Catatan: Fetra Tumanggor
Ada sebuah pembelajaran yang sangat menarik dari negara tetangga kita, Thailand. Selasa (9/9) lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) Thailand memerintahkan Perdana Menteri (PM) Samak Sundaravej mengundurkan diri. Persoalannya sangat sederhana, Samak menerima honorarium setelah tampil dalam program memasak di sebuah televisi swasta, milik perusahaan televisi Face Media.
Sembilan hakim konstitusi Thailand secara bulat memutuskan Samak melanggar konstitusi yakni melanggar Pasal 267 tentang pelarangan perangkapan jabatan bagi perdana menteri dan para menteri, baik di perusahaan maupun organisasi bisnis, serta pelarangan menerima gaji atau upah. Menerima honorarium dalam acara di televisi dianggap bekerja di luar tugasnya sebagai perdana menteri.
Di Thailand, hukum tidak cukup hanya ditulis dan diteriakkan, tetapi juga harus dilaksanakan. Menerima honorarium (menurut pihak Televisi Face Media, Samak menerima honor 8.000 Baht atau Rp20 juta) sebenarnya persoalan sangat sederhana. Samak tak melakukan korupsi sama sekali. Namun meski persoalannya sangat sederhana, Samak tetap melanggar peraturan dan siapa yang melanggar peraturan harus dihukum. Sekecil apapun masalahnya, hukum harus dilaksanakan secara tegas demi tegaknya wibawa hukum dan lembaga hukum.
Dalam konteks Indonesia, seperti kota kecil Pematangsiantar, hukum benar-benar dikangkangi, bahkan oleh penegak hukum sendiri. Jumat (5/9) lalu, DPRD Pematangsiantar mengeluarkan keputusan memberhentikan Walikota RE Siahaan dan Wakilnya Imal Raya Harahap. Dasar pemberhentian adalah putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang memutuskan keduanya bersalah telah melakukan persekongkolan memenangkan perusahaan tertentu dalam tender proyek perbaikan bangsal RSU Pematangsiantar tahun 2005. RE Siahaan dan Imal Raya juga dianggap merugikan keuangan negara sebesar Rp381 juta. DPRD menganggap walikota dan wakilnya telah melanggar sumpah jabatan sehingga harus diberhentikan.
Pasca keputusan DPRD tersebut, suara pro dan kontra bermunculan di masyarakat. Anehnya, mereka yang menolak keputusan DPRD tersebut, opini publik seolah-olah digiring bahwa RE Siahaan dan Imal Raya tak bersalah. Ada juga yang menyebut bahwa DPRD merupakan pahlawan kesiangan, sarat kepentingan, dan hanya badut-badut politik. Yang lain lagi menyebut bahwa pengambilan keputusan DPRD tak sah karena tak sesuai mekanisme yang ada.
Yang paling ironis, ada pendapat di sebuah media yang menyebut bahwa masalah proyek bangsal RSU Pematangsiantar tersebut terlalu kecil untuk dijadikan alasan memberhentikan walikota. Paling parahnya lagi, juga disebutkan bahwa kasus bangsal ini sebenarnya tidak membuat hilangnya kepercayaan rakyat kepada walikota sehingga tidak cocok DPRD menggunakan hak angket sesuai UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 32 Ayat 1.
Membaca beragam komentar di media tersebut, saya menjadi bertanya dalam hati, masih adakah sedikit hati nurani atau mutlak semuanya ini hanya bersandar pada kepentingan? Kenapa kita tak mencoba melihat kasus pemberhentian walikota dan wakilnya ini dari esensinya?
Tuduhan bahwa DPRD mempunyai kepentingan atau deal-deal tertentu dalam menggulirkan pemberhentian walikota dan wakilnya ini, menurut saya mungkin ada benarnya. Bagaimanapun, proses pemberhentian ini berada dalam tataran politik dan politik tak pernah lepas dari konflik kepentingan.
Namun, kenapa tak pernah dibahas mengenai pokok masalah yang sebenarnya, bahwa RE Siahaan dan Imal Raya Harahap bersalah telah melakukan persekongkolan jahat dengan memenangkan perusahaan tertentu dalam proyek tender bangsal RSU Pematangsiantar tahun 2005. Keputusan KPPU sudah sangat jelas bahwa keduanya bersalah. Atau dalam kasus ini ada yang berani mengatakan bahwa RE Siahaan tak bersalah?
Menurut saya, terlalu naif jika kita melupakan kesalahan. Sekecil apapun kesalahan tetaplah harus diberi hukuman. Thailand memberi sebuah pelajaran yang sangat berharga bagi kita bahwa hukum harus ditegakkan tak peduli bentuk pelanggarannya. Siapa yang melanggar, ya harus dihukum.
Masyarakat sudah terlalu lama bersikap toleran terhadap banyak pelanggaran yang terjadi di kota ini. Sampai saat ini beragam kasus seperti kasus 19 CPNS ilegal 2005, korupsi dana sosial Rp12,5 miliar, ketekoran kas daerah, dana insentif PBB di Dispenda yang tak jelas alokasinya, dan banyak lainnya. Yang paling parah, aparat hukum di kota ini sama sekali tak berkutik. Tak ada kasus yang mereka selesaikan sampai tuntas. Ada yang sudah mereka tetapkan jadi tersangka namun tak pernah ditahan.
Pemberhentian walikota dan wakilnya ini seharusnya menjadi entry point atau pintu masuk agar kita tak lagi bersikap permisif terhadap berbagai pelanggaran yang ada, terutama yang dilakukan kepala daerah. Sudah saatnya rakyat Siantar merasakan pembangunan dan bukan hanya sekelompok kecil yang merasakan uang negara melalui korupsi.
Seperti tulisan saya beberapa waktu lalu, jika seorang pelacur atau germo tinggal di sebelah rumah kita, kita akan ribut dan melakukan penolakan. Padahal pelacur atau germo, dengan tidak bermaksud untuk melegalkan, hanya merugikan segelintir orang. Tetapi kenapa ketika jelas ada korupsi di depan mata kita, kita sangat permisif? Kenapa kita tak mencoba menolak koruptor sebagaimana halnya menolak kehadiran pelacur atau germo di sekitar kita.
Atau jangan-jangan kita sendiri adalah pelacur atau germo. Kalau begitu, jangan sekali-kali kita menyebut diri kita sebagai aktivis, wartawan, pengamat politik atau pengamat hukum. ***
11 September, 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar