakannya surat tersebut sesuai dengan rujukan surat pengaduan DPP Lepaskan No:01/IX.X/DPP/Lepaskan/07 tanggal 15 Februari 2007 mengenai dugana korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dalam penerimaan CPNS 2005.Selanjutnya laporan polisi nopol: LP /636 / IX /2007/ Simal, tanggal 27 September 2007 tentang dugaan terjadinya tindak pidana KKN dalam penerimaan CPNS 2005, dan surat perintah penyidikan No Pol: Sprin-Dik / 5944 /X /2007 / Reskrim tanggal 1 Okober 2008.
Mengenai persiapannya untuk menghadiri gelar perkara tersebut, Jansen mengatakan dirinya akan didampingi kuasa hukum LSM Lepaskan. Selain itu pihaknya juga akan mengikutsertakan bukti-bukti pengaduan termasuk surat dari Badan Kepegawaian Negara (BKN) mengenai pembatalan dan pencabutan Nomor Induk Pegawai (NIP) 19 CPNS tersebut.
“Kita berharap agar dalam pelaksanaannya disesuaikan dengan bukti yang telah kita sampaikan selama ini. Jika tidak sesuai maka kita akan walk out,” ujarnya.
Dikatakannya melalui gelar perkara ini menjadi bukti keseriusan bagi Polres Simalungun untuk menuntaskan kasus tersebut.
“Ini tantangan bagi penegak hukum, karena sejak diadukan sampai saat ini belum diketahui sejauhmana proses penyelidikan yang dilakukan,” jelasnya.
Kasus yang diadukan LSM Lepaskan ini terkait adanya dugaan penerimaan 19 CPNS tahun 2005 tidak sesuai peraturan yang ada. Ada enam orang yang sama sekali tidak ikut ujian namun oleh Pemko Pematangsiantar, keenamnya dimasukkan menjadi CPNS. Selain itu ada 13 orang yang rankingnya jauh dibawah, sesuai hasil Lembaran Jawaban Komputer (LJK) dari Puskom USU, juga tetap disertakan masuk menjadi CPNS. Belakangan, BKN meralat keputusan mereka yang terlanjur mengeluarkan NIP terhadap 19 orang tersebut. BKN kemudian mencabut NIP mereka dan mengirimkan surat resmi ke Walikota Pematangsiantar agar 19 orang tersebut dipecat. (jansen)
SIANTAR-SK: Jansen Napitu, pelapor dalam kasus 19 CPNS ilegal Pemko Pematangsiantar formasi 2005, mengaku didatangi lima orang di rumahnya untuk mengajak damai sekaligus meminta agar Jansen tidak meneruskan kasus 19 CPNS tersebut. Jansen mengaku didatangi, Rabu (22/10) malam, sekitar pukul 20.46 Wib.
Menurut Jansen, dua dari lima orang tersebut adalah Kepala Terminal Tanjung Pinggir Pematangsiantar, Hotman Siahaan, dan Tanjung Sijabat, mantan Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Pematangsiantar.
Jansen mengatakan lima orang tersebut meminta agar kasus CPNS tersebut tidak diteruskan. Dalam pertemuan tersebut, Jansen mengaku tidak menghiraukan tawaran mereka dengan mengatakan bahwa kasus tersebut sudah sepenuhnya di tangan penegak hukum, yaitu polisi dan jaksa. “Saya mengatakan kepada mereka bahwa kasus ini harus tuntas, tidak bisa berhenti di tengah jalan,” kata Jansen.
Seperti diketahui, Hotman dan Tanjung sangat berkepentingan agar kasus ini tidak diteruskan. Sesuai laporan Jansen ke Polres Simalungun, Daud Kipply Siahaan, salah seorang dari 19 CPNS illegal tersebut merupakan anak kandung Hotman Siahaan. Sementara Tanjung Sijabat juga mempunyai anak diantara 19 CPNS tersebut yakni Doharni Bunga Sijabat.
Sementara itu, direncanakan hari ini, Jumat (24/10), Polres Simalungun melakukan gelar perkara terhadap kasus 19 CPNS 2005 ilegal Pemko Pematangsiantar formasi 2005. yang diadukan Siantar Simalungun sekitar setahun yang lalu.
Ketua LSM Lembaga Pengawasan dan Kepelaporan Aset Negara (Lepaskan Jansen Napitu, Kamis (23/10), di kantornya mengatakan sesuai dengan surat undangan yang diterimanya dengan No Pol: B/150/X/200/Reskim tanggal 22 Oktober 2008, pihaknya diundang untuk menghadiri gelar perkara tersebut.
Menurutnya dalam surat undangan yang ditandatangani Kasat Reskrim AKP Deddy Supriadi SIK, akan dilaksanakan Jumat (24/10) pukul 10.00 Wib bertempat di ruangan PPDO Polres Simalungun.
Dikatakannya surat tersebut sesuai dengan rujukan surat pengaduan DPP Lepaskan No:01/IX.X/DPP/Lepaskan/07 tanggal 15 Februari 2007 mengenai dugana korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dalam penerimaan CPNS 2005.Selanjutnya laporan polisi nopol: LP /636 / IX /2007/ Simal, tanggal 27 September 2007 tentang dugaan terjadinya tindak pidana KKN dalam penerimaan CPNS 2005, dan surat perintah penyidikan No Pol: Sprin-Dik / 5944 /X /2007 / Reskrim tanggal 1 Okober 2008.
Mengenai persiapannya untuk menghadiri gelar perkara tersebut, Jansen mengatakan dirinya akan didampingi kuasa hukum LSM Lepaskan. Selain itu pihaknya juga akan mengikutsertakan bukti-bukti pengaduan termasuk surat dari Badan Kepegawaian Negara (BKN) mengenai pembatalan dan pencabutan Nomor Induk Pegawai (NIP) 19 CPNS tersebut.
“Kita berharap agar dalam pelaksanaannya disesuaikan dengan bukti yang telah kita sampaikan selama ini. Jika tidak sesuai maka kita akan walk out,” ujarnya.
Dikatakannya melalui gelar perkara ini menjadi bukti keseriusan bagi Polres Simalungun untuk menuntaskan kasus tersebut.
“Ini tantangan bagi penegak hukum, karena sejak diadukan sampai saat ini belum diketahui sejauhmana proses penyelidikan yang dilakukan,” jelasnya.
Kasus yang diadukan LSM Lepaskan ini terkait adanya dugaan penerimaan 19 CPNS tahun 2005 tidak sesuai peraturan yang ada. Ada enam orang yang sama sekali tidak ikut ujian namun oleh Pemko Pematangsiantar, keenamnya dimasukkan menjadi CPNS. Selain itu ada 13 orang yang rankingnya jauh dibawah, sesuai hasil Lembaran Jawaban Komputer (LJK) dari Puskom USU, juga tetap disertakan masuk menjadi CPNS. Belakangan, BKN meralat keputusan mereka yang terlanjur mengeluarkan NIP terhadap 19 orang tersebut. BKN kemudian mencabut NIP mereka dan mengirimkan surat resmi ke Walikota Pematangsiantar agar 19 orang tersebut dipecat. (jansen)
Galang Kekuatan Demi Kebebasan Pers
Diskualifikasi 7 Media Massa oleh Kantor Infokom Pematangsiantar
SIANTAR-SK: Tindakan Kepala Kantor Infokom Pemko Pematangsiantar Julham Situmorang mendiskualifikasi tujuh media dari Kantor Infokom terus mendapat kecaman sangat keras dari berbagai kalangan. Marlas Hutasoit, SH, Direktur Advokasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pematangsiantar mengecam tindakan Pemko Pematangsiantar tersebut.
Menurut Marlas, tindakan Pemko tersebut tidak dapat dibenarkan dan menyalahi Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Marlas mengatakan perbuatan Kepala Kantor Infokom Pematangsiantar tersebut secara nyata merupakan tindakan yang sangat arogan dan keji guna menghancurkan kredibilitas dan netralitas media massa yang ada di Pematangsiantar dengan tujuan agar menjadi media massa yang berada dan mampu dikooptasi sesuai dengan kepentingan Pemerintah Kota Pematangsiantar. Marlas berharap media yang didiskualifikasi dapat menggalang kekuatan melakukan perlawanan secara positif demi kebebasan pers.
Sebelumnya, enam media sejak 11 Oktober lalu didiskualifikasi oleh Kantor Infokom Pematangsiantar. Sebenarnya, sampai saat ini tak jelas apa maksud diskualifikasi tersebut. Julham Situmorang sendiri saat dikonfirmasi mengenai diskualifikasi ini tak memberikan jawaban yang pasti, bahkan terkesan ngawur. “Tanya saja diri sendiri, seperti pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah,” kata Julham melalui short message service (sms) kepada Sinar Keadilan.
Yang terakhir, Senin (20/10) lalu, Harian Medan Bisnis, menjadi media massa ketujuh yang didiskualifikasi.
Diskualifikasi terhadap Medan Bisnis ini sontak membuat wartawan Medan Bisnis yang ada di Siantar, Samsudin Harahap, berang. Menurutnya Julham benar-benar telah melakukan’perang’ terhadap media. Menurut Samsudin, yang juga Ketua Persatuan Wartawan Kota Pematangsiantar (Perswakop), tindakan Julham benar-benar telah melecehkan insan pers di Siantar. “Ini menunjukkan Julham telah mengibarkan bendera perang terhadap pers di Siantar. Akan ada perlawanan,” kata Samsudin.
Menurut informasi bahwa Julham melakukan diskualifikasi,karena dia sudah capek merangkul mereka, namun tetap membuat berita menghujat juga. ”Saya sudah capek merangkul dan membujuk mereka, tapi tetap juga membuat berita menghujat, maka saya beri pelajaranlah,” kata Julham dengan lantang di hadapan Walikota Pematangsiantar RE Siahaan, seperti ditirukan Ketua Eksponen ‘66 Kota Pematangsiantar, Mangatas Simanungkalit, ketika pertemuan antara wartawan, tokoh masyarakat, dan Walikota Pematangsiantar, beberapa waktu lalu di ruang kerja walikota. Julham yang setahun lalu masih bertugas sebagai guru olah raga di SMAN 3 Pematangsiantar melontarkan kata-kata lantangnya itu untuk menjawab pertanyaan dan masukan dari Mangatas Simanungkalit. Saat itu Mangatas mengatakan bahwa mendiskualifikasi media cetak bukan tindakan yang baik, bahkan bisa mendatangkan akibat yang sangat buruk.
Ketua DPP Lepaskan (Lembaga Pengawasan dan Kepelaporan Aset Negara) Jansen Napitu menilai tindakan Pemko Pematangsiantar mendiskualifikasi media cetak menunjukkan kepanikan RE Siahaan dan Julham terhadap kritikan dan kecaman atas kebobrokan kinerja mereka. Jansen juga mengatakan bahwa tindakan pemko tersebut akan menuai perlawanan yang hebat dari kalangan dunia pers. ”Sebab yang dihina dan ditantang RE Siahaan dan Julham bukan hanya wartawan, tapi juga penerbit surat kabar, pengecer hingga loper koran. Mungkin mereka tidak tahu bahwa pers adalah pilar keempat kekuatan di dunia,”cetusnya. (fetra)
SIANTAR-SK: Tindakan Kepala Kantor Infokom Pemko Pematangsiantar Julham Situmorang mendiskualifikasi tujuh media dari Kantor Infokom terus mendapat kecaman sangat keras dari berbagai kalangan. Marlas Hutasoit, SH, Direktur Advokasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pematangsiantar mengecam tindakan Pemko Pematangsiantar tersebut.
Menurut Marlas, tindakan Pemko tersebut tidak dapat dibenarkan dan menyalahi Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Marlas mengatakan perbuatan Kepala Kantor Infokom Pematangsiantar tersebut secara nyata merupakan tindakan yang sangat arogan dan keji guna menghancurkan kredibilitas dan netralitas media massa yang ada di Pematangsiantar dengan tujuan agar menjadi media massa yang berada dan mampu dikooptasi sesuai dengan kepentingan Pemerintah Kota Pematangsiantar. Marlas berharap media yang didiskualifikasi dapat menggalang kekuatan melakukan perlawanan secara positif demi kebebasan pers.
Sebelumnya, enam media sejak 11 Oktober lalu didiskualifikasi oleh Kantor Infokom Pematangsiantar. Sebenarnya, sampai saat ini tak jelas apa maksud diskualifikasi tersebut. Julham Situmorang sendiri saat dikonfirmasi mengenai diskualifikasi ini tak memberikan jawaban yang pasti, bahkan terkesan ngawur. “Tanya saja diri sendiri, seperti pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah,” kata Julham melalui short message service (sms) kepada Sinar Keadilan.
Yang terakhir, Senin (20/10) lalu, Harian Medan Bisnis, menjadi media massa ketujuh yang didiskualifikasi.
Diskualifikasi terhadap Medan Bisnis ini sontak membuat wartawan Medan Bisnis yang ada di Siantar, Samsudin Harahap, berang. Menurutnya Julham benar-benar telah melakukan’perang’ terhadap media. Menurut Samsudin, yang juga Ketua Persatuan Wartawan Kota Pematangsiantar (Perswakop), tindakan Julham benar-benar telah melecehkan insan pers di Siantar. “Ini menunjukkan Julham telah mengibarkan bendera perang terhadap pers di Siantar. Akan ada perlawanan,” kata Samsudin.
Menurut informasi bahwa Julham melakukan diskualifikasi,karena dia sudah capek merangkul mereka, namun tetap membuat berita menghujat juga. ”Saya sudah capek merangkul dan membujuk mereka, tapi tetap juga membuat berita menghujat, maka saya beri pelajaranlah,” kata Julham dengan lantang di hadapan Walikota Pematangsiantar RE Siahaan, seperti ditirukan Ketua Eksponen ‘66 Kota Pematangsiantar, Mangatas Simanungkalit, ketika pertemuan antara wartawan, tokoh masyarakat, dan Walikota Pematangsiantar, beberapa waktu lalu di ruang kerja walikota. Julham yang setahun lalu masih bertugas sebagai guru olah raga di SMAN 3 Pematangsiantar melontarkan kata-kata lantangnya itu untuk menjawab pertanyaan dan masukan dari Mangatas Simanungkalit. Saat itu Mangatas mengatakan bahwa mendiskualifikasi media cetak bukan tindakan yang baik, bahkan bisa mendatangkan akibat yang sangat buruk.
Ketua DPP Lepaskan (Lembaga Pengawasan dan Kepelaporan Aset Negara) Jansen Napitu menilai tindakan Pemko Pematangsiantar mendiskualifikasi media cetak menunjukkan kepanikan RE Siahaan dan Julham terhadap kritikan dan kecaman atas kebobrokan kinerja mereka. Jansen juga mengatakan bahwa tindakan pemko tersebut akan menuai perlawanan yang hebat dari kalangan dunia pers. ”Sebab yang dihina dan ditantang RE Siahaan dan Julham bukan hanya wartawan, tapi juga penerbit surat kabar, pengecer hingga loper koran. Mungkin mereka tidak tahu bahwa pers adalah pilar keempat kekuatan di dunia,”cetusnya. (fetra)
Pencairan Dana ke Agro Madear Menyalahi Undang-undang
Pansus DPRD Simalungun Bertemu Staf Mendagri
SIMALUNGUN-SK: Pencairan dana secara sepihak yang dilakukan Ketua DPRD Simalungun Syahmidun Saragih terhadap Perusahaan Daerah (PD) Agro Madear, jelas melanggar perundang-undangan yang berlaku. Demikian dikatakan anggota DPRD Simalungun, Djujuran Tarigan, melalui short message service (sms) kepada Sinar Keadilan, dari Jakarta usai bertemu dengan staf Menteri Dalam Negeri, Rabu (22/10).
Menurut Djujuran, Ketua DPRD telah menyalahi ketentuan antara lain Permendagri Nomor 13 tahun 2006, Permendagri Nomor 59 tahun 2007, khususnya Pasal 71 Ayat 7 dan dilakukan tanpa adanya rekomendasi dari Komisi III.
Djujuran menambahkan dua kali pencairan dana dilakukan tanpa didukung oleh peraturan daerah (Perda) atau pencairan dana dilakukan tanpa melalui prosedur yang berlaku.
Djujuran bersama dengan beberapa orang anggota Panitia Khusus DPRD Simalungun berada di Jakarta untuk bertemu dengan Mendagri.
Di Kantor Mendagri, Pansus DPRD Simalungun diterima Budi Ernawan dan Anie. Selain Djujuran, anggota DPRD lain yang ikut dalam pertemuan tersebut adalah SM Simarmata, Chairul, Timbul Jaya Sibarani, Masdin Saragih, Marison Sinaga, dan lainnya.
Sebelumnya, anggota DPRD Simalungun Burhanuddin Sinaga kepada Sinar Keadilan, Selasa (21/10), menegaskan, akan mengadukan Ketua DPRD Simalungun Syahmidun Saragih yang telah menyetujui penyertaan modal terhadap Perusahaan Daerah (PD) Agro Madear. Pengaduan dilakukan setelah mendapat keterangan dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri) di Jakarta.
Burhanuddin menerangkan, apabila pada pertemuan yang dilakukan nantinya Mendagri memberikan tanggapan atas tindakan Ketua DPRD Simalungun yang telah menyetujui penyertaan modal PD Agro Madear, dengan mengatakan ada unsur pelanggaran, maka permasalahan tersebut akan dilanjutkan ke jalur hukum. "Tetapi sebaliknya, apabila Mendagri mengatakan tindakan Ketua DPRD Simalungun itu sesuai dengan aturan, maka hal ini tidak perlu ditindaklanjuti ke jalur hukum. "Saya tetap komitmen untuk menempuh jalur hukum dengan mengadukan Syahmidun jika Mendagri mengatakan tindakan Ketua DPRD Simalungun itu menyalahi peraturan dan undang-undang," tegasnya.
Selanjutnya, politisi PAN ini juga mengutarakan bahwa persoalan tersebut harus segera diselesaikan dan tidak berlarut-larut. "Tindakan ini murni dan terus terang tidak dilandasi oleh sentimen, kepentingan pribadi maupun unsur yang lain," ujarnya. (fet/sinaga)
SIMALUNGUN-SK: Pencairan dana secara sepihak yang dilakukan Ketua DPRD Simalungun Syahmidun Saragih terhadap Perusahaan Daerah (PD) Agro Madear, jelas melanggar perundang-undangan yang berlaku. Demikian dikatakan anggota DPRD Simalungun, Djujuran Tarigan, melalui short message service (sms) kepada Sinar Keadilan, dari Jakarta usai bertemu dengan staf Menteri Dalam Negeri, Rabu (22/10).
Menurut Djujuran, Ketua DPRD telah menyalahi ketentuan antara lain Permendagri Nomor 13 tahun 2006, Permendagri Nomor 59 tahun 2007, khususnya Pasal 71 Ayat 7 dan dilakukan tanpa adanya rekomendasi dari Komisi III.
Djujuran menambahkan dua kali pencairan dana dilakukan tanpa didukung oleh peraturan daerah (Perda) atau pencairan dana dilakukan tanpa melalui prosedur yang berlaku.
Djujuran bersama dengan beberapa orang anggota Panitia Khusus DPRD Simalungun berada di Jakarta untuk bertemu dengan Mendagri.
Di Kantor Mendagri, Pansus DPRD Simalungun diterima Budi Ernawan dan Anie. Selain Djujuran, anggota DPRD lain yang ikut dalam pertemuan tersebut adalah SM Simarmata, Chairul, Timbul Jaya Sibarani, Masdin Saragih, Marison Sinaga, dan lainnya.
Sebelumnya, anggota DPRD Simalungun Burhanuddin Sinaga kepada Sinar Keadilan, Selasa (21/10), menegaskan, akan mengadukan Ketua DPRD Simalungun Syahmidun Saragih yang telah menyetujui penyertaan modal terhadap Perusahaan Daerah (PD) Agro Madear. Pengaduan dilakukan setelah mendapat keterangan dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri) di Jakarta.
Burhanuddin menerangkan, apabila pada pertemuan yang dilakukan nantinya Mendagri memberikan tanggapan atas tindakan Ketua DPRD Simalungun yang telah menyetujui penyertaan modal PD Agro Madear, dengan mengatakan ada unsur pelanggaran, maka permasalahan tersebut akan dilanjutkan ke jalur hukum. "Tetapi sebaliknya, apabila Mendagri mengatakan tindakan Ketua DPRD Simalungun itu sesuai dengan aturan, maka hal ini tidak perlu ditindaklanjuti ke jalur hukum. "Saya tetap komitmen untuk menempuh jalur hukum dengan mengadukan Syahmidun jika Mendagri mengatakan tindakan Ketua DPRD Simalungun itu menyalahi peraturan dan undang-undang," tegasnya.
Selanjutnya, politisi PAN ini juga mengutarakan bahwa persoalan tersebut harus segera diselesaikan dan tidak berlarut-larut. "Tindakan ini murni dan terus terang tidak dilandasi oleh sentimen, kepentingan pribadi maupun unsur yang lain," ujarnya. (fet/sinaga)
Kapolres Simalungun: Saya Siap Dipecat Bila Terbukti Endapkan Kasus 19 CPNS
RE Siahaan Jadi Tersangka atau Tidak Menunggu Keputusan Kejaksaan
Jumat Besok, Gelar Perkara di Polres Simalungun
SIANTAR-SK: Kapolres Simalungun AKBP Rudi Hartono, SH, SIk, membantah tudingan miring yang mengatakan bahwa Polres Simalungun mengendapkan kasus 19 CPNS illegal Pemko Pematangsiantar tahun 2005. Bahkan dengan tegas Rudi menantang sesumbar yang menuding Polres Simalungun dengan sengaja telah memperlambat dan mengendapkan kasus yang diduga telah melibatkan orang nomor satu di kota ini, “Tolong buktikan sesumbar yang mengatakan Polres Simalungun dengan sengaja mengendapkan kasus tersebut. Bila terbukti saya siap dipecat dan dicopot dari jabatan saya,” papar Rudi kepada Sinar Keadilan saat dikonfirmasi secara eksklusif di rumah dinas Kapolres Simalungun Jalan Sutomo, Kecamatan Siantar Barat, Pematangsiantar, Rabu (22/10).
Masih menurutnya, sebagai bukti keseriusan pihaknya dalam penuntasan kasus tersebut Polres Simalungun, Jumat (24/10) mendatang, akan menggelar perkara tersebut di Mapolres Simalungun dan terbuka untuk umum dan direncanakan dipimpin langsung Kapolres Simalungun. “Silahkan datang bagi pihak-pihak yang ingin mengetahui sampai sejauhmana penanganan kasus tersebut dan tentu saja bagi semua pihak yang memiliki kepentingan atas kasus tersebut,” ungkap Rudi.
Dia menambahkan pihaknya justru ingin agar kasus ini bisa segera dapat dituntaskan sebab tentu saja akan menorehkan sejarah dan prestasi yang sangat luar biasa bagi Polres Simalungun sendiri karena kasus yang ditangani pihaknya saat ini adalah kasus yang pertama kali di Indonesia, “Justru kita berharap hal ini bisa segera dituntaskan sebab bila kasus ini bisa terungkap, adalah suatu prestasi yang sangat luar biasa karena kasus ini baru pertama kali terjadi di Indonesia dan kita bisa menanganinya,” papar Rudi kembali.
Rudi Hartono yang didampingi Kasat Reskrim AKP Dedy Supriadi, SIk menuturkan, proses penanganan kasus CPNS yang telah menyeret Kepala BKD Pematangsiantar, Morris Silalahi, sebagai tersangka, sudah cukup panjang dan melelahkan. Namun meski demikian upaya penuntasan kasus ini hingga saat ini masih tetap tidak mengendur. Soal jumlah tersangka ke depan, Rudi menjelaskan bisa saja bertambah tergantung dari hasil penyidikan oleh Polres Simalungun nantinya.
Di tempat yang yang sama AKP Dedy Supriadi, Sik mengatakan, sejak bergulirnya kasus tersebut beberapa waktu yang lalu, Polres Simalungun telah menyurati Polda Sumatera Utara perihal permohonan persetujuan tertulis guna melakukan gelar perkara sesuai dengan nopol :K/128/VI/2008/Reskrim tertanggal 26 Juni 2008 lalu. Selanjutnya, upaya menindak lanjuti surat dari Polres Simalungun, Polda Sumatera Utara kemudian kembali menyurati Mabes Polri dengan dasar surat nopol :B/2708/VIII/2008/ tanggal 5 Agustus 2008 perihal izin pemeriksaan walikota Pematangsiantar yakni R.E Siahaan. Menanggapi hal tersebut kemudian Mabes Polri dengan telegram (TR) nopol : STR/611/RA/VIII/ tertanggal 20 Agustus 2008 telah menyikapi surat tersebut untuk selanjutnya melakukan gelar perkara di Mabes Polri. “Dari dasar surat tersebut, tanggal 27 Agustus 2008 lalu, telah digelar kasus 19 CPNS Siantar yang dipimpin langsung Karo Analis Bareskrim Mabes Polri di Jakarta,” papar Dedi sembari menambahkan bahwa kesimpulan dari gelar yang dilaksanakan di Mabes Polri agar berkas perkara diajukan dan dilimpahkan kepada pihak Kejaksaan dan selanjutnya menunggu petunjuk dari Kejaksaan sendiri apakah Walikota Pematangsiantar Ir. RE. Siahaan dijadikan tersangka atau hanya sebatas saksi. “Setelah berkas tersebut kita limpahkan kepada pihak Kejaksaan kita masih menunggu petunjuk dari kejaksaan Pematangsiantar yang menangani kasus tersebut,” papar Dedi lagi.
Di tempat terpisah, Kabid Humas (Kepala Bidang Hubungan Masyarakat) Polda Sumatera Utara Komisaris Besar Polisi Baharudin Djafar ketika dikonfirmasi Sinar Keadilan terkait perkembangan kasus 19 CPNS Pematangsiantar formasi tahun 2005, melalui short message service (sms) mengatakan bahwa kasus tersebut masih dalam proses penyelesaian. “Sedang dalam penyelesaian dan proses, dan sementara masih demikianlah hasil rik (pemeriksaan-red),” paparnya singkat. (daud)
Jumat Besok, Gelar Perkara di Polres Simalungun
SIANTAR-SK: Kapolres Simalungun AKBP Rudi Hartono, SH, SIk, membantah tudingan miring yang mengatakan bahwa Polres Simalungun mengendapkan kasus 19 CPNS illegal Pemko Pematangsiantar tahun 2005. Bahkan dengan tegas Rudi menantang sesumbar yang menuding Polres Simalungun dengan sengaja telah memperlambat dan mengendapkan kasus yang diduga telah melibatkan orang nomor satu di kota ini, “Tolong buktikan sesumbar yang mengatakan Polres Simalungun dengan sengaja mengendapkan kasus tersebut. Bila terbukti saya siap dipecat dan dicopot dari jabatan saya,” papar Rudi kepada Sinar Keadilan saat dikonfirmasi secara eksklusif di rumah dinas Kapolres Simalungun Jalan Sutomo, Kecamatan Siantar Barat, Pematangsiantar, Rabu (22/10).
Masih menurutnya, sebagai bukti keseriusan pihaknya dalam penuntasan kasus tersebut Polres Simalungun, Jumat (24/10) mendatang, akan menggelar perkara tersebut di Mapolres Simalungun dan terbuka untuk umum dan direncanakan dipimpin langsung Kapolres Simalungun. “Silahkan datang bagi pihak-pihak yang ingin mengetahui sampai sejauhmana penanganan kasus tersebut dan tentu saja bagi semua pihak yang memiliki kepentingan atas kasus tersebut,” ungkap Rudi.
Dia menambahkan pihaknya justru ingin agar kasus ini bisa segera dapat dituntaskan sebab tentu saja akan menorehkan sejarah dan prestasi yang sangat luar biasa bagi Polres Simalungun sendiri karena kasus yang ditangani pihaknya saat ini adalah kasus yang pertama kali di Indonesia, “Justru kita berharap hal ini bisa segera dituntaskan sebab bila kasus ini bisa terungkap, adalah suatu prestasi yang sangat luar biasa karena kasus ini baru pertama kali terjadi di Indonesia dan kita bisa menanganinya,” papar Rudi kembali.
Rudi Hartono yang didampingi Kasat Reskrim AKP Dedy Supriadi, SIk menuturkan, proses penanganan kasus CPNS yang telah menyeret Kepala BKD Pematangsiantar, Morris Silalahi, sebagai tersangka, sudah cukup panjang dan melelahkan. Namun meski demikian upaya penuntasan kasus ini hingga saat ini masih tetap tidak mengendur. Soal jumlah tersangka ke depan, Rudi menjelaskan bisa saja bertambah tergantung dari hasil penyidikan oleh Polres Simalungun nantinya.
Di tempat yang yang sama AKP Dedy Supriadi, Sik mengatakan, sejak bergulirnya kasus tersebut beberapa waktu yang lalu, Polres Simalungun telah menyurati Polda Sumatera Utara perihal permohonan persetujuan tertulis guna melakukan gelar perkara sesuai dengan nopol :K/128/VI/2008/Reskrim tertanggal 26 Juni 2008 lalu. Selanjutnya, upaya menindak lanjuti surat dari Polres Simalungun, Polda Sumatera Utara kemudian kembali menyurati Mabes Polri dengan dasar surat nopol :B/2708/VIII/2008/ tanggal 5 Agustus 2008 perihal izin pemeriksaan walikota Pematangsiantar yakni R.E Siahaan. Menanggapi hal tersebut kemudian Mabes Polri dengan telegram (TR) nopol : STR/611/RA/VIII/ tertanggal 20 Agustus 2008 telah menyikapi surat tersebut untuk selanjutnya melakukan gelar perkara di Mabes Polri. “Dari dasar surat tersebut, tanggal 27 Agustus 2008 lalu, telah digelar kasus 19 CPNS Siantar yang dipimpin langsung Karo Analis Bareskrim Mabes Polri di Jakarta,” papar Dedi sembari menambahkan bahwa kesimpulan dari gelar yang dilaksanakan di Mabes Polri agar berkas perkara diajukan dan dilimpahkan kepada pihak Kejaksaan dan selanjutnya menunggu petunjuk dari Kejaksaan sendiri apakah Walikota Pematangsiantar Ir. RE. Siahaan dijadikan tersangka atau hanya sebatas saksi. “Setelah berkas tersebut kita limpahkan kepada pihak Kejaksaan kita masih menunggu petunjuk dari kejaksaan Pematangsiantar yang menangani kasus tersebut,” papar Dedi lagi.
Di tempat terpisah, Kabid Humas (Kepala Bidang Hubungan Masyarakat) Polda Sumatera Utara Komisaris Besar Polisi Baharudin Djafar ketika dikonfirmasi Sinar Keadilan terkait perkembangan kasus 19 CPNS Pematangsiantar formasi tahun 2005, melalui short message service (sms) mengatakan bahwa kasus tersebut masih dalam proses penyelesaian. “Sedang dalam penyelesaian dan proses, dan sementara masih demikianlah hasil rik (pemeriksaan-red),” paparnya singkat. (daud)
Julham Mengibarkan Bendera Perang, akan Ada Perlawanan
Harian Medan Bisnis, Media Ketujuh Didiskualifikasi Kantor Infokom Pematangsiantar
RE Siahaan dan Julham Panik atas Kebobrokan Kinerja Mereka
SIANTAR-SK: Korban Kepala Kantor Infokom Pemko Pematangsiantar Julham Situmorang kembali bertambah. Kali ini, Harian Medan Bisnis didiskualifikasi dari Kantor Infokom. Harian Medan Bisnis menyusul enam media yang sebelumnya telah didiskualifikasi oleh Julham. Diskualifikasi dilakukan karena Julham menganggap tujuh media tersebut selalu mengkritik Pemko Pematangsiantar, khususnya Walikota RE Siahaan.
Selasa (21/10) kemarin, salah seorang pegawai Kantor Infokom Risma Ester Napitupulu, saat berbincang dengan beberapa wartawan di lingkungan Kantor Walikota Pematangsiantar mengatakan Harian Medan Bisnis adalah surat kabar ketujuh yang didiskualifikasi Kakan Infokom.”Surat kabar ketujuh yang didiskualifikasi adalah Medan Bisnis,” katanya seraya meminta untuk melihat langsung ke Kantor Infokom. Setelah dicek langsung ke Kantor Infokom, ternyata memang terpampang pengumuman diskualifikasi tujuh media cetak, termasuk Medan Bisnis.
Diskualifikasi terhadap Medan Bisnis ini sontak membuat wartawan Medan Bisnis yang ada di Siantar, Samsudin Harahap, berang. Menurutnya Julham benar-benar telah melakukan’perang’ terhadap media. Menurut Samsudin, yang juga Ketua Persatuan Wartawan Kota Pematangsiantar (Perswakop), tindakan Julham benar-benar telah melecehkan insan pers di Siantar. “Ini menunjukkan Julham telah mengibarkan bendera perang terhadap pers di Siantar. Akan ada perlawanan,” kata Samsudin.
Jannes Silaban, wartawan Medan Bisnis lainnya yang ada di Siantar, hanya tertawa mendengar pengumuman tersebut. “Biarkan saja, ini menunjukkan bagaimana kualitas seorang Julham. Ingat, wartawan tidak makan dari Pemko,” katanya.
Jannes menambahkan apa yang dilakukan Julham tidak akan mengubah apapun terhadap wartawan yang mengkritik Pemko Pematangsiantar. “Kita tetap bekerja seperti biasa, tidak mengubah apapun. Lagipula, apa yang kita harapkan dari Pemko? Mereka langganan koran saja hanya bayar sekali setahun,” kata Jannes.
Sekadar mengingatkan, beberapa waktu lalu Kantor Infokom mendiskualifikasi enam media yang selama ini cukup kritis memberitakan kebijakan Walikota Pematangsiantar. Keenam media tersebut yakni Harian Andalas, Skala Indonesia, Metro 24 Jam, Dialog, Sinar Keadilan, dan Local News. Hebatnya ‘pemecatan’ enam media cetak itu diumumkan secara resmi di papan pengumuman dengan kalimat ancaman di bawahnya, ”Siapa Nyusul?” Dan ancaman itu dibuktikan Julham dengan susulan mendiskualifikasi Harian Medan Bisnis sejak Senin (20/10).
Menurut informasi bahwa Julham melakukan diskualifikasi,karena dia sudah capek merangkul mereka, namun tetap membuat berita menghujat juga. ”Saya sudah capek merangkul dan membujuk mereka, tapi tetap juga membuat berita menghujat, maka saya beri pelajaranlah,” kata Julham dengan lantang di hadapan Walikota Pematangsiantar RE Siahaan, seperti ditirukan Ketua Eksponen ‘66 Kota Pematangsiantar, Mangatas Simanungkalit, ketika pertemuan antara wartawan, tokoh masyarakat, dan Walikota Pematangsiantar, beberapa waktu lalu di ruang kerja walikota. Julham yang setahun lalu masih bertugas sebagai guru olah raga di SMAN 3 Pematangsiantar melontarkan kata-kata lantangnya itu untuk menjawab pertanyaan dan masukan dari Mangatas Simanungkalit. Saat itu Mangatas mengatakan bahwa mendiskualifikasi media cetak bukan tindakan yang baik, bahkan bisa mendatangkan akibat yang sangat buruk.
Ketua DPP Lepaskan (Lembaga Pengawasan dan Kepelaporan Aset Negara) Jansen Napitu menilai tindakan Pemko Pematangsiantar mendiskualifikasi media cetak menunjukkan kepanikan RE Siahaan dan Julham terhadap kritikan dan kecaman atas kebobrokan kinerja mereka. Jansen juga mengatakan bahwa tindakan pemko tersebut akan menuai perlawanan yang hebat dari kalangan dunia pers. ”Sebab yang dihina dan ditantang RE Siahaan dan Julham bukan hanya wartawan, tapi juga penerbit surat kabar, pengecer hingga loper koran. Mungkin mereka tidak tahu bahwa pers adalah pilar keempat kekuatan di dunia,”cetusnya. (fetra)
RE Siahaan dan Julham Panik atas Kebobrokan Kinerja Mereka
SIANTAR-SK: Korban Kepala Kantor Infokom Pemko Pematangsiantar Julham Situmorang kembali bertambah. Kali ini, Harian Medan Bisnis didiskualifikasi dari Kantor Infokom. Harian Medan Bisnis menyusul enam media yang sebelumnya telah didiskualifikasi oleh Julham. Diskualifikasi dilakukan karena Julham menganggap tujuh media tersebut selalu mengkritik Pemko Pematangsiantar, khususnya Walikota RE Siahaan.
Selasa (21/10) kemarin, salah seorang pegawai Kantor Infokom Risma Ester Napitupulu, saat berbincang dengan beberapa wartawan di lingkungan Kantor Walikota Pematangsiantar mengatakan Harian Medan Bisnis adalah surat kabar ketujuh yang didiskualifikasi Kakan Infokom.”Surat kabar ketujuh yang didiskualifikasi adalah Medan Bisnis,” katanya seraya meminta untuk melihat langsung ke Kantor Infokom. Setelah dicek langsung ke Kantor Infokom, ternyata memang terpampang pengumuman diskualifikasi tujuh media cetak, termasuk Medan Bisnis.
Diskualifikasi terhadap Medan Bisnis ini sontak membuat wartawan Medan Bisnis yang ada di Siantar, Samsudin Harahap, berang. Menurutnya Julham benar-benar telah melakukan’perang’ terhadap media. Menurut Samsudin, yang juga Ketua Persatuan Wartawan Kota Pematangsiantar (Perswakop), tindakan Julham benar-benar telah melecehkan insan pers di Siantar. “Ini menunjukkan Julham telah mengibarkan bendera perang terhadap pers di Siantar. Akan ada perlawanan,” kata Samsudin.
Jannes Silaban, wartawan Medan Bisnis lainnya yang ada di Siantar, hanya tertawa mendengar pengumuman tersebut. “Biarkan saja, ini menunjukkan bagaimana kualitas seorang Julham. Ingat, wartawan tidak makan dari Pemko,” katanya.
Jannes menambahkan apa yang dilakukan Julham tidak akan mengubah apapun terhadap wartawan yang mengkritik Pemko Pematangsiantar. “Kita tetap bekerja seperti biasa, tidak mengubah apapun. Lagipula, apa yang kita harapkan dari Pemko? Mereka langganan koran saja hanya bayar sekali setahun,” kata Jannes.
Sekadar mengingatkan, beberapa waktu lalu Kantor Infokom mendiskualifikasi enam media yang selama ini cukup kritis memberitakan kebijakan Walikota Pematangsiantar. Keenam media tersebut yakni Harian Andalas, Skala Indonesia, Metro 24 Jam, Dialog, Sinar Keadilan, dan Local News. Hebatnya ‘pemecatan’ enam media cetak itu diumumkan secara resmi di papan pengumuman dengan kalimat ancaman di bawahnya, ”Siapa Nyusul?” Dan ancaman itu dibuktikan Julham dengan susulan mendiskualifikasi Harian Medan Bisnis sejak Senin (20/10).
Menurut informasi bahwa Julham melakukan diskualifikasi,karena dia sudah capek merangkul mereka, namun tetap membuat berita menghujat juga. ”Saya sudah capek merangkul dan membujuk mereka, tapi tetap juga membuat berita menghujat, maka saya beri pelajaranlah,” kata Julham dengan lantang di hadapan Walikota Pematangsiantar RE Siahaan, seperti ditirukan Ketua Eksponen ‘66 Kota Pematangsiantar, Mangatas Simanungkalit, ketika pertemuan antara wartawan, tokoh masyarakat, dan Walikota Pematangsiantar, beberapa waktu lalu di ruang kerja walikota. Julham yang setahun lalu masih bertugas sebagai guru olah raga di SMAN 3 Pematangsiantar melontarkan kata-kata lantangnya itu untuk menjawab pertanyaan dan masukan dari Mangatas Simanungkalit. Saat itu Mangatas mengatakan bahwa mendiskualifikasi media cetak bukan tindakan yang baik, bahkan bisa mendatangkan akibat yang sangat buruk.
Ketua DPP Lepaskan (Lembaga Pengawasan dan Kepelaporan Aset Negara) Jansen Napitu menilai tindakan Pemko Pematangsiantar mendiskualifikasi media cetak menunjukkan kepanikan RE Siahaan dan Julham terhadap kritikan dan kecaman atas kebobrokan kinerja mereka. Jansen juga mengatakan bahwa tindakan pemko tersebut akan menuai perlawanan yang hebat dari kalangan dunia pers. ”Sebab yang dihina dan ditantang RE Siahaan dan Julham bukan hanya wartawan, tapi juga penerbit surat kabar, pengecer hingga loper koran. Mungkin mereka tidak tahu bahwa pers adalah pilar keempat kekuatan di dunia,”cetusnya. (fetra)
Jangan karena Menenangkan Hati Guru, Walikota Berbuat Sesuka Hati
Terkait Dugaan Tunjangan Guru PNS Dibayar dengan Mengalihkan Anggaran SKPD
SIANTAR-SK: Sampai saat ini asal dana pembayaran tunjangan guru-guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebesar Rp16 miliar masih teka teki. Diduga dananya diambil dengan mengalihkan sejumlah anggaran di Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang dialokasikan di Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2008. Modusnya disinyalir dengan menunda sejumlah program di dinas-dinas yang sebelumnya telah disetujui DPRD Pematangsiantar melalui APBD. Rencananya anggaran yang tertunda tersebut akan ditampung di Perubahan APBD 2008.
Ketua Komisi III DPRD Pematangsiantar, Mangatas Silalahi, SE, Selasa (21/10), menilai anggaran yang telah disahkan di APBD yang harus dilaksanakan. Sedangkan adanya anggaran di APBD yang dialihkan ke anggaran lainnya, menurutnya hanya dapat dilakukan apabila ada persetujuan DPRD.
“Ini namanya pelanggaran disiplin anggaran jika ada pengeluaran dilakukan yang anggarannya tidak tercantum di APBD, terkecuali kejadian bencana alam,” jelasnya.
Mangatas mengatakan hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
“Jadi apapun yang telah ditampung di APBD itu yang harus dilaksanakan, terkecuali adanya persetujuan dari DPRD,” jelasnya.
Menurutnya dibayarkannya tunjangan guru PNS, DPRD sepenuhnya mendukung. Namun politisi dari Partai Golkar tersebut mengatakan harus mengacu kepada mekanisme yang berlaku. “Jangan karena menenangkan hati guru, maka walikota dapat berbuat sesuka hati. Tidak tertutup kemungkinan dilakukan pengeluaran lainnya sedangkan anggaran tidak ada di APBD,” ungkapnya.
Dia berpendapat jika tunjangan guru PNS tidak ditampung di APBD, harusnya walikota menyurati DPRD untuk duduk bersama membahas bagaimana pembayarannya. Mangatas mengatakan ini dilakukan agar tidak ada keputusan sepihak yang dapat berdampak buruk atas laporan keuangan pemko nantinya.
Mengenai akan ditampungnya anggaran yang tertunda di PAPBD, Mangatas mempertanyakan apakah mungkin hal tersebut dapat terlaksana. Menurutnya sampai saat ini Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) 2007 hasil audit Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) belum diserahkan pemko kepada DPRD.
“Makanya LKPD 2007 belum dibahas, bagaimana legislatif dapat melakukan pembahasan PAPBD 2008,” sebutnya.
Sementara itu pengamat anggaran dari Simalungun Coruption Watch (SCW) M Adil Saragih berpendapat perubahan mata anggaran tidak dapat dilakukan tanpa melalui pembahasan DPRD. Dikatakannya perubahan itu hanya dapat ditampung di PAPBD.
“Tanpa melalui mekanime yang jelas, adanya perubahan sudah termasuk pelanggaran anggaran,” katanya.
Adil juga membenarkan hal ini dapat berakibat adanya laporan keuangan daerah kemungkinan disclaimer (tidak lengkap) jika adanya pengalihan anggaran yang tidak ada ditampung di APBD sebelumnya. (jansen).
SIANTAR-SK: Sampai saat ini asal dana pembayaran tunjangan guru-guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebesar Rp16 miliar masih teka teki. Diduga dananya diambil dengan mengalihkan sejumlah anggaran di Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang dialokasikan di Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2008. Modusnya disinyalir dengan menunda sejumlah program di dinas-dinas yang sebelumnya telah disetujui DPRD Pematangsiantar melalui APBD. Rencananya anggaran yang tertunda tersebut akan ditampung di Perubahan APBD 2008.
Ketua Komisi III DPRD Pematangsiantar, Mangatas Silalahi, SE, Selasa (21/10), menilai anggaran yang telah disahkan di APBD yang harus dilaksanakan. Sedangkan adanya anggaran di APBD yang dialihkan ke anggaran lainnya, menurutnya hanya dapat dilakukan apabila ada persetujuan DPRD.
“Ini namanya pelanggaran disiplin anggaran jika ada pengeluaran dilakukan yang anggarannya tidak tercantum di APBD, terkecuali kejadian bencana alam,” jelasnya.
Mangatas mengatakan hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
“Jadi apapun yang telah ditampung di APBD itu yang harus dilaksanakan, terkecuali adanya persetujuan dari DPRD,” jelasnya.
Menurutnya dibayarkannya tunjangan guru PNS, DPRD sepenuhnya mendukung. Namun politisi dari Partai Golkar tersebut mengatakan harus mengacu kepada mekanisme yang berlaku. “Jangan karena menenangkan hati guru, maka walikota dapat berbuat sesuka hati. Tidak tertutup kemungkinan dilakukan pengeluaran lainnya sedangkan anggaran tidak ada di APBD,” ungkapnya.
Dia berpendapat jika tunjangan guru PNS tidak ditampung di APBD, harusnya walikota menyurati DPRD untuk duduk bersama membahas bagaimana pembayarannya. Mangatas mengatakan ini dilakukan agar tidak ada keputusan sepihak yang dapat berdampak buruk atas laporan keuangan pemko nantinya.
Mengenai akan ditampungnya anggaran yang tertunda di PAPBD, Mangatas mempertanyakan apakah mungkin hal tersebut dapat terlaksana. Menurutnya sampai saat ini Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) 2007 hasil audit Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) belum diserahkan pemko kepada DPRD.
“Makanya LKPD 2007 belum dibahas, bagaimana legislatif dapat melakukan pembahasan PAPBD 2008,” sebutnya.
Sementara itu pengamat anggaran dari Simalungun Coruption Watch (SCW) M Adil Saragih berpendapat perubahan mata anggaran tidak dapat dilakukan tanpa melalui pembahasan DPRD. Dikatakannya perubahan itu hanya dapat ditampung di PAPBD.
“Tanpa melalui mekanime yang jelas, adanya perubahan sudah termasuk pelanggaran anggaran,” katanya.
Adil juga membenarkan hal ini dapat berakibat adanya laporan keuangan daerah kemungkinan disclaimer (tidak lengkap) jika adanya pengalihan anggaran yang tidak ada ditampung di APBD sebelumnya. (jansen).
Kapolres Diminta Berikan Bukti Pengajuan Ijin Pemeriksaan Walikota RE Siahaan
Kasus 19 CPNS Ilegal 2005 dan Lambannya Penanganan Polres Simalungun
Grace: Aparat Hukum Di Siantar Sepakat Lindungi Sesama Pejabat
SIANTAR-SK: Pelimpahan berkas dari Polres Simalungun ke Kejaksaan Negeri Siantar dengan hanya satu tersangka, Drs Morris Silalahi, dalam kasus 19 CPNS illegal 2005 Pemko Siantar, mendapat gugatan dari Jansen Napitu, Ketua LSM Lembaga Pengawasan dan Kepelaporan Aset Negara (Lepaskan), saksi pelapor dalam kasus ini.
Menurut Jansen, setelah lebih dari satu tahun kasus ini disidik polisi, penetapan tersangka yang hanya satu orang, patut dipertanyakan. Padahal sesuai laporan Jansen, ada beberapa nama, para pejabat Pemko Siantar, yang seharusnya menjadi tersangka. “Bagaimana dengan Walikota RE Siahaan selaku penanggungjawab dan panitia yang lain, termasuk 19 CPNS ,apakah statusnya telah ditetapkan?” Tanya Jansen, yang beberapa waktu lalu telah menyurati Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Kapolri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri, Kapoldasu Irjen (Pol) Nanan Soekarna ,menyampaikan kelambanan Polres Simalungun menangani kasus tersebut.
“Harusnya ada ketrasparanan sejauhmana prosesnya agar masyarakat, termasuk kami sebagai pelapor, dapat mengetahuinya. Sehingga tidak ada dugaan untuk melindungi para pejabat di daerah ini,” tandasnya.
Jansen juga mempertanyakan sejauhmana proses pengajuan ijin pemeriksaan Walikota RE Siahaan kepada Presiden yang pernah disampaikan Kapolres Simalungun AKBP Rudi Hartono beberapa bulan yang lalu.
“Apakah ada tanda bukti telah diajukan? Ini yang harus dijelaskan kepada publik. Agar tidak ada dugaan jika pengajuan itu tidak pernah disampaikan,” sebutnya.
Hal senada juga disampaikan Ketua Komisi II DPRD Siantar, Grace Cristiane br Saragih. Sebelumnya dia bersama anggota dewan yang lain yakni Muslimin Akbar SHi dan Alosius Sihite pernah mendatangi Kapolres menjelang Pemilihan Gubernur Sumatera Utara (Pilgubsu) sekitar April 2008 yang lalu mempertanyakan sejauh mana proses penyidikan yang dilakukan.
“Kapolres mengatakan serius dengan CPNS Gate dan pernyataannya sedang menunggu proses ijin dari presiden. Ternyata semuanya hanya isapan jempol belaka,” ujarnya.
Dia juga mengatakan prihatin dengan aparat hukum yang ada di Siantar yang diduga bersama-sama sepakat melindungi sesama pejabat dengan mengabaikan hukum dan melukai rasa keadilan publik. Menurutnya tindakan ini juga menghancurkan nilai moral etis bangsa dimana budaya malu dan hati nurani mereka telah mati suri.
“Tetapi kita jangan menyerah dan kasus kejahatan ini harus dituntut pertangungjawaban siapa pelakunya,” kata Grace.
Kapolres Simalungun AKBP Rudi Hartono saat dikonfimasi melalui short message service (SMS) mengenai ijin pemeriksaan walikota mengatakan, “Katanya di koran- koran saya baca diendapkan Kapolres, periksa walikota harus ijin presiden dengan prosedur teliti dan digelar di Polda dan Bareskrim Mabes Polri, Polres telah tempuh prosedur itu.” Demikian bunyi sms balasan yang diterima Sinar Keadilan. (jansen)
Grace: Aparat Hukum Di Siantar Sepakat Lindungi Sesama Pejabat
SIANTAR-SK: Pelimpahan berkas dari Polres Simalungun ke Kejaksaan Negeri Siantar dengan hanya satu tersangka, Drs Morris Silalahi, dalam kasus 19 CPNS illegal 2005 Pemko Siantar, mendapat gugatan dari Jansen Napitu, Ketua LSM Lembaga Pengawasan dan Kepelaporan Aset Negara (Lepaskan), saksi pelapor dalam kasus ini.
Menurut Jansen, setelah lebih dari satu tahun kasus ini disidik polisi, penetapan tersangka yang hanya satu orang, patut dipertanyakan. Padahal sesuai laporan Jansen, ada beberapa nama, para pejabat Pemko Siantar, yang seharusnya menjadi tersangka. “Bagaimana dengan Walikota RE Siahaan selaku penanggungjawab dan panitia yang lain, termasuk 19 CPNS ,apakah statusnya telah ditetapkan?” Tanya Jansen, yang beberapa waktu lalu telah menyurati Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Kapolri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri, Kapoldasu Irjen (Pol) Nanan Soekarna ,menyampaikan kelambanan Polres Simalungun menangani kasus tersebut.
“Harusnya ada ketrasparanan sejauhmana prosesnya agar masyarakat, termasuk kami sebagai pelapor, dapat mengetahuinya. Sehingga tidak ada dugaan untuk melindungi para pejabat di daerah ini,” tandasnya.
Jansen juga mempertanyakan sejauhmana proses pengajuan ijin pemeriksaan Walikota RE Siahaan kepada Presiden yang pernah disampaikan Kapolres Simalungun AKBP Rudi Hartono beberapa bulan yang lalu.
“Apakah ada tanda bukti telah diajukan? Ini yang harus dijelaskan kepada publik. Agar tidak ada dugaan jika pengajuan itu tidak pernah disampaikan,” sebutnya.
Hal senada juga disampaikan Ketua Komisi II DPRD Siantar, Grace Cristiane br Saragih. Sebelumnya dia bersama anggota dewan yang lain yakni Muslimin Akbar SHi dan Alosius Sihite pernah mendatangi Kapolres menjelang Pemilihan Gubernur Sumatera Utara (Pilgubsu) sekitar April 2008 yang lalu mempertanyakan sejauh mana proses penyidikan yang dilakukan.
“Kapolres mengatakan serius dengan CPNS Gate dan pernyataannya sedang menunggu proses ijin dari presiden. Ternyata semuanya hanya isapan jempol belaka,” ujarnya.
Dia juga mengatakan prihatin dengan aparat hukum yang ada di Siantar yang diduga bersama-sama sepakat melindungi sesama pejabat dengan mengabaikan hukum dan melukai rasa keadilan publik. Menurutnya tindakan ini juga menghancurkan nilai moral etis bangsa dimana budaya malu dan hati nurani mereka telah mati suri.
“Tetapi kita jangan menyerah dan kasus kejahatan ini harus dituntut pertangungjawaban siapa pelakunya,” kata Grace.
Kapolres Simalungun AKBP Rudi Hartono saat dikonfimasi melalui short message service (SMS) mengenai ijin pemeriksaan walikota mengatakan, “Katanya di koran- koran saya baca diendapkan Kapolres, periksa walikota harus ijin presiden dengan prosedur teliti dan digelar di Polda dan Bareskrim Mabes Polri, Polres telah tempuh prosedur itu.” Demikian bunyi sms balasan yang diterima Sinar Keadilan. (jansen)
Galang Solidaritas Pers Siantar-Simalungun Adakan Perlawanan
Buntut Diskualifikasi 6 Media Cetak Oleh Infokom Pemko Pematangsiantar
SIANTAR-SK: Diskualifikasi terhadap enam media di Kantor Infokom Pemko Pematangsiantar terus mendapat sorotan berbagai kalangan.Larham Simaremare, wartawan Harian Andalas (salah satu media yang didiskualifikasi), Senin (20/10), mengatakan tindakan Pemko Pematangsiantar, melalui Kantor Infokom, merupakan tindakan yang sangat arogan dan bodoh. ”Sangat aneh bila Pemko Siantar harus meiskualifikasi surat kabar yang selalu membuat berita kritik tentang kebobrokan Walikota RE Siahaan. Berarti Pemko Siantar tidak memahami UU No 40 tahun 1999 tentang Pers, serta tidak mengerti fungsi sosial kontrol pers,” cetusnya. Menurut Larham, bila ada pemberitaan surat kabar terhadap Pemko Siantar maupun RE Siahaan yang tidak benar, maka mereka harus membuat hak jawab sesuai undang-undang. ”Kalau memang pejabat-pejabat Pemko Siantar tidak memahami kehidupan pers, maka sudah saatnya diberikan pembelajaran kepada mereka tentang segala peraturan dan perangkat dunia Jurnalistik,” katanya.
Imran Nasution, wartawan Harian Mimbar Umum, dalam dialog interaktif di Radio CAS Siantar, Sabtu (18/10) lalu, mengatakan bahwa diskualifikasi yang dilakukan Kantor Infokom tersebut pantas mendapat kecaman.
Sementara itu Ketua Persatuan Wartawan Kota Pematangsiantar (Perswakop)Samsudin Harahap mengatakan tindakan Kakan Infokom Julham Situmorang mendiskualifikasi enam media cetak merupakan penghinaan yang sangat luar biasa terhadap dunia jurnalistik dan persuratkabaran. ”Saya sedang menggalang solidaritas dari para pelaku dunia jurnalistik untuk mengadakan perlawanan terhadap penghinaan tersebut. Kita akan menyusun kekuatan dan dalil hukum untuk mengadukan Julham atau RE Siahaan secara pidana,” cetusnya.
Ketua unit wartawan Pemko Pematangsiantar, Lintong Siahaan, wartawan Harian Global, mengutip Medan Bisnis, Senin (20/10), di kantornya, mengatakan sangat menyayangkan tindakan diskualifikasi terhadap media cetak yang dilakukan Pemko Pematangsiantar.Karena menurut Siahaan media itu bukan untuk diberangus tapi dijadikan mitra dalam melakukan pembangunan di daerah itu. ”Tindakan itu sudah merupakan pelecehan terhadap dunia jurnalistik,” tegasnya.
Sekadar mengingatkan, beberapa waktu lalu Pemko Pematangsiantar melalui Kantor Infokom mendiskualifikasi enam media cetak yaitu Harian Andalas, Skala Indonesia, Metro 24 Jam, Dialog, Sinar Keadilan, dan Local News. Hebatnya diskualifikasi itu diumumkan secara resmi di papan pengumuman dengan kalimat ancaman di bawahnya, ”Siapa Nyusul?". Menurut informasi kakan Infokom Julham Situmorang melakukan diskualifikasi karena dia sudah capek berusaha merangkul waratwan dari enam media tersebut namun tetap membuat berita yang menghujat Pemko Siantar. (fetra)
SIANTAR-SK: Diskualifikasi terhadap enam media di Kantor Infokom Pemko Pematangsiantar terus mendapat sorotan berbagai kalangan.Larham Simaremare, wartawan Harian Andalas (salah satu media yang didiskualifikasi), Senin (20/10), mengatakan tindakan Pemko Pematangsiantar, melalui Kantor Infokom, merupakan tindakan yang sangat arogan dan bodoh. ”Sangat aneh bila Pemko Siantar harus meiskualifikasi surat kabar yang selalu membuat berita kritik tentang kebobrokan Walikota RE Siahaan. Berarti Pemko Siantar tidak memahami UU No 40 tahun 1999 tentang Pers, serta tidak mengerti fungsi sosial kontrol pers,” cetusnya. Menurut Larham, bila ada pemberitaan surat kabar terhadap Pemko Siantar maupun RE Siahaan yang tidak benar, maka mereka harus membuat hak jawab sesuai undang-undang. ”Kalau memang pejabat-pejabat Pemko Siantar tidak memahami kehidupan pers, maka sudah saatnya diberikan pembelajaran kepada mereka tentang segala peraturan dan perangkat dunia Jurnalistik,” katanya.
Imran Nasution, wartawan Harian Mimbar Umum, dalam dialog interaktif di Radio CAS Siantar, Sabtu (18/10) lalu, mengatakan bahwa diskualifikasi yang dilakukan Kantor Infokom tersebut pantas mendapat kecaman.
Sementara itu Ketua Persatuan Wartawan Kota Pematangsiantar (Perswakop)Samsudin Harahap mengatakan tindakan Kakan Infokom Julham Situmorang mendiskualifikasi enam media cetak merupakan penghinaan yang sangat luar biasa terhadap dunia jurnalistik dan persuratkabaran. ”Saya sedang menggalang solidaritas dari para pelaku dunia jurnalistik untuk mengadakan perlawanan terhadap penghinaan tersebut. Kita akan menyusun kekuatan dan dalil hukum untuk mengadukan Julham atau RE Siahaan secara pidana,” cetusnya.
Ketua unit wartawan Pemko Pematangsiantar, Lintong Siahaan, wartawan Harian Global, mengutip Medan Bisnis, Senin (20/10), di kantornya, mengatakan sangat menyayangkan tindakan diskualifikasi terhadap media cetak yang dilakukan Pemko Pematangsiantar.Karena menurut Siahaan media itu bukan untuk diberangus tapi dijadikan mitra dalam melakukan pembangunan di daerah itu. ”Tindakan itu sudah merupakan pelecehan terhadap dunia jurnalistik,” tegasnya.
Sekadar mengingatkan, beberapa waktu lalu Pemko Pematangsiantar melalui Kantor Infokom mendiskualifikasi enam media cetak yaitu Harian Andalas, Skala Indonesia, Metro 24 Jam, Dialog, Sinar Keadilan, dan Local News. Hebatnya diskualifikasi itu diumumkan secara resmi di papan pengumuman dengan kalimat ancaman di bawahnya, ”Siapa Nyusul?". Menurut informasi kakan Infokom Julham Situmorang melakukan diskualifikasi karena dia sudah capek berusaha merangkul waratwan dari enam media tersebut namun tetap membuat berita yang menghujat Pemko Siantar. (fetra)
Dana Ganti Rugi Outer Ring Road Rp4,4 Miliar Masih Misterius
Pemko Siantar Hanya Obral Janji
SIANTAR-SK: Sampai saat ini dana kompensasi (ganti rugi) proyek Outer Ring Road (jalan lingkar luar) yang menghubungkan Kecamatan Siantar Martoba dengan Siantar Sitalasari dan Siantar Simarimbun, sebesar Rp4,4 miliar masih misterius. Ini terbukti masyarakat yang tanahnya terkena pembangunan jalan tersebut belum menerima dana kompensasi yang dijanjikan. Hal ini disampaikan salah seorang warga, Sinuarji, didampingi perwakilan masyarakat Muslimin Akbar SHI, Senin (20/10).
Menurut Sinuarji sampai saat ini masyarakat belum menerima sepeserpun dana tersebut. Dia menilai Pemko Siantar hanya obral janji. Warga yang tinggal di Kelurahan Setia Negara, Kecamatan Siantar Sitalasari, ini mengatakan harga yang akan dibayarkan pemko sebesar Rp14.000 per meter persegi. “Ini belum termasuk tanaman yang ada di atas lahan warga. Jadi kita berharap agar kompensasi tersebut segera dibayarkan,” ujar pria yang tanahnya seluas 1000 meter persegi terkena proyek tersebut.
Sementara itu Muslimin Akbar mengatakan tuntutan warga ini akan disampaikan melalui surat resmi yang akan dilayangkan hari ini, Selasa (21/10), kepada Walikota Pematangsiantar, DPRD Pematangsiantar, Kapoldasu dan Kapolresta Pematangsiantar.
“Warga dari tiga kelurahan yakni Tambun Nabolon, Setia Negara, dan Naga Huta telah menandatangani surat tuntutan ini untuk mempertanyakan sejauh mana realisasi kompensasi yang dijanjikan,” ungkap Muslimin yang juga anggota DPRD Siantar tersebut.
Dikatakannya sejak proyek outer ring road dikerjakan sekitar Februari 2008 yang lalu, sampai saat ini warga yang tanahnya terkena proyek belum menerima biaya ganti rugi. Padahal sebelumnya, pemko berjanji akan membayarnya setelah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2008 disahkan.
“Artinya April 2008 APBD telah disahkan, tetapi sampai sekarang mengapa belum juga dibayarkan. Warga tidak akan pernah berhenti menuntut haknya,” jelas Muslimin.
Melalui surat tersebut, kata Muslimin, warga mempertanyakan bagaimana janji pemko yang akan mengganti lahan warga sesuai dengan kesepakatan sebelum proyek tersebut dikerjakan. Muslimin mengatakan akibat belum dibayarkannya ganti rugi tersebut warga tidak dapat berbuat banyak.dia memberi contoh, salah seorang warga di Kelurahan Tambun Nabolon terpaksa tidak dapat berobat karena mengharapkan uang dari ganti rugi atas tanahnya.
Seperti diketahui, proyek outer ring road sepanjang 12 km ini dimulai dari Jalan Medan, Kecamatan Siantar Martoba sampai Simpang Dua, Kecamatan Siantar Simarimbun, melalui Kecamatan Siantar Sitalasari.
Dalam pengerjaannya terdiri dari tahap I yang menghabiskan biaya sebesar Rp1,05 miliar dari APBD 2006 dan tahap II sebesar Rp3,94 miliar dari APBD 2007.
Sedangkan untuk biaya ganti rugi tanah dan tanaman milik masyarakat, Pemko Pematangsiantar menampungnya di APBD 2008 sebesar Rp.4,425 miliar. Sehingga secara keseluruhan, biaya yang akan dikeluarkan untuk pembukaan jalan dan ganti rugi mencapai Rp9,4 miliar lebih.
Biaya ganti rugi sesuai APBD 2008 berada di pos anggaran Bagian Tata Pemerintahan (Tapem) Pemko Pematangsiantar.
Kabag Tapem Robert Samosir yang coba dikonfirmasi ke kantornya, belum berhasil ditemui. (jansen)
SIANTAR-SK: Sampai saat ini dana kompensasi (ganti rugi) proyek Outer Ring Road (jalan lingkar luar) yang menghubungkan Kecamatan Siantar Martoba dengan Siantar Sitalasari dan Siantar Simarimbun, sebesar Rp4,4 miliar masih misterius. Ini terbukti masyarakat yang tanahnya terkena pembangunan jalan tersebut belum menerima dana kompensasi yang dijanjikan. Hal ini disampaikan salah seorang warga, Sinuarji, didampingi perwakilan masyarakat Muslimin Akbar SHI, Senin (20/10).
Menurut Sinuarji sampai saat ini masyarakat belum menerima sepeserpun dana tersebut. Dia menilai Pemko Siantar hanya obral janji. Warga yang tinggal di Kelurahan Setia Negara, Kecamatan Siantar Sitalasari, ini mengatakan harga yang akan dibayarkan pemko sebesar Rp14.000 per meter persegi. “Ini belum termasuk tanaman yang ada di atas lahan warga. Jadi kita berharap agar kompensasi tersebut segera dibayarkan,” ujar pria yang tanahnya seluas 1000 meter persegi terkena proyek tersebut.
Sementara itu Muslimin Akbar mengatakan tuntutan warga ini akan disampaikan melalui surat resmi yang akan dilayangkan hari ini, Selasa (21/10), kepada Walikota Pematangsiantar, DPRD Pematangsiantar, Kapoldasu dan Kapolresta Pematangsiantar.
“Warga dari tiga kelurahan yakni Tambun Nabolon, Setia Negara, dan Naga Huta telah menandatangani surat tuntutan ini untuk mempertanyakan sejauh mana realisasi kompensasi yang dijanjikan,” ungkap Muslimin yang juga anggota DPRD Siantar tersebut.
Dikatakannya sejak proyek outer ring road dikerjakan sekitar Februari 2008 yang lalu, sampai saat ini warga yang tanahnya terkena proyek belum menerima biaya ganti rugi. Padahal sebelumnya, pemko berjanji akan membayarnya setelah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2008 disahkan.
“Artinya April 2008 APBD telah disahkan, tetapi sampai sekarang mengapa belum juga dibayarkan. Warga tidak akan pernah berhenti menuntut haknya,” jelas Muslimin.
Melalui surat tersebut, kata Muslimin, warga mempertanyakan bagaimana janji pemko yang akan mengganti lahan warga sesuai dengan kesepakatan sebelum proyek tersebut dikerjakan. Muslimin mengatakan akibat belum dibayarkannya ganti rugi tersebut warga tidak dapat berbuat banyak.dia memberi contoh, salah seorang warga di Kelurahan Tambun Nabolon terpaksa tidak dapat berobat karena mengharapkan uang dari ganti rugi atas tanahnya.
Seperti diketahui, proyek outer ring road sepanjang 12 km ini dimulai dari Jalan Medan, Kecamatan Siantar Martoba sampai Simpang Dua, Kecamatan Siantar Simarimbun, melalui Kecamatan Siantar Sitalasari.
Dalam pengerjaannya terdiri dari tahap I yang menghabiskan biaya sebesar Rp1,05 miliar dari APBD 2006 dan tahap II sebesar Rp3,94 miliar dari APBD 2007.
Sedangkan untuk biaya ganti rugi tanah dan tanaman milik masyarakat, Pemko Pematangsiantar menampungnya di APBD 2008 sebesar Rp.4,425 miliar. Sehingga secara keseluruhan, biaya yang akan dikeluarkan untuk pembukaan jalan dan ganti rugi mencapai Rp9,4 miliar lebih.
Biaya ganti rugi sesuai APBD 2008 berada di pos anggaran Bagian Tata Pemerintahan (Tapem) Pemko Pematangsiantar.
Kabag Tapem Robert Samosir yang coba dikonfirmasi ke kantornya, belum berhasil ditemui. (jansen)
Polres Simalungun Diduga Tutupi Kasus 19 CPNS Ilegal 2005
Polres Simalungun Dinilai Lamban, Lepaskan Surati Presiden, Kapolri, dan Kapoldasu
SIANTAR-SK: Lebih dari setahun kasus 19 Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) illegal di Pemko Siantar tahun 2005 ditangani Polres Simalungun. Namun sampai saat ini, kasus tersebut belum menunjukkan titik terang. Baru satu tersangka yang dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Pematangsiantar. Polres Simalungun dinilai lamban menangani kasus ini. Demikian disampaikan Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Lembaga Pengawasan dan Kepelaporan Aset Negara (Lepaskan), Jansen Napitu, sebagai pelapor kasus ini ke Polres Simalungun.
Menyikapi lambannya penanganan kasus ini, empat hari lalu Jansen melayangkan surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Kapolri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri, dan Kapoldasu Irjen (Pol) Nanan Soekarna. Dalam suratnya, Jansen meminta perhatian Presiden, Kapolri, dan Kapoldasu untuk menyikapi lambannya penanganan kasus ini di Polres Simalungun. “Kita sudah layangkan surat termasuk bukti pendukung yang ada jika penerimaan CPNS 2005 di Siantar menyalahi aturan,” sebutnya, Minggu (19/10).
Jansen mengaku sangat kecewa atas kinerja Polres Simalungun yang hanya menetapkan satu tersangka yakni Sekretaris Panitia Penerimaan CPNS 2005 Drs Morris Silalahi. Sementara itu panitia yang lain termasuk Walikota RE Siahaan dan 19 orang CPNS tersebut sampai saat ini belum ditetapkan sebagai tersangka.
“Kami menilai Pores Simalungun tidak mampu menangani kasus ini, atau ada kesengajaan untuk menutupinya. Termasuk memeriksa tersangka lain yang telah kita adukan sebelumnya,” tandasnya.
Jansen beralasan dari semua bukti yang ada, seperti pengumuman Lembaran Jawaban Komputer (LJK) dari Puskom USU yang menyebutkan enam orang tidak masuk dalam daftar rangking dan 13 orang yang tidak sesuai dengan hasil rangking namun diusulkan Pemko Pematangsiantar menjadi CPNS 2005 ke BKN, surat dari Badan Kepegawaian Negara (BKN) mengenai pembatalan Nomor Induk Pegawai (NIP) 19 CPNS 2005, sudah sepantasnya ada penetapan tersangka lain.
“Berdasarkan bukti tersebut, harusnya sudah ada tersangka lain. Ini yang kita minta jadi perhatian Presiden SBY, Kapolri dan Kapoldasu, karena jelas belum ada tindaklanjut dari Polres Simalungun,” ujarnya.
Menurutnya dari bukti-bukti yang ada, sebenarnya sudah cukup kuat bagi Polres Simalungun untuk menetapkan tersangka lainnya. Dia menilai Walikota RE Siahaan pantas ditetapkan penyidik sebagai tersangka dalam penerimaan 19 CPNS tersebut.
Dikatakannya hal ini menjadi tugas dari Kapolri yang baru dilantik beberapa waktu lalu dalam menegakkan supremasi hukum di Indonesia, khususnya di Polres Simalungun.
Menurutnya selama ini penanganan kasus Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) di Siantar tidak pernah tuntas, dan diduga dilindungi penegak hukum meskipun telah ada bukti yang akurat.
“Kita mau melihat sejauhmana keseriusan Kapolri untuk mendesak Polres Simalungun dalam penuntasan kasus ini. Diduga ada kekhawatiran kasus ini akan diendapkan karena melibatkan sejumlah pejabat pemko,” ungkapnya.
Lebih lanjut Jansen berharap kepada Presiden SBY agar menindak oknum- oknum pejabat daerah yang tidak mendukung sepenuhnya program kerjanya dalam pemberantasan KKN di Indonesia.
Di tempat terpisah, Kasat Reskrim Polres Simalungun AKP Dedi Supriadi membenarkan untuk sementara tersangka kasus 19 CPNS Siantar yang diajukan ke kejaksaan hanya Drs Morris Silalahi.
“Iya benar, untuk sementara tersangka Morris yang kita ajukan. Yang lain menyusul,” demikian bunyi balasan short message service (SMS) dari AKP Dedi saat dikonfirmasi mengenai kebenaran pelimpahan berkas kasus CPNS Siantar ke Kejari pada tanggal 15 Oktober 2008 lalu.
Dikatakannya proses penyidikan terhadap kasus ini, tetap akan dilanjutkan penyidik, meskipun berkas tersangka Drs Morris Silalahi telah dilimpahkan ke kejaksaan. Menurutnya, saat ini penyidik masih menunggu petunjuk jaksa, bila ditemukan ketidaksempurnaan berkas. (jansen/dho)
SIANTAR-SK: Lebih dari setahun kasus 19 Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) illegal di Pemko Siantar tahun 2005 ditangani Polres Simalungun. Namun sampai saat ini, kasus tersebut belum menunjukkan titik terang. Baru satu tersangka yang dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Pematangsiantar. Polres Simalungun dinilai lamban menangani kasus ini. Demikian disampaikan Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Lembaga Pengawasan dan Kepelaporan Aset Negara (Lepaskan), Jansen Napitu, sebagai pelapor kasus ini ke Polres Simalungun.
Menyikapi lambannya penanganan kasus ini, empat hari lalu Jansen melayangkan surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Kapolri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri, dan Kapoldasu Irjen (Pol) Nanan Soekarna. Dalam suratnya, Jansen meminta perhatian Presiden, Kapolri, dan Kapoldasu untuk menyikapi lambannya penanganan kasus ini di Polres Simalungun. “Kita sudah layangkan surat termasuk bukti pendukung yang ada jika penerimaan CPNS 2005 di Siantar menyalahi aturan,” sebutnya, Minggu (19/10).
Jansen mengaku sangat kecewa atas kinerja Polres Simalungun yang hanya menetapkan satu tersangka yakni Sekretaris Panitia Penerimaan CPNS 2005 Drs Morris Silalahi. Sementara itu panitia yang lain termasuk Walikota RE Siahaan dan 19 orang CPNS tersebut sampai saat ini belum ditetapkan sebagai tersangka.
“Kami menilai Pores Simalungun tidak mampu menangani kasus ini, atau ada kesengajaan untuk menutupinya. Termasuk memeriksa tersangka lain yang telah kita adukan sebelumnya,” tandasnya.
Jansen beralasan dari semua bukti yang ada, seperti pengumuman Lembaran Jawaban Komputer (LJK) dari Puskom USU yang menyebutkan enam orang tidak masuk dalam daftar rangking dan 13 orang yang tidak sesuai dengan hasil rangking namun diusulkan Pemko Pematangsiantar menjadi CPNS 2005 ke BKN, surat dari Badan Kepegawaian Negara (BKN) mengenai pembatalan Nomor Induk Pegawai (NIP) 19 CPNS 2005, sudah sepantasnya ada penetapan tersangka lain.
“Berdasarkan bukti tersebut, harusnya sudah ada tersangka lain. Ini yang kita minta jadi perhatian Presiden SBY, Kapolri dan Kapoldasu, karena jelas belum ada tindaklanjut dari Polres Simalungun,” ujarnya.
Menurutnya dari bukti-bukti yang ada, sebenarnya sudah cukup kuat bagi Polres Simalungun untuk menetapkan tersangka lainnya. Dia menilai Walikota RE Siahaan pantas ditetapkan penyidik sebagai tersangka dalam penerimaan 19 CPNS tersebut.
Dikatakannya hal ini menjadi tugas dari Kapolri yang baru dilantik beberapa waktu lalu dalam menegakkan supremasi hukum di Indonesia, khususnya di Polres Simalungun.
Menurutnya selama ini penanganan kasus Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) di Siantar tidak pernah tuntas, dan diduga dilindungi penegak hukum meskipun telah ada bukti yang akurat.
“Kita mau melihat sejauhmana keseriusan Kapolri untuk mendesak Polres Simalungun dalam penuntasan kasus ini. Diduga ada kekhawatiran kasus ini akan diendapkan karena melibatkan sejumlah pejabat pemko,” ungkapnya.
Lebih lanjut Jansen berharap kepada Presiden SBY agar menindak oknum- oknum pejabat daerah yang tidak mendukung sepenuhnya program kerjanya dalam pemberantasan KKN di Indonesia.
Di tempat terpisah, Kasat Reskrim Polres Simalungun AKP Dedi Supriadi membenarkan untuk sementara tersangka kasus 19 CPNS Siantar yang diajukan ke kejaksaan hanya Drs Morris Silalahi.
“Iya benar, untuk sementara tersangka Morris yang kita ajukan. Yang lain menyusul,” demikian bunyi balasan short message service (SMS) dari AKP Dedi saat dikonfirmasi mengenai kebenaran pelimpahan berkas kasus CPNS Siantar ke Kejari pada tanggal 15 Oktober 2008 lalu.
Dikatakannya proses penyidikan terhadap kasus ini, tetap akan dilanjutkan penyidik, meskipun berkas tersangka Drs Morris Silalahi telah dilimpahkan ke kejaksaan. Menurutnya, saat ini penyidik masih menunggu petunjuk jaksa, bila ditemukan ketidaksempurnaan berkas. (jansen/dho)
17 Oktober, 2008
Satpol PP Nyaris Bentrok dengan Puluhan Pegawai RSUD dr Djasamen Saragih Pematangsiantar
SIANTAR-SK: Bentrok fisik nyaris terjadi antara puluhan anggota Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Pemko Pematangsiantar dengan puluhan pegawai Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr Djasamen Saragih Pematangsiantar, Kamis (16/10), di halaman rumah sakit tersebut. Penyebabnya, Satpol PP berusaha menurunkan sejumlah spanduk yang dipasang pegawai rumah sakit di beberapa tempat di halaman rumah sakit itu.
Spanduk-spanduk itu berisi tulisan kecaman terhadap Walikota Pematangsiantar RE Siahaan yang mengganti dr Ria Novida Telaumbanua sebagai direktur dengan dr Ronald Saragih. Beberapa spanduk itu berisi tulisan antara lain: “RSU dr Djasamen Bukan ATM walikota”, ”RSU dr Djasamen Bukan Milik Pribadi Walikota” dan ”dr Ria Telaumbanua, Kami tetap mendukungmu”.
Sejak pagi puluhan pegawai rumah sakit kebanggaan masyarakat kota Pematangsiantar itu telah memulai aksinya dengan memasang beberapa poster dan spanduk di berbagai tempat dilingkungan RSU itu. Setelah semua spanduk dan poster terpasang, para pegawai yang didominasi perempuan dari bagian perawat itu melakukan penjagaan di sekitar spanduk dan poster itu. Adapun alasan mereka berjaga-jaga karena mereka tidak mau bentuk aspirasi mereka itu diganggu pihak lain, termasuk petugas Satpol PP.
Kekhawatiran mereka ternyata terbukt. Awalnya pada pukul 13.30 Wib, dengan mengendarai mobil patroli, tiga orang petugas Satpol PP memasuki lokasi RSU. Setibanya di tempat itu. mereka berusaha menurunkan poster dan spanduk yang sudah terpasang dengan menggunakan egrek. Namun usaha mereka mendapat aksi perlawanan keras puluhan pegawai RSU.
Mungkin karena kalah kuat, dengan wajah cemberut tiga orang petugas Satpol PP itu lalu pergi. Tidak berapa lama, Kapolsek Siantar Selatan Iptu Robert Gultom bersama puluhan petugas polisi berseragam dan berpakaian preman terlihat hadir dan berjaga-jaga di areal RSU itu. Ketika dikonfirmasi, AKP Robert Gultom, SH, mengatakan kedatangan sejumlah petugas untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak baik, “Kedatangan kita kemari hanya untuk berjaga-jaga mengantisipasi situasi Kambtibmas tetap kondusif,” paparnya singkat.
Namun demikian, sekitar pukul 15.00 Wib dengan mengendarai mobil patroli dan sepeda motor, puluhan petugas Satpol PP kembali datang. Kedatangan mereka ini langsung membuat suasana menjadi tegang. Semula terjadi dialog antara kedua belah pihak, Satpol PP dan pegawai RSU. Dengan disaksikan pihak kepolisian para petugas Satpol PP itu mengatakan bahwa mereka sedang melaksanakan tugas, berusaha membuka dan merampas spanduk yang terpasang. Namun dengan alasan bahwa mereka tidak melanggar hukum serta tidak mengganggu kepentingan umum, para pegawai RSU itu ngotot mempertahankan spanduk yang mereka pasang tersebut. Salah seorang pegawai, Natalia Boru Ginting, yang getol mempertahankan spanduk beserta sejumlah pegawai lainnya mengatakan agar petugas Satpol PP tidak perlu menertibkan spanduk sebab pemasangan spanduk oleh mereka adalah hal yang sah-sah saja sebab lokasi pemasangan adalah di rumah mereka sendiri (RSUD-red) dan tidak mengganggu siapa pun. “Tidak ada yang boleh menurunkan spanduk ini sebab tidak ada yang salah jadi kenapa bapak-bapak harus repot-repot? Jadi tolong bapak-bapak jauh-jauh dari saya. Saya kan wanita dan sedikit sensitive, tolong jangan dekat-dekat,” papar Natalia.
Semula para petugas Satpol PP itu sudah mundur menjauh dari para pegawai RSUD yang tetap menjagai spanduk-spanduk itu. Namun tak lama berselang tiba-tiba mereka kembali mendatangi tempat lokasi spanduk dan membuka paksa serta berupaya merampas spanduk-spanduk itu. Di lain pihak, sejumlah pegawai tak tinggal diam dan dengan sekuat tenaga berusaha mempertahankan dan merebut kembali spanduk yang sudah dirampas petugas Satpol PP.
Seketika, suasana di sekitar RS terlihat bak film laga. Aksi kejar-kejaran, saling sikut dan saling dorong antar kedua kubu tak dapat dihindarkan. Bahkan tontonan gratis tersebut nyaris menjadi perang adu fisik. Namun, hal tersebut segera diantisipasi polisi dan sejumlah warga yang berada di sekitar lokasi, sehingga bentrok fisik dapat dihindarkan.
Bak kalah perang, petugas Satpol PP akhirnya meninggalkan RSUD dengan wajah lesu dan tangan hampa, tanpa spanduk. Seorang pelajar yang kebetulan menyaksikan adegan tersebut sempat berkata kepada Sinar Keadilan, “Lucu, ya bang, Satpol PP keok lawan inang-inang.” (daud)
Pemenang Tidak Sesuai dengan Dokumen Penawaran
Terkait Dugaan ‘Permainan’ Pemenang Tender Dinas PU Pematangsiantar
SIANTAR-SK: Diduga sejumlah kontraktor (rekanan) pemenang lelang di Dinas Pekerjaan Umum Kota (PUK) Pematangsiantar, Jumat (10/10) lalu, senilai Rp60 miliar, tidak sesuai ketentuan. Beberapa kontraktor yang dimenangkan diduga tidak sesuai dokumen penawaran. Hal ini disampaikan Direktur CV Uli Ma, Frans Bungaran Sitanggang, SE, Kamis (16/10) di kantornya.
Dikatakannya dari hasil pengumuman lelang, pihaknya menduga sejumlah perusahaan rekanan yang dimenangkan justru tidak memenuhi persyaratan menurut dokumen yang ada. “Terindikasi adanya kolusi antara panitia lelang dengan perusahaan rekanan. Untuk itu kita meminta Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) meninjau kembali pengumuman tersebut,” sebutnya.
Frans mencontohkan pembangunan saluran drainase di Jalan Bintang Maratur sebelah kiri, pihaknya merupakan salah satu peserta lelang dengan nilai penawaran Rp252 juta. Namun pada saat penetapan pengumuman, PPK melalui surat No 602.1/31/PPK/PSDG/ADHOCK/TDR/PUK/X/ 2008 menetapkan tiga perusahaan yakni pemenang CV Doni Rezeki, penawaran Rp268 juta, CV Andreo Group, penawaran Rp269 juta, dan CV Morgatri, dengan penawaran Rp 269 juta.
Menurutnya jelas dalam hal penawaran perusahaannya lebih rendah dari ketiga perusahaan yang ditetapkan. Dia menilai hal ini jelas melanggar dokumen lelang poin 34.1 dan 6 tentang penetapan lelang dan pengumuman lelang pada butir 36.3 dan 36.4.
Frans mengatakan sesuai sanggahan hal ini telah disampaikan kepada PPK.Selain itu pihaknya menilai adanya kepengurusan ganda pada ketiga perusahaan tersebut. Dikatakannya hal ini bertentangan dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 43/PRT/M/2007 Tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi pada point 4 butir 46 tentang Pesyaratan Peserta Lelang dan Kualifikasi.
Lebih lanjut menurutnya ini melanggar Undang- Undang (UU) No 5 Tahun 1999 Tentang Larang Praktek dan Monopoli.
Dia menjelaskan sesuai peraturan tersebut dikatakan pribadi dan kelompok yang sama dalam satu perusahaan dilarang ikut dalam proses tender proyek atas satu jeni pekerjaan yang sama.Frans mengatakan sesuai data pengurus badan usaha antara pemilik CV Doni Rezeki dan CV Andreo Group berada dalam satu kepengurusan yang sama yakni di CV Doni Rezeki. Hal ini terjadi juga jika pemilik CV Morgatri termasuk sebagai pengurus dalam CV Doni Rezeki.
“Berdasarkan hal tersebut melalui sanggahan ini meminta agar penetapan pemenang ditinjau kembali dan harus sesuai persyaratan yang ditentukan dalam dokumen penawaran lelang,” sebut Wakil Ketua Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Siantar tersebut.
Frans menilai tidak tertutup kemungkinan hal ini juga terjadi dalam penetapan paket pengerjaan lain yang telah diumumkan Dinas PUK Siantar.
Sementara itu Ketua Panitia Pengadaan Barang/ Jasa Dinas PUK Siantar Bernardus Sinaga yang coba dikonfirmasi melalui short message service (SMS) sampai berita ini diterbitkan belum memberikan jawaban.(jansen)
SIANTAR-SK: Diduga sejumlah kontraktor (rekanan) pemenang lelang di Dinas Pekerjaan Umum Kota (PUK) Pematangsiantar, Jumat (10/10) lalu, senilai Rp60 miliar, tidak sesuai ketentuan. Beberapa kontraktor yang dimenangkan diduga tidak sesuai dokumen penawaran. Hal ini disampaikan Direktur CV Uli Ma, Frans Bungaran Sitanggang, SE, Kamis (16/10) di kantornya.
Dikatakannya dari hasil pengumuman lelang, pihaknya menduga sejumlah perusahaan rekanan yang dimenangkan justru tidak memenuhi persyaratan menurut dokumen yang ada. “Terindikasi adanya kolusi antara panitia lelang dengan perusahaan rekanan. Untuk itu kita meminta Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) meninjau kembali pengumuman tersebut,” sebutnya.
Frans mencontohkan pembangunan saluran drainase di Jalan Bintang Maratur sebelah kiri, pihaknya merupakan salah satu peserta lelang dengan nilai penawaran Rp252 juta. Namun pada saat penetapan pengumuman, PPK melalui surat No 602.1/31/PPK/PSDG/ADHOCK/TDR/PUK/X/ 2008 menetapkan tiga perusahaan yakni pemenang CV Doni Rezeki, penawaran Rp268 juta, CV Andreo Group, penawaran Rp269 juta, dan CV Morgatri, dengan penawaran Rp 269 juta.
Menurutnya jelas dalam hal penawaran perusahaannya lebih rendah dari ketiga perusahaan yang ditetapkan. Dia menilai hal ini jelas melanggar dokumen lelang poin 34.1 dan 6 tentang penetapan lelang dan pengumuman lelang pada butir 36.3 dan 36.4.
Frans mengatakan sesuai sanggahan hal ini telah disampaikan kepada PPK.Selain itu pihaknya menilai adanya kepengurusan ganda pada ketiga perusahaan tersebut. Dikatakannya hal ini bertentangan dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 43/PRT/M/2007 Tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi pada point 4 butir 46 tentang Pesyaratan Peserta Lelang dan Kualifikasi.
Lebih lanjut menurutnya ini melanggar Undang- Undang (UU) No 5 Tahun 1999 Tentang Larang Praktek dan Monopoli.
Dia menjelaskan sesuai peraturan tersebut dikatakan pribadi dan kelompok yang sama dalam satu perusahaan dilarang ikut dalam proses tender proyek atas satu jeni pekerjaan yang sama.Frans mengatakan sesuai data pengurus badan usaha antara pemilik CV Doni Rezeki dan CV Andreo Group berada dalam satu kepengurusan yang sama yakni di CV Doni Rezeki. Hal ini terjadi juga jika pemilik CV Morgatri termasuk sebagai pengurus dalam CV Doni Rezeki.
“Berdasarkan hal tersebut melalui sanggahan ini meminta agar penetapan pemenang ditinjau kembali dan harus sesuai persyaratan yang ditentukan dalam dokumen penawaran lelang,” sebut Wakil Ketua Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Siantar tersebut.
Frans menilai tidak tertutup kemungkinan hal ini juga terjadi dalam penetapan paket pengerjaan lain yang telah diumumkan Dinas PUK Siantar.
Sementara itu Ketua Panitia Pengadaan Barang/ Jasa Dinas PUK Siantar Bernardus Sinaga yang coba dikonfirmasi melalui short message service (SMS) sampai berita ini diterbitkan belum memberikan jawaban.(jansen)
Julham Jangan Sepele dengan Kekuatan Media
Terkait Tindakan Kakan Infokom Pematangsiantar Mendiskualifikasi 6 Media
SIANTAR-SK: Komentar terhadap tindakan Kepala Kantor Infokom Pematangsiantar Julham Situmorang yang mendiskualifikasi enam media dari Kantor Infokom, terus mendapat sorotan tajam dari berbagai lapisan masyarakat. Sebuah email ke redaksi Sinar Keadilan menyebut tindakan Julham ini sebagai tindakan yang sangat arogan dan terkesan kampungan.
Menurut informasi yang diperoleh bahwa tindakan Julham mendiskualifikasi enam media cetak tersebut karena para wartawan keenam media cetak itu tidak mau diarahkan atau dibujuknya untuk membuat berita yang baik-baik dan muluk-muluk tentang Walikota Pematangsiantar RE Siahaan. Selama ini para wartawan suratkabar itu selalu membuat berita fakta dan kenyataan tentang kebobrokan kebijakan RE Siahaan selaku walikota Pematangsiantar. Hal itu dikatakan oleh Ketua Eksponen ‘66 Pematangsiantar Mangatas Simanungkalit kepada wartawan.
Menurut Mangatas, beberapa hari yang lalu dia dengan beberapa orang wartawan bertemu dengan Walikota RE Siahaan yang saat itu didampingi Kakan Infokom Julham Situmorang di ruang kerja walikota. Pada saat itu Mangatas mempertanyakan dan memberi masukan kepada walikota bahwa tindakan mendiskualifikasi media tersebut bukan suatu tindakan yang baik, bahkan akan berakibat buruk. Namun saat itu, kata Mangatas, langsung di hadapan RE Siahaan, dengan lantang Julham mengatakan bahwa tindakannya tersebut sebagai pelajaran dan hukuman kepada media yang tidak mau menurut padanya. ”Saya sudah capek berusaha merangkul dan membujuk tetapi mereka tetap membuat berita yang menghujat. Terpaksalah saya beri pelajaran,” kata Mangatas menirukan ucapan Julham pada saat itu. Mangatas menilai tindakan Julham itu bagaikan tindakan pada zaman Orde Baru.
Dengan gaya seperti itu, semakin menunjukkan arogansi Pemko Pematangsiantar terhadap kebebasan pers. Untuk itu, Walikota Pematangsiantar RE Siahaan harus bertanggungjawab atas kebijakan diskualifikasi terhadap media yang dilakukan stafnya itu. “Walikota jangan hanya membisu dengan kebijakan anggotanya itu,” cetus Mangatas.
Kecaman juga datang dari Zainul Arifin Siregar, mantan wartawan yang juga Ketua DPD BKPRMI Pematangsiantar. Dia mengatakan bahwa tindakan diskualifikasi yang dilakukan Julham, jelas menunjukkan ketidakmampuan Kakan Infokom memahami fungsi dan tugas jurnalistik.
Menurut Zainul seharusnya Julham selaku penyampai dan penerima informasi antara masyarakat dengan pemerintah melalui wartawan, tidak bertindak seperti itu. Dengan begitu, ini menunjukkan Kakan Infokom yang baru dilantik bulan lalu itu tidak mengerti makna insan pers sebagai mitra pemerintah. Untuk itu diingatkannya, agar Julham tidak memandang media sebelah mata. “Tindakan diskualifikasi jelas menyakiti perasaan insan pers. Jadi Julham jangan sepele dengan kekuatan media,” tegasnya.
“Sikap pers yang kritis terhadap pemerintahan, merupakan bagian dari tugas pers itu sendiri,” ujarnya lagi. Seharusnya dengan sikap kritis itu, Pemko Pematangsiantar bisa mengambil hikmahnya guna perbaikan pembangunan ke depan. Untuk itu, tambahnya, jangan karena fungsi sosial kontrol pers berjalan, maka medianya dikenakan diskualifikasi. (fetra/jansen)
SIANTAR-SK: Komentar terhadap tindakan Kepala Kantor Infokom Pematangsiantar Julham Situmorang yang mendiskualifikasi enam media dari Kantor Infokom, terus mendapat sorotan tajam dari berbagai lapisan masyarakat. Sebuah email ke redaksi Sinar Keadilan menyebut tindakan Julham ini sebagai tindakan yang sangat arogan dan terkesan kampungan.
Menurut informasi yang diperoleh bahwa tindakan Julham mendiskualifikasi enam media cetak tersebut karena para wartawan keenam media cetak itu tidak mau diarahkan atau dibujuknya untuk membuat berita yang baik-baik dan muluk-muluk tentang Walikota Pematangsiantar RE Siahaan. Selama ini para wartawan suratkabar itu selalu membuat berita fakta dan kenyataan tentang kebobrokan kebijakan RE Siahaan selaku walikota Pematangsiantar. Hal itu dikatakan oleh Ketua Eksponen ‘66 Pematangsiantar Mangatas Simanungkalit kepada wartawan.
Menurut Mangatas, beberapa hari yang lalu dia dengan beberapa orang wartawan bertemu dengan Walikota RE Siahaan yang saat itu didampingi Kakan Infokom Julham Situmorang di ruang kerja walikota. Pada saat itu Mangatas mempertanyakan dan memberi masukan kepada walikota bahwa tindakan mendiskualifikasi media tersebut bukan suatu tindakan yang baik, bahkan akan berakibat buruk. Namun saat itu, kata Mangatas, langsung di hadapan RE Siahaan, dengan lantang Julham mengatakan bahwa tindakannya tersebut sebagai pelajaran dan hukuman kepada media yang tidak mau menurut padanya. ”Saya sudah capek berusaha merangkul dan membujuk tetapi mereka tetap membuat berita yang menghujat. Terpaksalah saya beri pelajaran,” kata Mangatas menirukan ucapan Julham pada saat itu. Mangatas menilai tindakan Julham itu bagaikan tindakan pada zaman Orde Baru.
Dengan gaya seperti itu, semakin menunjukkan arogansi Pemko Pematangsiantar terhadap kebebasan pers. Untuk itu, Walikota Pematangsiantar RE Siahaan harus bertanggungjawab atas kebijakan diskualifikasi terhadap media yang dilakukan stafnya itu. “Walikota jangan hanya membisu dengan kebijakan anggotanya itu,” cetus Mangatas.
Kecaman juga datang dari Zainul Arifin Siregar, mantan wartawan yang juga Ketua DPD BKPRMI Pematangsiantar. Dia mengatakan bahwa tindakan diskualifikasi yang dilakukan Julham, jelas menunjukkan ketidakmampuan Kakan Infokom memahami fungsi dan tugas jurnalistik.
Menurut Zainul seharusnya Julham selaku penyampai dan penerima informasi antara masyarakat dengan pemerintah melalui wartawan, tidak bertindak seperti itu. Dengan begitu, ini menunjukkan Kakan Infokom yang baru dilantik bulan lalu itu tidak mengerti makna insan pers sebagai mitra pemerintah. Untuk itu diingatkannya, agar Julham tidak memandang media sebelah mata. “Tindakan diskualifikasi jelas menyakiti perasaan insan pers. Jadi Julham jangan sepele dengan kekuatan media,” tegasnya.
“Sikap pers yang kritis terhadap pemerintahan, merupakan bagian dari tugas pers itu sendiri,” ujarnya lagi. Seharusnya dengan sikap kritis itu, Pemko Pematangsiantar bisa mengambil hikmahnya guna perbaikan pembangunan ke depan. Untuk itu, tambahnya, jangan karena fungsi sosial kontrol pers berjalan, maka medianya dikenakan diskualifikasi. (fetra/jansen)
Walikota Didesak Copot Miduk Panjaitan
Biaya Kuliah S2 Ditanggung PDAM Tirtauli
SIANTAR-SK: Kebijakan PDAM Tirtauli Pematangsiantar yang membiayai kuliah salah seorang anggota Badan Pengawas, Miduk Panjaitan, SH, dinilai melanggar Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 7 Tahun 1999 Mengenai Mekanisme PDAM, khususnya pasal 25 huruf c dan e yakni tindakan merugikan PDAM.
Hal ini disampaikan Ketua Lembaga Pemerhati Daerah Sumatera Utara (LPDSU) Siantar-Simalungun Drs R Sihombing, Rabu (15/10), di Sekretariatnya Jalan Mataram Pematangsiantar.
Menurut Sihombing, Miduk jelas merugikan PDAM karena biaya kuliahnya mengambil program Strata II (S-2) jurusan hukum di Universitas Muhamadiyah Sumatera Utara (UMSU) ditanggulangi PDAM. “Jelas dia (Miduk, red) bukan karyawan PDAM dan hanya Badan Pengawas yang berada di luar struktur kerja perusahaan milik pemko tersebut,” ujarnya.
Dikatakannya sesuai Permendagri tersebut, Walikota RE Siahaan harus melakukan pemeriksaan terhadap Miduk dan jika terbukti dalam masa tujuh hari kerja harus mengeluarkan surat keputusan (SK) pemberhentiannya.
“Kita minta agar dicopot dari jabatannya, karena kita mempunyai bukti jika Miduk dikuliahkan sepenuhnya dari PDAM,” paparnya.
Mengenai tindakan Dirut PDAM Sahala Situmeang yang mengeluarkan kebijakan tersebut, Sihombing menilai ini dilakukannya karena posisinya yang serba salah. Menurutnya jika Sahala tidak menyetujuinya maka berdampak negatif karena Miduk merupakan orang dekat walikota.
Sihombing mengatakan dalam keputusan ini Miduk harus mengembalikan seluruh uang kuliah yang sebelumnya ditanggung pihak PDAM Tirtauli. Tindakan lainnya, menurutnya, dengan memberhentikan Miduk dari jabatannya sebagai Badan Pengawas.
“Intinya perlu dilakukan peninjauan kembali atas jabatannya. Karena masih banyak dana yang lebih penting dialokasikan untuk memperbaiki pelayanan PDAM,” tandasnya.
Selain itu dia juga mendesak agar mobil dinas yang dipergunakan Miduk selama ini agar ditarik. Dia menduga mobil tersebut dipergunakan untuk transportasi Miduk kuliah di Medan.
“Dia bukan hanya diberhentikan tetapi bila perlu ditindak pidana dalam hal ini,” katanya singkat.
Sementara itu Miduk yang dikonfirmasi melalui short message servive (SMS) mengatakan jika menurut R Sihombing yang terbaik silahkan yang bersangkutan melakukan pencopotan.
“Hanya aku berpesan ampunilah dia sebab dia tidak tahu apa yang diperbuatnya,” sebutnya singkat. (jansen)
SIANTAR-SK: Kebijakan PDAM Tirtauli Pematangsiantar yang membiayai kuliah salah seorang anggota Badan Pengawas, Miduk Panjaitan, SH, dinilai melanggar Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 7 Tahun 1999 Mengenai Mekanisme PDAM, khususnya pasal 25 huruf c dan e yakni tindakan merugikan PDAM.
Hal ini disampaikan Ketua Lembaga Pemerhati Daerah Sumatera Utara (LPDSU) Siantar-Simalungun Drs R Sihombing, Rabu (15/10), di Sekretariatnya Jalan Mataram Pematangsiantar.
Menurut Sihombing, Miduk jelas merugikan PDAM karena biaya kuliahnya mengambil program Strata II (S-2) jurusan hukum di Universitas Muhamadiyah Sumatera Utara (UMSU) ditanggulangi PDAM. “Jelas dia (Miduk, red) bukan karyawan PDAM dan hanya Badan Pengawas yang berada di luar struktur kerja perusahaan milik pemko tersebut,” ujarnya.
Dikatakannya sesuai Permendagri tersebut, Walikota RE Siahaan harus melakukan pemeriksaan terhadap Miduk dan jika terbukti dalam masa tujuh hari kerja harus mengeluarkan surat keputusan (SK) pemberhentiannya.
“Kita minta agar dicopot dari jabatannya, karena kita mempunyai bukti jika Miduk dikuliahkan sepenuhnya dari PDAM,” paparnya.
Mengenai tindakan Dirut PDAM Sahala Situmeang yang mengeluarkan kebijakan tersebut, Sihombing menilai ini dilakukannya karena posisinya yang serba salah. Menurutnya jika Sahala tidak menyetujuinya maka berdampak negatif karena Miduk merupakan orang dekat walikota.
Sihombing mengatakan dalam keputusan ini Miduk harus mengembalikan seluruh uang kuliah yang sebelumnya ditanggung pihak PDAM Tirtauli. Tindakan lainnya, menurutnya, dengan memberhentikan Miduk dari jabatannya sebagai Badan Pengawas.
“Intinya perlu dilakukan peninjauan kembali atas jabatannya. Karena masih banyak dana yang lebih penting dialokasikan untuk memperbaiki pelayanan PDAM,” tandasnya.
Selain itu dia juga mendesak agar mobil dinas yang dipergunakan Miduk selama ini agar ditarik. Dia menduga mobil tersebut dipergunakan untuk transportasi Miduk kuliah di Medan.
“Dia bukan hanya diberhentikan tetapi bila perlu ditindak pidana dalam hal ini,” katanya singkat.
Sementara itu Miduk yang dikonfirmasi melalui short message servive (SMS) mengatakan jika menurut R Sihombing yang terbaik silahkan yang bersangkutan melakukan pencopotan.
“Hanya aku berpesan ampunilah dia sebab dia tidak tahu apa yang diperbuatnya,” sebutnya singkat. (jansen)
Langganan:
Postingan (Atom)