06 Februari, 2008

Kematian Soeharto Tragedi Bagi Korbannya

JAKARTA-SK: Meninggalnya Soeharto bukan berarti rasa sakit orang-orang yang telah jadi korban politik semasa pemerintahannya hilang begitu saja. Mereka justru menyesal, karena Soeharto belum sempat diadili.

Mantan Ketua Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang kini jadi pengurus PDI Perjuangan, Budiman Sudjatmiko mengatakan, "Kematiannya adalah tragedi bagi semua orang yang menjadi korban kejahatannya. Mereka (para korban, Red) tak pernah mendapat keadilan."

Soeharto yang meninggal dalam usia 86 tahun, dituduh melakukan banyak kejahatan selama masa pemerintahannya, termasuk pembunuhan lebih dari 500.000 anggota PKI pada 1965-1966. Almarhum dan keluarganya juga dituduh melakukan korupsi yang, menurut lembaga Transparansi Internasional, jumlah totalnya mencapai 35 miliar dolar AS (sekitar Rp 327 triliun).

Begitu berkuasa pada 1965, Soeharto langsung memberantas Partai Komunis Indonesia (PKI) dan simpatisannya. Kebijakan itu dipandang pihak luar negeri sebagai pembunuhan masal terbesar sepanjang abad ke-20.

"Soeharto adalah ibu dari kejahatan kemanusiaan," kecam Sudjatmiko yang dipenjara semasa pemerintahan Soeharto.

Sementara itu pendiri Tapol, organisasi pembela HM di Indonesia, Carmel Budiarjo mengatakan, meninggalnya Soeharto sebagai kematian tiran.

"Para elite politik tidak melihat pentingnya keadilan. Banyak orang merasa apa yang saya rasa, karena dia meninggal tanpa terlebih dulu diadili. Saya hanya berharap, obituarinya akan diwarnai highlight selama dia memerintah," kata Carmel Budiarjo.

Budiarjo yang kini menjadi warga negara Inggris, pernah dipenjara pemerintah pada 1968 karena terlibat diskusi akademis. Di bawah pemerintahan Suharto, banyak akademisi yang dipenjara karena dihubung-hubungkan dengan PKI atau kegiatan makar.

Sementara itu Fadjroel Rachman mengatakan, "Pengusutan terhadap kroni, keluarga dan para loyalis Soeharto seharusnya tetap dijalankan."

Fajroel Rahman yang dipenjara pemerintah Soeharto pada 1976 mengatakan, invasi RI ke Timor Timur dan kebijakannya di Aceh merupakan pelanggaran berdarah. Dan, korbannya sampai sekarang masih mencari keadilan.

Seorang aktivis dan jurnalis, Andreas Harsono menambahkan, "Soeharto tak ragu-ragu untuk mengabaikan hukum dalam menyelesaikan masalah. Pertanyaannya, apakah dia menyelesaikan masalah? Tentu saja tidak."

Sebagai wartawan, kata Harsono, dia merasakan betapa tekanan Soeharto begitu ketat terhadap kebebasan pers."Di masa depan, rakyat akan memujanya, rakyat akan menyebutnya sebagai Bapak Pembangunan, orang akan membantah bahwa dia pernah melakukan aktivitas fasis, melakukan pembunuhan dan pengekangan kebebasan, karena dia tak pernah diadili," sesal Harsono.
Sementara itu Sejumlah korban pelanggaran HAM semasa Orde Baru menyatakan menolak mengibarkan bendera setengah tiang yang dimaksudkan sebagai penghormatan bagi wafatnya mantan Presiden Soeharto.

Dalam pernyataan sikap yang dibacakan di Kantor Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Minggu Sore, korban pelanggaran HAM juga menolak upacara resmi kenegaraan untuk Soeharto, mengingat statusnya sebagai terdakwa yang belum terkoreksi melalui proses yang sah dimata hukum.

"Harusnya tidak ada pemakaman resmi kenegaraan, seperti yang dilakukan Chile terhadap diktator Agusto Pinochet, yang saat meninggal status hukumnya tidak berbeda dengan Soeharto," kata Koordinator Kontras Usman Hamid.

Pinochet dimakamkan hanya dengan pemakaman kemiliteran dan Presiden Chile saat itu juga menolak untuk hadir.

Bagi para korban, pemberlakuan hari berkabung selama tujuh hari dan pengibaran bendera setengah tiang dianggap sebagai suatu bentuk pelecehan bagi nasib mereka yang menunggu keadilan.

"Sudah berkali-kali keluarga korban Peristiwa 12 Mei meminta agar tanggal itu menjadi hari berkabung nasional atau Suciwati meminta agar tanggal kematian Munir menjadi hari aktivis HAM, semuanya tidak dikabulkan, Pemerintah harus berhati-hati dalam penetapan hari berkabung ini," papar Usman.

Gelar pahlawan terhadap mantan Presiden Soeharto juga merupakan salah satu hal yang ditolak korban tersebut, sampai status hukum Soeharto ditetapkan.

"Dia jelas-jelas terdakwa, bagaimana bisa disebut pahlawan," tuntut Usman.

Korban yang mewakili berbagai peristiwa pelanggaran HAM semasa Orde Baru antara lain peristiwa `65, peristiwa Talangsari, kasus Tanjung Priok dan Kasus 12 Mei 1998 sore itu berkumpul untuk kembali menuntut agar pemerintah segera memproses keadilan yang mereka tuntut.

Dengan meninggalnya Soeharto, para korban tersebut berharap agar pemerintah tidak serta merta mengubur kasus itu.

"Kami keberatan kalau kasus hukum ini diabaikan," ujar salah seorang korban peristiwa `65 John Pakasi yang dipenjara selama 12 tahun tanpa melalui persidangan.

Sementara mengenai pemberian maaf terhadap Soeharto, para korban tersebut tidak satu suara, ada yang menyatakan dapat memaafkan dengan catatan kasus hukumnya terus diproses dan ada yang tetap mendendam.

"Secara pribadi, saya sangat sulit untuk memaafkan Soeharto karena terlalu besar dosa dan kejahatannya," kata Ketua Yayasan Korban Pembunuhan `65 Bejo Untung yang dipenjara sembilan tahun tanpa melalui proses persidangan juga.

Para korban tersebut berharap, meninggalnya Soeharto itu dapat menjadi semacam "wake up call" (panggilan bangun tidur) bagi Pemerintah untuk dapat mempercepat proses hukum Soeharto yang berimbas kepada terciptanya keadilan yang telah lama dinanti mereka.


Usman Hamid menyebut bahwa keadilan yang diinginkan tersebut lebih dari sekedar menghukum pelakunya, tapi juga melakukan kewajiban terhadap korban, baik dari rehabilitasi maupun pemberian kompensasi. (ant/kcm/afp)