Catatan: Fetra Tumanggor
Ada banyak cara yang bisa digunakan untuk melihat intensitas dan luasnya korupsi di suatu daerah. Mulai dari tampilan fisik para pejabat, sampai dengan penelusuran secara intensif simpanan kekayaan mereka baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Secara fisik, fenomena korupsi sudah bisa dilihat dari bangunan rumah yang dimiliki seseorang, kemudian merek dan jumlah kendaraan yang dia miliki sampai dengan gaya hidup berbelanja di pusat-pusat perbelanjaan (mal) yang bisa menghabiskan puluhan juta sekali belanja. Jika seorang walikota atau bupati, misalnya, secara formal hanya bergaji Rp20 juta dan mengelola dana taktis sekitar Rp400 juta per tahun, maka selama masa jabatannya (lima tahun) praktis ia hanya bisa mengumpulkan uang sebanyak Rp32 miliar. Itu pun dengan catatan kalau semua dana taktis tersebut beserta gajinya diambil dan ditabung.
Maka jika seorang pejabat semacam bupati atau walikota bisa membangun rumah seharga Rp10 miliar di berbagai tempat (di Medan, Siantar, atau Jakarta) atau mempunyai kebun kelapa sawit ratusan hektar di Riau, ini menjadi sebuah pertanyaan besar. Sangat kuat dugaan, dalam masa jabatannya, sudah barang tentu ia pasti melakukan penyelewengan (korupsi) dengan dana (APBD) yang dikelolanya selama ini.
Fenomena korupsi juga dapat dilihat dari tampilan infrastuktur di suatu tempat mulai dari jalan, gedung, saluran irigasi dan bangunan fisik lainnya. Semakin banyak jalan dan gedung yang rusak atau tidak terawat, maka semakin besar kemungkinan korupsi telah terjadi. Sebab selama ini, kucuran dana untuk pembangunan fisik seperti disebutkan tadi merupakan bagian terbesar dari alokasi dana sebagaimana dapat dilihat pada beberapa instansi. Jika kita melihat infrastruktur di Siantar, misalnya, betapa mirisnya hati seolah kota ini baru saja merdeka dari penjajahan.
Siantar adalah kota kedua terbesar di Suumatera Utara, namun coba tengok beberapa infrastruktur jalan yang ada. Jalan yang merupakan urat nadi perekonomian ternyata bukan sesuatu yang menjadi prioritas dalam implementasi anggaran yang jumlahnya mencapai puluhan miliar rupiah setiap tahunnya.
Ini baru dari infrastruktur jalan, bagaimana dengan bidang lainnya seperti kesehatan, pendidikan, dana sosial, dan lainnya? Patut dicatat, APBD Pematangsiantar 2008 mencapai angka Rp440 miliar! Angka ini bukan angka yang sedikit. Pertanyaannya, terasakah besarnya angka ini dalam kehidupan masyarakat di Siantar?
Bukan sebuah rahasia, di Siantar, bagaimana gaya hidup para pejabat termasuk kepala daerah. Uang sepertinya tak masalah. Kata orang, seperti air, mengalir terus. Sumbernya, ya itu tadi, penyelewengan atau korupsi. Buktinya? Bagaimana kalau pembuktian terbalik, para pejabat tersebut yang harus membuktikan darimana asal uang mereka? Ada yang berani?
Yang paling ironis, banyak diantara pejabat yang korup ini mengaku sebagai orang beragama. Belakangan malah sudah menjadi semacam kecenderungan (trend) di beberapa kalangan menghitamkan bagian muka seolah menunjukkan kepada publik bahwa ia seorang yang taat beragama dengan menyumbang gereja atau masjid.
Bagaimana korupsi dapat diatasi? Tidak cukup hanya melalui aturan formal seperti penegakan hukum, melainkan harus ada sanksi sosial yang diberlakukan. Korupsi sesungguhnya sudah masuk ke dalam kategori pelanggaran Hak Azasi Manusia karena dapat memiskinkan ribuan bahkan jutaan orang. Jika seorang pelacur atau germo tinggal di sebelah rumah kita, kita akan ribut dan melakukan penolakan. Padahal pelacur atau germo, dengan tidak bermaksud untuk melegalkan, hanya merugikan segelintir orang. Karena itu, koruptor harus ditolak sebagaimana halnya menolak kehadiran pelacur atau germo di sekitar kita.
Lantas, bagaimana hubungan korupsi ini dengan sidang paripurna DPRD Pematangsiantar, hari ini (Jumat 5/9), dengan korupsi yang saya sebut di atas.
Pastinya hubungannya sangat erat. Paripurna diadakan karena adanya rekomendasi Pansus Hak Angket yang menemukan pelanggran Walikota Pematangsiantar RE Siahaan dalam kasus Proyek Tender Perbaikan Bangsal RSU Pematangsiantar tahun 2005. Menurut Pansus, RE Siahaan telah melanggar sumpah jabatannya sebagai walikota dan karenanya harus diberhentikan.
Saat tulisan ini terbit, tak jelas nasib paripurna tersebut, apakah memang jadi atau tidak. Yang pasti, dalam beberapa hari ini konstelasi politik di Siantar memanas. Bahkan timbul rumor kalau akan terjadi perlawanan dari pendukung walikota dan akan terjadi chaos.
Para wartawan pun sudah banyak didekati untuk tidak memuat berita tentang paripurna tersebut. Ironisnya, mereka yang akan ‘mendiamkan’ wartawan ini adalah mereka yang dulunya berseberangan dengan walikota. Namun, entah kenapa mereka kini menjadi pihak yang paling aktif menjadi pendukung walikota.
Sebenarnya, lepas dari berbagai kepentingan yang melingkupi usul pemberhentian walikota dalam sidang paripurna ini, yang harus dilihat adalah substansi dari pemberhentian walikota ini, apakah memang layak atau tidak?
Bagi saya, koruptor sama dengan germo atau pelacur, harus ditolak! Kini, rakyat Siantar-lah yang menentukan apakah walikota seperti pelacur atau tidak. Cara menentukannya gampang, karena bukti ada di depan mata, pembangunan!!!
04 September, 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar