13 Oktober, 2008

Penjilat

Oleh: Fetra Tumanggor

Setiap perjuangan selalu melahirkan sejumlah pengkhianat dan para penjilat. Demikian salah satu kutipan sajak “Jangan Kau Gusar, Hadi” karya Taufik Ismail (1966).
Suatu siang, masih dalam suasana Idul Fitri, saya duduk seorang diri di Kedai Kopi Kawan atau yang dikenal dengan Kedai Kopi Morsun, Jalan Cipto, Pematangsiantar.
Di tengah kesendirian, pikiran saya melayang ke sajak Taufik Ismail ini tentang pengkhianat dan para penjilat. Saya teringat dengan situasi politik di Siantar yang terus memanas. Saya lantas menghubungkannya dengan usaha segelintir orang untuk mematahkan sayap-sayap harian Sinar Keadilan, koran dimana saya bekerja. Mereka berhasil mempengaruhi beberapa karyawan untuk pindah ke tempat lain. Suatu hari, ada dua orang mengumpulkan beberapa karyawan Sinar Keadilan di sebuah tempat. Hasilnya, orang yang mereka undang tak berapa lama pindah bekerja di tempat lain.
Bagi saya, perpindahan karyawan tersebut menjadi sebuah evaluasi. Mereka mau dipengaruhi untuk pindah tentunya karena di Sinar Keadilan mereka tak cukup nyaman, terutama dalam sisi penghasilan. Diiming-imingi gaji yang lebih besar di tempat lain, siapa yang tak mau?
Di sisi lain, bagi saya ini cara-cara kotor untuk mematikan Sinar Keadilan. Atas kepentingan apa kedua orang tersebut mengumpulkan beberapa karyawan Sinar Keadilan dan kemudian mempengaruhi mereka untuk pindah? Kurang kerjaan kali, ya?
Atau mereka, dua orang tersebut, bagian dari pengkhianat atau penjilat seperti sajak Taufik Ismail tersebut?
Terlalu naif atau mungkin terlalu idealis jika saya memaparkan seberapa penting Sinar Keadilan harus selalu hadir. Siapapun tahu, bagimana Sinar Keadilan sangat keras mengkritik penguasa di kota ini. Tentunya banyak yang tak suka dengan gaya Sinar Keadilan. Mereka yang berada di sekeliling penguasa, berusaha sekuat mungkin agar Sinar Keadilan bisa diredam.
Yang sebenarnya harus diingat, media massa, atau dalam dunia jurnalistik dikenal sebagai pers, memiliki berbagai macam peran. Peran pertama dan utama adalah menyiarkan informasi (to inform), entah informasi tentang peristiwa yang terjadi, gagasan, atau pikiran orang. Orang membaca suratkabar terutama karena ingin mencari informasi.
Peran kedua adalah mendidik (to educate). Lewat pemberitaannya, pers mencoba memberi pencerahan, mencerdaskan, dan meluaskan wawasan khalayak pembaca, pendengar, atau pemirsanya. Dalam konteks politik, pers memberikan pendidikan politik kepada masyarakat, menyadarkan mereka akan hak dan kewajibannya sebagai warga.
Peran ketiga adalah menghibur (to entertain). Hal-hal yang bersifat menghibur sering kita temukan di media massa –seperti: berita seputar selebritis, teka-teki silang, cerita bersambung, dan lain-lain– sebagai selingan dari berita-berita berat yang lain.
Peran keempat adalah mempengaruhi (to influence). Media yang independen dan bebas dapat mempengaruhi dan melakukan fungsi kontrol sosial (social control). Yang dikontrol bukan cuma penguasa, pemerintah, parlemen, institusi pengadilan, militer, tetapi juga berbagai hal di dalam masyarakat itu sendiri.
Pers, baik koran, tabloid, maupun radio, harus diakui punya kepentingan masing-masing. Namun dibalik kepentingan tersebut, sejatinya empat peran tersebut tak pernah bisa hilang dari pers. Koran yang berpihak pada penguasa atau mengambil sikap melakukan kritik secara terus menerus, sebenarnya sah-sah saja asal menjunjung prinsip-prinsip etika jurnalistik.
Yang harus dicamkan, pers dan wartawannya sebenarnya tidak dalam posisi untuk berkonfrontasi dengan pihak manapun. Pers bukan musuh tetapi mitra. Kalau toh ada yang salah dengan pemberitaan, ada cara somasi atau menggugat melalui pengadilan, bukan dengan cara-cara kotor. Kalau penguasa daerah dikritik, itu sudah seharusnya agar penguasa tidak salah langkah. Dalam posisi seperti ini, ada yang salah dengan Sinar Keadilan?
Hebatnya di Siantar ini, bukan penguasa yang merah kupingnya saat dikritik tetapi orang-orang di sekelilingnya. Dengan caranya sendiri, mereka berusaha meredam kritik dan sok jadi pahlawan saat ada masalah atau kritik yang mengarah pada penguasa. “Aku ke situ, gampangnya itu kubereskan.” Begitu kira-kira bualan orang-orang di sekitar penguasa untuk menjilat.
Hebatnya lagi, banyak diantara orang-orang di sekeliling penguasa itu yang bermuka dua, seakan-akan bagian di luar penguasa namun sebenarnya mereka tak lebih dari penjilat. Lebih hebat lagi, mereka, para penjilat itu, sebagian berasal dari insan pers.
“Saya ingat, Pak Isnogud membacakan sajak itu ketika para penjilat, para pengkhianat, berseliweran di luar. Mereka bukan lagi menjadi bagian dari kami. Mereka sudah di luar pagar. Tapi, gonggongannya masih kerap membuat bising telinga kami yang memang belum tuli. Hari-hari ini, saya ingat lagi sajak itu. Ketika para pengkhianat kembali mencabik-cabik kepercayaan. Ketika para penjilat makin berani menadah ludah orang lain”. Ah, untunglah, selalu ingat pesan Taufik Ismail. Jangan kau gusar, Hadi. ***



Tidak ada komentar:

Posting Komentar