SIANTAR-SK: Duagaan penyuapan terhadap anggota DPRD Siantar sebanyak 15 orang sangat sulit dibuktikan jika diproses secara hukum karena kurangnya bukti-bukti otentik. Demikian dikatakan M.Alinafiah Simbolon, aktivis Government Monitoring (GoMo) kepada Sinar Keadilan, Senin (21/1).
Alinafiah mengatakan secara analisis hukum bisa saja jaksa dan kepolisian melakukan penyelidikan tanpa adanya laporan pengaduan. “Tetapi sulit karena tidak ada bukti awal yang kuat terkecuali mereka tertangkap basah maka bisa ditindaklanjuti,” jelasnya.
Seperti telah diberitakan Sinar Keadilan, sebanyak 15 orang anggota DPRD Siantar diduga menerima uang masing-masing Rp30 juta dari Walikota Siantar RE Siahaan. Diduga uang itu diberikan sebagai rencana walikota agar pembahasan APBD 2008 dapat berjalan mulus. Pembagian uang itu dilakukan di rumah dinas walikota pada tanggal 20-30 Desember 2007. Bahkan pembagian itu disaksikan langsung oleh Asisten III Pemko Marihot Situmorang. Informasi ini justru diberikan oleh salah seorang anggota DPRD Siantar yang tak mau disebut namanya.
Beberapa anggota DPRD yang dikonfirmasi Sinar Keadilan beberapa waktu lalu menyangkal telah menerima uang itu dan menganggap itu hanya isu murahan.
Sebelumnya Batahi Simanjutak, SH, menilai bahwa adanya kabar penyuapan itu sudah dapat ditindaklanjuti oleh polisi dan kejaksaan untuk dibuktikan kebenarannya.
Menurutnya seseorang dapat dijadikan objek hukum apabila ada dugaan dan itu dapat dijadikan bukti permulaan. Namun karena ini menyangkut tindak pidana korupsi maka aparat hukum bisa melakukan penyelidikan.
“Dari penyedikan itu jika ada bukti baru maka ditingkatkan menjadi penyidikan untuk menelusuri apakah itu benar-benar terjadi,” jelas Batahi.
Menanggapi hal itu, Alinafiah setuju namun dalam hal ini dia melihat tanpa adanya bukti seperti rekaman atau kuitansi dan saksi yang melihat pembangian uang itu maka prosesnya akan sangat sulit. “Yang ada buktinya saja prosesnya bisa lama apalagi ini hanya masih sebatas dugaan, bisa-bisa jaksa konyol untuk menyelidikinya,” paparnya.
Namun dia berpendapat agar sebaiknya kasus ini terus diangkat di media massa sehingga bagi yang menerimanya mempunyai beban moral dan masyarakat dapat menilai siapa sebenarnya anggota DPRD itu.
“Ini bukti cerminan buruk bagi DPRD sebagai wakil rakyat dengan melakukan perbuatan yang menyakiti hati masyarakat,” ujarnya.
Dia menambahkan isu tersebut bukan hal baru lagi. Sudah menjadi sebuah tradisi di legislatif dalam setiap pembahasan anggaran APBD selalu ada istilah tabur-menabur antara eksekutif dengan DPRD. (Jansen)