SIANTAR-SK: Pasca putusnya kontrak tanggungan asuransi kesehatan bagi rakyat miskin (askeskin) antara Departemen Kesehatan dengan PT Askes, masalah baru pun kemudian muncul. Siapa yang kini menanggung biaya pengobatan orang miskin? Pemerintah pusat? Pemerintah daerah? Rumah sakit? Atau si miskin itu sendiri?
Ketua Komisi IX DPR RI dr. Ribka Tjiptaning dalam seminar ‘Kaukus Asuransi Kesehatan Daerah, Mungkinkah?’ yang diadakan oleh Medan Bisnis Forum di Restoran International, Pematangsiantar, Senin (18/2), mengatakan Komisi IX DPR merekomendasikan untuk sementara askeskin tetap ditangani oleh PT Askes sembari membenahi sistem yang ada.
Namun, saat ini rekomendasi tersebut belum mendapat tanggapan dari pemerintah. Menunggu ada sebuah kesepakatan dengan pemerintah, Ribka meminta agar pemerintah daerah berinisiatif menanggulangi biaya pengobatan pasien miskin ini. Dia mengatakan banyaknya pasien miskin terlantar saat ini di rumah sakit daerah justru menjadi penegasan bagi kepala daerah apakah punya komitmen untuk membantu rakyatnya. Secara tegas Ribka mengatakan kepala daerah yang tak mau membantu pasien miskin tersebut adalah kepala daerah yang tak punya hati nurani.
Ribka memberi apresiasi yang tinggi bagi Bupati Toba Samosir Monang Sitorus dan Walikota Tanjung Balai dr. Sutrisno Hadi, SpOG, dua kepala daerah yang mempunyai insiatif membantu pengobatan rakyatnya yang miskin, jauh sebelum ribut-ribut masalah askeskin ini muncul.
Masalahnya, hanya segelintir kepala daerah yang mau berbuat seperti itu. Jauh lebih banyak kepala daerah yang sepertinya menutup telinga rapat-rapat untuk mendengar jerit para pasien miskin yang terlantar di lorong-lorong rumah sakit daerah.
Pematangsiantar menjadi contoh bagaimana Pemko tak ambil peduli dengan kondisi ratusan pasien miskin terlantar di RSUD dr. Djasamen Saragih. Saat pihak RSUD Djasamen meminta bantuan pemko untuk menanggulangi masalah pasien terlantar ini, pemko tak memenuhinya. Jangankan memenuhi permintaan bantuan dana tersebut, untuk sekadar rapat mendengarkan penjelasan pihak rumah sakit pun, Walikota Siantar tak mau hadir.
Ironisnya, saat ini di Sumatera Utara sedang berlangsung pesta penghamburan uang yakni Pilgubsu. Ada lima pasang calon, salah satunya Walikota Siantar, yang mengikuti Pilgubsu ini. Sejak satu tahun lalu, para calon ini telah menghamburkan begitu banyak uang untuk memasang spanduk, poster, stiker, kalender, dan lainnya. Dana yang jauh lebih besar lagi akan dihamburkan saat memasuki masa kampanye awal April nanti.
Bukan sebuah cerita bohong lagi, jika satu calon menghabiskan paling sedikit Rp50 miliar untuk mengikuti Pilgubsu ini. Artinya, dari lima pasang calon terkuras dana Rp250 miliar untuk mengiklankan diri agar dipilih masyarakat Sumut. Dan angka tersebut baru angka minimal.
Dalam program askeskin, pemerintah mengalokasikan dana Rp1000/jiwa/bulan. Artinya per tahun satu pasien miskin dibiayai pemerintah sebesar Rp12.000.
Jumlah penduduk miskin di Pematangsiantar tahun 2007 berdasarkan data Badan Pusat Statistik Pemprov Sumatera Utara sebanyak 23.259 jiwa. Jika dimisalkan semua penduduk miskin tersebut menerima askeskin Rp12.000 per tahun maka biaya yang harus dialokasikan pemerintah hanya sebesar Rp279.108.000. Atau jika kita misalkan, semua penduduk miskin di Siantar tersebut sakit dan harus dirawat di rumah sakit dengan masing-masing jiwa membutuhkan biaya Rp1.000.000, maka biaya klaim yang dibutuhkan hanya sebesar Rp23.259.000.000.
Bandingkan angka tersebut dengan dana yang dikeluarkan oleh seorang calon dalam Pilgubsu kali ini.
Artinya, masalah pasien miskin ini sebenarnya hanya soal kemauan dari masing-masing kepala daerah. Kalau untuk pasang spanduk, poster, kalender, dana tak berkekurangan, lalu untuk pasien miskin dana seakan-akan menguap entah kemana. (fet)