05 Februari, 2008

Dinas PUK Siantar Lakukan Pungutan Liar Dua Persen Dari Nilai Proyek

SIANTAR-SK: Carut-marut ‘permainan’ proyek di lingkungan Pemko Siantar, kembali bertambah runyam. Selama ini, sudah menjadi rahasia umum jika para rekanan (pemborong) dipotong 15-20 persen dari nilai proyek untuk setoran ke ‘atas’. Selain potongan seperti itu, para pemborong juga sudah terbiasa dengan keterlambatan pencairan dana.
Di Dinas Pekerjaan Umum Kota (PUK), ‘penderitaan’ pemborong semakin bertambah dengan adanya pengutipan sebesar dua persen dari nilai proyek yang dilakukan oleh wakadis Dohar Sidabutar.
Hal ini disampaikan Frans Bungaran Sitanggang, SE, Wakil Direktur CV. Parsaoran, kepada Sinar Keadilan, Selasa (15/1). Frans mengatakan pemotongan itu terjadi pada saat rekanan hendak meminta tandatangan kadis/wakadis dalam berita acara pengerjaan. Seperti diketahui, jika proyek telah selesai dikerjakan maka berita acara harus ditandatangani pejabat PU, baru dana dapat dicairkan.
“Kita diharuskan membayar dua persen dari nilai proyek. Jika tidak, dia tidak akan menandatanginya,” paparnya.
Frans menjelaskan sesuai keterangan wakadis, pemotongan itu untuk mengurus agar dana proyek bisa cair dari provinsi. “Bahkan wakadis mengatakan rekanan harus membayar kontan uang itu. Jika tidak, berita acara tidak akan ditandatanganinya. Anehnya, mereka sudah memohon agar ditandatangani dulu setelah itu uang yang diminta itu akan dibayar setelah dananya dibayarkan oleh bagian keuangan pemko.”
Frans mencontohkan proyek Bantuan Daerah Bawah (BDB) tahun 2007 di Dinas PUK Siantar sebesar Rp3 miliar. Proyek tersebut adalah rehabilitasi drainase di beberapa tempat yang dibagi sebanyak 11 paket dengan nilai Rp500 juta. “Setelah pengerjaan selesai dan berita acara ditandatangani pengawas lapangan, direktur teknik PU, dan Petugas Pembuat Komitmen (PPK), seharusnya kemudian ditandatangani kadis atau wakadis,” ujar Frans.
Yang terjadi kemudian, wakadis tak mau menandatangani berita acara tersebut karena rekanan belum sepakat soal pungutan dua persen tersebut. “Harusnya ada toleransi tapi dia tetap juga tidak mau menandatanganinya dan ini pemaksaan,” jelas Frans yang juga menjabat sebagai wakil ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Siantar ini.
Secara terpisah, Dohar Sidabutar di kantornya membenarkan pemotongan tersebut. “Namun itu sesuai dengan permintaan Kabag Keuangan Pemko agar dilakukan pemotongan sebanyak dua persen dari nilai proyek. Dana itu untuk biaya administrasi dan saya rasa itu wajar. Tapi lebih baik ini ditanyakan pada bagian keuangan,” jelasnya.
Sedangkan mengenai tidak ditandatanganinya berita acara, dia mengatakan hal itu dapat dilakukan jika ada rekomendasi dari bagian keuangan.
Sementara itu Waldemar Napitupulu, Kabag Keuangan yang ditemui Rabu (16/1) di ruang kerjanya membantah jika dia meminta agar dilakukan pemotongan.
“Tidak ada kewajiban penandatanganan berita acara harus dipotong dan bukan hak saya,” jelasnya.
Waldemar juga sangat menyayangkan ada kabar itu karena sepengetahuannya tidak pernah bagian keuangan meminta pada dinas PUK agar dipotong dua persen dari nilai proyek.
Menyangkut penggunaan dana itu untuk administrasi, dia menjelaskan tidak pernah ada alasan seperti itu. Selain itu tidak ada hubungan antara dinas PUK dengan kabag keuangan dalam mencairkan dana itu.
Aroni Zendrato, anggota Komisi IV DPRD Siantar, sangat menyayangkan sikap dari wakadis yang mengharuskan pembayaran itu. Dia mempertanyakan atas dasar hukum apa wakadis melakukan pungutan tersebut. “Jika itu tidak dapat dibuktikan maka berarti pungutan liar dan hal itu harus di telusuri,” ujar Zendrato.
Hal senada dikatakan Muslimin Akbar. Dia mengatakan jika tidak sesuai prosedur maka sebaiknya para rekanan tidak usah membayarnya.