SIANTAR-SK: Amerika Serikat November mendatang akan memilih presidennya. Saat ini beberapa kandidat sudah jelas kelihatan. Dari Partai Republik tampaknya sudah sepakat akan mengusung nama Senator John Mc’Cain. Dari Partai Demokrat, dua kandidat saat ini sedang berjuang keras yakni Barack Obama dan Hillary Clinton. Keduanya tampaknya memiliki peluang yang sama besar. Mereka berdua pun lalu beberapa kali dihadapkan dalam sebuah debat terbuka agar rakyat Amerika benar-benar melihat siapa sebenarnya kandidat yang layak. Saling tuding pun terjadi saat keduanya dihadapkan bersama dalam sebuah debat terbuka.
Sumatera Utara , April nanti juga akan memilih gubernur yang baru. Lima pasang calon secara resmi kini bersaing memperebutkan posisi gubernur tersebut. Membandingkan pemilihan presiden Amerika dan pemilihan Gubernur Sumatera Utara bisa jadi seperti membandingkan langit dan bumi. Namun, dalam konteks pemilihan, sejatinya hampir tak ada perbedaan. Keduanya memilih seorang pemimpin yang baru dan yang memilih adalah rakyat. Mekanismenya pun hampir sama, rakyat datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) dan menentukan pilihannya tanpa berhak diintervensi sispapun alias LUBER (langsung, umum, bebas, rahasia).
Perbedaan yang sangat tajam dalam proses pemilihan tersebut mungkin terletak pada bagaimana para calon meletakkan nilai-nilai demokrasi pada tempat yang sewajarnya. Dalam sebuah proses pemilihan seorang pemimpin, jelas ada usaha calon untuk mendapatkan dukungan dari pemilih. Di Amerika, para calon terbiasa melakukan debat terbuka yang ditonton oleh jutaan pemirsa. Sebelum mencalonkan diri, para calon sudah sadar betul bahwa nantinya akan dihadapkan pada calon lainnya dalam sebuah debat terbuka. Dalam debat, akan terlihat siapa sebenarnya calon pemimpin yang menguasai masalah. Dalam debat, tak jarang para calon saling serang, tentunya lewat kata-kata.
Hillary dan Obama membuktikan kemampuan mereka dalam debat yang dilakukan Jumat (22/2) dinihari waktu Indonesia. Debat terbuka yang disiarkan langsung televisi CNN itu mengangkat sejumlah isu, di antaranya kesehatan, lingkungan, sistem pertahanan, kebijakan luar negeri.
Dalam kesempatan itu, Hillary sempat mengkritik Obama menjiplak kata-katanya saat berkampanye. "Kalau memang Anda mengandalkan kampanye pada kata-kata, hendaknya itu dari kata-kata Anda sendiri. Jangan meniru," cibir Hillary, merujuk pada ucapan Obama yang menirukan pernyataan Gubernur Massachusetts Deval Patrick.
Mendengar itu Obama ganti mengkritik Hillary. "Seharusnya, Anda tidak mengumbar tangisan, tapi membuat negeri ini termotivasi," tutur Obama, mengomentari beberapa kampanye Hillary yang diwarnai dengan tetesan air mata. Meski berlangsung seru, kedua sosok karismatik ini tetap mengumbar senyum dan tidak emosional. Debat berakhir dengan tepuk tangan para penonton dari kedua pendukung.
Itulah perbedaan antara pemilihan di Indonesia dengan di Amerika. Meski debat berlangsung panas dan seringkali menusuk tajam, namun kedua kandidat tak emosional. Lebih jauh, pendukung kedua kandidat pun tak pernah bentrok dan bahkan tepuk tangan bersama.
Di Indonesia, kualitas debat seringkali tak jelas. Apa yang ditanyakan panelis seringkali tak nyambung dengan jawaban kandidat. Kandidat pun tak menguasai masalah dan tak punya data. Itu sebabnya, banyak para calon yang menghindar untuk diajak berdebat, seperti yang terjadi dalam debat calon Gubernur Sumut yang diadakan Harian Waspada beberapa waktu lalu. Ada kandidat yang tak siap untuk berdebat karena ‘mungkin’ memang tak punya kemampuan.
Di Amerika, saat kampanye, para calon tak sekadar melontarkan janji. Jika mereka mengatakan bahwa pendidikan akan gratis jika mereka terpilih, harus direalisasikan karena kalau tidak rakyat Amerika akan menagihnya. Di Indonesia, mengobral janji sudah menjadi hal yang biasa. Soal realisasi, nanti dulu karena rakyatpun tak menagihnya. Paling-paling rakyat hanya menggerutu di kedai-kedai kopi.
Itu sebabnya, para calon akan melontarkan janji-janji setinggi langit. Pendidikan nanti akan gratis, lapangan kerja akan tersedia lebih banyak, petani akan diberi pupuk gratis, jalan-jalan akan diperbaiki, dan segudang janji lainnya. Tak usah kaget jika dalam kampanye Pilgubsu nantinya, janji-janji seperti itu akan terdengar dimana-mana dari masing-masing kandidat.
Di Amerika, para calon tak perlu memberikan amplop atau sembako kepada calon pemilih untuk menarik simpati. Bisa jadi rakyat Amerika memang sudah tak membutuhkan uang atau sembako lagi saat ini karena mereka kaya. Namun, dalam sejarah pemilihan presiden Amerika pun, saat rakyatnya masih miskin, cara-cara pemberian amplop atau sembako ini pun tak pernah ada. Rakyat Amerika tak butuh amplop atau sembako, karena dalam sekejap itu habis. Yang mereka butuhkan adalah pemimpin yang mampu membawa kemajuan. Dan sejarah berbicara, kemajuan Amerika menjadi negara super di dunia salah satunya karena mekanisme pemilihan pemimpin yang demokratis dan bersih.
Sejatinya, rakyat Indonesia pun tak butuh amplop atau sembako. Sama seperti Amerika, rakyat Indonesia butuh pemimpin yang mampu membawa perubahan. Dalam skala Sumut, rakyat Sumut butuh pemimpin yang benar-benar mampu mensejahterakan rakyatnya, bukan yang hanya obral janji atau hanya karena ingin kekuasaan.
Di Amerika, saat pemilihan telah berakhir dan pemenangnya telah ketahuan, kandidat yang kalah akan melakukan konferensi pers dan secara sportif mengakui kekalahannya dan mengucapkan selamat kepada presiden terpilih. Di Indonesia, tampaknya tak asda kandidat yang mau mengakui kekalahannya. Tuding-menuding pun terjadi dengan menyebut bahwa kandidat yang menang telah melakukan kecurangan. Gugatan pun dilayangkan, bahkan sampai ke Mahkamah Agung. Yang paling parah, karena tak mau mengakui kekalahannya, kandidat ‘mengompori’ pendukungnya untuk berbuat anarkis. Kantor KPUD pun dirusak. Antar pendukung bentrok sampai menimbulkan korban jiwa. Sampai di sini, rakyat juga yang jadi korban.
Dalam Pilgubsu, sampai saat ini belum terlihat ada calon yang kreatif mampu untuk menarik simpati pemilih. Spanduk, kalender, baliho, stiker, sepertinya menjadi alat peraga yang terus dipertahankan oleh para kandidat untuk menarik simpati pemilih tanpa tahu efektif atau tidak. Sampai saat ini belum ada sebuah survey pun yang bisa membuktikan bahwa spanduk, baliho, stiker, kalender, dan sejenisnya efektif untuk menjaring simpati pemilih. Yang sudah pasti adalah, begitu banyak uang yang terbuang untuk membuat semua alat peraga tersebut.
Soal debat, layak dipertanyakan, maukah kelima cagubsu bertemu dalam sebuah debat dan mempertaruhkan kemampuannya untuk dinilai oleh seluruh rakyat Sumut?
Soal sportifitas, ini hanya sekadar imbauan kepada kandidat yang kalah nantinya untuk bersikap fair mau mengakui kekalahannya. Kalah berarti rakyat Sumut tak menghendakinya menjadi Gubsu. Jangan berdalih dicurangi dan lantas mengajak pendukungnya untuk bertindak anarkis. Saatnya bukan mengandalkan kekuatan otot, atau uang, tetapi pada kapabilitas dan kemampuan. Selamat bertanding. (Fet)